SANDYAKALA (Bagian 14)

14  Antar barang

“Bimo.” Bu Said mengetuk kamar Bimo.  
“Iya Bu,” jawab Bimo dari dalam kamar.
“Ibu mau bicara sebentar.”
Pintu kamar terbuka. “Ada apa Bu?”
“Kamu hari ini libur, kan?”
“Iya Bu. Memangnya kenapa?
“Hari ini kamu bisa mengantar jagung dan kacang tanah ke Pak Haji Suryo?”
“Sekarang?”
“Iya. Baru saja Pak Haji Suryo telephon, tanya kapan pesanannnya dikirim.”
“Baik. Bimo ganti baju dulu. Tapi aku tidak tahu rumah Pak Haji Suryo.”
“Nanti kamu ditemenin si Mukhlas.”
“Mukhlasnya mana?”
“Sedang memasukkan barang-barang pesanan ke dalam mobil.”
Bu Said kemudian pergi. Bimo sendiri kembali masuk kedalam kamar untuk berganti pakaian dan mematikan laptopnya. Setelah itu langsung keluar kamar dan mengetuk kamar Bagas yang berada di sebelah kamarnya. “Bagas. Kamu ikut aku tidak?” tanya Bimo sambil membuka pintu kamar sepupunya.
 “Kemana?” jawab Bagas yang sedang duduk mengetik di laptopnya.
“Antar pesanan ke langganannya bapak?”
“Sekarang?” Bimo mengangguk. “Kalau sekarang aku tidak bisa. Aku harus menyelesaikan tulisanku dan harus aku e-mail hari ini juga.”
“Ini kan hari Sabtu, Gas. Tidak libur?”
“Aku bukan orang kantoran sperti kamu, Bim, yang sabtu dan minggu pasti libur,” jawab Bagas sambil tersenyum.
“Ya sudah kalau begitu.” Bimo melangkah keluar kamar Bagas.
“Oh iya Bim.”
“Apa!”
“Barang pesanannya langsung diantar ke alamat yang dimaksud ya, jangan nyasar ke tempat lain!” Bagas tertawa.
“Maksud kamu!”
“Yaaaa, sapa tahu kamu nyasar ke tempat lain.”
“Memangnya kamu yang suka nyasar ke tempat orang!” Bimo keluar kamar Bagas sambil tertawa.
“Kemana Bim?” tanya Pak Said ketika berpapasan dengan Bimo di pintu depan.
“Lho, katanya disuruh antar jagung dan kacang tanah ke rumah Pak Haji Suryo?”
“Oh iya, Bapak lupa,” jawab Pak Said sambil tersenyum dan menepuk punggung putra kesayangannya.
“Kenapa tidak Mukhlas saja sendiri yang antar pesanan?” tanya Bimo.
“Kenapa memangnya?”
“Yaaa, tidak apa-apa.”
“Sudahlah Bim, turutin saja apa kata ibumu, toh tidak ada ruginya. Lagipula dari pulang kemarin kamu kan belum keluar rumah sama sekali.”
“Waktu antar bapak klinik?”
“Yah, itu kan ke klinik. Mana hujan lebat lagi. Disana kan tidak ada yang bisa kamu temui.”
“Maksud bapak?’
“Sudahlah, itung-itung kamu jalan-jalan sambil lihat desa ini. Lihat itu, si Mukhlas sudah selesai memasukkan karung-karung jagung dan kacang tanah kedalam mobil,” kata Pak Said sambil tersenyum. Bimo berjalan ke mobil, dimana Mukhlas, salah seorang karyawan Pak Said, sudah siap untuk pergi.
 “Ini, kunci mobilnya, Mas Bimo.” Mukhlas menyerahkan kunci mobil kepada Bimo.
***
“Khlas, memangnya siapa yang biasa antar barang-barang pesanan?” tanya Bimo sambil menyetir mobil kepada Mukhlas yang duduk disampingnya, ketika mobil sudah berjalan.
“Biasanya aku, Mas.”
“Sendirian?”
“Kadang sendirian, kadang berdua. Kenapa memangnya, Mas?”
“Tidak apa-apa. Cuma aneh saja, kenapa tiba-tiba ibu menyuruh aku yang antar pesanan.”  Mukhlas tersenyum. “Kenapa kamu tersenyum?”
“Tidak apa-apa Mas. Mungkin Bu Said sengaja.”
“Sengaja untuk apa?”
