SANDYAKALA (Bagian 9)

9 Teguran
      
Setelah mengantarkan kue-kue pesanan beberapa toko, Khaerani langsung pulang. Ketika memasuki halaman rumahnya, di balai-balai depan rumah nampak Bapak dan Pram sedang duduk bersama dua orang laki-laki lain.
“Duuuh, kenapa ada Pak Sofyan dan Bagas dirumah!” benak Khaerani sambil meletakkan sepeda di teras rumah seperti biasanya.
“Baru pulang Dek Rani?” tanya Pak Sofyan dengan nada lembut yang agak sedikit dibuat-buat. Bagas nampak melirik kearah Pak Sofyan dan Khaerani yang agak sedikit ditekuk mukanya.
“Iya, Pak.”
“Ini lho Ran, Pak Sofyan mengabarkan kalau desa kita mau diperkenalkan cara tanam padi dengan sistem baru, yang katanya bisa meningkatkan produksi,” kata Bapak.
“Kok bukan Pak Ismail, sebagai PPL yang memberi kabar?” tanya Kharani
“Itu baru kabar Dek Rani. Nanti kalau sudah pasti, Pak Ismail pasti akan memberi tahu,”  jawab Pak Sofyan berusaha semanis mungkin.
“Oooh, baguslah kalau begitu,” jawab Khaerani dengan nada sungkan.  “Kamu kok bisa disini?” tanyanya kepada Bagas sambil sedikit mengerutkan dahinya.
“Oh iya, tadi waktu di jalan, Mas Pram ketemu Bagas, dia menjelaskan dan meminta maaf karena pernah mengajak Amir pergi sampai sore sama kambing-kambingnya tanpa ijin dulu sama ibunya, terus dia kepengin ketemu ibunya Amir, jadi Mas Pram ajak ke rumah, sekalian ngobrol-ngobrol dan minum kopi. Tidak disangka, ada Pak Sofyan sedang ngobrol sama Bapak di rumah.”
“Oooh, begitu yah,” kata Khaerani yang kemudian langsung masuk ke rumah kemudian keluar lagi lewat pintu belakang. Berjalan ke rumah kakaknya.
“Lho, Rani, kamu kok disini? Baru pulang?”
“Iya Mbak,” jawab Khaerani sambil duduk disamping kakaknya yang sedang memasang kancing baju.
“Kenapa? Ada Pak Sofyan?” kata Kharisma sambil  tersenyum. “Oh iya Ran, kamu sudah ketemu dan kenal dengan sepupunya Mutiara, kemenakannya Pak Said itu?”
“Bagas, maksud Mbak?”
“Berarti kamu sudah kenal?” Khaerani mengangguk. “Orangnya baik, ya  Ran, ganteng lagi.” Terdengar suara sepeda motor yang menjauh. “Tuh, Pak Sofyan kesayanganmu sepertinya sudah pergi, Ran.” Kharisma tertawa.
“Aaah, Mbak Risma!”
 “Lho, Rani! Kamu kok malah disini? Di rumah kan ada tamu?” tanya Pram yang sudah berdiri di pintu depan ketika melihat adiknya.
“Tamu yang bikin males!”
Pram tertawa, “ Pak Sofyan sudah pulang kok.”
“Mas Pram cerita apa kek, sama Pak Sofyan, kalau Rani itu udah mau kawin atau gimana, biar dia tidak datang terus kesini!” protes Khaerani pada kakaknya. “Lho! Pak Sofyan kan, cuma mau ketemu Bapak. Bukan ketemu kamu.”
“Ah, itu buat alasan saja!”
Pram kembali tertawa, “tapi, sepertinya setelah hari ini, Pak Sofyan tidak bakalan kesini lagi, buat cari perhatian kamu, Ran.”
“Yang bener Mas?” ada gurat kegembiraan diwajah Khaerani.
“Iya, soalnya dia tahu, kalau kamu sudah punya teman laki-laki yang jauh lebih baik dan lebih ganteng dari dirinya.”
“Bagas, maksud Mas Pram!”
“Siapa lagi?”
“Wah, urusannya bisa kacau, kalau Pak Sofyan cerita sama Bu Said!”
“Kenapa memangnya dengan Bu Said?”
“Ah, Mas Pram seperti tidak tahu saja!”
“Mas Pram kira, tidak ada hubungannya dengan Bu Said.”
“Bagas itu kemenakannya Bu Said!”
“Kamu takut, sama Bu Said?”
“Bukannya takut, Mas. Tidak enak saja berurusan dengan beliau, apalagi untuk masalah seperti itu!”
Kharisma menanyakan Amir yang belum pulang dari sekolah kepada Pram.
“Amir ada di rumah Bapak,” jawab Pram.
Khaerani bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke pintu belakang.
“Kok, lewat belakang, Ran. Apa salahnya lewat depan, Pak Sofyan sudah pulang.” Pram tertawa, dilihatnya adiknya tersebut langsung merengut.
 Sesampainya di halaman belakang rumahnya, Khaerani melihat Amir yang masih memakai seragam sekolah sedang memberi makan kambing-kambingnya bersama Bagas. “Kenapa Bagas ada di belakang?” pikirnya sambil terus melangkah.
“Kamu darimana?” tanya Bagas yang sedang memegang rumput pakan kambing.
