SANDYAKALA (Bagian 3)

3  Cerita

“Bagaimana rasanya tinggal di desa ini Gas?” tanya Pak Said kepada kemenakannya ketika mereka berkumpul dimeja makan untuk makan malam.
            “Senang Pak Lek. Udaranya masih segar. Apalagi pagi dan menjelang malam, udaranya terasa dingin, “ jawab laki-laki tampan berkulit putih, bermata besar dan beralis tebal itu sambil tersenyum
            “Kamu kalau sedang bosan di Jakarta dan ingin pulang mending disini saja, Gas. Pak Lek dan Bu Lek kamu ini kan sama saja pengganti orang tua kamu yang sudah meninggal. Kakakmu Ambar, sudah ikut suaminya ke Surabaya. Rumahnya yang di Semarang, yang peninggalan orangtuamu itu pasti kosong, kamu sendiri tinggal di tempat kost di Jakarta. Apa tidak sebaiknya rumah itu dijual saja atau dikontrakan ke orang lain. Toh, kamu juga tidak mungkin tinggal dirumah itu kan. Disini banyak kamar kosong. Ya kan Bu?”
            “Apa yang dikatakan Pak Lek kamu itu benar, Gas. Siapa lagi yang menjadi orangtua-mu selain kami disini. Ambar juga sudah Bu Lek bilang begitu,” kata Bu Said. wanita berumur lima puluhan yang masih kelihatan cantik diusianya tersebut.
            “Iya Bu Lek, Pak Lek.”
“Hari ini jalan kemana saja Mas?” tanya Mutiara kepada sepupunya.
            “Cuma bersepeda sebentar. Oh iya, aku ketemu temanmu dijalan.”
            “Teman? Teman yang mana? Memangnya Mas Bagas kenal temanku didesa ini darimana?” Mutiara nampak keheranan.
            “Itu, yang kemarin kesini.”
            Mutiara mengernyitkan dahinya, mencoba mengingat sesuatu, “ooooh, maksudnya Rani?”
            “Jadi namanya Rani?”
            “Khaerani, panggilannya Rani,” Mutiara melirik bunya yang tiba-tiba raut wajahnya berubah ketika dia menyebut nama Khaerani. Bagas pun sempat memperhatikannya.
            “Sudah, sudah, ngobrolnya nanti saja. Sekarang lebih baik kita makan dulu,” kata Pak Said. “Ayo Gas, makan yang banyak, nanti pak Lek dimarahin kakakmu, dikiranya disini tidak dikasih makan.”
            “Pak Lek bisa saja.”
***
“Hai, temannya Mutiara, bisa tunggu sebentar!” teriak seseorang ketika Khaerani sedang mengayuh sepedanya sepulang dari tempat Pak Said setelah mengambil kacang hijau pesanannya.
“Dia lagi!” pikir Khaerani ketika mengetahui siapa yang berteriak.
“Hai, kita ketemu lagi,” kata Bagas tersenyum ketika sudah berada disamping Khaerani yang masih terus mengayuh sepedanya.
“Maaf, ada apa yah, Mas?”
Bagas tertawa kecil. “Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin berkenalan saja. Sebagai orang baru didesa ini, aku tidak tahu apa-apa dan tidak mengenal siapa-siapa.”
“Terus?”
“Kebetulan kamu adalah teman Mutiara, apa salahnya kita berkenalan, jadi selain dari keluarga Pak Said, aku punya teman lain yang bisa diajak bicara tentang desa ini.” Khaerani diam. “Namaku Bagas.” Bagas memperkenalkan diri. “Nama kamu Rani kan, Khaerani. Aku tahu dari Mutiara.”
 “Lalu, ada yang bisa aku bantu?”
