SANDYAKALA (Bagian 8)

8  Kambing

Kharisma menemui Khaerani yang sedang meletakkan kue-kue pesanan kedalam kardus dibantu dengan Mak Lela, untuk meminta tolong untuk mencari Amir karena hari sudah hampir sore tapi anak laki-lakinya itu belum pulang. Pram, suaminya sedang pergi ke undangan pernikahan teman lamanya di kecamatan, sedangkan Maryam sedang menyelesaikan jahitan pesanan yang akan diambil besok pagi. Sepulang sekolah Amir pamit bermain sambil membawa si hitam, kambing kesayangannya bersama dengan dua ekor anaknya.
“Jangan ngomong ke Bapak ya, Ran. Nanti Bapak malah jadi kuatir, mencari sendiri Amir,” kata Kharisma berbisik.
Khaerani tersenyum, “jangan kuatir, Bapak di belakang sedang membetulkan kandang ayam.”
Khaerani mencari ke tempat yang biasa Amir datangi untuk bermain ketika membawa kambing-kambingnya, dari mulai lapangan hingga pinggiran sawah. Namun tidak ditemuinya. Gadis itu terus berjalan. Kemudian dilihatnya dua orang anak yang sedang berjalan kearahnya, masing-masing membawa seekor kambing. “Itu Aldi dan Alfiyan!” Khaerani mendekat ke kedua anak teman Amir tersebut.
“Aldi, Alfiyan, kalian melihat Amir?”
“Amir ada di sungai, Mbak. Saya sama Aldi baru saja dari sana.”
“Sungai?”
“Iya.”
“Ya sudah kalau begitu, terima kasih. Kalian mau pulang?” Kedua anak laki-laki itu mengangguk bersamaan, kemudian kembali berjalan sambil menyeret kambingnya masing-masing.
Khaerani berjalan ke arah sungai. “Amiirrrr!” teriaknya, ketika melihat kemenakannya itu sedang asik duduk di sebuah batu besar di pinggir sungai, sementara ketiga kambingnya dibiarkan makan rumput di tanah lapang di dekatnya. Amir menengok dan tersenyum ketika melihat Bu Lek-nya.
“Bu Leeeek!”
Khaerani mendekati Amir. “Amir! Kenapa bawa kambing ke sungai sampai sore begini? Ayo cepat pulang, ibumu sangat kuatir!” katanya sambil menarik tangan Amir.
“Bukan salah dia, Rani. Aku yang mengajaknya!” seseorang tiba-tiba muncul dari balik batu besar tak jauh dari tempat Amir duduk membuat Bu Lek Amir tersebut terkejut.
“Bagas!”
Bagas melompat ke atas batu dimana Amir duduk. “Jadi, kamu Bu Lek-nya Amir?”
“Iya! Kenapa memangnya!”
“Tidak apa-apa! Maafkan aku, karena telah mengajak Amir kesini,” kata Bagas sambil memandang Khaerani.
“Tidak apa-apa Bu Lek, Amir senang kok.”
“Kebetulan, tadi waktu di pinggir lapangan aku bertemu mereka dan bertanya arah jalan ke sungai. Awalnya aku hanya ingin ditunjukkan saja, ternyata anak-anak ingin ikut”
“Tidak apa-apa kan, Bu Lek. Tadi Amir sama teman-teman banyak difoto lho. Ya kan, Mas?”  Bagas mengangguk sambil tersenyum.
“Ya tidak apa-apa. Tapi sekarang ayo cepat pulang! Sudah sore!” Khaerani kembali menarik tangan Amir.
“Sekali lagi, aku minta maaf, Ran! Biar nanti aku jelaskan sama ibunya Amir.“
“Tidak usah. Biar nanti Amir sendiri yang menjelaskan,” kata Khaerani sambil menggandeng tangan kemenakannya. “Amir, ayo kita pulang!”
“Iya, Bu Lek.”
“Biar, Bu Lek yang bawa si hitam itu, Amir bawa anak-anaknya.”  Khaerani kemudian berjalan kearah kambing-kambing yang sedang memakan rumput itu, tapi ketika gadis itu mendekatinya, kambing-kambing itu langsung berlari, maka terjadi kejar-kejaran antara Khaerani kambing-kambing itu.
“Amir bantu nangkep ya, Bu Lek!” teriak Amir.
“Amir tangkap anak-anaknya ya!”
Bagas tersenyum melihat pemandangan unik didepannya, yang kemudian membantu Khaerani dan Amir untuk menangkap kambing-kambingnya. Setelah terjadi kejar-kejaran, akhirnya kambing-kambing itu berhasil ditangkap.
“Terima kasih,” kata Khaerani kepada Bagas.
“Ngejar kambing ternyata lumayan capek juga ya,” kata Bagas tersenyum.
Bagas, Khaerani dan Amir kemudian pergi meninggalkan sungai dengan masing-masing menuntun seekor kambing.
“Desa kamu, bener-bener indah, Ran. Terutama di bukit kecil dan sungai,” kata Bagas ketika berjalan pulang.
“Jadi kamu sudah ke bukit kecil itu?”
