SANDYAKALA (Bagian 5)
5 Pak Sofyan
Hari yang cerah. Khaerani menyusuri
pematang sawah menuju sebuah dangau sambil membawa makan siang untuk Bapak dan Pram
yang sedang berada disawah. Langkahnya tiba-tiba berhenti ketika di dangau itu
melihat seorang laki-laki yang sedang memotret dengan kamera di tangannya.
Laki-laki itu juga nampak terkejut ketika bidikan kameranya mengenai sosok
Khaerani yang sedang berdiri terpaku.
“Sedang apa sepupu Mutiara itu disini?”
pikir Khaerani sambil melangkahkan kembali kakinya menuju dangau.
“Hai, ketemu lagi,” sapa laki-laki yang
tidak lain adalah Bagas. “Kok kamu tahu, kalau aku ada disini?” kata Bagas itu
sambil memperhatikan Khaerani yang sedang membuka perbekalan makan siang.
“Siapa yang cari Mas di sini, lha wong
saya mau nganterin makanan buat bapak dan kakak saya yang disana,” kata
Khaerani sambil menunjuk bapak dan kakaknya.
“Bapaaak, Mas Praaaam!” teriaknya. Kedua orang yang dipanggil itu
menoleh, melambaikan tangan, kemudian berjalan menuju dangau.
“Kamu setiap hari mengantarkan makan
siang kesini?”
“Kadang-kadang. Mas sendiri, sedang apa
disini?”
Bagas menunjuk kamera yang ditangannya,
“oh iya, tolong panggil aku Bagas saja, jangan pakai Mas,” katanya tersenyum.
“Waah, hari ini Mak Lela masak apa, Ran?”
tanya Pram ketika sudah sampai di dangau bersama Bapak. Pandangan Pram dan Bapak
langsung tertuju pada sosok Bagas yang berdiri sambil memegang kamera. Pram
mengernyitkan dahinya.
“Oh iya, saya Bagas,” kemenakan Pak Said
itu mengenalkan diri sambil mengulurkan tangannya.
“Saya Pram, kakaknya Rani,” Pram
menjabat tangan Bagas. “Orang baru disini?”
Bagas kemudian mengatakan kalau dirinya adalah
kemenakannya Pak Said.
“Oooooh Pak Said,” kata Pram dan Bapak
hampir bersamaan. “Kalian sudah saling kenal?” tanya Pram kepada adiknya.
Khaerani baru akan menjawab tapi Bagas
sudah angkat bicara terlebih dahulu. “Kami bertemu di rumahnya Pak Said.”
“Oooohhh begitu yah,” jawab Pram.
“Sudah, sudah, sekarang waktunya kita
makan. Nak Bagas, ikut makan kami saja. Makanan yang dibawa Rani dari rumah cukup
banyak,” Bapak menawarkan.
“Tidak Pak, Bagas mungkin masih ada
pekerjaan lain,” kata Khaerani tiba-tiba.
“Wah, kalau tidak keberatan dan
merepotkan saya ingin sekali menikmati santap siang di tengah sawah, kebetulan
tidak ada yang harus saya kerjakan lagi,” sahut Bagas.
“Silakan, silakan.”
“Tapi Pak...” seru Khaerani.
“Kamu juga mau ikut makan, Ran?” kata
Pram yang langsung dijawab tidak oleh adiknya.
Mereka pun kemudiaan makan bersama di
dangau tengah sawah, kecuali Khaerani. “Oooh, jadi kamu itu penulis dan
fotografer tho,” kata Pram disela-sela makannya. “Jadi di desa ini dalam rangka
liburan sambil mencari inspirasi dan foto yang bagus?”
“Ya, begitulah Mas. Sekalian silaturahmi
sama Pak Lek dan Bu Lek Said.”
“Oh iya nak Bagas, Khaerani ini dulu
teman anaknya Pak Said, si Bimo. Dulu waktu kecil suka main bersama, disawah,
dikali, dibukit,” kata Bapak.
“Bapak!” Khaerani menyenggol lengan
bapaknya.
“Oh, begitu ya Pak,” Bagas melirik
Khaerani yang nampak sedikit terkejut dengan perkataan bapaknya yang tak
disangkanya tersebut.