“Aku ingin tahu, dimana tempat yang indah di desa ini?”
“Semua tempat di desa ini indah.”
Bagas tersnyum. “Mutiara pun, mengatakan hal yang sama. Kalau begitu, dimana yang paling indah?”
Khaerani menunjuk ke bukit hijau yang menjulang. “Mas bisa lihat bukit itu, di dekat sana ada pemandangan yang cukup indah, disamping ada bukit hijau dengan pohon pinusnya, ada sawah-sawah dan sungai yang cukup jernih. Itu menurutku.”
Sepupu Mutiara itu melihat arah yang ditunjukkan oleh Khaerani. “Selain disana, apa ada tempat lainnya?”
“Semua tempat dan sudut di desa ini tidak ada yang tidak indah.”
“Bagaimana kalau ingin mengetahui aktivitas penduduk desa ini?”
Khaerani mengernyitkan dahinya. “Untuk apa?”
“Sekadar ingin tahu saja.”
“Aku rasa, sama seperti penduduk desa lainnya. Dari mulai subuh sebelum matahari terbit sampai matahari terbenam.”
“Pertanyaan bodoh!” benak Bagas. “Kalau rumah kamu, dimana?” tanya Bagas tiba-tiba.
“Kenapa? Apa hubungannya dengan rumahku? Rumahku bukan salah satu tempat yang indah!”  Bagas tersenyum. “Maaf Mas, aku harus segera pergi.”       
“Eh, tunggu dulu. Jangan panggil aku dengan sebutan Mas, panggil saja Bagas!” Khaerani tidak menghiraukannya, lalu segera mengayuh sepedanya dengan lebih cepat. “Apa aku salah?  Kenapa dia selalu menghindar setiap kali bertemu aku? Apa tampangku seperti kriminal? Atau, orang-orang di desa ini memang seperti itu? Takut dengan orang yang baru dikenalnya?” gumam Bagas. “Terus, kalau mau ke bukit itu lewat jalan mana? Dia kan, belum mengatakannya.”
***
“Bagaimana Mas, sudah dapat inspirasi dan gambar yang menarik setelah beberapa hari disini?” Mutiara melongok ke kamar sepupunya yang sedang serius didepan laptopnya sehabis isya.
“Ya, ada sedikit. Tapi ngomong-ngomong, bapak sama ibumu pergi kemana? Mereka dandan rapi sekali.”
Mutiara tersenyum.“Biasa. Ke tempat salah satu pelanggan terbaiknya. Pak Haji Suryo.”
“Rapi amat! Kayak mau ketemu besan saja!” Mutiara tertawa. “Oh iya Muti, aku bertemu dengan teman kamu lagi, siapa namanya.” Bagas mencoba mengingat-ingat. “Rani, ya Khaerani.”
Mutiara tersenyum, kemudian masuk dan duduk disamping Bagas. “Bagaimana dengan dia?” tanya Mutiara.
“Dia itu aneh, selalu menghindar dan kelihatan takut setiap kali aku mengajaknya bicara. Memangnya kenapa? Apa tampangku menyeramkan ya? Aku rasa tidak, aku adalah salah satu pria terganteng di Nusantara ini!”
 Mutiara tertawa mendengar celotehan sepupunya itu. “Bukan karena takut sama Mas Bagas. Tapi karena Mas Bagas itu kemenakannya Pak Said dan Bu Said!”
“Lho! Memangnya kenapa?”
“Tidak kenapa-napa! Dia mungkin takut dilihat sama ibu!”
 Bagas mengernyitkan dahinya, “memang ibumu suka menggigit kalau melihat orang? Sampai ada orang yang takut?”
 “Enak saja!” Mutiara memukul lengan Bagas.
“Terus kenapa? Tapi, bukannya dia juga sering ke sini untuk beli sesuatu ditempat Pak Lek?” Bagas nampak keheranan dan penasaran.

