Sahabat Sang Penulis
“Yudhis?
Yudhis yang mana?” tanya Renata sambil menguap ketika menjawab telepon dari
Marini. Dilihatnya jam dinding dinding
di kamarnya menunjukkan pukul setengah satu malam.
“Yudhistira! Memang Yudhis siapa lagi!”
Mata Renata langsung melek, rasa kantuknya hilang
seketika. Marini mengatakan kalau dia bertemu dengan Yudhis di sebuah kafe di
Jakarta Selatan saat peluncuran film terbarunya. Renata dengan semangat
menanyakan bagaimana keadaan Yudhis sekarang, setelah hampir enam tahun mereka
tidak bertemu.
“Setahun
terakhir dia berada di luar negeri dan sekarang dia sudah menjadi seorang fotografer
dan juga penulis tetap di sebuah majalah yang cukup terkenal. Tapi dia sudah
berubah Ren, dia bukan Yudhis yang pernah kita kenal dahulu saat kuliah!”
“Berubah bagaimana maksudmu?”
“Ini sudah terlalu malam. Otakku sedang tidak bisa diajak
berpikir. Lebih baik kamu ke tempatku besok siang. Ada yang perlu aku katakan
padamu.”
“Tentang
Yudhis?”
“Datanglah
besok!” Marini menutup teleponnya.
Renata meletakkan telepon genggam di atas meja di samping
tempat tidurnya, dia kembali merebahkan badannya di atas tempat tidur. Dia
penasaran apa sebenarnya yang ingin
Marini katakan, tidak biasanya dia menyuruh datang ke rumahnya.
“Apa
tentang Yudhis?” Seulas senyum tipis tergambar dibibir Renata. “Seperti apa dia
sekarang?” gumamnya lirih.
***
Renata,
Marini dan Yudhis, mereka adalah teman satu kampus, meskipun tidak satu
fakultas di sebuah perguruan tinggi di Depok. Mereka bertemu saat hari pertama ospek
di kampus. Setelah lulus kuliah, Yudhis diterima sebagai wartawan di sebuah
majalah terkenal di Jakarta. Mobilitasnya yang tinggi membuatnya tidak pernah
bertemu lagi dengan Renata dan Marini. Hubungan mereka terputus, sedangkan
hubungan Renata dan Marini masih tetap terjalin, walaupun mereka berdua tidak
pernah terlihat bersama. Maklum saja profesi Marini yang sebagai seorang artis
terkenal dan Renata yang menjadi seorang guru Sekolah Dasar di daerah Bekasi.
Marini
Widjayakusuma, adalah seorang artis yang sedang naik daun, film-film yang
dibintanginya selalu menjadi box office. Laris manis menjadi bintang
iklan, dari produk minuman, makanan, hingga
kecantikan. Karir Marini menjadi seorang artis terkenal diawali dari pemilihan
model di sebuah majalah wanita pada tahun pertama kuliah. Namanya semakin
melambung setelah dia menulis beberapa novel yang menjadi best seller.
***
Minggu pagi, Renata terpaksa membatalkan rencananya untuk
menemani adiknya ke pameran buku di
Senayan untuk memenuhi permintaan Marini pergi ke rumahnya. Dengan menggunakan
sepeda motor matic kesayangannya, Renata pergi dari rumahnya di Bekasi ke rumah
Marini di bilangan Cinere.
Marini
menemui Renata dengan keadaan berantakan.
“Kamu kenapa Mar? Sakit?” tanya Renata heran, karena
tidak pernah melihat Marini dalam keadaan berantakan, biasanya Marini selalu
tampil rapi dan fresh.
“Tidak, hanya kurang tidur semalam.”
Renata
langsung bertanya tentang Yudhis. Marini terdiam, menundukan kepalanya untuk
beberapa saat lalu menghela nafasnya. “Dia tahu kalau novel-novel itu bukan aku
yang menulis!”
“Apa!”
Renata nampak tidak percaya.
“Dia
membaca semua novel dan cerpenku!
