SANDYAKALA (Bagian 14)
14 Antar barang
“Bimo.” Bu Said mengetuk kamar Bimo.
“Iya Bu,” jawab Bimo dari dalam kamar.
“Ibu mau bicara sebentar.”
Pintu kamar terbuka. “Ada apa Bu?”
“Kamu hari ini libur, kan?”
“Iya Bu. Memangnya kenapa?
“Hari ini kamu bisa mengantar jagung dan
kacang tanah ke Pak Haji Suryo?”
“Sekarang?”
“Iya. Baru saja Pak Haji Suryo telephon,
tanya kapan pesanannnya dikirim.”
“Baik. Bimo ganti baju dulu. Tapi aku
tidak tahu rumah Pak Haji Suryo.”
“Nanti kamu ditemenin si Mukhlas.”
“Mukhlasnya mana?”
“Sedang memasukkan barang-barang pesanan
ke dalam mobil.”
Bu Said kemudian pergi. Bimo sendiri
kembali masuk kedalam kamar untuk berganti pakaian dan mematikan laptopnya.
Setelah itu langsung keluar kamar dan mengetuk kamar Bagas yang berada di
sebelah kamarnya. “Bagas. Kamu ikut aku tidak?” tanya Bimo sambil membuka pintu
kamar sepupunya.
“Kemana?”
jawab Bagas yang sedang duduk mengetik di laptopnya.
“Antar pesanan ke langganannya bapak?”
“Sekarang?” Bimo mengangguk. “Kalau
sekarang aku tidak bisa. Aku harus menyelesaikan tulisanku dan harus aku e-mail
hari ini juga.”
“Ini kan hari Sabtu, Gas. Tidak libur?”
“Aku bukan orang kantoran sperti kamu,
Bim, yang sabtu dan minggu pasti libur,” jawab Bagas sambil tersenyum.
“Ya sudah kalau begitu.” Bimo melangkah
keluar kamar Bagas.
“Oh iya Bim.”
“Apa!”
“Barang pesanannya langsung diantar ke
alamat yang dimaksud ya, jangan nyasar ke tempat lain!” Bagas tertawa.
“Maksud kamu!”
“Yaaaa, sapa tahu kamu nyasar ke tempat
lain.”
“Memangnya kamu yang suka nyasar ke
tempat orang!” Bimo keluar kamar Bagas sambil tertawa.
“Kemana Bim?” tanya Pak Said ketika
berpapasan dengan Bimo di pintu depan.
“Lho, katanya disuruh antar jagung dan
kacang tanah ke rumah Pak Haji Suryo?”
“Oh iya, Bapak lupa,” jawab Pak Said
sambil tersenyum dan menepuk punggung putra kesayangannya.
“Kenapa tidak Mukhlas saja sendiri yang
antar pesanan?” tanya Bimo.
“Kenapa memangnya?”
“Yaaa, tidak apa-apa.”
“Sudahlah Bim, turutin saja apa kata
ibumu, toh tidak ada ruginya. Lagipula dari pulang kemarin kamu kan belum
keluar rumah sama sekali.”
“Waktu antar bapak klinik?”
“Yah, itu kan ke klinik. Mana hujan
lebat lagi. Disana kan tidak ada yang bisa kamu temui.”
“Maksud bapak?’
“Sudahlah, itung-itung kamu jalan-jalan
sambil lihat desa ini. Lihat itu, si Mukhlas sudah selesai memasukkan
karung-karung jagung dan kacang tanah kedalam mobil,” kata Pak Said sambil
tersenyum. Bimo berjalan ke mobil, dimana Mukhlas, salah seorang karyawan Pak
Said, sudah siap untuk pergi.
“Ini,
kunci mobilnya, Mas Bimo.” Mukhlas menyerahkan kunci mobil kepada Bimo.