 “Ya. Untuk beli kacang hijau.” Mutiara mengatakan kalau bapaknya adalah satu-satunya di desa ini yang menjual kacang hijau dengan mutu bagus dan murah. Sehingga setiap orang yang membutuhkan kacang hijau pasti akan tempat bapaknya. Baik yang akan dijual lagi ataupun untuk diolah kembali. Karena dengan harga beli yang cukup murah, keuntungan yang didapatnya akan semakin tinggi. 
“Jadi dia terpaksa kesini?”
Mutiara mengangkat kedua bahunya, “mungkin!”
“Memangnya ada apa sih?” tanya Bagas penasaran.
Mutiara menghela nafasnya, “ceritanya panjang.”
“Memangnya sepanjang apa? Apa boleh aku tahu?”
“Rani itu sebenarnya temannya Mas Bimo sejak kecil.”
“Jadi bukan teman kamu?”
“Ya temanku juga. Tapi Mas Bimo satu angkatan dengan Rani sekolahnya, dari mulai SD, SMP dan SMA. Bermain pun mereka bersama.”
“Aku bisa tebak sekarang! Mereka pacaran, ibumu tidak menyetujui, lalu Bimo kabur mengajak Rani kawin lari! Betul begitu kan?!” Bagas tertawa.
“Sok tahu! Bukan begitu cerita persisinya! Itu sih, cerita sinetron!””
“Terus?”
“Waktu duduk dibangku SMP, Mas Bimo sama Rani saling suka. Mereka sekolah  di SMP yang sama di desa ini. Ya, mungkin boleh dibilang cinta monyet. Tapi tidak saling menyatakan satu sama lain. Mereka sangat dekat. Orang-orang yang melihatnya pun pasti tahu kalau mereka saling suka. Sebagai adik dan adik kelas, aku pun tahu, kalau mereka saling taksir.”
“Cinta monyet,” gumam Bimo. “Terus, cinta mereka tidak kesampaian, begitu?”
“Dengarkan dulu! Waktu itu, anak perempuan mana yang tidak suka dengan Mas Bimo? Ganteng, pintar, anak orang kaya, baik hati, dan patuh pada orang tua!” Mutiara menekankan kata yang terakhir. Bagas tertawa mendengar pujian Mutiara terhadap kakaknya. “Tapi Mas Bimo sukanya sama Rani. Hingga pada suatu hari, ibu melihat kedekatan mereka yang tidak biasa. Pada saat mereka sedang belajar bersama di rumah. Ibu bicara dengan mereka. Aku ingat kata-kata ibu waktu itu, karena aku memang sedang belajar bersama mereka.”

