SANDYAKALA (Bagian 18)



18  Pingsan

Bapak sudah sehat kembali. Hal ini membuat Khaerani dan keluarga lainnya merasa senang. Begitu juga dengan Bapak sendiri yang katanya merasa jauh lebih sehat ketika sudah berada di rumah daripada di klinik. Apalagi ketika bisa melihat dan bermain bersama cucunya.
Keesokan harinya, Bapak nekat ingin pergi ke sawah, tapi dilarang keras oleh Pram. Akhirnya Bapak menurut, tapi di rumah pun, Bapak tetap sibuk dengan ayam-ayam dan kambing-kambingnya, meskipun Mak Lela sudah melarangnya.
***
            Khaerani pulang mengantarkan kue-kue pesanan toko-toko langganannya dengan bersepeda. Sejak berangkat, gadis itu merasakan ada sesutu yang tidak beres dengan badannya.

”Rani, wajah kamu kok kelihatan pucat dan lesu? Kamu sakit?” kata Bu Ismi, salah satu pemilik toko langganannya.
“Tidak Bu Is. Cuma sedikit lemes saja,” jawab Khaerani sambil mencoba untuk tersenyum.
            “Kalau lemes, kenapa mesti antar kue sendiri? Kan bisa suruh orang lain. Nanti kalau ada apa-apa di jalan, bagaimana?”
            “Saya tidak apa-apa Bu.”

            Khaerani berhenti dan turun dari sepedanya dibawah sebuah pohon asem besar dan  rindang di pinggir jalan. Gadis itu merasa kepalanya pusing, matanya mulai tidak fokus, badannya terasa lemas tidak bertenaga dan terasa panas padahal cuaca agak mendung. “Ya Tuhan, kenapa ini? Jangan sampai aku pingsan dijalan!” benaknya. Kemudian meyandarkan sepeda dan juga badannya di pohon asam tersebut. Berusaha menghirup udara segar sambil memejamkan matanya.
Jalanan sepi, kanan kirinya hanya sawah dan pohon-pohon besar, sekitar satu kilometer lagi baru akan masuk ke perkampungan.  
***
            “Mas Bagas, bukannya yang sedang berdiri di bawah pohon itu Rani?” kata Mutiara kepada sepupunya yang sedang menyetir mobil. Bagas baru pulang dari Jakarta dengan membawa mobil, langsung menjemput Mutiara yang baru selesai mengajar di sekolahnya, yang hari itu tidak membawa sepeda motor.
“Mana?” tanya Bagas. Mutiara menunjuk sebuah pohon besar di tepi jalan. “Iya benar, itu Rani. Sedang apa dia di bawah pohon besar itu?”
            “Rani!” Mutiara memanggil dari kaca mobil yang terbuka. Setelah dekat dengan pohon besar dimana Khaerani berdiri, Bagas menghentikan mobilnya. “Rani!” Mutiara kembali memanggil, tapi Khaerani terdiam sambil menutup muka dengan kedua telapak tangannya. “Mas Bagas, sepertinya ada yang tidak beres dengan Rani!” Mutiara berkata sambil membuka pintu mobil, turun dan langsung berlari ke tempat Khaerani berdiri, kemudian disusul oleh Bagas. “Rani!” Mutiara memegang pundak Khaerani, tapi gadis itu tetap terdiam, tiba-tiba tubuhnya melemas dan melorot kebawah. “Rani!” teriak Mutiara dan Bagas sambil memegang tubuh Khaerani yang akan terjatuh.
“Rani pingsan. Badannya terasa panas!” Bagas memegang tangan Khaerani.
“Kita bawa ke mobil!” kata Mutiara. Bagas membopong tubuh Khaerani yang pingsan kedalam mobil.
“Kita bawa ke rumah atau ke klinik?” tanya Bagas kepada Mutiara.
“Ke klinik saja. Takut ada apa-apa, biar ditangani disana! Biar sepedanya aku yang bawa, sekalian memberitahukan keluarganya.”
Bagas memasang sabuk pengaman ditubuh Khaerani, setelah itu mobil pun melaju. Sementara Mutiara pergi dengan menggunakan sepeda Khaerani. Sambil melajukan mobilnya, Bagas memperhatikan Khaerani yang duduk tiak sadarkan diri disampingnya. Sesekali tangannya memegang dahi gadis itu.
***
            Keadaan klinik sudah tidak begitu ramai, karena hari sudah siang. Bagas membopong tubuh Khaerani dari mobil ke ruang periksa dokter.