***
“Khlas, memangnya siapa yang biasa antar
barang-barang pesanan?” tanya Bimo sambil menyetir mobil kepada Mukhlas yang
duduk disampingnya, ketika mobil sudah berjalan.
“Biasanya aku, Mas.”
“Sendirian?”
“Kadang sendirian, kadang berdua. Kenapa
memangnya, Mas?”
“Tidak apa-apa. Cuma aneh saja, kenapa
tiba-tiba ibu menyuruh aku yang antar pesanan.” Mukhlas tersenyum. “Kenapa kamu tersenyum?”
“Tidak apa-apa Mas. Mungkin Bu Said sengaja.”
“Sengaja untuk apa?”
“Sengaja menyuruh Mas Bimo ke rumahnya
Pak Haji Suryo supaya ketemu sama Mbak Ratna.”
“Ratna? Siapa Ratna?” tanya Bimo
keheranan.
“Anaknya Pak Haji Suryo. Orangnya cantik
lho Mas. Bidan.”
Bimo menghela nafas, kini dia tahu mengapa
ibunya dengan setengah memaksa menyuruhnya mengantar pesanan Pak Haji Suryo. “Kok
kamu tahu?”
“Ya tahu dong Mas, kan sering antar
barang ke rumahnya Pak Haji Suryo.”
“Kamu kenal sama anaknya itu?”
“Yaa, kenal sepintas lalu saja. Tapi
bener lho Mas, orangnya cantik!”
“Kamu suka, Khlas?” Bimo bertanya sambil
tersenyum.
“Wah, Mas Bimo ini ada-ada saja.
Mana berani orang seperti aku suka sama anaknya Pak Haji Suryo. Levelnya sudah
beda. Yang pantas buat anaknya Pak Haji Suryo itu, ya yang seperti Mas Bimo
ini.”
“Memangnya seperti apa? Semua orang kan
sama saja.”
“Ya memang sih, semua orang adalah sama,
dimata Tuhan. Tapi dimata manusia?” Mukhlas mengangkat kedua bahunya. Bimo
terdiam mendengar perkataan Mukhlas, tiba-tiba bayangan Bayu, Khaerani, Ibunya
Bayu, dirinya dan Bu Said berkelebat di pikirannya. “Khaerani!” Bimo tiba-tiba bergumam
lirih.
“Ada apa Mas?” tanya Mukhlas.
“Ah, tidak ada apa-apa.” Bimo tersenyum,
kemudian kembali dia teringat pada sosok Khaerani. “Bagaimana keadaan dia
sekarang ya?” Kenapa aku tidak tanya nomor telephonnya ke Mutiara, dia pasti tahu
nomor telephon baru Khaerani,” pikirnya.
***
“Munir!” Bu Said memanggil salah satu
karyawannya. Laki-laki yang dipanggil dengan nama Munir berlari dari tempat
penjemuran jagung menuju ke rumah sebelahnya menemui Bu Said yang sedang
berdiri di depan pintu.
“Ya Bu, ada apa?”
“Kamu sedang apa, Nir?”
“Jemur jagung, Bu.”
“Setelah kamu selesai menjemur jagung,
tolong ke rumahnya Pak Suseno ambil ayam-ayam pesanan ibu. Kamu tinggal ambil
saja, semuanya sudah dibayar.”
“Ya Bu.” Munir kemudian kembali ke tempat penjemuran jagung dan melanjutkan pekerjaannya sedangkan Bu Said kembali masuk ke dalam rumah.
“Ya Bu.” Munir kemudian kembali ke tempat penjemuran jagung dan melanjutkan pekerjaannya sedangkan Bu Said kembali masuk ke dalam rumah.
“Mau kemana Gas?” tanya Bu Said ketika
melihat Bagas keluar dari kamarnya.
“Cari gambar yang bagus, Bu Lek,” jawab
Bagas sambil memperlihatkan kamera yang dipegangnya.