“Kenapa? Lha memang iya, kalian kan
berteman sejak kecil,” kata Bapak sambil memandang Khaerani.
“Terus? Sekarang Bimo masih sering main
sama Rani?”
“Sekarang Bapak sudah tidak pernah lihat
Bimo main sama Rani lagi.”
“Kan sudah pada besar, Pak. Sudah
dewasa, punya kesibukan sendiri-sendiri, lagipula Bimo kan sudah bekerja
dikota, jarang pulang kedesa. Ya kan, Rani?” Pram berkata membela adiknya. Khaerani
mengangguk.
***
Setelah membereskan tempat makanan yang
kini kosong, Khaerani pamit pulang, yang kemudian diikuti oleh Bagas. “Saya
juga mohon pamit, sudah siang, nanti saya dicari Pak dan Bu Said, dikira saya
tersesat. Oh iya, terima kasih atas makan siangnya, makan siang terenak yang
pernah saya rasakan. Tapi maaf, jatah Bapak sama Mas Pram jadi berkurang.”
“Tidak
apa-apa Nak Bagas, bapak malah senang Nak Bagas mau makan siang bersama kami,”
kata Bapak sambil menepuk punggung Bagas.
***
“Kemana Rani ya? Baru beberapa menit sudah
tidak kelihatan batang hidungnya. Cepat sekali dia berjalan, atau memang segaja
menghindar?” Bagas bergumam sambil menengok kekanan dan kekiri mencari sosok
Khaerani. Kemudian dilihatnya gadis itu sedang memasukkan jagung-jagung kedalam
karung.
“Rani? Kamu sedang apa?” tanya Bagas
sambil menghampiri Khaerani
“Apa kamu tidak melihat aku sedang apa?”
Bagas tersenyum.
“Lek Toyib, jagungnya sudah aku
masukkan!” teriak Khaerani pada seorang laki-laki tua yang sedang memanen
jagung.
“Iya! Terima kasih atas bantuannya Ran!”
balas laki-laki itu.
Khaerani mengambil tempat makannannya yang
digeletakkan dipinggir jalan, kemudian gadis itu berjalan. Bagas mengikutinya.
“Sekarang kamu mau kemana, Ran?”
“Pulang!”
“Boleh, aku antar?”
Khaerani terkejut, menoleh dan memandang
Bagas dengan tajam. “Tidak usah! Aku sudah sangat hafal jalan disini! Tidak
mungkin tersesat!”
Bagas tertawa, “ya aku juga tahu, kamu
kan orang desa sini. Boleh kan, aku tahu rumah kamu?”
“Buat apa?”
“Memangnya tidak boleh?” Khaerani
terdiam. “Kenapa? Kamu takut? Tenang saja, aku orang baik-baik, tidak akan
berbuat jahat sama kamu.” Gadis itu tidak menjawab, kemudian mempercepat
langkahnya. “Rani!” panggil Bagas sambil menyusulnya.
“Maaf. Rasanya tidak enak kalau kita
jalan berdua!” kata Khaerani setelah Bagas berhasil menyusulnya.
“Tidak enak kenapa?”
“Tidak enak dilihat orang, apalagi kamu
kan orang baru disini!”
“Dilihat orang, atau dilihat Bu Said?”
Khaerani menatap tajam Bagas, kemudian
kembali berjalan. Bagas masih mengikutinya. Dari arah berlawanan nampak seorang
laki-laki bersepeda ke arah mereka. “Rani!” sapa laki-laki tersebut yang
kemudian langsung berhenti didepan Bagas dan Khaerani.
“Pak Lek Tresno!”
“Darimana, Ran?”
“Habis antar makan siang buat Bapak dan
Mas Pram disawah. Pak Lek darimana?”
“Sama. Pak Lek dari sawah juga. Oh iya
Ran, terima kasih buku-bukunya ya.”
“Iya Pak Lek. Sama-sama. Nanti, aku cari
lagi.”
“Terima kasih sekali kalau begitu. Tapi
ngomong-ngomong kamu tidak mau perkenalkan teman barumu ini, Ran?” kata Pak Lek
Tresno sambil tersenyum.
“Saya Bagas.” Bagas memperkenalkan diri.
