SANDYAKALA (Bagian 19)
19 Perang
“Bagaimana kabarmu sepupuku yang sableng?”
kata Bimo sambil tersenyum ketika masuk ke kamar Bagas, dilihatnya sepupunya
tersebut sedang melipat sajadah setelah sholat Isya.
Bagas tertawa. “Seperti yang kamu lihat,
aku baik-baik saja. Kamu pulang kerja agak malam, Bim?”
“Begitulah. Ada sedikit masalah di
tempat yang baru, perlu banyak adaptasi, juga pikiran dan tenaga” Bimo duduk di
tepi tempat tidur Bagas. “Bagaimana pekerjaan kamu, Gas?”
“Baik dan lancar-lancar saja. Ada
yang ingin kamu bicarakan sama aku, Bim?” tanya Bagas sambil duduk di kursi
kamarnya.
“Tidak ada. Kenapa memangnya?”
Bagas kembali tertawa. “Yah, siapa
tahu!”
Keduanya terdiam sesaat.
“Kamu senang ada di desa ini?” tanya Bimo.
Bagas mengangguk, “ya, aku sudah mulai
kerasan tinggal di desamu ini Bim.” Bimo tersenyum. “Oh iya Bim, kamu sudah mendengar?”
“Mendengar apa?”
“Mutiara belum cerita?”
“Cerita apa?” Bimo penasaran.
“Siang tadi, aku dan Mutiara
menolong Khaerani yang pingsan di pinggir jalan.”
“Apa! Rani pingsan di jalan!” Bimo
terkejut dan wajahnya menegang. Bagas kemudian menceritakan kejadian pada waktu
siang saat dia dan Mutiara menolong Khaerani yang pingsan di pinggir jalan dan
membawanya ke klinik.
“Kata dokter di klinik, Rani kecapekan.
Ya, karena temanmu yang keras kepala itu tidak mau mendengar nasihat orang
lain.”
“Maksud kamu?”
“Kamu ingat, waktu kita ketemu dia
di klinik setelah menolong anak yang hampir hanyut dan tenggelam itu, dan tidak
mau ikut diperiksa?” Bimo mengangguk. “Mungkin asal mulanya dari saat itu,
terus begadang membuat kue pesanannya Mutiara dan katanya juga menjaga bapaknya
yang sakit.” Bimo terdiam, ada raut
kekuatiran diwajahnya. “Oh iya Bim. Kamu tahu kalau bapaknya Rani sakit dan
dirawat di klinik?” Bimo mengangguk. “Kamu menjenguknya?” Bimo menggeleng. Bagas
menghela nafas. “Kamu itu teman seperti apa sih, Bim? Ada teman kamu, bahkan teman
sejak kalian kecil, malah dapat dikatakan kalian cukup dekat, kok ya tidak empati
sama sekali!” Bimo terdiam. “Aku sudah tahu cerita tentang kalian!”
“Cerita apa!”
“Kamu, Rani dan Bayu!”
“Darimana kamu tahu! Rani cerita
sama kamu?”
“Menurut kamu?”
Bimo menghela nafas, “aku tidak
yakin, Rani yang menceritakannya. Pasti Mutiara!” Bimo memandang Bagas dengan
tajam.
“Jangan salahkan Mutiara. Adikmu itu
hanya merasa kecewa sama kamu, Bim!”
“Kecewa? Kecewa kenapa?”
“Karena kamu terlalu penakut! Tidak
punya nyali!”
“Apa maksudnya!”
“Kamu tidak punya keberanian untuk
mengatakan dan melakukan apa yang sebenarnya menjadi keinginan kamu Bim! Kamu
terlalu kuatir, tidak berani mengambil resiko!” Bimo terdiam, urat-urat
diwajahnya mengeras. “Betul begitu Bim?”
“Kesimpulan darimana itu!” Bimo
mencoba membela diri.
“Tanya pada diri kamu sendiri!”
Mutiara berdiri di depan pintu kamar
Bagas, mendengarkan percakapan antara kakak dan sepupunya. “Aduuuh, kenapa Mas
Bagas ngomong seperti itu?” benaknya.
“Kamu menyukai Rani kan, Bim? Iya
kan?” Bimo terdiam. Bagas tiba-tiba tertawa, “Lihat! Untuk menjawab pertanyaan
mudah pun, yang kamu sudah tahu jawabannya, kamu tidak berani mengungkapkannya!”
Bimo masih terdiam, tapi telinganya sudah mulai panas. “Kamu takut dan kuatir,
ibumu tahu?” suara Bagas agak dipelankan. Bimo melotot kearah Bagas. “Apa yang kamu takut dan kuatirkan? Dicoret
sebagai ahli waris, tidak diaku sebagai anak lagi, atau takut dicap sebagai
anak durhaka?”
“Kamu ngomong apa sih, Gas!”
“Haduuuuh, untung saja bapak sama
ibu sedang keluar. Kenapa Mas Bagas jadi emosi begitu sih! Benar-benar ada
perang dingin di rumah ini!” pikir Mutiara yang masih berdiri di depan pintu
kamar Bagas.