 “Ada apa?” Yuyun dan dokter Fahri yang terkejut ketika dengan tiba-tiba Bagas masuk ke ruang periksa sambil membopong tubuh seseorang dan langsung membaringkannya diranjang periksa.
Mbak Rani!” Yuyun terkejut ketika melihat Khaerani yang kini berbaring diranjang periksa. Dokter Fahri dengan sigap langsung memeriksanya.
“Apa yang terjadi dengan Mbak Rani?” tanya Yuyun sambil memegang tubuh Khaerani. “Badannya panas!”
            “Rani pingsan dipinggir jalan!”jawab Bagas.
            Yuyun dan dokter Fahri yang sedang memeriksa dan berusaha membuat Khaerani sadar nampak terkejut mendengar jawaban dari Bagas.
“Kok bisa?!” tanya Yuyun dengan heran.
“Aku juga tidak tahu. Kebetulan lewat dan melihatnya.”
Beberapa saat kemudian terdengar lenguhan Khaerani, Bagas mendekatinya.  “Rani, akhirnya kamu sadar juga,” katanya dan tanpa sadar memegang erat tangan gadis itu. Dokter Fahri memeriksa denyut nadinya kemudian menyuruh Yuyun untuk mengukur tensi darahnya.
“Mbak Rani sebenarnya kenapa?” tanya Yuyun.  
“Aku dimana?” tanya Khaerani sambil melihat ke sekelilingnya.
“Kamu di klinik,” kata Bagas sambil terus memegang tangannya.
“Aku tadi di jalan, kepalaku terasa pusing,” Khaerani mencoba mengingat.
“Kamu tadi pingsan di pinggir jalan. Mas ini yang membopong kamu ke klinik,” kata dokter Fahri tersenyum sambil menepuk lengan Bagas. Khaerani baru menyadari kalau tangan kirinya sedang dipegang oleh Bagas.
            “Suhunya tinggi, tensinya rendah dan nadinya lambat,” kata Yuyun kepada dokter Fahri.
            “Aku haus,” kata Khaerani berkata sambil berusaha melepaskan pegangan tangan Bagas. Kemenakan Bu Said itu pun segera menyadari dan langsung melepaskannya.
            Yuyun mengambil segelas air putih.
            “Bagaimana dok?” tanya Bagas.
“Tidak apa-apa, tidak ada yang perlu dikuatirkan. Rani hanya kecapekan, harus banyak istirahat dan minum vitamin.”
            Yuyun kembali dengan membawa segelas air putih. Khaerani berusaha untuk duduk dibantu oleh Bagas, kemudian menerima dan meneguk air yang diberikan oleh perawat tersebut. Sementara dokter Fahri kembali ke meja prakteknya dan menuliskan sesuatu.
            “Bagaimana kejadiannya sampai pingsan dijalan?” tanya Yuyun.
“Aku sendiri tidak tahu. Cuma, tadi sewaktu berangkat mengantarkan kue, badanku agak sedikit lemas.”
            “Aduh Mbak, kalau merasa tidak enak badan mbok ya jangan dipaksakan pergi keluar. Coba, kalau tadi tidak ada Mas ini yang menolong Mbak Rani?” Yuyun berkata sambil menerima gelas dari Khaerani.
“Tadi aku merasa pusing, terus berhenti di bawah pohon. Badanku terasa lemas. Terus, sayup-sayup aku mendengar suara yang memanggil namaku. Setelah itu aku tidak ingat lagi.”
            “Itu suara Mutiara yang memanggil kamu,” kata Bagas.
            “Mutiara?”
            “Iya. Aku dan Mutiara melihat kamu berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan. Setelah kami dekati, kamu pingsan.”
            “Sekarang Mutiara dimana?”
            “Mengantarkan sepeda ke rumah kamu.”
            “Sepeda? Ya, aku ingat, aku tadi bersepeda.”
            Dokter Fahri kembali sambil membawa kertas resep dan memberikannya kepada Yuyun. “Kamu merasa pusing dan lemas, Ran?” tanya dokter Fahri. Khaerani mengangguk. “Kalau begitu, kamu istirahat dulu.”
            “Tidak harus menginap disini kan, dok?” tanya Khaerani dengan nada kuatir.
            “Tidak, tapi kalau kamu mau menginap juga tidak apa-apa. Kan, sudah ada yang bakal nungguin kamu,” kata dokter Fahri tersenyum sambil melirik kearah Bagas.
“Kamu mau, Ran?” Bagas tersenyum.