“Hati-hati,
jangan sampai nyasar, kamu kan belum tahu benar desa ini. Terus, kalau langit
sudah kelihatan mendung, kamu lebih baik langsung pulang saja, kamu lihat
sendiri kan, bagaimana hujan kemarin?”
“Iya Bu Lek.”
Bagas melangkah keluar rumah, bermaksud
menemui Pak Said yang berada di tempat usahanya. Di dekat penjemuran melihat
Munir yang sedang menghidupkan sepeda motor. “Mas Munir!” panggilnya.
“Ada apa, Mas Bagas?”
“Mas Munir mau kemana?”
“Disuruh Bu Said ambil ayam-ayam
pesanannya di rumahnya Pak Suseno.”
“Pak Suseno?” Bagas mengernyitkan
dahinya.
“Itu lho Mas, bapaknya Rani, temannya
Mbak Mutiara yang suka kesini, beli kacang hijau.” Bagas terdiam. “Kalau
begitu, saya pergi dulu Mas, takut dimarahin sama Bu Said.”
“Aku ikut, Mas Munir!”
“Ikut ambil ayam?”
Bagas
tertawa. “Tidak, sekalian saja, nanti aku turun di jalan.”
“Monggo saja, Mas.”
Bagas kemudian membonceng sepeda Munir
dan melupakan niatnya untuk menemui Pak Said.
***
“Tadi Pak Haji Suryo kelihatannya sangat
senang sekali melihat Mas Bimo,” kata Mukhlas ketika dalam perjalanan pulang
dari rumah Pak Haji Suryo. Bimo yang sedang menyetir mobil tersenyum. “Jangan-jangan
memang Mas Bimo, mau dijadikan menantu sama Pak Haji Suryo.” Mukhlas tertawa.
“Ah, kamu bisa saja Khlas.”
“Tapi sayang, Mbak Ratnanya tidak ada di
rumah. Mas Bimo pasti penasaran sama Mbak Ratna yang aku ceritakan.”
Bimo
kembali tertawa, “tadi sempat lihat fotonya di rumah Pak Haji Suryo.”
“Menurut Mas Bimo, bagaimana? Cantikkan
fotonya?”
“Ya begitulah, hanya orang bodoh yang
bilang dia jelek.”
“Fotonya saja sudah kelihatan cantik,
bagaimana aslinya. Mas Bimo pasti bisa membayangkannya.”
“Ah, kamu ada-ada saja, Khlas.” Bimo
kemudian mengingat bagaimana sikap Pak dan Bu Haji Suryo yang begitu baik dan
perhatian terhadap dirinya. Membuat keyakinannya semakin bertambah akan apa
yang sebenarnya direncanakan oleh kedua orang tuanya. “Ini pasti rencana ibu!” pikirnya.
“Mas Bimo!” suara Mukhlas membuyarkan
lamunannya.
“Ada apa, Khlas!”
“Sepertinya, tadi yang barusan lewat
naik motor, si Munir sama Mas Bagas!”
“Bagas?” Bimo mengernyitkan dahinya.
“Iya Mas.”
Bimo menekan pedal gas mobilnya untuk
sampai ke pertigaan. “Kemana mereka?”
“Ke arah kiri, Mas.” Mukhlas menunjuk
sepeda motor yang berjalan menjauh.
“Iya bener, itu Bagas. Mereka mau kemana
ya?”
“Wah, kurang tahu, Mas. Mas Bimo mau
menyusul mereka?”
Bimo menggeleng, “nanti kamu dicari sama
ibu!”
Mukhlas tertawa. “Mas Bimo tahu saja
bagaimana sikap Bu Said.”
Bimo tersenyum kemudian membelokkan
mobilnya ke arah kanan.“Bagas sering jalan-jalan keliling desa ini, ya Khlas?”
“Hampir setiap hari, Mas.”
“Setiap hari?!”
“Iya. Pernah saya mengantarkan Mas Bagas
ke suatu tempat.”
“Kemana?”