“Apa sebenarnya yang kamu takutkan
Bim! Ketakutan yang tidak beralasan, ketakutan yang membuat kamu seolah-oleh
tidak berdaya, ketakutan yang mengorbankan perasaan kamu! Kamu laki-laki dewasa
Bim, sudah mapan, tidak ada yang perlu kamu takutkan dan kuatirkan. Lakukan apa
kata hatimu, kalau dibilang resiko, semua hal didunia ini ada resikonya! Jangan
terus berada dibawah ketiak ibumu!”
“Bagas!” suara Bimo meninggi dan ada
nada kemarahan didalamnya.
“Bukannya aku mengajarkan kamu untuk
menjadi anak durhaka Bim! Tapi supaya kamu tahu, jangan jadi laki-laki penakut,
berani ambil keputusan dan resiko, yang kamu anggap baik dan benar dan tidak
merugikan pihak mana pun!”
“Aku bukan laki-laki penakut seperti
yang kamu katakan itu!” Bagas bangkit dari duduknya.
“Buktikan!”
“Untuk apa dan siapa?”
Bagas tertawa, “untuk siapa lagi?
Ya, untuk diri kamu sendiri!”
Bimo berjalan ke pintu.
“Perlu kamu tahu Bim, aku mulai
menyukainya!” kata Bagas tiba-tiba. Bimo menghentikan langkahnya dan berbalik
memandang Bagas dengan tajam. “Aku tidak bisa membohongi diri aku sendiri, Bim.”
Bimo kembali berbalik dan berjalan keluar kamar Bagas. Mutiara langsung berlari
menuju kamarnya sebelum pintu kamar Bagas terbuka.
Setelah keluar dari kamar Bagas, Bimo
langsung masuk kamarnya, tidak berapa lama keluar lagi dan berjalan menuju
pintu depan. Sesaat kemudian terdengar suara mobil yang meninggalkan halaman
rumah.
Di dalam kamar, Bagas menghela nafas
panjang. Niatnya untuk menulis setelah isya buyar seketika. “Ada apa dengan aku
sebenarnya? Kenapa aku begitu emosi dengan Bimo? Dan, Rani. Kenapa aku jadi
selalu memikirkannya?” benaknya. Bagas bangkit dar duduknya dan menghempaskan
badannya di tempat tidur. Sementara dikamar lain, Mutiara nampak mengintip dari
jendela, “Mas Bimo mau kemana?”
***
Bimo memarkir mobilnya dipinggir jalan,
kemudian keluar dan berjalan masuk ke halaman rumah Khaerani. Pintu depan
terbuka, nampak Pram keluar dari rumah Bapak, kakak Khaerani itu terkejut
ketika melihat ada seseorang berjalan mendekat, dan lebih terkejut lagi ketika
mengetahui siapa orang tersebut. “Bimo!”
“Malam Mas Pram.” Bimo tersenyum menyapa
Pram.
“Malam. Ada apa Bim, malam-malam
kesini?” tanya Pram merasa heran.
“Katanya Rani sakit. Siang tadi pingsan
dipinggir jalan?”
“Begitulah.” Pram mempersilakan Bimo untuk
masuk, tapi Bimo memilih didepan saja. Mereka berdua kemudian duduk
dibalai-balai kesayangan Bapak.
“Sekarang keadaan Rani bagaimana, Mas?”
“Sudah baik. Sekarang sedang tidur. Kata
dokter Fahri, Rani tidak apa-apa, hanya kecapekan saja, disuruh banyak
istirahat dan minum vitamin.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Untung saja waktu itu ada adik dan
sepupu kamu yang menolong Rani, Bim. Mas Pram tidak bisa membayangkan keadaan
Rani kalau tidak ada mereka.”
“Kenapa harus si sableng itu yang menjadi
pahlawannya?” pikir Bimo.
Pram kemudian bercerita bagaimana
Khaerani yang tidak memperhatikan kesehatannya. “Kamu pasti tahu sendiri
bagaimana sifatnya. Kalian kan sudah berteman sejak kecil!”
Bimo tersenyum, mengingat bagaimana
kebersamaan antara dirinya dengan Khaerani sejak kecil, main di sawah, di
sungai, di sekolah, di bukit, di jalan. “Rani sangat keras kepala,” kata Bimo.
“Yah, seperti itulah. Sifat jelek yang
susah berubah dari dia!” kata Pram sambil tersenyum. Kakak Khaerani itu sangat
tahu betul kedekatan antara adiknya dengan anak laki-laki satu-satunya dari Pak
Said tersebut. Sesaat terjadi keheningan antara keduanya.
“Apa kamu sedang libur? Tumben ada
disini?” tanya Pram kemudian. Bimo kemudian menjelaskan keberadaannya didesa
yang berhubungan dengan pekerjaannya. “Waaah, hebat kamu Bim, sebentar lagi
pasti kamu jadi direktur,” kata Pram setelah mendengar cerita Bimo.
Bimo tersenyum. “Mas Pram bisa saja.”
“Jadi kamu bekerja di perusahaan alat
dan mesin pertanian?” tanya Pram. Bimo mengangguk. “Semua serba mesin ya?
