SANDYAKALA (Bagian 11)
11 Hanyut
“Amir belum pulang Mbak?” kata Khaerani
ketika melihat Kharisma yang sedang gelisah di depan pintu.
“Iya, Ran. Perasaan Mbak dari tadi tidak
enak, sudah siang begini Amir belum pulang.”
“Belum pulang bermain atau dari sekolah,
Mbak?”
“Pulang sekolah Amir pamit mau main sama
teman-temannya, tapi tidak mengatakan main dimana. Mana langit gelap, hujan.
Mbak takut Amir mandi di saluran irigasi lagi. Kamu lihat di bukit langitnya
gelap begitu.” Kharisma menunjuk bukit yang sudah tidak kelihatan lagi karena
tertutup awan hitam.
“Di bukit pasti sudah turun hujan lebat,”
kata Khaerani.
“Itu yang Mbak takutkan, Ran. Kamu kan
tahu sendiri, kalau di bukit turun hujan, saluran irigasi airnya bagaimana,
pintu air pasti dibuka, arusnya deras. Apalagi kalau disini turun hujan deras
begini, pasti airnya meluap.” Kakak ipar Khaerani tersebut nampak lebih gelisah
dengan perkataannya sendiri.
“Mas Pram mana?”
“Sama Bapak ke Kecamatan, menghadiri
undangan pertemuan petani.”
Khaerani nampak bingung, karena tidak
ada laki-laki lagi yang dapat dimintai tolong. “Mbak Risma jangan panik dulu. Mungkin
saja Amir tidak main disana, mungkin main di rumah temannya, karena hujan jadi tidak
berani pulang.” Khaerani berusaha menenangkan kakak iparnya.
“Mbak berharap begitu.”
“Kalau memang Amir mandi di saluran,
Amir kan jago berenang Mbak. Mbak Risma tidak usah kuatir.”
“Iya, dia memang jago berenang. Tapi,
kalau arusnya deras sekali, bagaimana? Amir masih kecil, tenaganya belum
terlalu kuat!”
Khaerani terdiam, ikut merasa bingung, “Mbak
Risma sendirian di rumah? Maryam mana?”
“Habis dzuhur tadi, dia ijin pulang, mau
nganter bapaknya ke dokter.”
“Ya sudah, Mbak Risma tenang saja, biar Rani
cari Amir.”
“Tapi, Rani, hujan deras begini,
kamu...”
“Tidak apa-apa. Aku pinjam jas hujannya Mbak
Risma.”
Kharisma mengambil jas hujan dan
menyerahkannya kepada Khaerani. “Kamu hati-hati ya, Ran. Coba, Mas Pram ada di
rumah.”
“Mbak Risma tenang saja dirumah, Amir pasti
baik-baik saja,” kata Khaerani sambil tersenyum sambil memakai jas hujan. “Aku
pergi dulu, Mbak.” Gadis itu langsung berlari menerobos hujan yang turun
lumayan lebat.
“Hati-hati!”
teriak Kharisma.
***
Khaerani terus berjalan di tengah
derasnya huajn, tujuan utamanya adalah saluran irigasi, dimana anak-anak sering
mandi dan bermain. “Hujan begini, tidak ada orang yang bisa ditanya,” pikirnya
sambil mengusap wajahnya yang basah oleh air hujan. Hujan semakin lebat ketika
Khaerani sampai di saluran irigasi yang letaknya cukup jauh dari perumahan
penduduk. Matanya dengan awas mengamati sekeliling saluran.
“Wah, air sudah naik! Tapi belum terlalu
tinggi, berarti pintu air belum dibuka sama penjaganya. Apa iya Amir main
disini?” pikirnya berharap. Terus berjalan di sepanjang saluran. Diantara
derasnya air hujan Khaerani melihat dua kepala di air saluran irigasi yang
berwarna coklat. “Itu Amir!!!” Jantung Khaerani serasa berhenti ketika
mengenali salah satu kepala anak tersebut. Kemudian berlari mendekat. “Amir!!!!
teriaknya, suaranya hilang ditelan derasnya hujan. Salah seorang anak yang
didalam air melambaikan tangannya ke arah Khaerani. Samar terdengar teriakan. “Bu
Lek!!!!!” Khaerani melihat Amir mencoba berenang sambil membawa seorang anak
laki-laki.