Dia tahu kalau bukan aku yang menulis, tapi kamu!” Renata terdiam. “Dia tahu betul, kalau itu adalah gaya tulisanmu Ren!
Aku sudah ngotot kalau itu adalah aku yang menulis. Tapi Yudhis malah tertawa!”
Keduanya kemudian terdiam.
“Bagaimana dia tahu! Kamu sudah mengubah gaya berceritamu,
kan Ren? Seperti permintaanku?”
“Aku sudah mengubahnya.”
“Dan kamu tidak pernah mempublikasikan
tulisan-tulisanmu kan Ren? Baik itu lewat blog ataupun media sosial lainnya?
Seperti perjanjian kita?!” kata Marini dengan nada curiga. Renata menggeleng.
Renata terdiam, dia memang
senang menulis, tapi hanya untuk dirinya , tidak pernah dipublikasikan dimana
pun. Pikiran Renata kembali ke masa lalu,
dia teringat bagaimana waktu SMA dulu, Yudhis senang sekali membaca
cerpen-cerpen tulisannya. Yudhis tanpa sengaja membaca cerpen yang dibuat
Renata yang terselip di buku sejarahnya ketika dia meminjamnya dan mengatakan
kalau tulisannya bagus. Renata sangat senang dan mengatakan kalau dia sangat
suka menulis sejak SD, lalu dia memperlihatkan tulisan-tulisannya.
“Dia pasti akan mencarimu, Ren!” ujar Marini
kemudian. “Renata, aku harap kamu tidak mempercayai kata-katanya.”
“Kenapa?”
“Karena
dia sudah berubah!”
***
Ketika kembali ke rumah,
Renata terkejut, Yudhis sudah duduk di ruang tamunya. Hatinya berdebar cepat
dan keras ketika berhadapan dengannya. Yudhis tersenyum sambil mengulurkan
tangannya. “Renata, apa kamu akan berdiri terus ketika baru bertemu sahabat
lamamu setelah bertahun-tahun kita
tidak bertemu?”
“Yudhis!”
Akhirnya Renata berkata dan menjabat tangan Yudhis. Dia melupakan perkataan
Marini untuk tidak bertemu Yudhis.
“Bagaimana kabarmu. Kamu kelihatan berbeda!”
Yudhis tertawa. “Kabarku baik. Berbeda apanya? Aku masih
sama seperti yang dahulu. Kamu yang kelihatan berbeda Ren, kamu
kelihatan lebih dewasa dan bertambah cantik!” Ungkap Yudhis tanpa basa-basi
hingga membuat Renata tersipu malu. “Kamu baru menemui Marini?” Renata terdiam. “Marini
mengatakan tentang pertemuannya denganku semalam dan tentang novel dan
cerpennya?” berondong Yudhis
tanpa basa-basi.
“Novel-novel dan cerpen-cerpen Marini, semua itu tulisanmu kan Ren?” Renata terdiam.
Dia tidak tahu harus berkata apa. Ingat janjinya kepada marini, namun ada
perasaan bergejolok didadanya yang selama ini ingin sekali dia tumpahkan. “Kenapa
kamu melakukan itu untuk Marini?”
“Itu tulisan Marini!”
“Jangan bohong Ren! Walaupun kamu sudah mengubah gaya
bercerita dan menulismu tapi aku tahu itu tulisanmu Ren!” Apa yang telah Marini
lakukan padamu? Dia mengiming-imingi sesuatu? Atau, dia mengancammu?!”
Renata kembali terdiam, dadanya semakin bergejolak. Dia
menghela nafasnya.
“Ceritakan padaku, Ren! Aku berjanji tidak akan
menyebarkannya!”