Lama-lama tenaga manusia tidak terpakai kalau begitu?”
Bimo tersenyum.”Tapi mesin juga harus
dikendalikan manusia, Mas. Jadi tenaga manusia tetap terpakai.”
“Yah, itu kalau mereka yang
berpendidikan. Nah, misalnya mereka tidak berpendidikan, yang kerjanya sebagai
buruh tani, bagaimana?”
“Mereka bisa diajarkan kok, Mas.”
Pram tersenyum. “Tapi untuk satu dua
orang, sedangkan orang yang jadi buruh tani kan banyak sekali, Bim. Nanti
bisa-bisa mereka jadi pengangguran, sedangkan mereka tidak punya keahlian
apa-apa selain bertani.” Pram menghela nafas. “Bukannya aku anti teknologi lho,
Bim. Tetapi ya begitulah, kita memang harus mengikuti perkembangan zaman,
menerima teknologi yang katanya dapat mempermudah hidup kita, tapi di sisi lain,
kita belum siap sepenuhnya menerima teknologi tersebut. Bagi petani kaya dan
pemilik lahan lahan yang luas, seperti Pak Said, mungkin itu sangat
menguntungkan, tapi bagi buruh tani, seperti mang Sidik, Aswin dan
lain-lainnya, yang bekerja sebagai buruh tani, mungkin akan mengurangi
pendapatan mereka.”
“Seperti dua sisi mata uang,” sambung
Bimo. “Makanya disini mesin dan alat pertanian belum secanggih di luar negeri,
yaa walaupun sudah ada yang memakainya.”
“Itu tugas orang-orang yang pintar untuk
memecahkan masalah, bagaimana membuat kebijakan dan keputusan yang meguntungkan
bagi semuan, tidak hanya untuk satu pihak saja!” ujar Pram sambil tersenyum. Kebisuan
menyelimuti keduanya, hanya suara binatang malam yang terdengar dan angin malam
yang terasa dingin. “Kamu sekarang tidak pernah lagi main kesini ya Bim? Dulu kamu sering sekali main kesini. Bermain
dan ngobrol dengan Rani,” kata Pram sambil tersenyum kepada Bimo. “Tapi Mas maklum.
Selain kalian sudah sama-sama besar. Kamu pasti sangat sibuk dengan pekerjaanmu.”
Bimo tersenyum. “Sebenarnya ingin sekali
setiap hari aku bermain kesini, Mas.” katanya dalam hati.
“Kata
Rani, Mutiara akan segera dilamar?” tanya Pram. Bimo mengiyakan. “Kamu sendiri?”
Bimo tertawa kecil. “Memangnya siapa
yang akan saya lamar Mas? Belum ada yang mau.”
“Walaaah, gadis mana yang tidak mau sama
kamu, Bimo? Sebagai seorang laki-laki, kamu punya segalanya, ganteng, kaya,
pintar, sudah mapan dan dari keluarga terpandang. Tinggal kamunya saja, maunya
yang seperti apa.”
“Ah, Mas Pram bisa saja. Buktinya sampai
sekarang, saya masih sendiri.”
“Itu kan, karena kamunya saja belum mau.
Atau, jangan-jangan sebenarnya kamu sudah punya calon, tapi kamu sembunyikan?
Atau, kamu sudah dijodohkan sama ibumu?” Pram tertawa, sedangkan Bimo hanya tersenyum
yang setengah dipaksakan.
Setelah cukup lama berbicara dengan
Pram, Bimo akhirnya pamit pulang dan menitipkan salam untuk Khaerani, begitu
juga dengan Pram yang menitipkan ucapan terima kasih untuk Bagas dan Mutiara.
***
Bimo masuk ke dalam, dilihatnya
Mutiara, sedang duduk menonton sebuah acara di televisi. “ Kamu belum tidur,
Mut?” tanya Bimo.
“Belum. Aku nunggu bapak sama ibu, juga
Mas Bimo. Mas Bimo dari mana?”
“Dari luar!” jawab Bimo singkat.
“Luar mana?”
“Apa aku harus selalu laporan kemana
aku pergi?”
Mutiara tertawa. “Memangnya salah, kalau
aku tanya?”
“Salah!”
“Lho! Mas Bimo kok jadi marah?”
Bimo duduk disamping Mutiara. “Jadi,
bapak sama ibu belum pulang?”
“Belum. Jadi, Mas Bimo bisa tenang,
tidak akan ada acara interogasi!” Mutiara tertawa.
“Si sableng mana?”
“Mas Bagas?”
“Siapa lagi!”
“Di kamarnya. Sepertinya sudah
tidur. Ada apa memangnya?”
“Tidak apa-apa. Aku kira, dia sudah
ngelayap lagi kemana! Syukurlah, kalau sudah tidur!”
“Memangnya Mas Bagas mau ngelayap
kemana malam-malam begini?”
“Mana aku tahu!” kata Bimo
mengangkat sambil mengangkat kedua bahunya, yang kemudian bangkit dari duduknya
dan berjalan menuju kamarnya.
***
(Penasaran?...Baca Bagian 20 ya.....)
Komentar
Posting Komentar