“Alfiyan pingsan!” teriak Amir. Tanpa
pikir panjang Khaerani melepaskan jas hujan dan sandalnya, dan menceburkan diri
ke saluran irigasi. Meraih Amir dan Alfiyan yang pingsan, dengan tanda lewat
tangannya menyuruh Amir untuk melepaskan Alfiyan dan menyuruhnya naik ke tanah.
Amir melepaskan pegangannya pada Alfiyan dan segera naik ke atas.
“Bu Lek, cepat! Air datang!” teriak Amir
dari pinggir saluran. Khaerani mempercepat gerakannya. Setelah sampai dipinggir
langsung mengangkat tubuh Alfiyan yang pingsan ke atas. “Bu Lek, cepat naik!
Air datang!” Amir kembali berteriak sambil menarik tangan Khaerani sekuat
tenaganya. Dan akhirnya berhasil naik ke tanah, dilihatnya Amir jatuh terduduk
sambil tersengal-sengal. Beberapa detik kemudian air pun datang dengan
derasnya.
“Untung saja! ”Khaerani segera
menghampiri tubuh Alfiyan yang tergeletak lemah, dan dia berusaha memberikan
pertolongan pertama. “Alfiyan, bangun...Fiyan!” teriaknnya sambil menekan dada
Alfiyan berulang-ulang, ada raut kekuatiran diwajahnya juga Amir.
“Kita
bawa Alfiyan ke bawah pohon itu Bu Lek!” Amir berteriak kearah Khaerani sambil
menunjuk sebuah pohon asam besar .
“Alfiyan bangun!” Khaerani masih
berusaha menolong Alfiyan sebelum membawanya ke bawah pohon yang ditunjuk oleh
Amir. Kemudian terdengar batuk kecil dari mulut Alfiyan. “Terima kasih Tuhan!” Khaerani
memeluk tubuh Alfiyan yang masih lemah. “Amir kamu segera pulang ke rumah. Bu
Lek mau bawa Alfiyan ke klinik!”
“Tapi Bu Lek!”
“Sudah! Kamu nurut perkataan Bu Lek!
Pake jas hujan Bu Lek!”
“Iya Bu Lek. Tapi jas hujannya biar
dipake Alfiyan saja!” Amir kemudian berlari pergi. Khaerani memakaikan jas
hujan kepada tubuh Alfiyan yang lemah, kemudian menggendongnya.
“Kamu kuat kan, Fiyan?” terdengar
jawaban lemah dari mulut Alfiyan. Khaerani menggendong Alfiyan dan berlari menuju
klinik, di tengah hujan yang masih turun dengan derasnya, dilihatnya air
saluran irigasi yang meluap dan mengalir dengan derasnya. Khaerani tidak bisa
membayangkan jika Amir dan Alfiyan masih didalam air.
***
Khaerani memasuki klinik yang nampak
sepi. Hanya ada satu mobil diparkir di halaman. Dengan menggendong Alfiyan yang
terbungkus jas hujan di punggungnya langsung menuju ke ruang periksa dokter. “Dokter!
Yuyun!” Khaerani memanggil-manggil
dokter dan Yuyun, salah seorang perawat di klinik yang juga adik Riena. Di
ruang tunggu di depan ruang periksa dokter, sekilas gadis itu melihat dua orang
laki-laki yang nampak terkejut dengan kedatangannya yang basah kuyup. Mereka
langsung berdiri, hampir bersamaan. Khaerani terkejut ketika mengenali kedua
laki-laki itu. Tapi kemudian tidak menghiraukannya, terus berlari ke ruang
periksa. “Yuyun! Dokter!”
Pintu ruang periksa dibuka dan muncul
seorang wanita berpakaian putih-putih. “Mbak Rani! Ada apa!”
Khaerani tidak menjawab, langsung masuk
kedalam ruang periksa. “Darurat Yun!”
