Cerpen "Cinta Untuk Cinta"

Sofie menolak Rien, teman sekantornya untuk diperkenalkan dengan salah seorang teman laki-lakinya, saat dia diberikan pesta kejutan di kantornya pada ulang tahunnya yang ke-28. Rien mengatakan kalau temannya tersebut seorang laki-laki yang cukup mapan.
            “Terima kasih Rien, bukannya aku tidak menghargai kebaikanmu. Tapi saat ini aku lebih memilih untuk sendiri dulu.”
            “Kenapa? Kamu trauma? Takut hubunganmu gagal lagi?”
Sofie terdiam. Rien kemudian mengatakan, kegagalan dalam sebuah hubungan berpacaran adalah suatu hal yang biasa. Itu lebih baik daripada gagal  pada saat sudah menikah. “Yaaa, bisa dikatakan memilih yang terbaik.”
            Suli, teman sekantornya yang lain ikut menimpali. “Apa salahnya Sof, kalau aku masih sendiri, aku mau saja diperkenalkan dengan teman Rien itu. Dia punya jabatan lumayan di BUMN besar, siapa yang enggak pengin!” Suli tertawa.
            “Umurmu sudah tiga puluh, nanti kalau kelamaan dapat duda beranak banyak lho!” Timpal temannya yang lainnya yang kemudian disambut oleh tawa. Rien hanya tersenyum mendengarnya.
***
            Sore hari sepulang dari kantornya di daerah Ampera, Jakarta selatan, Rien mampir di sebuah toko untuk membeli sebuah black forest dan kue-kue lainnya. Sesampainya di rumah. Di daerah Pondok Gede, sebuah kejutan kecil pun diterimanya saat dia membuka pintu. Balon-balon, hiasan-hiasan kertas nampak ramai di ruang tamunya dan sebuah tumpeng nasi kuning kecil pkus lilin berangka tiga puluh bersama gelas-gelas berisi sirup jeruk tersaji di meja tamu.
            “Selamat ulang tahun!” teriakan dari Ayah dan Ibu Sofie. Kemudian dari belakang mereka muncul seorang gadis kecil sambil membawa setangkai bunga sepatu. “selamat ulang tahun mama,“ teriaknya. Sofie meletakkan barang bawaannya di atas meja dan langsung memeluk gadis kecil tersebut.
            “Terima kasih, Cinta,” kata Sofie sambil mencium pipi gadis kecil tersbut. “Mama bawakan kue untuk Cinta.” Sofie melepaskan pelukannya dan langsung membuka kotak black forest yang dibawanya juga kotak yang berisi kue-kue kecil lainnya.
            “Asiiiiiik!” gadis kecil itu langsung melihat mendekati kue-kue yang dibawa oleh Sofie. Tangan kecilnya langsung mencolek krim putih di atas black forest.
            “Eeeeeh, sebelum makan kuenya, biar mama tiup lilin dan potong tumpengnya lebih dulu ya,” kata Ayah Sofie. Gadis kecil itu pun mengangguk. Dan pesta kecil di rumah Sofie pun berlangsung.
***
            Cinta, bukanlah gadis kecil biasa, dia adalah penderita down syndrome. Pada umurnya yang delapan tahun, Cinta nampak seperti anak seusia 5 atau enam tahun. Gadis kecil itu begitu disayangi oleh Sofie dan memasukannya ke SLB. Dan karenanya yang membuat hubungan Sofie dengan seorang laki-laki gagal untuk kedua kalinya untuk menuju tahapan yang lebih serius. Sofie lebih memilih Cinta daripada hubungannya berlanjut tapi harus mengabaikannya.  Cinta bukanlah anak kandung Sofie, meskipun gadis kecil berumur delapan tahun itu memanggilnya dengan sebutan Mama. Cinta adalah keponakan Sofie, anak dari kakak perempuannya. Kakak dan kakak iparnya tersebut meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di jalan tol, lima tahun yang lalu. Cinta yang waktu itu baru berumur satu tahun selamat dalam pelukan ibunya. Sofie memutuskan untuk merawat Cinta karena selain dia begitu menyayanginya tidak ada lagi yang merawatnya. Kedua orang tua kakak iparnya sudah meninggal dunia, dua kakaknya tidak memungkinkan, karena kakak yang tertuanya tinggal di Kalimantan sedangkan kakak keduanya sudah cukup direpotkan oleh kelima anaknya yang masih kecil-kecil.
            Sofie menganggap Cinta seperti gadis kecil normal pada umumnya. Walaupun sering sekali menjadi pusat perhatian ketika mengajaknya di pusat keramaian. Tapi Sofie tidak pernah mempedulikannya, seperti halnya dia pernah dinasihati oleh seorang tetangga untuk melarang Cinta memanggilnya dengan sebutan Mama.
            “Dik Sofie, apa tidak sebaiknya Cinta memanggilmu dengan panggilan tante?”
            “Memangnya kenapa Mbak? Apa salahnya?”