“Tresno,” jawab laki-laki setengah baya
itu. “Kamu bukan orang desa sini?”
Bagas tersenyum, “bukan. Kebetulan saya
sedang berlibur di tempat Pak Lek.”
“Memangnya siapa Pak Lek-mu?”
“Pak Said.”
“Oooh Pak Said. Pak Lek tidak menyangka,
Pak Said punya kemenakan seganteng ini.”
“Pak Lek bisa saja” jawab Bagas sambil
tersenyum.
“Baiklah Pak Lek pulang dulu, sebentar
lagi pasti anak-anak sudah pada ngumpul buat latihan gamelan.” Pak Lek Tresno
kembali mengayuh sepedanya meninggalkan Khaerani dan Bagas.
“Siapa dia, Ran?” tanya Bagas.
“Namanya Sutresno. Orang desa biasa
memanggil dia Pak Lek Tresno. Selain petani, dia adalah seorang seniman di desa
ini dan punya sanggar.”
“Oh ya?” Bagas nampak tertarik. “Dimana
sanggarnya?”
“Aku harus belok, kalau mau pulang, kamu
ambil jalan lurus,” kata Khaerani sewaktu sampai disebuah pertigaan.
“Lho, aku kan pengin tahu rumah kamu.” Khaerani
memicingkan mata sambil mngerutkan dahinya. Kemenakan Pak Said itu tertawa, “apa salahnya? Jangan kuatir, aku bukan
mata-mata atau maling yang mengincar rumah kamu. Kamu takut dilihat sama Bu
Said?”
Khaerani tidak menghiraukannya, tanpa
menjawab apa pun, berjalan dengan langkah lebih cepat. Bagas masih
mengikutinya. Gadis itu tiba-tiba menghentikan langkahnya, ketika hampir
mendekati rumahnya. “Sepertinya, itu sepeda motor dinas kepunyaan Pak Sofyan,
kenapa ada di depan rumahku?” pikirnya.
“Kok berhenti. Ada apa, Ran?” tanya
Bagas.
Khaerani menghela nafasnya. “Baiklah,
itu rumah aku. Silakan kamu pulang!”
Belum sempat Bagas menjawab, gadis itu
sudah berjalan meninggalkannya, tidak jalan lurus menuju rumahnya, tapi
mengambil jalan memutar, menuju samping rumah kakaknya. Bagas tidak mengerti
dengan dilakukannya. Kemudian kembali melangkahkan kakinya.
***
“Maryam!” Khaerani memanggil Maryam yang
sedang berada di belakang.
“Mbak Rani, kok bisa disini?” Maryam
nampak sedikit terkejut.
“Ssssst, jangan keras-keras. Mbak Risma
dimana?”
“Ada, sedang makan siang.” Tanpa berkata-kata
lagi, Khaerani langsung masuk kedalam rumah, dilihatnya kakak iparnya itu sedang
makan sendirian. “Mbak!”
“Rani! Kok dari belakang?”
“Ssssst, jangan keras-keras Mbak.”
“Kenapa?”
“Ada motornya Pak Sofyan di depan rumah,
orangnya pasti ada di dalam!”
Kharisma tertawa, “oooh jadi suara motor
tadi, suara motornya Pak Sofyan? Memangnya kenapa kalau ada Pak Sofyan?”
“Aaah, Mbak Risma seperti tidak tahu
saja!”
“Siapa tahu dia memang ada kepentingan
sama kamu apa sama Bapak, Ran.”
“Biar saja!” Khaerani duduk dikursi
sebelah Kharisma. “Kok, sendirian Mbak. Amir belum pulang?”
“Tidak tahu itu anak, sudah siang begini
belum pulang. Jangan-jangan mandi di saluran irigasi gede lagi. Mbak kuatir
kalau Amir mandi disana sama teman-temannya, sekarang sedang musim hujan,
airnya pasti sedang banyak dan deras.”
“Tidak usah kuatir Mbak. Amir kan jago berenang.”
Dari depan terdengar suara Amir yang mengucapkan salam. “Wah, si Amir panjang
umur, baru saja diomongin langsung muncul.” Amir masuk sambill menenteng
sepatunya.
“Kamu mandi lagi di saluran irigasi lagi,
Mir?”