Di dalam ada dokter Fahri yang sedang
berbicara dengan seorang pasiennya, seseorang yang juga cukup dikenal oleh
Khaerani.
“Ada apa!” dokter Fahri terkejut melihat
Khaerani yang masuk begitu saja.
“Darurat dok!” kata Khaerani sambil
membaringkan Alfiyan di ranjang periksa dan membuang jas hujan yang
dipakaikannya di lantai. “Cepat tolong Alfiyan, dok, Yun! Dia baru saja
tenggelam di saluran irigasi!” Dokter Fahri dan Yuyun dengan cepat memberi
pertolongan kepada Alfiyan yang nampak lemah.
“Rani,” sapa pasien yang baru saja
berbicara dengan dokter Fahri.
“Pak Said,” Khaerani nampak sedikit malu
ketika orang tua itu mendekatinya, dia baru sadar kalau penampilannya saat itu
tidak karuan.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Pak Said.
Belum sempat Khaerani menjawab,
dilihatnya dokter Fahri yang telah selesai memeriksa Alfiyan. “Dok, bagaimana
Alfiyan?” tanyanya pada dokter Fahri dengan nada kuatir.
“Badannya lemah sekali dan kemungkinan
banyak kemasukan air,” jawab dokter Fahri.
Khaerani mengusap wajahnya. Rasa dingin
sudah merasuk kedalam tubuhnya. Dokter Fahri kemudian mempersilakannya juga Pak
Said untuk menunggu diluar ruangan. Di
luar ruang periksa dokter, dia dan Pak Said langsung ditemui oleh dua laki-laki
yang sebelumnya diihatnya di ruang tunggu. “Rani!” kedua laki-laki itu
memanggil namanya hampir bersamaan. Salah seorang laki-laki tersebut nampak
melihat kearah laki-laki lainnya, ada gurat wajah keheranan.
Khaerani merasa malu ketika berhadapan
dengan kedua laki-laki tersebut, karena keadaanya yang berantakan basah kuyup,
apalagi disampingnya ada Pak Said. “Bimo, Bagas,” sapanya kepada dua laki-laki tersebut,
hatinya sedikit bergetar ketika melihat Bimo.
“Sebenarnya
apa yang terjadi?” tanya Bagas, dan laki-laki satunya lagi, yang tidak lain
adalah Bimo nampak masih keheranan melihat keadaannya.
“Sudah,
sudah, duduk dulu, kasihan Rani,” kata Pak Said sambil menuntun Khaerani menuju
salah satu bangku ruang tunggu. “Hujan deras begini, sebenarnya apa yang terjadi?”
tanya Pak Said dengan lembut sambil mempersilakan duduk.
“Anak itu kenapa, Ran?” tanya Bagas.
“Hanyut dan hampir tenggelam di saluran
irigasi,” jawab Khaerani.
“Kamu yang menolongnya?” tanya Bimo.
Pintu ruang periksa terbuka, Yuyun muncul.
Khaerani bangkit dari duduknya dan langsung mendekati Yuyun, disusul oleh
Bagas, sedangkan Pak Said tetap duduk. Bimo akan melakukan hal yang sama tapi
dicegah oleh Pak Said.
“Bimo, ini resep obat bapak, kamu tebus
dulu di apotik di sini.”
Bimo menerima resep dari bapaknya sambil
pandangannya tertuju kearah pintu ruang periksa dokter Fahri.
***
“Bagaimana keadaan Alfiyan, Yun?”
“Badannya lemah sekali dan agak sedikit
demam.”
“Tapi secara keseluruhan, Alfiyan tidak
apa-apa dan baik-baik saja kan?”
“Dia tidak apa-apa, hanya sedikit
lecet-lecet dan luka kecil.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Orang tua Alfiyan sudah tahu?” tanya
Yuyun.
Khaerani menggeleng. “Yun, aku boleh
minta tolong?” katanya kepada perawat itu. “Kamu kan, tetangganya Alfiyan. Kamu
bisa kasih tahu orang tuanya kan?”