“Sengaja menyuruh Mas Bimo ke rumahnya Pak Haji Suryo supaya ketemu sama Mbak Ratna.”
“Ratna? Siapa Ratna?” tanya Bimo keheranan.
“Anaknya Pak Haji Suryo. Orangnya cantik lho Mas. Bidan.”
Bimo menghela nafas, kini dia tahu mengapa ibunya dengan setengah memaksa menyuruhnya mengantar pesanan Pak Haji Suryo. “Kok kamu tahu?”
“Ya tahu dong Mas, kan sering antar barang ke rumahnya Pak Haji Suryo.”
“Kamu kenal sama anaknya itu?”
“Yaa, kenal sepintas lalu saja. Tapi bener lho Mas, orangnya cantik!”
“Kamu suka, Khlas?” Bimo bertanya sambil tersenyum.
            “Wah, Mas Bimo ini ada-ada saja. Mana berani orang seperti aku suka sama anaknya Pak Haji Suryo. Levelnya sudah beda. Yang pantas buat anaknya Pak Haji Suryo itu, ya yang seperti Mas Bimo ini.”
“Memangnya seperti apa? Semua orang kan sama saja.”
“Ya memang sih, semua orang adalah sama, dimata Tuhan. Tapi dimata manusia?” Mukhlas mengangkat kedua bahunya. Bimo terdiam mendengar perkataan Mukhlas, tiba-tiba bayangan Bayu, Khaerani, Ibunya Bayu, dirinya dan Bu Said berkelebat di pikirannya. “Khaerani!” Bimo tiba-tiba bergumam lirih.
“Ada apa Mas?” tanya Mukhlas.
“Ah, tidak ada apa-apa.” Bimo tersenyum, kemudian kembali dia teringat pada sosok Khaerani. “Bagaimana keadaan dia sekarang ya?” Kenapa aku tidak tanya nomor telephonnya ke Mutiara, dia pasti tahu nomor telephon baru Khaerani,” pikirnya.
***
“Munir!” Bu Said memanggil salah satu karyawannya. Laki-laki yang dipanggil dengan nama Munir berlari dari tempat penjemuran jagung menuju ke rumah sebelahnya menemui Bu Said yang sedang berdiri di depan pintu.
“Ya Bu, ada apa?”
“Kamu sedang apa, Nir?”
“Jemur jagung, Bu.”
“Setelah kamu selesai menjemur jagung, tolong ke rumahnya Pak Suseno ambil ayam-ayam pesanan ibu. Kamu tinggal ambil saja, semuanya sudah dibayar.”
            “Ya Bu.” Munir kemudian kembali ke tempat penjemuran jagung dan melanjutkan pekerjaannya sedangkan Bu Said kembali masuk ke dalam rumah.

“Mau kemana Gas?” tanya Bu Said ketika melihat Bagas keluar dari kamarnya.
“Cari gambar yang bagus, Bu Lek,” jawab Bagas sambil memperlihatkan kamera yang dipegangnya.
 “Hati-hati, jangan sampai nyasar, kamu kan belum tahu benar desa ini. Terus, kalau langit sudah kelihatan mendung, kamu lebih baik langsung pulang saja, kamu lihat sendiri kan, bagaimana hujan kemarin?”
“Iya Bu Lek.”
Bagas melangkah keluar rumah, bermaksud menemui Pak Said yang berada di tempat usahanya. Di dekat penjemuran melihat Munir yang sedang menghidupkan sepeda motor. “Mas Munir!” panggilnya.
“Ada apa, Mas Bagas?”
“Mas Munir mau kemana?”
“Disuruh Bu Said ambil ayam-ayam pesanannya di rumahnya Pak Suseno.”
“Pak Suseno?” Bagas mengernyitkan dahinya.
“Itu lho Mas, bapaknya Rani, temannya Mbak Mutiara yang suka kesini, beli kacang hijau.” Bagas terdiam. “Kalau begitu, saya pergi dulu Mas, takut dimarahin sama Bu Said.”
“Aku ikut, Mas Munir!”
“Ikut ambil ayam?”
 Bagas tertawa. “Tidak, sekalian saja, nanti aku turun di jalan.”
“Monggo saja, Mas.”
Bagas kemudian membonceng sepeda Munir dan melupakan niatnya untuk menemui Pak Said.