“Bimo, Rani, bagaimana belajar kalian?”
“Baik Bu,” jawab Bimo dan Khaerani hampir bersamaan.
“Kalau sekolah kalian?”
“Baik juga Bu.”
“Apa cita-cita kalian setelah besar nanti?”
“Saya ingin jadi guru, Bu,” jawab Khaerani.
“Kamu, Bimo?”
“Aku ingin jadi arsitek!” jawab Bimo.
“Nah, kalian ingin cita-cita kalian tercapai kan?” Bimo dan Khaerani mengangguk. “Untuk itu, kalian harus rajin belajar. Jangan melakukan sesuatu yang dapat merusak tercapainya cita-cita kalian.”
“Apa itu Bu?’ tanya Bimo.
“Pacaran, misalnya. Kalian masih kecil, jangan pacaran dulu,” kata Bu Said. Bimo dan Khaerani hanya menunduk mendengarnya.




“Terus, mereka berpisah?” tanya Bagas.
Mutiara menggelengkan kepalanya, “tidak, mereka berteman seperti biasanya. Sekolah bersama, main bersama, cuma mulai saat itu Rani tidak belajar bersama di rumahku lagi.”
“Takut sama ibumu?”
“Mungkin! Tapi, sebenarya mereka itu belum berpacaran, lha wong cuma saling suka. Apalagi di kampung, mana ada anak kecil dijaman itu berani saling menyatakan cinta dan suka!” Mutiara tersenyum, kemudian melanjutkan ceritanya. “Sampai akhirnya mereka lulus SMP dan masuk SMA di sekolah yang sama di kota kecamaan.”
“Mereka pacaran beneran?”
Mutiara menggelengkan kepalanya. “Rani melupakan cinta monyetnya itu, apalagi ditambah takut dengan ibu. Dia bertemu Bayu, satu kelas dengannya dan tinggal di desa tetangga, dan kemudian berpacaran dengannya.”
“Bagaimana dengan Bimo?”
“Mereka tetap bersahabat, begitu juga dengan Bayu. Tapi ternyata Mas Bimo tidak dapat melupakan cinta monyetnya itu!”
Bagas tertawa, “jadi. Bimo hanya jadi penonton saja? Apa dia menyia-nyiakan masa SMA-nya? Tidak pernah punya pacar?”
“Punya. Namanya Dewi, anaknya Pak Camat waktu itu. Mas Bimo pernah mengajaknya ke rumah. Aku melihat ibu begitu senang dengan hubungan Mas Bimo dan Dewi. Aku sendiri heran waktu itu, kenapa dengan Dewi ibu tidak melarang Bimo berpacaran, sedangkan dengan Rani, walaupun tidak berpacaran tapi tahu jalan berdua, ibu pasti akan menegur Mas Bimo.”
“Karena anak camat!” kata Bagas.
“Mungkin!”
“Berarti, waktu itu Bimo sudah bisa melupakan cintanya pada Rani?”
“Tidak! Waktu itu terpaksa. Dewi yang yang suka dengan Mas Bimo. Mungkin, daripada tidak punya pacar.” Mutiara tertawa. ”Dewi itu cantik, malah lebih cantik dari Rani.”
“Terus, bagaimana kelanjutannya?”
“Sampai akhirnya mereka bertiga lulus. Mas Bimo kuliah di Semarang dan Bayu di Jogja, sedangkan Rani tidak. Bayu masih tetap berhubungan dengan Rani, Mas Bimo putus dengan Dewi. Hingga akhirnya Bayu meninggal karena sakit tidak lama setelah ibunya Rani meninggal, yang juga karena sakit.”
“Meninggal!” Bagas terkejut.
“Karena leukimia. Waktu itu Mas Bimo sudah bekerja di perusahaan kontraktor di Semarang, sebelum akhirnya pindah ke Jogja dan Bayu sudah bekerja di sebuah konsultan pertanian di di kota kabupaten sedangkan Rani bekerja disebuah minimarket di kecamatan. Kata Mas Bimo, Bayu berniat akan menikahi Rani sebelum meninggal!”
Bagas mengernyitkan dahinya, “Bagaimana dengan Bimo setelah Bayu meninggal?”
“Setelah kematian Bayu, mereka sempat dekat. Mungkin awalnya sebagai sahabat yang menguatkan, tapi Mas Bimo masih menyimpan rasa suka itu. Rani pun, mungkin membutuhkan teman dan tempat bersandar.”
“Lalu, mereka ce-el-be-ka?”
“Hampir saja. Hingga ibu melihat gelagat tersebut!”
“Ibumu lagi?!”
 Mutiara tersenyum, “ibu bicara panjang lebar kepada Mas Bimo waktu itu.”
“Apa yang ibumu katakan?”

“Bimo, kamu sarjana dan kerja di tempat yang bagus, dapat dikatakan kamu mapan dan sempurna untuk seorang laki-laki. Ibu ingin kamu bahagia. Karena kebahagiaanmu adalah kebahagiaan ibu, juga keluarga ini. Apalagi kamu adalah anak laki satu-satunya. Ibu berharap kamu tidak mengecewakan ibu. Ibu ingin jika kamu punya pendamping hidup, adalah wanita yang cocok dan serasi dengan kamu, yang membuat kamu dan keluargamu bangga juga bahagia.”
“Apa maksud ibu?” tanya Bimo.
“Bim. Bukannya ibu tidak suka dengan Rani. Tapi alangkah baiknya jika kalian berhubungan tidak terlalu jauh, cukup hanya teman. Ibu yakin, kamu pasti mengerti maksud ibu. Kamu tidak ingin mengecewakan ibu dan juga keluargamu kan, Bim?”
 Bimo hanya menunduk dan terdiam.

