SANDYAKALA (Bagian 6)
6 Hajatan Pak Lurah
Pak Lurah mengadakan hajatan pernikahan
anak perempuan pertamanya yang bernama Maya. Pesta pernikahannya cukup meriah.
“Maya
sekarang sudah menikah, Astuti sudah, Burhan, Mia dan aku sudah. Kamu kapan
Ran?” tanya Riena, salah satu teman Khaerani ketika mereka pergi kondangan ke
pernikahan Maya, yang juga salah satu teman SMP mereka.
“Ya, kalau waktunya tiba, aku pasti
menikah,” jawab Khaerani tersenyum sambil mengambil minuman. “Tapi,
ngomong-ngomong aku tidak melihat Asti.”
“Asti baru nanti sore kondangannya,
katanya dia ada sedikit keperluan di kecamatan.” Tiba-tiba Khaerani menarik
tangan Riena. “Ada apa Ran?” tanya Riena tidak mengerti.
“Ayo! Kita menyingkir dari sini Ada Pak
Sofyan. Males aku!” kata Khaerani berbisik. Riena tertawa sambil mengikuti
temannya yang mencoba mencari tempat supaya tidak terlihat oleh Pak Sofyan.
“Rani! Riena!” Khaerani dan Riena
langsung menoleh suara yang memanggil nama mereka.
“Mutiara!” kata keduanya hampir
bersamaan.
“Hai apa kabar? Ketemu lagi,” kata Bagas
yang berdiri disamping Mutiara
Khaerani berusaha tersenyum sedangkan Riena
nampak heran, karena laki-laki yang baru dilihatnya tersebut mengenal temannya
itu. Kemudian Mutiara mengenalkan Bagas kepada Riena sebagai sepupunya.
“Kalian hanya berdua?” tanya Khaerani.
“Sama
bapak dan ibu. Sekarang mereka sedang menemui Pak Lurah,” jawab Mutiara yang
kemudian permisi untuk mengambil makanan bersama Bagas. Sepeninggal keduanya Riena
tiba-tiba menarik tangan Khaerani dan berbisik ketelinganya, “bagaimana kamu
kenal sepupunya Mutiara?”
“Ketemu di tempatnya Pak Said waktu aku
beli kacang hijau. Memangnya kenapa?”
“Orangnya ganteng!” Riena tersenyum.
***
Khaerani dan Riena bertemu dengan
keluarga Pak Said ketika mereka sama-sama akan pulang dari hajatan Pak Lurah,
keduanya kemudian menyapa dengan sopan kedua orang yang cukup terpandang didesa
tersebut.
“Mau ikut pulang bareng, Ran?” Bagas
tiba-tiba berkata, yang membuat terkejut Khaerani, dan yang lainnya. Gadis itu
tiba-tiba merasa ada sebuah batu besar yang menghantamnya ketika dilihatnya Bu
Said melirik ke arahnya dan Bagas.
“Tidak. Terima kasih aku pulang bareng
Riena, naik sepeda motor,” jawabnya. Khaerani dan Riena kemudian permisi untuk
pergi.
“Rani. Laki-laki itu sepertinya suka
kamu,” kata Riena ketika sedang memboncengkan Khaerani pulang.
“Kamu ngomong apa sih, Rien! Lha wong baru
ketemu kok ya dibilang suka! Jangan berpikiran yang aneh-aneh! Kamu tidak lihat
bagaimana Bu Said tadi?””
“Kalau memang betul bagaimana?” Riena
tertawa sedangkan Khaerani terdiam.
***
Setelah Pak dan Bu Said masuk ke rumah,
Mutiara menghampiri Bagas.
“Mas Bagas! Sudah gila ya, ngomong
begitu sama Khaerani di depan ibu!”
Bagas tertawa. “Kenapa memangnya? Aku
kan bukan Bimo, anak kesayangannya. Jadi, tidak masalah toh?”
“Sama saja! Mas Bagas kan kemenakannya
juga, alias masih keluarga Said!
“Lha memang iya, terus kenapa? Apa
menjadi masalah?”
“Bagi Mas Bagas, itu tidak masalah. Tapi
bagi ibu dan Khaerani, itu menjadi masalah, Mas. Pasti dia berpikiran suatu
saat ibu akan menemuinya dan mengatakan yang sama seperti ibu berkata tentang
Bimo.”
Bagas kembali tertawa. “Ibumu itu seperti
mafia saja, semua harus sesuai dengan aturannya sendiri dan semua orang harus
menurutinya.”
Mutiara tersenyum mendengar kata-kata dari
sepupunya itu, “jangan begitu Mas, bagaimana pun Bu Said itu ibuku, Bu Lek nya Mas
Bagas juga, walau terkadang aku juga kesal dengan sikap ibu.”
“Satu lagi, kenapa juga, Rani harus takut sama ibumu? Tidak ada alasan
untuk takut! Memangnya dia itu hidup dari ibumu!”
Mutiara menghela nafasnya, “namanya juga
kehidupan di desa Mas, orang yang dianggap berada dan berpengaruh pasti orang
lain akan segan kepadanya, bahkan bisa diperlakukan lebih dari pejabat
setempatnya.”
***
“Haduuuuh! Kenapa sepupunya Mutiara
harus ngomong begitu dihadapannya Bu Said! Nanti apa yang dia pikirkan!” kata
Khaerani yang sedang berbaring ditempat tidurnya. Diambilnya sebuah bantal lalu
ditutupka ke mukanya. “Semoga saja ini kejadian pertama dan yang terakhir! Aku
tidak mau berurusan lagi dengan Bu Said dengan masalah yang sama! Aku yakin, Bu
Said pasti akan menegur sepupu Mutiara itu!”
***
Bagas sedang membuka-buka sebuah buku di
kamarnya, tiba-tiba teringat akan perkataan Bu Lek-nya ketika mereka pulang
dari hajatannya Pak Lurah.
“Kamu kenal dengan Rani, Gas?” tanya Bu
Said.
“Iya Bu Lek. Dia temannya Mutiara Kan,
juga Bimo. Aku juga pernah cerita sama Bu Lek dan pak Lek kalau pernah bertemu
dengannya di jalan,” jawab Bagas.
“Ini desa Gas. Kamu juga orang baru,
jangan main kenal dan akrab begitu saja dengan orang, apalagi anak gadis orang.
Nanti apa kata orang,” ujar Bu Said.
“Bu Lek itu kenapa sih? Apa salahnya
kenal dengan orang lain? Toh, aku tidak bermaksud jahat! Bu Lek....Bu Lek.....kalau
Bu Lek terus bersikap begitu, kasihan nanti si Bimo!” Bagas menghela nafas,
pikirannya sudah tidak tertuju pada buku yang dibacanya, dan akhirnya
ditutupnya buku tersebut, kemudian naik dan berbaring ditempat tidurnya.
(Bersambung ke Bagian 7)
***
Komentar
Posting Komentar