***
“Tadi Pak Haji Suryo kelihatannya sangat senang sekali melihat Mas Bimo,” kata Mukhlas ketika dalam perjalanan pulang dari rumah Pak Haji Suryo. Bimo yang sedang menyetir mobil tersenyum. “Jangan-jangan memang Mas Bimo, mau dijadikan menantu sama Pak Haji Suryo.” Mukhlas tertawa.
“Ah, kamu bisa saja Khlas.”
“Tapi sayang, Mbak Ratnanya tidak ada di rumah. Mas Bimo pasti penasaran sama Mbak Ratna yang aku ceritakan.”
 Bimo kembali tertawa, “tadi sempat lihat fotonya di rumah Pak Haji Suryo.”
“Menurut Mas Bimo, bagaimana? Cantikkan fotonya?”
“Ya begitulah, hanya orang bodoh yang bilang dia jelek.”
“Fotonya saja sudah kelihatan cantik, bagaimana aslinya. Mas Bimo pasti bisa membayangkannya.”
“Ah, kamu ada-ada saja, Khlas.” Bimo kemudian mengingat bagaimana sikap Pak dan Bu Haji Suryo yang begitu baik dan perhatian terhadap dirinya. Membuat keyakinannya semakin bertambah akan apa yang sebenarnya direncanakan oleh kedua orang tuanya. “Ini pasti rencana ibu!” pikirnya.
“Mas Bimo!” suara Mukhlas membuyarkan lamunannya.
“Ada apa, Khlas!”
“Sepertinya, tadi yang barusan lewat naik motor, si Munir sama Mas Bagas!”
“Bagas?” Bimo mengernyitkan dahinya.
“Iya Mas.”
Bimo menekan pedal gas mobilnya untuk sampai ke pertigaan. “Kemana mereka?”
“Ke arah kiri, Mas.” Mukhlas menunjuk sepeda motor yang berjalan menjauh.
“Iya bener, itu Bagas. Mereka mau kemana ya?”
“Wah, kurang tahu, Mas. Mas Bimo mau menyusul mereka?”


Bimo menggeleng, “nanti kamu dicari sama ibu!”
Mukhlas tertawa. “Mas Bimo tahu saja bagaimana sikap Bu Said.”
Bimo tersenyum kemudian membelokkan mobilnya ke arah kanan.“Bagas sering jalan-jalan keliling desa ini, ya Khlas?”
“Hampir setiap hari, Mas.”
“Setiap hari?!”
“Iya. Pernah saya mengantarkan Mas Bagas ke suatu tempat.”
“Kemana?”
“Mas Bagas minta diantar ke tempat yang mempunyai pemandangan bagus.”
“Selain sama kamu, Bagas biasanya jalan sama siapa?”
“Kalau Mbak Mutiara libur, ya sama Mbak Mutiara. Tapi kebanyakan Mas Bagas jalan sendiri.”
“Bagas kenal orang-orang desa sini?”
“Ada beberapa. Salah satunya Rani, temennya Mas Bimo dan Mbak Mutiara itu. Bahkan saya pernah melihat Mas Bagas jalan dengan Rani.”
“Jalan berdua?”
Mukhlas mengangguk. “Tapi aku juga tidak tahu mereka sengaja jalan atau kebetulan ketemu di jalan.”
“Dimana kamu melihat mereka?” tanya Bimo penasaran.
“Di jalan, tapi ada yang cerita kalau Mas Bagas pernah main ke rumahnya Rani.”
“Ke rumah Rani? Mau apa?”
“Wah, kalau itu mana aku tahu, Mas. Itu juga katanya. Memangnya ada apa Mas Bimo?”
“Ah, tidak ada apa-apa. Aku cuma tanya.”
***
“Mas, Mas Munir! Aku turun disini saja!” Bagas menepuk punggung Munir. Karyawan Pak Said itu segera mengurangi gas dan mengerem sepeda motornya.
“Disini, Mas Bagas?”
“Iya.” Bagas turun dari sepeda motor sambil membenarkan letak tas yang berisi kamera dibahunya.
 “Pulangnya bagaimana, Mas?”
“Gampang, aku sudah tahu sebagian jalan desa ini. Tidak bakalan nyasar.”
“Ya sudah kalau begitu, aku jalan dulu ya Mas.”