“Tidak. Terima kasih!” jawab Khaerani sambil menggeser duduknya dan berusaha untuk turun dari ranjang.
            “Eeeeeh, kamu mau kemana?” Bagas memegang tangan Khaerani.
            “Mau pulang!”
            “Katanya masih lemas dan pusing. Istirahat dulu saja disini sambil nunggu obat yang diambil Yuyun. Tenang saja, sudah tidak ada pasien,” kata dokter Fahri.
“Apa harus minum obat, dok?” tanya gadis itu.
“Cuma vitamin.”
            “Iya Ran, istirahat dulu disini. Sebentar lagi Mutiara pasti datang dengan salah satu keluarga kamu.” Khaerani menghela nafas dan akhirnya menurut apa kata dokter Fahri dan Bagas.
***
Mutiara ke rumah kakak Khaerani. Sengaja tidak ke rumah Khaerani, karena takut Bapak menjadi kuatir. Kharisma yang sedang berada di depan rumah terkejut melihat Mutiara yang datang menggunakan sepeda milik adik iparnya. Setelah menyandarkan sepeda di bawah pohon mangga, Mutiara langsung menemui dan menceritakan tentang Khaerani.
“Ya Tuhan!” Kharisma terkejut dan langsung berteriak memanggil suaminya yang berada di dalam rumah.
“Ada apa Ris?” tanya Pram setelah datang menemui Kharisma. “Eh, Ada Mutiara. Ada apa, wajah kalian nampak panik begitu?” Mutiara kemudian meceritakan kembali apa yang telah terjadi dengan Khaerani. “Aku akan ke klinik sekarang juga!” kata Pram dengan nada kuatir selesai mendengar cerita dari Mutiara.
Setelah berganti pakaian, Pram dan Mutiara berboncengan naik sepeda motor ke klinik. Sebelum berangkat, Pram berpesan kepada istrinya untuk tidak memberitahukan tentang Khaerani kepada Bapak.
***
            Mutiara dan Pram langsung masuk ke dalam klinik, di apotik depan mereka beretemu denga Yuyun yang baru saja mengambil obat.
            “Yuyun!” panggil Mutiara.
            “Mbak Mutiara! Mas Pram!”
            “Bagaimana keadaan Rani? Dia sudah sadar?” tanya Mutiara. Yuyun mengangguk dan mengajak Pram dan Mutiara untuk menemui Khaerani.
            “Rani!” Pram berlari mendekati adiknya setelah berada di ruang periksa. Kherani duduk di ranjang periksa dan disampingnya berdiri Bagas dan dokter Fahri.
“Mas Pram!” Khaerani kelihatan senang melihat kedatangan kakaknya.
“Bagaimana keadaan kamu, Ran? Kamu tidak apa-apa kan?” Pram memeluk adiknya.
“Tidak apa-apa Mas. Untung ada Mutiara dan Bagas yang menolong.”
            Mutiara mendekati Khaerani dan tersenyum, “syukurlah kamu baik-baik saja, Ran. Kami tadi sempat panik dan bingung. Oh iya, sepedamu sudah aku antar ke rumah.”
            “Aduh, maaf ya Mut, jadi merepotkan.”
            “Tidak usah dipikirkan, yang penting sekarang kamu sudah sadar dan tidak terjadi apa-apa.”
            “Bagaimana dengan keadaan adik saya, dok?” tanya Pram kepada dokter Fahri.
            “Tidak apa-apa. Rani hanya kecapekan, perlu banyak istirahat. Oh iya, ini vitaminnya.” Dokter Fahri menyerahkan bungkusan obat yang baru saja diberikan Yuyun kepada Pram.
            “Berapa untuk menebus obatnya, Yun?” tanya Khaerani.
            “Sudah, tidak usah dipikirkan.”
            “Terima kasih, jadi merepotkan kamu dan dokter Fahri lagi.”
            “Tidak ada yang merasa direpotkan, kok.” Dokter Fahri tersenyum ramah seperti biasanya.
***
            Khaerani pulang dengan membonceng sepeda motor Pram. Sebelumnya Bagas dan Mutiara menawarkan untuk mengantarnya dengan mobil, begitu juga dengan Pram, karena kuatir terjadi apa-apa di jalan, karena adiknya itu masih lemas, tetapi ditolaknya. “Tidak apa-apa, aku sudah baik, pulangnya bonceng Mas Pram saja. Terima kasih atas tawarannya, aku sudah banyak merepotkan kalian.”       Bagas setengah memaksa untuk mengantarkan Khaerani, tetapi gadis itu tetap menolak.