“Iya, aku akan kasih kabar orang tuanya
Alfiyan,” jawab Yuyun sambil mengambil handphone dari saku bajunya.
“Yun,” Khaerani menarik tangan Yuyun
yang sedang memegang handphone.
“Ada apa, Mbak?”
“Tolong, jangan kasih tahu orang tua
Alfiyan, kalau yang membawa Fiyan ke klinik adalah aku!” Yuyun memandang wajah Khaerani
yang nampak berantakan dengan tatapan keheranan. Khaerani menggelengkan kepala,
memohon kepada Yuyun. Sementara Bagas hanya mengernyitkan dahinya, juga merasa
heran dengan permohonan Khaerani tersebut.
“Kamu mengerti kan, Yun?”
Yuyun tersenyum, “baiklah. Tapi kalau
mereka bertanya?”
“Bilang saja, ada seseorang yang
kebetulan lewat, dan menolong Alfiyan.”
“Memangnya kenapa, Ran? Tidak ada
salahnya kalau mereka tahu kalau yang menolong anaknya adalah kamu,” kata Bagas
penasaran.
“Tidak
apa-apa,” jawab Khaerani. “Kalau begitu aku pergi dulu, Yun. Aku titipkan
Alfiyan sama kamu dan dokter Fahri.”
“Baiklah. Terima kasih telah menolong
Alfiyan,” kata Yuyun. Khaerani tersenyum, kemudian berbalik dan berjalan menuju
pintu keluar.
“Kamu mau kemana Ran?” tanya Bagas.
“Pulang!” jawabKhaerani sambil terus
berjalan dan menyempatkan pamit kepada Pak Said yang duduk di ruang tunggu.
“Kamu mau pulang? Di luar masih hujan
deras lho, bareng saja sama Bapak sama Bimo dan Bagas,” kata Pak Said.
“Terima kasih atas tawarannya Pak. Tidak apa-apa,
lagipula saya juga sudah basah kuyup begini.” Khaerani tersenyum sambil
menunjuk bajunya yang basah kuyup.
“Rani, diluar masih hujan deras! Jangan
nekat!” kata Bagas yang sudah berada disamping Pak Said.
Khaerani tidak menghiraukannya. Sebelum
mendengar omentar lagi gadis itu kembali
berjalan menuju pintu keluar sambil memakai jas hujannya kembali yang sempat
dia ambil diruang periksa.
“Rani!”
teriak Bagas sambil mengejar Khaerani. Pak Said menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil tersenyum, “anak muda... anak muda..... dari jam dulu sampai sekarang,
sama saja.”
“Rani! Kamu jangan nekat!” kata Bagas.
“Tidak apa-apa. Sudah biasa! Aku juga
sudah basah kuyup begini!”
“Hujan masih sangat deras. Kenapa kamu
tidak bareng kami saja, kami bawa mobil,” kata Bimo tiba-tiba sambil berdiri
disamping Bagas, tanggan kanannya memegang sebuah kantung berisi obat-obatan
milik Pak Said yang baru saja ditebusnya.
“Terima kasih, Bim, aku jalan saja,” jawab
Khaerani dengan suara agak bergetar.
“Rani! Pergelangan tangan kamu berdarah!”
Bagas tiba-tiba meraih tangan kanan Khaerani yang pergelangan tangannya nampak
mengeluarkan darah. Gadis itu terkejut melihat tangannya yang dipegang Bagas,
berusaha melepaskannya, tapi pegangan tangan Bagas ternyata cukup kencang. Bimo
memperhatikannya dengan raut wajah tak kalah terkejutnya.
“Tidak apa-apa, cuma lecet kecil.”
“Jangan disepelekan, walaupun kecil,
nanti bisa kena infeksi. Harus dikasih antiseptik.” Bagas menarik tangan
Khaerani untuk membawanya masuk kembali, tetapi gadis itu nampak menahannya.
Bimo terdiam melihat apa yang baru saja dilakukan oleh sepupunya terhadap temannya
tersebut.
“Tidak usah! Biar di rumah saja!”