Bagas mengangguk sambil tersenyum. Munir segera melajukan sepeda motornya kembali. Bagas melihat kepergian Munir dengan senyum kecil tersungging di bibirnya. “Maafkan aku, Mas Munir. Kalau aku ikut Mas Munir sampai ke rumah Khaerani, pasti Mas Munir bakalan cerita sama Bu Said, bisa repot nanti.” Kemenakan Bu Said itu kemudian berjalan menyusuri jalan sambil sesekali mengambil gambar dengan kameranya ketika melihat objek yang dianggapnya menarik.
***
“Eeeh Mas Munir, mau ambil ayam-ayam pesanannya Bu Said ya?” kata Mak Lela ketika membuka pintu depan.
“Iya, Mak.”
“Ayo, silakan masuk.“
“Pak Suseno nya mana Mak?”
“Bapak setelah pulang dari sawah tadi, pergi ke rumahnya Pak Sanusi, beli pakan ayam.”
“Mbak Rani?”

“Ada di belakang, sedang bikin kue.” Mak Lela menyuruh Munir untuk langsung ke belakang.
“Siang Mbak Rani,” sapa Munir ketika bertemu dengan Khaerani.
 “Eh, Mas Munir. Mau ambil ayamnya Bu Said?” Munir mengangguk sambil tersenyum. “Mas Munir sendirian?”
“Iya Mbak.”
“Tidak susah bawa ayam-ayamnya?”
“Tenang saja Mbak, sudah terbiasa bawa ayam dalam jumlah banyak. Ini kan cuma empat ekor, kecil Mbak.” Munir menjentikkan jarinya sambil tersenyum.
Khaerani tersenyum, “Mas Munir bisa saja.”
Mak Lela mengantarkan Munir ke kandang ayam, dan mengambilkan ayam-ayam pesanannya. Setelah itu Munir pun langsung pamit pulang.
“Tidak minum dulu, Mas Munir?” tanya Khaerani.
“Tidak Mbak, terima kasih. Ditunggu sama Bu Said, nanti kalau kelamaan kena marah lagi. Mbak Rani tahu sendiri bagaimana Bu Said itu,” kata Munir sambil tersenyum.
***
“Wah, Mas Munir sudah balik.” Bagas keluar dari balik pohon besar di tepi jalan, setelah melihat Munir melintas. Setelah itu dia berjalan ke arah darimana Munir datang.
***
Terdengar suara ketukan pintu dari arah depan. “Siapa yang ketuk pintu, Mak? Mas Munir balik lagi?” tanya Khaerani.
“Jangan-jangan Mas Munir ketinggalan sesuatu,” jawab Mak Lela.
“Ayam yang dibawanya empat ekor kan, Mak? Tidak ada yang ketinggalan?”
“Bener Mbak, wong saya yang ambil sendiri dari kandang.”
“Kenapa balik lagi ya?”
“Tapi, saya tidak mendengar suara motornya.”
“Ya sudah, biar aku saja yang ke depan, Mak Lela yang nerusin bikin kue ini.” Khaerani bangkit dari duduknya dan berjalan ke pintu depan. “Ya, tunggu sebentar,” katanya ketika mendengar kembali pintu depan yang diketuk-ketuk. “Bagas!” katanya dengan nada terkejut setelah membuka pintu.
“Bagaimana keadaanmu, Ran?”
“Ba-baik. Ada apa yah? Mau ambil ayam-ayam pesanannya Bu Said? Tapi baru saja diambil Mas Munir.”
Bagas tertawa, “tidak, aku datang tidak ada hubungannya dengan ayam-ayamnya Bu Said.”
“Lho! Terus ada apa ya? Mau ambil kue-kue pesanannya Mutiara? Kalau itu belum jadi. Soalnya kata Mutiara baru besok pagi diambil.”
Bagas kembali tertawa, “tidak juga, aku malah tidak tahu menahu tentang kue-kue pesanannya Mutiara.”
“Terus, ada apa kesini?”
“Mau ketemu kamu.”
“Aku!”
“Kenapa? Tidak boleh?”
“Siapa yang datang Mbak Rani? Mas Munir lagi?” terdengar suara Mak Lela dari arah belakang.
“Bukan Mak!” jawab Khaerani.
“Siapa?”
“Bukan siapa-siapa!” kata Khaerani, “ada apa mau ketemu aku?!”


“Aku tidak dipersilakan duduk?”
“Oh iya, silakan masuk, dan monggo, silakan duduk!”
“Nah, begitu dong,” kata Bagas sambil duduk.