“Mas Bagas minta diantar ke tempat yang
mempunyai pemandangan bagus.”
“Selain sama kamu, Bagas biasanya jalan
sama siapa?”
“Kalau Mbak Mutiara libur, ya sama Mbak
Mutiara. Tapi kebanyakan Mas Bagas jalan sendiri.”
“Bagas kenal orang-orang desa sini?”
“Ada beberapa. Salah satunya Rani, temennya
Mas Bimo dan Mbak Mutiara itu. Bahkan saya pernah melihat Mas Bagas jalan
dengan Rani.”
“Jalan berdua?”
Mukhlas mengangguk. “Tapi aku juga tidak
tahu mereka sengaja jalan atau kebetulan ketemu di jalan.”
“Dimana kamu melihat mereka?” tanya Bimo
penasaran.
“Di jalan, tapi ada yang cerita kalau
Mas Bagas pernah main ke rumahnya Rani.”
“Ke rumah Rani? Mau apa?”
“Wah, kalau itu mana aku tahu, Mas. Itu
juga katanya. Memangnya ada apa Mas Bimo?”
“Ah, tidak ada apa-apa. Aku cuma tanya.”
***
“Mas, Mas Munir! Aku turun disini saja!”
Bagas menepuk punggung Munir. Karyawan Pak Said itu segera mengurangi gas dan
mengerem sepeda motornya.
“Disini, Mas Bagas?”
“Iya.” Bagas turun dari sepeda motor
sambil membenarkan letak tas yang berisi kamera dibahunya.
“Pulangnya
bagaimana, Mas?”
“Gampang, aku sudah tahu sebagian jalan
desa ini. Tidak bakalan nyasar.”
“Ya sudah kalau begitu, aku jalan dulu
ya Mas.”
Bagas mengangguk sambil tersenyum. Munir
segera melajukan sepeda motornya kembali. Bagas melihat kepergian Munir dengan
senyum kecil tersungging di bibirnya. “Maafkan aku, Mas Munir. Kalau aku ikut
Mas Munir sampai ke rumah Khaerani, pasti Mas Munir bakalan cerita sama Bu
Said, bisa repot nanti.” Kemenakan Bu Said itu kemudian berjalan menyusuri
jalan sambil sesekali mengambil gambar dengan kameranya ketika melihat objek
yang dianggapnya menarik.
***
“Eeeh Mas Munir, mau ambil ayam-ayam
pesanannya Bu Said ya?” kata Mak Lela ketika membuka pintu depan.
“Iya, Mak.”
“Ayo, silakan masuk.“
“Pak Suseno nya mana Mak?”
“Bapak setelah pulang dari sawah tadi,
pergi ke rumahnya Pak Sanusi, beli pakan ayam.”
“Mbak Rani?”
“Ada di belakang, sedang bikin kue.” Mak
Lela menyuruh Munir untuk langsung ke belakang.
“Siang Mbak Rani,” sapa Munir ketika bertemu
dengan Khaerani.
“Eh, Mas Munir. Mau ambil ayamnya Bu Said?” Munir
mengangguk sambil tersenyum. “Mas Munir sendirian?”
“Iya Mbak.”
“Tidak susah bawa ayam-ayamnya?”
“Tenang saja Mbak, sudah terbiasa bawa
ayam dalam jumlah banyak. Ini kan cuma empat ekor, kecil Mbak.” Munir menjentikkan
jarinya sambil tersenyum.
Khaerani tersenyum, “Mas Munir bisa
saja.”
Mak Lela mengantarkan Munir ke kandang
ayam, dan mengambilkan ayam-ayam pesanannya. Setelah itu Munir pun langsung
pamit pulang.
“Tidak minum dulu, Mas Munir?” tanya
Khaerani.
“Tidak Mbak, terima kasih. Ditunggu sama
Bu Said, nanti kalau kelamaan kena marah lagi. Mbak Rani tahu sendiri bagaimana
Bu Said itu,” kata Munir sambil tersenyum.