            “Dik Sofie kan masih sendiri, kalau Cinta memanggilmu dengan Mama, nanti dikira Cinta itu anakmu. Nanti kalau ada laki-laki yang mau melamar Dik Sofie, tidak jadi lho.”    Sofie hanya tertawa mendengarnya.
            Dan itulah yang terjadi pada Sofie dua kali. Pertama dengan Aldi, teman kuliahnya. Hubungan mereka serius, sampai akhirnya Aldi meminta Sofie untuk tinggal bersamanya di Medan dan meninggalkan Cinta, karena tidak mungkin membaw Cinta untuk ikut bersama. Hal ini tentu saja ditolak oleh Sofie, dia berjanji didepan jenazah kakaknya kalau dia akan selalu berada di samping Cinta, merawat, menyayang seperti dia anaknya sendiri. Aldi membuat pilihan, untuk bersamanya merajut masa depan bersama atau tetap berada di samping Cinta. Sofie memilih yang kedua. Setahun kemudian Sofie merajut hubungan dengan Restu, seorang jurnalis. Restu tidak mempermasalahkan keberadaan Cinta disamping Sofie, bahkan dia akan menyayangi dan mencintai Cinta seperti Sofie menyayangi dan mencintai Cinta. Namun kemudian Restu datang dan mengatakan kalau kedua orang tuanya, terutama ibunya tidak bisa menerima keberadaan Cinta. Restu tidak berani membantah atau melawan kedua orang tuanya dengan memaksakan kehendaknya, karena dia adalah satu-satunya anak laki-laki di keluarganya. Sofie pun kembali mengalami kegagalan dalam hubungannya untuk menuju tahap perkawinan.
            Melihat Sofie yang dua kali gagal menjalin hubungan untuk sampai tahap pernikahan membuat kedua orang tuanya merasa kasihan. Mereka meminta Sofie untuk tidak memikirkan Cinta, merekalah yang akan merawat dan menjaganya.
“Ibu tahu kamu sangat menyayangi Cinta dan berjanji kepada kakakmu untuk selalu menyayangi dan mencintai Cinta. Tapi cinta dan sayang tidak harus kamu selalu berada di sampingnya kan Sof?”  Namun Sofie menolak, sampai kapan pun dia akan tetap disamping Cinta. “Kamu juga harus memikirkan kehidupanmu dan masa depanmu. Umurmu semakin bertambah lho Sof. Ibu dan Bapak juga ingin punya cucu lagi, selain Cinta.”
“Tuhan sudah mengatur jodoh kita Bu. Kalau sudah tiba waktunya pasti akan bertemu.”
***
Jumat sore, ketika pulang dari kantor, Sofie tidak melihat Cinta menyambutnya seperti biasanya di pintu rumah dan langsung menanyakannya kepada ibunya. Ibunya mengatakan kalau Cinta bersama Dewa.
 “Dewa? Dewa siapa Bu?”
“Masa kamu lupa. Itu lho si Dewa anaknya Bapak dan Ibu Citro, dia baru datang siang tadi dari Jogja, terus habis asar main ke sini, mau bertemu denganmu. Kamunya belum pulang, dia kemudian melihat Cinta. Mereka langsung akrab. Waktu Dewa pulang, dia mengajak Cinta ke rumahnya katanya mau dikasih oleh-oleh. Cinta langsung mau.”
“Dewa si anak badung itu!” Ibu Sofie membenarkan. Sofie kemudian pamit untuk menyusul Cinta karena hari menjelang maghrib. Baru saja Sofie keluar pintu, Sofie melihat Cinta sedang digendong di pundak seorang laki-laki. Sofie hampir tidak mengenal dengan laki-laki tersebut hingga sampai dia tersenyum dan memanggil namanya.
“Lihat! Mama Sofie sudah pulang, Cinta.” Kata laki-laki tersebut sambil menurunkan cinta dari gendongannya.
“Dewa!”
Cinta berlari kea rah Sofie sambil menunjukkan sebuah boneka panda dan maket rumah.
“Apa kabar Mbak? Apa Mbak Sofie akan memarahiku?” Sofie tertawa kecil. “Kali ini Mbak Sofie tidak akan mengusirku kan?”
“Tentu saja aku akan mengusirmu. Ini sudah maghrib!”
Dewa tertawa, sebelum pergi dia mengatakan kalau besok dia akan datang kembali. Sofie tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, sampai terdengar azan maghrib dan Cinta menarik tangannya untuk masuk.