***
            “Gadis keras kepala!” kata Bagas sambil menutup pintu mobil.
 Mutiara yang duduk disampingnya hanya tertawa kecil. “Kenapa sih, Mas?”
            “Heran! Baru kali ini aku ketemu gadis keras kepala seperti itu! Ditawarin yang enak, eh malah nyari yang susah! Kalau dia pingsan lagi waktu bonceng sepeda motor, bagaimana coba!”
            “Kok jadi Mas Bagas yang uring-uringan!”
            Bagas tidak menjawab, langsung menyalakan mesin mobil. Tidak lama kemudian mobilnya melaju meninggalkan halaman klinik.
            “Itu karena dia tidak mau mendengarkan nasihat orang lain!” kata Bagas nampak kesal sambil menyetir mobil. Coba, kalau waktu itu, sehabis menolong anak yang hampir hanyut dan tenggelam di saluran irigasi itu mau diperiksa sekalian di klinik, pasti tidak akan terjadi hal seperti ini!”
            “Ditambah, dia harus lembur membuat kue pesananku,” kata Mutiara dengan nada bersalah.
            “Ditambah memang dia itu keras kepala! Berlagak kuat!”
            “Mas Bagas, kok jadi marah-marah begitu?”
            “Habisnya! Dia itu gadis yang sok kuat, sok tegas, sok bisa mengerjakan apa-apanya sendiri! Coba, kalau kita tidak menemukan dia, pasti sudah tergeletak pingsan di pinggir jalan. Iya kalau ada orang baik yang lewat, kalau orang jahat? Bagaimana coba!”
            Mutiara tersenyum mendengar ocehan dari sepupunya tersebut, “jadi, maksudnya Mas Bagas kuatir dan perhatian sama Rani?” Bagas terdiam. “Waduh! Kalau keadaannya begini, bakal ada perang dingin di rumah,” benak Mutiara.
           
Keduanya kemudian terdiam.
“Oh iya, ada satu lagi yang mungkin membuat Rani kecapekan,” kata Mutiara tiba-tiba. “Bapaknya Rani, Pak Suseno, pernah sakit dan sempat dirawat di klinik selama dua hari. Khaerani ikut menginap dan menjaganya di klnik!”
            “Kamu kok tidak cerita, Mut!”
            “Aku juga baru tahu, tadi waktu aku ke rumahnya, Mbak Risma, istrinya Mas Pram sempat cerita. Soalnya waktu itu aku sedang ikut seminar di kota.”
            “Bimo tahu?”
            Mutiara mengangkat kedua bahunya. “Waduh, benaran ini, rumah bakalan panas!” pikir Mutiara.
***
            Sesampainya di rumah, Bapak dan Mak Lela terkejut melihat Khaerani yang kelihatan pucat dan lemas datang bersama Pram.
“Kamu kenapa Ran? Pucat begitu? Terus, kenapa bisa pulang bareng Pram?” tanya Bapak. Pram mengatakan kalau kebetulan bertemu dengan Mutiara di jalan. “Tapi, kamu kelihatan sakit,” kata Bapak kepada Khaerani. Khaerani berusaha untuk tersenyum, dan mengatakan kalau dia sedikit kena masuk angin. Bapak nampak percaya, kemudian mengatakan kepada anak perempuannya tersebut untuk minum obat dan beristiahat.
Pram dan Khaerani sepakat untuk tidak mengatakan yang sebenarnya kepada Bapak, karena takut Bapak terlalu kuatir, apalagi Bapak baru sembuh dari sakit, takut menjadi beban pikirannya. Tetapi mengatakan yang sebenarnya kepada Mak Lela.
“Mak Lela jangan ngomong yang sbenarnya sama Bapak ya?” pinta Khaerani kepada Mak Lela sambil duduk di kursi di ruang tengah.
Mak Lela tersenyum dan mengangguk sambil membelai rambut gadis kesayangannya itu. “Ya sudah,  sekarang Mbak Rani istirahat saja, nanti Mak Lela buatkan makanan dan minuman hangat.”
            “Ya Mak,” jawab Khaerani sambil berusaha untuk bangkit dari duduknya, tetapi belum sempat berdiri tiba-tiba Amir masuk dari pintu belakang.
“Bu Lek!” teriak Amir, “kata ibu, Bu Lek Rani sakit ya?”
Khaerani tersenyum sambil membelai rambut keponakannya, “tidak cuma kena masuk angin saja.”
***
(Apalagi yang akan terjadi?  Tunggu di Bagian 19 yaaaaaa)
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"