***
“Wah, Mas Munir sudah balik.” Bagas
keluar dari balik pohon besar di tepi jalan, setelah melihat Munir melintas.
Setelah itu dia berjalan ke arah darimana Munir datang.
***
Terdengar suara ketukan pintu dari arah
depan. “Siapa yang ketuk pintu, Mak? Mas Munir balik lagi?” tanya Khaerani.
“Jangan-jangan Mas Munir ketinggalan
sesuatu,” jawab Mak Lela.
“Ayam yang dibawanya empat ekor kan,
Mak? Tidak ada yang ketinggalan?”
“Bener Mbak, wong saya yang ambil
sendiri dari kandang.”
“Kenapa balik lagi ya?”
“Tapi, saya tidak mendengar suara
motornya.”
“Ya sudah, biar aku saja yang ke depan,
Mak Lela yang nerusin bikin kue ini.” Khaerani bangkit dari duduknya dan
berjalan ke pintu depan. “Ya, tunggu sebentar,” katanya ketika mendengar
kembali pintu depan yang diketuk-ketuk. “Bagas!” katanya dengan nada terkejut
setelah membuka pintu.
“Bagaimana keadaanmu, Ran?”
“Ba-baik. Ada apa yah? Mau ambil
ayam-ayam pesanannya Bu Said? Tapi baru saja diambil Mas Munir.”
Bagas tertawa, “tidak, aku datang tidak
ada hubungannya dengan ayam-ayamnya Bu Said.”
“Lho! Terus ada apa ya? Mau ambil
kue-kue pesanannya Mutiara? Kalau itu belum jadi. Soalnya kata Mutiara baru
besok pagi diambil.”
Bagas kembali tertawa, “tidak juga, aku
malah tidak tahu menahu tentang kue-kue pesanannya Mutiara.”
“Terus, ada apa kesini?”
“Mau ketemu kamu.”
“Aku!”
“Kenapa? Tidak boleh?”
“Siapa yang datang Mbak Rani? Mas Munir
lagi?” terdengar suara Mak Lela dari arah belakang.
“Bukan Mak!” jawab Khaerani.
“Siapa?”
“Bukan siapa-siapa!” kata Khaerani, “ada
apa mau ketemu aku?!”
“Aku tidak dipersilakan duduk?”
“Oh iya, silakan masuk, dan monggo, silakan
duduk!”
“Nah, begitu dong,” kata Bagas sambil
duduk.
“Ada apa?!” tanya Khaerani setelah
mereka berdua duduk.
“Bagaimana keadaan kamu, Ran? Kamu
kelihatan pucat.”
“Aku baik-baik saja.”
“Luka kamu?”
“Luka kecil, tidak apa-apa, sudah diobati.”
Khaerani memperlihatkan luka yang diplester di pergelangan tangan kanannya
kepada Bagas
“Tidak infeksi kan?” Gadis itu menggelengkan
kepalanya. “Sebenarnya, bagaimana peristiwa kemarin itu?”
“Kemarin mencoba menolong Amir dan
temennya yang hampir hanyut dan tenggelam di saluran irigasi. Itu saja!”
“Amir!” Bagas mengernyitkan dahi. “Tapi,
yang kemarin kamu bawa cuma satu anak. Amir sendiri, bagaimana?” Khaerani
menghela nafas, kemudian menceritakan secara singkat apa yang terjadi kemarin
di saluran irigasi.
“Jadi, sekarang Amir sakit?” tanya Bagas
setelah mendengar cerita Khaerani.
“Semalam demam. Hari ini dia tidak masuk
sekolah, ijin. Tapi sekarang sudah mendingan.”
“Kamu sendiri, Ran?”
“Seperti yang kamu lihat sekarang. Aku
baik-baik saja.”