Amir tertawa sambil mencium tangan ibunya.
“Mumpung lagi terang, Bu.”
“Haduuuh ini anak, dibilangin kok ya
tidak mau dengar. Bahaya Mir, air sewaktu-waktu bisa besar, apalagi kalau di bukit
hujan besar dan pintu airnya dibuka! Bahaya! dengarkan ibu ya, jangan main dan
mandi disana lagi!”
“Iya Bu,” jawab Amir sambil meletakkan
sepatunya di rak sepatu.
“Mir, motor Pak Sofyan masih didepan
rumah Bu Lek?” tanya Khaerani.
“Waktu
Amir masuk, Pak Sofyan baru saja keluar.” Kemudian terdengar suara motor yang
pergi menjauh.
“Tuh, Pak Sofyan sudah pulang, Ran,” kata
Kharisma sambil tersenyum.
Khaerani membuang nafas. “Akhirnya!”
“Oh iya Bu Lek, tadi Amir ketemu orang.
Sepertinya orang baru. Soalnya Amir baru melihat dan tidak mengenalnya.”
“Ketemu dimana Mir?” tanya Kharisma.
“Hati-hati sama orang yang tidak kenal!”
“Di jalan dekat rumah kita Bu. Tapi kelihatannya
orangnya baik Bu, dia tersenyum sama Amir. Orangnya ganteng lho, Bu,” jawab
Amir sambil membuka baju seragamnya dan masuk kedalam kamar.
Khaerani langsung menduga orang yang
ditemui Amir adalah Bagas.
***
“Mak
Lela, tadi Pak Sofyan mau apa kesini? Bapak sama Mas Pram kan masih disawah!”
“Lho, Mbak Rani kok tahu kalau Pak
Sofyan kesini?”
“Tadi melihat motornya di depan rumah.”
“Pak Sofyan mengantarkan surat undangan
dari Pak Lurah buat Bapak dan Mas Pram. Undangan buat Bapak sudah Mak letakkan
di atas meja makan, sekarang mau antar buat Mas Pram.” Mak Lela menunjukkan
undangan yang dipegangnya.
“Pak Sofyan tanya aku, Mak?” Mak Lela mengangguk
sambil tersenyum. Lalu berjalan keluar menuju rumah Pram.“Sebenarnya Pak Sofyan
itu maunya apa sih!” kata Khaerani cemberut sambil berjalan menuju meja makan
untuk melihat undangan yang dimaksud.
Pak
Sofyan atau orang di desa lebih mengenalnya sebagai Pak Sekdes (Sekretaris Desa
di Kelurahan) seorang duda berumur sekitar lima puluhan, cukup ganteng bagi
laki-laki desa seusianya, dan termasuk orang berada. Pada dasarnya Pak Sofyan
adalah orang yang baik hanya satu kelemahannya yaitu sejak dulu adalah tidak
bisa melihat perempuan muda yang dianggapnya cantik, yang masih sendiri, baik
masih gadis ataupun sudah janda. Saat ini Pak Sofyan digosipkan sedang mencari
istri baru sepeninggal istrinya. Maka dia sering sekali menekati para perempuan
tersebut, termasuk Khaerani.
***
“Pak Lek sama Bu Lek kemana, Mut?” tanya
Bagas sambil duduk disamping sepupunya yang sedang menonton sebuah acara di
televisi setelah isya.
“Pergi ke pengajian.”
“Pulang jam berapa?”
“Paling jam sembilan sudah pulang.”
“Oh iya Mut, teman kamu itu sebenarnya
bagaimana sih?”
“Teman yang mana?”
“Rani.”
“Memang kenapa? Mas Bagas ketemu dia
lagi?”
“Ketemu di sawah, waktu aku sedang
mengambil gambar di sana, gadis itu datang membawa makan siang buat bapak dan
kakaknya.”
“Orangnya baik, tapi agak sedikit keras
kepala. Memang ada apa Mas?”
“Tidak ada apa-apa. Cuma tanya.”
Bagas kemudian bangkit dari duduknya dan
berjalan menuju kamarnya. Sementara Mutiara agak sedikit keheranan melihat
sikap sepupunya tersebut.
(Bersambung ke Bagian 6)
***
Komentar
Posting Komentar