“Ada apa?!” tanya Khaerani setelah mereka berdua duduk.
“Bagaimana keadaan kamu, Ran? Kamu kelihatan pucat.”
“Aku baik-baik saja.”
“Luka kamu?”
“Luka kecil, tidak apa-apa, sudah diobati.” Khaerani memperlihatkan luka yang diplester di pergelangan tangan kanannya kepada Bagas
“Tidak infeksi kan?” Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Sebenarnya, bagaimana peristiwa kemarin itu?”
“Kemarin mencoba menolong Amir dan temennya yang hampir hanyut dan tenggelam di saluran irigasi. Itu saja!”
“Amir!” Bagas mengernyitkan dahi. “Tapi, yang kemarin kamu bawa cuma satu anak. Amir sendiri, bagaimana?” Khaerani menghela nafas, kemudian menceritakan secara singkat apa yang terjadi kemarin di saluran irigasi.
“Jadi, sekarang Amir sakit?” tanya Bagas setelah mendengar cerita Khaerani.
“Semalam demam. Hari ini dia tidak masuk sekolah, ijin. Tapi sekarang sudah mendingan.”
“Kamu sendiri, Ran?”
“Seperti yang kamu lihat sekarang. Aku baik-baik saja.”
Tiba-tiba Bagas mencondongkan badannya kearah Khaerani, tangannya memegang dahi gadis itu. Khaerani sontak terkejut, berusaha menghindar tapi terlambat, tangan Bagas sudah berada didahinya. “Badan kamu masih terasa hangat. Kamu belum sembuh betul.”
“Aku baik-baik saja!”
“Lebih baik kamu istirahat saja dulu. Sekarang kamu sedang apa?”
“Bikin kue pesanannya Mutiara.”
“Apa tidak bisa ditunda? Badan kamu masih terasa hangat.”
“Besok pagi-pagi, kue-kue itu harus sudah jadi, dan diambil Mutiara.”
Bagas menghela nafas, tidak tahu harus berkata apalagi, dia tahu benar, besok adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Mutiara, sepupunya, dimana keluarga Bhisma, pacarnya akan datang, bersilaturahmi dengan keluarga Pak Said.
“Tapi, kerjaannya tidak terlalu berat kan?”
Khaerani tertawa kecil, “ya tidak lah, memangnya kerja nyangkul di sawah?”
Bagas tertawa, “kamu sudah minum obat?”
“Sudah.”
“Kamu yakin, tidak apa-apa? Tidak perlu ke dokter?”
“Aku baik-baik saja. Sehat wal’afiat!”
Bagas menghela nafas dalam-dalam. “Aku ikut lega dan tidak kuatir lagi kalau kamu memang tidak apa-apa.”
“Kuatir? Bagas mengkuatirkan aku?” benak Khaerani.
“Baiklah kalu begitu aku pamit dulu. Tapi sebelumnya, boleh tidak, kalau aku menjenguk Amir?”
“Kenapa tidak? Tapi aku tidak tahu, mungkin sekarang Amir sedang istirahat.”
“Tidak apa-apa. Tapi ada bapak dan ibunya kan?”
“Ibunya ada, kalau bapaknya, Mas Pram sepertinya belum pulang. Masih di sawah.”
Bagas bangkit dari duduknya, begitu juga dengan Khaerani dan berjalan menuju pintu. Tapi belum tiga langkah, tiba-tiba muncul Mak Lela di pintu. “Lho, kok tamunya sudah mau pulang. Kan belum dibuatkan minuman.”
Bagas tersenyum kepada Mak Lela. “Wah, tidak usah repot-repot, Mak. Saya cuma mampir sebentar saja.”
“Lha, sekarang mau kemana?”
“Mau ke tempat Amir.”
“Aku tinggal sebentar ya, Mak,” kata Khaerani.
“Mari Mak,” kata Bagas.
“Oh ya, monggo.”
Bagas dan Khaerani berjalan ke rumah Amir. “Kenapa waktu itu kamu tidak teriak minta tolong, Ran?”
“Bagaimana mau teriak, hujan deras begitu, tidak ada orang sama sekali. Lagipula, aku panik, tidak pikir panjang, hanya satu yang di otakku waktu itu, bagaimana caranya menolong Amir dan temannya.”
Bagas tersnyum mendengar jawaban Khaerani. Mereka berdua tiba di rumah Amir, di ruang depan ada Kharisma, ibunya Amir dan Maryam yang sedang sibuk menjahit. Kharisma menyambut Bagas dengan senang hati. “Wah, Amir nya sedang tidur, setelah dia minum obat demam.”