Tiba-tiba Bagas mencondongkan badannya
kearah Khaerani, tangannya memegang dahi gadis itu. Khaerani sontak terkejut,
berusaha menghindar tapi terlambat, tangan Bagas sudah berada didahinya. “Badan
kamu masih terasa hangat. Kamu belum sembuh betul.”
“Aku baik-baik saja!”
“Lebih baik kamu istirahat saja dulu.
Sekarang kamu sedang apa?”
“Bikin kue pesanannya Mutiara.”
“Apa tidak bisa ditunda? Badan kamu
masih terasa hangat.”
“Besok pagi-pagi, kue-kue itu harus
sudah jadi, dan diambil Mutiara.”
Bagas menghela nafas, tidak tahu harus
berkata apalagi, dia tahu benar, besok adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh
Mutiara, sepupunya, dimana keluarga Bhisma, pacarnya akan datang,
bersilaturahmi dengan keluarga Pak Said.
“Tapi, kerjaannya tidak terlalu berat
kan?”
Khaerani tertawa kecil, “ya tidak lah,
memangnya kerja nyangkul di sawah?”
Bagas tertawa, “kamu sudah minum obat?”
“Sudah.”
“Kamu yakin, tidak apa-apa? Tidak perlu
ke dokter?”
“Aku baik-baik saja. Sehat wal’afiat!”
Bagas menghela nafas dalam-dalam. “Aku
ikut lega dan tidak kuatir lagi kalau kamu memang tidak apa-apa.”
“Kuatir? Bagas mengkuatirkan aku?” benak
Khaerani.
“Baiklah kalu begitu aku pamit dulu.
Tapi sebelumnya, boleh tidak, kalau aku menjenguk Amir?”
“Kenapa tidak? Tapi aku tidak tahu, mungkin
sekarang Amir sedang istirahat.”
“Tidak apa-apa. Tapi ada bapak dan
ibunya kan?”
“Ibunya ada, kalau bapaknya, Mas Pram sepertinya
belum pulang. Masih di sawah.”
Bagas bangkit dari duduknya, begitu juga
dengan Khaerani dan berjalan menuju pintu. Tapi belum tiga langkah, tiba-tiba muncul
Mak Lela di pintu. “Lho, kok tamunya sudah mau pulang. Kan belum dibuatkan
minuman.”
Bagas tersenyum kepada Mak Lela. “Wah, tidak
usah repot-repot, Mak. Saya cuma mampir sebentar saja.”
“Lha, sekarang mau kemana?”
“Mau ke tempat Amir.”
“Aku tinggal sebentar ya, Mak,” kata
Khaerani.
“Mari Mak,” kata Bagas.
“Oh ya, monggo.”
Bagas dan Khaerani berjalan ke rumah
Amir. “Kenapa waktu itu kamu tidak teriak minta tolong, Ran?”
“Bagaimana mau teriak, hujan deras
begitu, tidak ada orang sama sekali. Lagipula, aku panik, tidak pikir panjang,
hanya satu yang di otakku waktu itu, bagaimana caranya menolong Amir dan temannya.”
Bagas tersnyum mendengar jawaban
Khaerani. Mereka berdua tiba di rumah Amir, di ruang depan ada Kharisma, ibunya
Amir dan Maryam yang sedang sibuk menjahit. Kharisma menyambut Bagas dengan
senang hati. “Wah, Amir nya sedang tidur, setelah dia minum obat demam.”
“Tidak apa-apa, Mbak. Tapi Amir
baik-baik saja, kan?”
“Amir baik-baik saja,” jawab Kharisma
sambil tersenyum.
Setelah berbincang sebentar dengan
Kharisma dan menitipkan salam untuk Amir, Bagas memohon pamit untuk pergi. “Saya
pamit dulu, Mbak Risma, Mbak Maryam,” kata Bagas.
“Aku juga pulang dulu, Mbak. Mau
menyelesaikan kue-kue pesanannya Mutiara.”