“Aku...aku...” Renata tergagap. Setelah menghela nafas
dalam-dalam, akhirnya membuka mulutnya dan bercerita. Renata
kemudian menceritakan kalau dia sudah beberapa kali mengirimkan cerpen pada
majalah dan surat kabar juga dua buah novel ke penerbit, tak satu pun yang
terbit. Dia kemudian bercerita kepada Marini. Marini kemudian mempunyai ide,
bagaimana kalau novel-novelnya menggunakan namanya, siapa tahu dengan
menggunakan namanya novel-novelnya terbit, tapi dengan catatan novel-novelnya yang belum pernah
dikirimkan ke penerbit. Marini berjanji tidak akan mengambil sepeser uang pun
jika novel-novelnya terbit. Dan ternyata benar, nama Marini seperti menjadi
jaminan, novel Renata pun terbit namun bukan atas nama dirinya tetapi Marini.
Renata merasa senang ketika akhirnya dapat melihat hasil karyanya di rak toko
buku, apalagi setelah sebulan novelnya dianggap best seller. Hal itu membuatnya
menjadi semangat untuk menulis. Novel keduanya pun terbit dan menjadi best seller hingga kemudian sampai novel
ketiganya.
“Kamu
senang dan Marini semakin terkenal! Dia diundang dimana-mana karena novel yang
bukan tulisannya! Itu sebuah kebohongan besar! Marini juga kamu!” Renata
terdiam. “Apa kamu tidak ingin hasil karyamu tertulis namamu?“
“Tentu
saja aku sangat menginginkannya. Tapi tak satu pun novelku atas namaku terbit!”
“Kamu
mudah menyerah Ren. Aku benci itu! Sebenci saat kamu menjawab suratku!”
“Surat?
Surat apa?!” Renata nampak terkejut sekaligus bingung.
“Surat
yang kutitipkan kepada Marini yang kamu balas, yang
kamu katakan kalau kita lebih baik berteman.”
Renata
yang masih terkejut dan bingung mengatakan
kalau dia tidak pernah menerima surat apa pun dari Marini.
Giliran Yudhis terkejut. “Kamu
tidak pernah menerima surat dari aku?” Renata yang masih nampak kebingungan
menggelengkan kepalanya. Yudhis pun bercerita kalau dia menitipkan surat kepada
Marini yang berisi kalau dia menyukai Renata. Dia
menitipkannya pada Marini karena malu untuk mengatakannya sendiri, menulis
surat pun atas usul dari Marini.
“Aku
mencintaimu, Ren. Hingga sampai detik ini.”
Degub jantung Renata semakin kencang, akhirnya dia
mendengar kata-kata tersebut dari mulut Yudhis setelah bertahun-tahun dia
menunggunya. Namun kemudian dia teringat kata-kata Marini agar dia tidak
mempercayai kata-kata Yudhis.
Melihat Renata yang terdiam Yudhis pun bangkit dari
duduknya dan mendekati gadis itu. “Sudah lama aku memendam rasa itu Ren. Aku
sudah berusaha untuk melupakanmu dengan menjalin hubungan dengan wanita lain,
tapi.....” Yudhis menggelengkan kepalanya. “Aku tetap tidak bisa melupakanmu,
apalagi setelah membaca novel-novel dan cerpen-cerpenmu yang mengatasanamakan
Marini, rasa itu semakin besar. Makanya aku sengaja pulang Ren, agar bisa
bertemu dan mengungkapkan perasaanku padamu. Dulu aku terlalu malu dan takut
untuk mengungkapkan perasanku padamu. Aku datang ke sini dengan nekat, karena
Marini mengatakan kalau kamu sudah pindah entah kemana lima tahun yang lalu.”
Tidak terasa, ada cairan bening mengalir dari kedua sudut
mata Renata. Yudhis menyentuh tangannya, ada kehangatan menjalar dirasakannya.
***
Sore hari berikutnya, setelah pulang mengajar
Renata menemui Marini di rumahnya, sebelum sahabatnya itu pergi ke Bogor untuk
promo film terbarunya.
“Kenapa
kamu tidak memberikan suratnya padaku?”
Marini
terkejut, namun langsung tertawa. “Yudhis menemuimu? Dan bercerita padamu tentang surat? Kamu
mempercayai kata-katanya?”
“Aku
tidak tahu siapa yang harus aku percayai. Tapi aku ingin tahu apa surat itu pernah
ada?”