Khaerani menarik kuat tangannya, dan akhirya bisa terlepas dari genggaman
Bagas.
“Bagas benar, Ran. Nanti kamu bisa
infeksi,” kata Bimo.
“Biar diobati di rumah saja!” Khaerani kemudian
pergi menerobos derasnya hujan.
“Rani!” teriak Bagas. Tetapi tidak
dihiraukannya. Bimo dan Bagas memandangi kepergiannya tanpa bisa berbuat
apa-apa hingga sosoknya menghilang disebuah tikungan’
“Gadis keras kepala!” gumam Bagas.
“Kalian sepertinya sudah saling mengenal
dengan baik,” kata Bimo tiba-tiba.
Bagas menoleh kearah sepupunya sambil
tersenyum, “dia teman kamu, kan?”
Bimo balas tersenyum. “Wah, baru
sebentar tinggal di desa ini, ternyata kamu sudah banyak tahu tentang orang
desa sini, ya Gas?”
Bagas
tertawa.
“Obatnya sudah kamu tebus, Bim?” Suara
Pak Said mengejutkan Bimo dan Bagas.
“Oh iya, sudah Pak. Ini obatnya. Bapak
mau pulang sekarang?”
“Lha iya pulang, masa mau nginep disini.
Kalau nunggu hujan reda, bisa sampai sore.
“Gas, kamu yang setir mobil!” Bimo melemparkan
kunci mobil kepada Bagas, yang langsung ditangkap oleh sepupunya itu, yang kemudian
langsung berlari menuju mobil yang diparkir di depan. Bagas membuka pintu
belakang untuk mengambil payung, kemudian berlari kembali untuk menyerahkan
payung tersebut kepada Pak Said.
Bagas dan Bimo baru datang dari Jogja
kemarin sore. Mereka datang berdua dengan menggunakan mobil Bimo. Menyambut
kedatangan anak dan kemenakannya itu, Pak dan Bu Said membuat makan malam mewah
dengan membuat gulai dan membeli sate kambing.
Siang harinya, sehabis mengawasi kerja
karyawannya, Pak Said jatuh di kamar mandi. Semua panik, terutama Bu Said,
kemudian menyuruh Bagas dan Bimo membawanya ke klinik, untuk diperiksa dokter.
“Kata dokter, bagaimana keadaan bapak?”
tanya Bimo kepada bapaknya yang duduk di belakangnya, sementara dia sendiri
duduk di depan disamping Bagas yang memegang setir dalam perjalanan pulang dari
klinik.
“Tidak apa-apa, cuma tensi bapak naik
sedikit sama kecapekan.”
“Kaki bapak, tidak apa-apa?”
“Cuma memar sedikit, tapi tidak apa-apa
kata dokter Fahri.”
“Hati-hati Pak Lek, jangan makan sate
sama gulai kambing kebanyakan. Nanti pusing lagi, jatuh lagi di kamar mandi,”
kata Bagas sambil tersenyum.
Pak Said tertawa, “tapi hari ini Pak Lek
rasakan, gulai masakannya si Imah sama sate kambingnya Sobrun bener-bener enak
lho, Gas.”
“Tapi, bapak kan sudah tua pak, jangan
makan gulai dan sate kambing kebanyakan, jaga kesehatan, juga jangan kerja
terlalu keras, capek,” timpal Bimo.
“Bapak kan tidak punya penyakit darah
tinggi, Bim.”
“Tapi bapak sudah berumur, harus jaga
makan dan kesehatan.”
“Capek mikiran kamu mungkin, Bim!” Bagas
tertawa.
“Kenapa memangnya?” Bimo mengernyitkan
dahinya sambil memandang bergantian antara sepupu dan bapaknya itu.
“Mikirin, kenapa kamu, anak laki-laki
satunya, tidak nikah-nikah!”
“Iya, betul itu Gas! Bu Lek-mu juga
pusing kalau mikir soal Bimo!” sahut Pak Said.
“Apa yang harus dipusingkan, Pak? Belum waktunya,
kalau sudah waktunya menikah, ya pasti menikah!”