Bagas dan Kharani keluar dari rumah
Kharisma. “Aku pulang dulu, Ran. Oh iya, apa Bimo sudah menemuimu?” tanya Bagas
tiba-tiba.
“Kenapa memangnya?” tanya Khaerani
heran.
“Dia kan teman kamu dan tahu kalau kamu
itu habis terkena musibah! Seharusnya dia itu menjenguk kamu!”
Khaerani tersenyum. “Tidak ada
keharusan! Akunya juga tidak apa-apa!”
Bagas menghela nafas dalam-dalam. Dan
kemudian pamit pergi. Beberapa saat setelah kepergiannya sebuah suara sepeda
motor masuk ke halaman rumah Khaerani.
“Riena!” kata Khaerani.
“Hai, Ran!” sapa Riena sambil turun dari
sepeda motornya.
“Darimana Rien?”
“Dari rumah.”
“Tidak ke toko?”
Riena mempunyai sebuah toko sembako yang
cukup besar di pasar. “Ada Mas Saiful, Suamiku. Aku mau belanja barang ke
kecamatan, tapi mampir dulu ke rumahmu. Bagaimana keadaan kamu, Ran?”
“Yuyun pasti sudah cerita sama kamu ya? Seperti
yang kamu lihat, aku baik-baik saja. Yaa, walaupun semalam agak demam sedikit.”
Keduanya kemudian duduk di balai-balai
Bapak.
“Tangan dan kaki kamu luka Ran?” Riena
memperhatikan pergelangan tangan kanan dan kaki Khaerani yang berplester.
“Tidak apa-apa, cuma luka kecil.”
“Yuyun sudah cerita sebagian, tapi aku
ingin mendengar kejadian selengkapnya dari
kamu, Ran,“ kata Riena penasaran. Khaerani kemudian menceritakan kembali
peristiwa yang terjadi ditambah dengan cerita dari Amir. “Keadaan Amir
bagaimana?”
“Dia baik-baik saja. Cuma semalam demam.
Sekarang anaknya sedang tidur setelah diberi obat oleh ibunya.”
“Yuyun juga cerita kalau orang tua
Alfiyan sebaiknya tidak tahu kalau kamu yang menolong anaknya. Benar begitu?” Khaerani
mengangguk. Riena menghela nafas panjang, dia sangat tahu bagaimana sikap
Rosma, ibu Alfiyan terhadap temannya tersebut. “Oh ya Ran, tadi aku berpapasan dengan
laki-laki. Siapa dia? Sepertinya, aku pernah melihatnya, tapi dimana ya? Jangan-jangan
dia adalah laki-laki yang diceritakan Yuyun, yang bersama Bimo, mengantar Pak
Said ke klinik?”
“Memangnya Yuyun cerita apa?”
Riena tertawa, “katanya ada cowok
ganteng di klinik bareng Bimo mengantar Pak Said.” Khaerani terdiam. “Kok, kamu
diam? Jangan-jangan bener ya?” Khaerani mengangguk. “Kamu kenal dia?”
“Dia sepupunya Bimo, kamu juga pernah
ketemu dihajatan Pak Lurah.”
“Oh iya, aku ingat sekarang. Wah,
perhatian sekali dia sama kamu, ya Ran?” kata Riena tersenyum sedangkan Khaerani
diam tidak tahu harus berkomentar apa. Bagaimana pun dia mengakui kalau Bagas
cukup perhatian dengan dirinya. Dan hal itu membuatnya senang.
“Syukurlah kalau kamu aik-baik saja. Ya
sudah, Ran. Aku mau ke ke kecamatan dulu. Salam buat Amir, Mbak Risma dan Mas
Pram!” Riena berbisik kepada Khaerani ketika menyebut nama Pram. Khaerani hanya
tersenyum.
(Masih lanjut yaaa.....ke Bagian 15)
***
Komentar
Posting Komentar