“Bu Lek, Amir ajak Mas Bagas kasih makan kambing simbah,” kata Amir sambil melambaikan rumput ditangannya.
“Kamu, tidak ganti baju dulu, Mir?
“Tanggung, Bu Lek,” jawab Amir sambil mengelus-elus kepala salah seekor kambing.
“Simbah mana?”
“Sedang makan, di dalam.”
“Kamu darimana, Ran?” Bagas kembali bertanya sambil memberikan rumput yang ditangannya pada salah seekor kambing.
“Dari rumah Mas Pram?”
“Kenapa? Sembunyi dari aku atau Pak Sofyan yang ganteng itu?” Bagas menepuk-nepuk kedua tangannya sambil tertawa.
“Heh! Bukan urusan kamu!” Khaerani kembali melangkah untuk masuk kedalam rumah sambil memasang muka cemberut, tapi tiba-tiba tangannya ditarik oleh Bagas dan membisikkan sesuatu ditelinganya.
“Pak Sofyan itu naksir kamu, lho.”
“Heh!” Khaerani menepis tangan Bagas sambil berlari masuk kedalam rumah, sementara sepupu Mutiara tersebut nampak tertawa.
***
“Bagas, siang tadi kamu ke rumah Khaerani?” tanya Bu Said tiba-tiba ketika sedang makan malam bersama.
“Iya, Bu Lek. Memangnya kenapa?” jawab Bagas dengan enteng sambil memasukkan sesendok nasi kedalam mulutnya, sementara Mutiara yang duduk disampingnya nampak melirik bergantian kearahnya dan kearah ibunya, ada sedikit rasa kuatir dihatinya.
 “Ya, tidak apa-apa. Tadi, Pak Sofyan ketemu ibu, dan mengatakan kalau dia bertemu dengan kamu di rumahnya Khaerani. Terus, sebelumnya juga ada yang pernah melihat kamu jalan berdua dengan dia.”
“Sudahlah, Bu. Bicaranya nanti saja, ini kan sedang makan,” kata Mutiara berusaha mencegah perdebatan yang bakal terjadi, karena dia tahu bagaimana ibunya dan watak sepupunya tersebut.
“Saya ketemu kakaknya Rani dan diajak main ke rumahnya, disana sudah ada Pak Sofyan. Terus, mengenai jalan berdua itu, Bagas ketemu dia jalan. Namanya juga jalan umum Bu Lek, jadi bisa ketemu siapa saja kan? Lagipula tidak ada salahnya kan, Bu Lek, dia kan temannya Muti, juga Bimo.”
“Ya, memang tidak ada salahnya. Tapi kamu kan orang baru disini, Gas.”
“Maka dari itu Bu Lek, karena Bagas orang baru, apa salahnya berkenalan dengan penduduk disini, lagipula Rani itu orangnya baik, dan Pak Lek dan Bu Lek juga mengenalnya, kan?”
 Bu Said menghela nafas, sambil tangan kanannya mengambil sebuah ikan goreng didepannya.
“Sudahlah Bu, apa salahnya? Orang berkenalan kok tidak boleh,” timpal Pak Said.
“Bukannya begitu, Pak. Nanti apa kata orang? Itu lho, kemenekannya Pak Said, orang baru,  yang masih bujang main ke rumah anak gadis desa!”
Bagas tertawa, “ah, itu kan kata orang, Bu Lek. Lagipula Bagas kan tidak berbuat apa-apa, hanya sekedar mampir, itu juga karena kakaknya yang mengajak.”
Mutiara nampak menahan tawa ketika melihat ekspresi ibunya yang agak cemberut. “Wah, ibu pasti senewen, baru kali ini ada orang yang tidak mau mendengardenger kata-katanya,” pikirnya.
***
Pagi hari, Bagas nampak bersiap-siap untuk pergi.
“Mas Bagas! Pergi bukan karena ibu, kan?” tanya Mutiara ketika melihat sepupunya tersebut memasukkan laptopnya kedalam ranselnya.
“Tidak!” jawab Bagas sambil tertawa,” ini soal kerjaan, semalam dapat telephon mendadak, aku disuruh ke Jogja. Ada seminar dan pertemuan, juga ada yang harus aku kerjakan di sana.”
“Tapi, nanti balik ke sini lagi, kan?”                                    
“Iya. Nanti aku balik ke sini lagi!”
 Mutiara tersenyum. “Pas acara nanti, Mas Bagas sudah datang kesini, kan?”
Bagas mengangguk sambil tersenyum, kemudian membawa tasnya dan keluar kamar diikuti oleh Mutiara. Setelah berpamitan dengan Pak dan Bu Said kemudian berjalan keluar menuju mobil Pak Said.
“Sekarang, Mas Bagas?” tanya Mukhlas, salah seorang karyawan Pak Said yang disuruh mengantarkannya hingga sampai terminal. Bagas mengangguk kemudian masuk kedalam mobil, setelah itu mobil pun bergerak keluar halaman rumah keluarga Said.

(Bersambung ke Bagian 10)
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"