Bagas mengangguk. “Amir bilang, kamu sering ke bukit kecil itu. Sepertinya bukit kecilnya itu menjadi tempat yang istimewa buat kamu.”  Khaerani tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menatap Bagas dengan tajam. “Kenapa? Ada yang salah?” Bagas ikut menghentikan langkahnya. Khaerani tidak menjawab. Kemudian melangkah kembali. “Tapi, pemandangan dari atas bukit itu memang benar-benar indah!” teriak Bagas sambil mencoba menyeret kambing yang tiba-tiba tidak mau jalan. “Rani, Amir! Tunggu dulu, ini kambing kalian tidak mau jalan!” Khaerani dan Amir menghentikan langkahnya dan menengok ke arah Bagas yang sedang susah payah menarik-narik kambingnya. “Bagaimana ini! Kambing kalian tidak mau jalan!” Khaerani dan Amir tertawa melihatnya. “Ayo kambing! Ini sudah sore, nanti dimarahain ibunya Amir!” Amir berlari kearah Bagas setelah menyerahkan kambingnya kepada Khaerani. Dengan bantuan Amir akhirnya kambing yang dibawa Bagas mau berjalan lagi.
***
“Kita sudah sampai rumah. Kamu boleh pulang sekarang,” kata Khaerani kepada Bagas ketika mereka sudah sampai di depan halaman rumahnya.
“Apa aku tidak masuk dulu? Ketemu ibunya Amir, untuk menjelaskan semuanya?”
“Tidak usah! Biar nanti Amir sendiri yang cerita sama ibunya,” jawab Khaerani. Sementara Amir menggiring kambing-kambingnya ke belakang rumah Bapak.
“Tapi, apa salahnya kalau aku ngomong, sekalian aku kenalan dengan ibunya Amir.”
“Kayaknya tidak perlu dan tidak terlalu penting!”
“Kamu sendiri? Apa tidak mau mempersilakan aku masuk untuk sekadar minum teh atau apa saja, sebagai ungkapan terima kasih kepada seseorang yang menolong kamu?”
Khaerani mengernyitkan dahinya, “aku tidak pernah minta tolong sama kamu, malah kamu yang bikin repot kami!”
Bagas tertawa, “ya..ya..sekali lagi aku minta maaf. Tapi bener, kamu tidak mau menyuruh aku mampir ke rumahmu?”
“Sudah sore! Tida enak dilihat orang. Lagipula, sekarang pasti Bu Said pasti sedang mencari kamu!”
Bagas tertawa, “aku bukan anak kecil yang harus selalu disuruh pulang kalau sedang main. Atau jangan-jangan kamu yang takut sama Bu Said?” Khaerani memandang Bagas dengan tatapan tajam. “Baiklah kalau begitu, aku pulang. Tapi lain kali aku boleh mampir ke rumahmu, kan?” Bagas tersenyum kepada Khaerani.
Gadis itu tidak menjawab dan berjalan menuju rumahnya. Bagas hanya menatapnya sambil tersenyum.
***
“Darimana Mas? Kok sore begini baru pulang?” kata Mutiara ketika melihat Bagas masuk ke kamarnya.
“Biasa, cari inspirasi dan pemandangan yang bagus,” jawab Bagas sambil meletakkan kameranya di atas meja disamping laptop.
“Dapat?” Bagas mengangguk sambil tersenyum.
“Ketemu Rani?” Mutiara mencoba menebak.
Bagas mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum. “Bapak dan ibumu mana?” tanyanya kemudian.
“Keluar, ke rumah Pak Haji Suryo lagi.”
“Ke rumah calon besan lagi?” Bagas tersnyum. “Mereka tanya aku?”
“Mas Bagas pikir?”
“Kayak anak kecil saja, kalau main sampai sore mesti dicari!” Bagas langsung keluar kamar menuju kamar mandi. Mutiara menghela nafas, kemudian keluar dari kamar Bagas. “Jangan-jangan apa yang aku pikirkan benar-benar terjadi,” pikirnya sambil berjalan.
***
Khaerani membantu Mak Lela membereskan meja makan, setelah makan malam, sedangkan Bapak duduk melihat sebuah siaran berita di televisi.
“Oh iya Mbak, tadi sore itu siapa?” tanya Mak Lela. Khaerani nampak bingung tidak mengerti siapa yang dimaksud oleh Mak Lela. “Itu lho Mbak, laki-laki yang sama Mbak Rani dan Amir bawa kambing.”
“Ooooh, itu sepupunya Mutiara, kebetulan ketemu di jalan,” kata Khaerani sambil menaruh piring-piring kotor di tempat cucian piring.
“Berarti kemenakannya Pak dan Bu Said?” Khaerani mengangguk. “Kok, Mbak Rani bisa kenal?”
“Ketemu ditempatnya Pak Said, Mak,” jata Khaerani sambil membawa piring-piring kotor ke belakang.

(Bersambung ke Bagian 9)
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"