“Dijodohin saja Pak Lek!” kata Bagas,
dilihatnya Pak Lek-nya tersenyum.
“Kamu apa-apaan sih, Gas! Kamu yang
seharusnya sudah menikah, kamu kan lebih tua dari aku!” kata Bimo sambil
memukul lengan kiri Bagas.
“Lho, yang pusing kan bapak sama ibu kamu. Bapak dan
ibuku sudah tidak ada, Mbak Ambar, kakakku, juga santai saja!” Bagas membela
diri sambil tertawa. Bimo mendengus. “Kamu mau cari yang bagaimana sih, Bim?
Biar nanti aku carikan.”
“Halaaah, kamu saja belum dapat, mau cari
buat orang lain!”
“Aku sih, gampang. Perempuan mana yang
tidak akan tertarik sama Bagas? Tinggal tunjuk pasti jadi!” jawab Bagas sambil
tertawa.
“Lagakmu Gas! Buktinya sampai sekarang
kamu belum ada pacar setelah pisah dengan Ami!”
“Karena aku belum mau saja, Bim!”
“Itu Pak, Bagas dicarikan jodoh, biar
hidupnya tenang, tidak klayapan kemana-mana!”
“Kamu mau Gas?” gurau pak Said.
“Tergantung mau dijodohinnya sama siapa,
Pak Lek!”
“Ya sudah, nanti pak Lek carikan, buat
kamu Gas!” kata Pak Said sambil tertawa
“Kamu itu mau cari perempuan seperti apa
sih, Bim? Yang standarnya Bu Said atau yang tadi ketemu di klinik?”
“Kamu ngomong apa sih, Gas!” Wajah Bimo
nampak bersemu merah.
“Lho! Aku kan, cuma nanya. Apa salah?
Betulkan Pak Lek?”
“Ya,” jawab Pak Said singkat.
Bimo
terdiam.
“Atau jangan-jangan Pak Lek Said, sudah menemukan
jodoh yang tepat buat si Bimo ini, Pak Lek?” kata Bagas berusaha memancing Pak
Lek-nya. Pak Said tertawa. “Bapakmu tertawa, Bim, berarti jawabannya iya.”
“Kamu ini, Gas!”
Ketiganya sesaat terdiam ketika
mendengar suara petir yang menggelegar.
“Wah, hujan begini, bisa sampai malam!”
kata Bimo sambil mengelap kaca depan mobil yang mengembun.
“Kenapa
memangnya, Bim? Takut tidak bisa ngelayap ya?” Bagas tertawa ketika sebuah
pukulan ringan mengenai lengannya.
“Sudah, kamu nyetir saja yang bener,
hujan gede begini, jalanan desa licin!” Protes Bimo.
“Ngomong-ngomong, kamu tahu tidak, Bim?”
“Tahu apa?”
“Tadi waktu kamu nebus obat, Rani bilang
sama mbak perawat yang di klinik itu
“Namanya Yuyun.”
“Ya, siapalah namaya, aku belum sempat
berkenalan.”
“Rani bilang apa?”
“Rani bilang, misalkan orang tua anak
itu tanya siapa yang menolong anaknya, jangan katakan kalau dia yang sebenarnya
menolong. Memangnya siapa orang tua anak itu? Kamu kenal,Bim?”
“Siapa nama anak itu?” Bimo balik
bertanya.
“Kalau
tidak salah dengar, nama anak itu Alfiyan.”
“Alfiyan?” Bimo mencoba mengingat
sesuatu, tetapi tidak ada memori diotaknya yang menyimpan nama anak kecil
bernama Alfiyan. “Aku, tidak tahu. Mungkin
bapak tahu, Alfiyan itu anaknya siapa?” Bimo menengok ke belakang bertanya
kepada bapaknya
“Alfiyan, Alfiyan...” Pak Said mencoba
mengingat-ingat. “Wah, bapak tidak ingat, Bim. Terlalu banyak anak kecil, bapak
tidak ingat satu persatu, apalagi anaknya siapa.”
(Mau tau terusannya?....Baca Bagian Ke 12 yaaa....)
***
Komentar
Posting Komentar