“Tidak apa-apa, Mbak. Tapi Amir baik-baik saja, kan?”
“Amir baik-baik saja,” jawab Kharisma sambil tersenyum.
Setelah berbincang sebentar dengan Kharisma dan menitipkan salam untuk Amir, Bagas memohon pamit untuk pergi. “Saya pamit dulu, Mbak Risma, Mbak Maryam,” kata Bagas.
“Aku juga pulang dulu, Mbak. Mau menyelesaikan kue-kue pesanannya Mutiara.”
Bagas dan Kharani keluar dari rumah Kharisma. “Aku pulang dulu, Ran. Oh iya, apa Bimo sudah menemuimu?” tanya Bagas tiba-tiba.
“Kenapa memangnya?” tanya Khaerani heran.
“Dia kan teman kamu dan tahu kalau kamu itu habis terkena musibah! Seharusnya dia itu menjenguk kamu!”
Khaerani tersenyum. “Tidak ada keharusan! Akunya juga tidak apa-apa!”
Bagas menghela nafas dalam-dalam. Dan kemudian pamit pergi. Beberapa saat setelah kepergiannya sebuah suara sepeda motor masuk ke halaman rumah Khaerani.
“Riena!” kata Khaerani.
“Hai, Ran!” sapa Riena sambil turun dari sepeda motornya.
“Darimana Rien?”
“Dari rumah.”
“Tidak ke toko?”
Riena mempunyai sebuah toko sembako yang cukup besar di pasar. “Ada Mas Saiful, Suamiku. Aku mau belanja barang ke kecamatan, tapi mampir dulu ke rumahmu. Bagaimana keadaan kamu, Ran?”
“Yuyun pasti sudah cerita sama kamu ya? Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja. Yaa, walaupun semalam agak demam sedikit.”
Keduanya kemudian duduk di balai-balai Bapak. 
“Tangan dan kaki kamu luka Ran?” Riena memperhatikan pergelangan tangan kanan dan kaki Khaerani yang berplester.
“Tidak apa-apa, cuma luka kecil.”
“Yuyun sudah cerita sebagian, tapi aku ingin mendengar kejadian selengkapnya  dari kamu, Ran,“ kata Riena penasaran. Khaerani kemudian menceritakan kembali peristiwa yang terjadi ditambah dengan cerita dari Amir. “Keadaan Amir bagaimana?”
“Dia baik-baik saja. Cuma semalam demam. Sekarang anaknya sedang tidur setelah diberi obat oleh ibunya.”
“Yuyun juga cerita kalau orang tua Alfiyan sebaiknya tidak tahu kalau kamu yang menolong anaknya. Benar begitu?” Khaerani mengangguk. Riena menghela nafas panjang, dia sangat tahu bagaimana sikap Rosma, ibu Alfiyan terhadap temannya tersebut.  “Oh ya Ran, tadi aku berpapasan dengan laki-laki. Siapa dia? Sepertinya, aku pernah melihatnya, tapi dimana ya? Jangan-jangan dia adalah laki-laki yang diceritakan Yuyun, yang bersama Bimo, mengantar Pak Said ke klinik?”
“Memangnya Yuyun cerita apa?”
Riena tertawa, “katanya ada cowok ganteng di klinik bareng Bimo mengantar Pak Said.” Khaerani terdiam. “Kok, kamu diam? Jangan-jangan bener ya?” Khaerani mengangguk. “Kamu kenal dia?”
“Dia sepupunya Bimo, kamu juga pernah ketemu dihajatan Pak Lurah.”
“Oh iya, aku ingat sekarang. Wah, perhatian sekali dia sama kamu, ya Ran?” kata Riena tersenyum sedangkan Khaerani diam tidak tahu harus berkomentar apa. Bagaimana pun dia mengakui kalau Bagas cukup perhatian dengan dirinya. Dan hal itu membuatnya senang.
“Syukurlah kalau kamu aik-baik saja. Ya sudah, Ran. Aku mau ke ke kecamatan dulu. Salam buat Amir, Mbak Risma dan Mas Pram!” Riena berbisik kepada Khaerani ketika menyebut nama Pram. Khaerani hanya tersenyum.

(Masih lanjut yaaa.....ke Bagian 15)
***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"