“Ibu juga pernah berkata kepada Rani hal yang sama” kata Mutiara.
“Bimo melakukan apa kata ibumu?”
“Mas Bimo itu anak yang penurut, dan selalu patuh dengan orang tua. Tidak seperti Mas Bagas!” Mutiara tertawa ketika Bagas menyikut lengannya.
“Bagaimana dengan Rani?”
“Mas Bimo mulai menjaga jarak, dan Rani pun sepertinya menyadarinya.”
“Bagaimana sikap Bimo sekarang?”
“Setelah bekerja di Jogja, Mas Bimo jarang pulang ke rumah. Saat pulang pun dia hanya dirumah, paling keluar sebentar.”
“Tidak pernah ketemu Rani lagi?”
“Aku tidak tahu!”
“Lewat telephon?”
“Aku juga tidak tahu! Tapi sepertinya tidak! Oh iya. Ada satu hal lagi. Hubungan Bayu dengan Rani juga tidak disetujui oleh ibunya Bayu!”
Bagas mengernyitkan keningnya, “memangnya kenapa dengan gadis itu. Kok ya nasibnya jelek sekali!”
Mutiara mengangkat kedua bahunya. “Mungkin pikiran ibunya Bayu sama seperti pikiran ibu. Tapi, sebenarnya bapak ingin menjodohkan Mas Bimo dengan Rani. Bapak ingin sekali besanan dengan bapaknya Rani, karena mereka berteman baik, juga dengan ibunya Rani sejak muda. Pertama bapak ingin menjodohkan Mbak Ayu, kakak pertamaku dengan Mas Pram, kakak Rani. Tidak kesampaian, karena Mas Pram sudah menikah terlebih dahulu, disamping itu Mbak Ayu juga sudah punya pacar. Sekarang Mas Bimo dan Rani, tapi sepertinya keinginan bapak tersebut tidak akan kesampaian juga.”
“Jadi, masalahnya ada sama ibumu?”
“Ya, kurang lebih begitu. Aku tidak tahu, apa yang sebenarnya dalam pikiran ibu. Padahal Rani berasal dari keluarga baik, juga bukan dari keluarga miskin-miskin amat.”
Keduanya kemudian terdiam.
“Rani sangat mencintai Bayu. Hingga sampai sekarang pun masih sering ke makam Bayu,” kata Mutiara kemudian.
“Bagaimana dengan Bimo?”
“Si pengecut itu?”
“Hei, dia itu kakakmu!” Mutiara kembali tertawa. “Kenapa kamu sebut Bimo sebagai pengecut?”
“Bagaimana tidak disebut sebagai pengecut, Mas Bimo itu sebenarnya suka dan cinta sama Rani, tapi tidak berani mengatakannya. Dia juga tidak mempunyai sikap dan tidak berani mengambil resiko!”
“Kenapa?”
“Takut sama ibu!” Mutiara tertawa. “Sebenarnya juga, kata Mas Bimo, sebelum Bayu meninggal, dia menitipkan Khaerani pada Mas Bimo, karena Bayu tahu sebenarnya Mas Bimo juga suka dengan Khaerani. Tapi, aku tidak tahu dengan sikap Mas Bimo yang penakut itu.”
“Kejadiannya hampir sama dengan Ayu, kakak Bimo.”
“Memang hampir sama, cuma Mbak Ayu punya sikap dan berani ngomong sama ibu, apa yang menjadi pilihannya adalah yang terbaik bagi dirinya. Toh, mereka akhirnya hidup berbahagia, walaupun kehidupan mereka jauh lebih sederhana daripada ibu dan bapak.”
“Tapi ibumu akhirnya merestuinya kan?”
“Ya, terpaksa, daripada melihat anaknya kawin lari, nanti malah membuat malu keluarga,  katanya.”
“Kenapa Bimo tidak seperti Ayu?”
“Mungkin Mas Bimo adalah satu-satunya anak laki-laki di keluarga Said, anaknya sangat penurut dan jadi kesayangan ibu.”
“Jadi sampai sekarang, Bimo belum pernah punya pacar lagi?”
“Sebelum Bayu meninggal, Mas Bimo pernah punya pacar orang Seemarang, tapi tidak lama. Mereka putus. Setelah Bayu meninggal, sepertinya Mas Bimo belum pernah punya pacar lagi.”Mutiara menghela nafasnya. “Mas Bagas tahu tidak?”
“Apa?”
“Ibu ingin menjodohkan Mas Bimo dengan anak Pak Haji Suryo!”
            Bagas mengernyitkan dahinya. “Yang sedang mereka kunjungi sekarang?” Mutiara mengangguk sambil tersenyum. “Pantas saja mereka berdandan rapi, rupanya mau ketemu calon besan.” Bagas tertawa.


(Bersambung ke Bagian 4)


***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"