Marini
terdiam, menghela nafasnya lalu menatap Renata dengan tajam dengan wajah penuh
kebencian. “Surat itu sudah aku bakar!
Aku tidak mau kamu mengetahui isinya!”
“Kenapa?” Renata nampak tidak percaya.
“Karena
aku sangat mencintainya Ren! Aku tidak terima dan marah ketika tahu Yudhis
mencintaimu, makanya aku membakar surat itu dan mengatakan kepada Yudhis kalau
kamu hanya ingin berteman. Walaupun aku tahu kamu juga mencintainya.”
***
Sepulang dari rumah Marini, Renata
termenung di kamarnya, mengingat
perkataan Marini. Selain surat dan balasannya yang tidak pernah dia ketahui, juga
persahabatan yang dibuat hanya
untuk bisa dekat dengan Yudhis. Marini juga berbohong kalau selama enam tahun
ini dia tidak pernah bertemu dengan Yudhis, padahal
beberapa kali dia bertemu dengan Yudhis,
sebelum novel-novelnya terbit.
“Kamu tahu Ren, dia pernah menunjukkan cerpen-cerpenmu
padaku waktu SMA. Dia bilang kamu adalah penulis yang
berbakat, suatu saat kamu pasti akan menjadi penulis hebat yang terkenal. Aku
benci mendengarnya. Dan empat tahun yang lalu saat
aku bertemu dengannya di Surabaya dia masih mengatakan hal yang samaKamu
tahu Ren, tanpa namaku pun sebenarnya novelmu itu layak untuk diterbitkan! Cuma kamu gampang menyerah dan tidak percaya diri. Kemudian
aku ingat perkataan Yudhis itu. Aku tidak ingin Yudhis mengenalmu sebagai
penulis yang hebat. Maka aku minta tulisan-tulisanmu itu. Aku memanfaatkan kelemahanmu yang gampang menyerah dan
tidak percaya diri itu!” Marini tertawa, namun nampak
sekali matanya berkaca-kaca. “Tapi ternyata aku salah! Yudhis mengenal
tulisan-tulisanmu. Saat bertemu denganku dia langsung menanyakan tentang
tulisanmu dan kemudian mengatakan aku sebagai pembohong besar. Kamu tahu Ren,
itu lebih menyakitkan dari suratnya untukmu! Apalagi saat dia katakan kalau dia
masih memikirkanmu. Aku benci padamu Ren! Aku tidak tahu kenapa dia begitu
mencintaimu. Semua ketenaran dan kekayaan bisa aku dapat dengan mudah, tapi aku
tidak bisa mendapatkan hatinya. Kamu tahu Ren, kamu adalah sahabatku namun juga
musuh terbesarku!” Marini kemudian pergi
meninggalkannya karena harus segera berangkat ke Bogor. Renata hanya diam
membeku, tidak tahu harus berkata apa-apa. Hatinya begitu terluka karena oleh
apa yang dikatakan oleh Marini, persahabatan tulus yang diberikannya kepada
Marini hanya dibuat permainan olehnya.
***
Marini
sudah tidak pernah menghubungi Renata lagi, dia sedang sibuk dengan syuting
film terbarunya di Eropa. Beberapa wartawan menanyakan tentang novel Marini
selanjutnya. Marini hanya mengatakan di beberapa media kalau saat ini dia
sedang fokus di film dan belum menemukan cerita yang menurutnya menarik untuk
dibuat novel.
Sementara
itu Renata sedang merasa gembira karena akhirnya novelnya terbit dengan namanya
sendiri dan dengan gaya bercerita dan menulisnya sendiri. Dia
sangat berterima kasih kepada Marini, karena jika sahabatnya tersebut tidak
mengatakan kalau memanfaatkan kelemahannya yang mudah sekali menyerah, maka dia
tetap akan menjadi seseorang yang mudah menyerah dan tidak percaya diri. Cintanya
kepada Yudhis berakhir dengan bahagia.
֍֍֍
Komentar
Posting Komentar