***
            Jam delapan malam, Sofie memandangi Cinta yang tertidur pulas sambil memeluk boneka panda pemberian Dewa. Cinta bercerita kalau dia senang bermain dengn Om Dewa. Dewa, anak satu-satunya Bapak dan Ibu Citro, tetangga namun beda RT. Sofie mengenal Dewa karena dia sering membuat ulah sejak kecil. Waktu SD pernah merusak tanaman di halaman depan karena mengejar-ngejar ayamnya, melempar buah jambu dengan batu yang akhirnya mengenai kaca jendela hingga pecah, memanjat pohon jambu tersebut hingga sampai tinggi hingga membuat Sofie, ayah dan ibunya teriak-teriak memintanya turun. Bermain bola bersama teman-temann. Bermain bola bersama teman-temannya di depan rumah Sofie yang kemudian menendang bola dengan keras hingga bolanya masuk ke halaman rumah dan memecahkan sebuah pot bunga. Melompat pagar rumah Sofie untuk mengambil anak kucing sampai memasang petasan di depan rumahnya waktu SMP hingga Sofie dan kakaknya maraha-marah karena kaget dan menjewer kuping Dewa. Dan yang sempat membuat keluaraganya geger, waktu SMA Dewa membawa Cinta ke rumahnya tanpa permisi, waktu itu Cinta berumur satu tahun setengah dan baru bisa berjalan, Dewa duduk di bangku SMA. Kakak Sofie sempat menangis dibuatnya karena tidak bisa menemukan Cinta. Mereka mencari Cinta dari satu rumah ke rumah lain, dan akhirnya Sofie menemukan Cinta sedang bermain dengan Dewa, Bu Citro dan Pak Citro di rumahnya. Dewa hanya tertawa ketika Sofie marah karena mengajak mengambil Cinta tanpa permisi, dia berdalih Cinta yang ingin ikut bersamanya. Bu Citro dan pak Citro pun hanya tersenyum mendengar kelakuan anaknya tersebut. Mereka menyayangi Sofie, karena tidak mempunyai anak lagi selain Dewa. Dewa pun senang dengan anak kecil karena tidak mempunyai adik. Dia menyukai Cinta karena dianggapnya gadis cilik itu sangat lucu.
            Kebadungan-kebadungan Dewa berlanjut sampai SMA, hingga akhirnya Dewa lulus SMA dan kuliah di Surabaya. Bu Citro dan Pak Citro sendiri setelah pensiun dari pekerjaannya di Dinas Koperasi memutuskan untuk pindah ke Jogja, ke tanah leluhur mereka berdua. Rumahnya di Pondok Gede ditempati paman dan bibi Dewa, adik Bu Citro. Dan sudah enam tahun mereka pergi, Sofie pun tidak pernah lagi bertemu dengan Dewa, hingga sore tadi.
            Sofie tersenyum mengingat kebadungan-kebadungan Dewa waktu kecil, namun kini anak badung itu telah berubah menjadi laki-laki dewasa yang menawan hingga Sofie sempat kehilangan kata-katanya ketika berhadapan dengannya.
***
            Sabtu siang, cuaca agak sedikit berawan, setelah selesai memasak, Sofie dan Ibunya tidak menemukan Cinta di depan rumah saat akan disuruh makan siang, ayahnya saat itu sedang megikuti pertemuan warga di kelurahan. Sofie sempat panik, tetapi kemudian dia mempunyai tebakan. Dia langsung ke rumah paman dan bibi Dewa, namun Dewa sedang keluar. Sofie kemudian mencarinya ke tempat anak-anak biasanya bermain, dan akhirnya menemukan Cinta yang sedang mengejar-ngejar capung di lapangan sepak bola di samping perumahannya. Dewa nampak duduk di bawah pohon mangga sambil memprehatikan Cinta yang sedang berlari-larian.
            “Apa kamu tidak bisa meminta ijin terlebih dahulu untuk membawa Cinta pergi? Kamu bisa didakwa menculik anak orang! Kebiasaanmu tidak berubah dari dulu,” kata Sofie ketika sudah berada di belakang Dewa. Dewa menoleh dan tertawa. Dia mengatakan memang sengaja dilakukannya agar Sofie mencarinya. Sofie menyeringai, kemudian duduk di samping Dewa. Mereka saling menanyakan kabar masing-masing yang belum sempat mereka lakukan waktu kemarin sore. Dewa sudah menjadi arsitek dan membuka jasa konsultan sendiri. Saat ini dia sedang mendapat pekerjaan di Jakarta.
            “Aku tahu, kenapa kamu membuka jasa konsultan sendiri? Karena kamu tidak bisa menjadi orang yang disuruh-disuruh oleh orang lain!” Dewa tertawa.
            Dewa kemudian mengatakan kalah ayah dan ibunya suka menanyakan kabar Cinta setelah mendengar kecelakaan yang dialami oleh kedua orang tuanya. Mereka sempat menangis ketika mengetahui kalau Cinta telah menjadi yatim piatu.
            “Tapi Cinta pasti sangat senang dan bahagia mempunyai Mama sepertimu.”
            Sofie tersenyum. “Aku berusaha melakukan yang terbaik untuknya.”
            Dewa mengatakan kalau sebaiknya Cinta sering-sering diajak ke alam terbuka dan berinteraksi dengan alam sekitarnya karena bagus untuk perkembangannya. Dewa mengatakan Cinta cukup cerdas.
            “Aku senang Mbak belum menikah!” kata Dewa tiba-tiba.
            “Apa!” Sofie terkejut, namun kemudian tertawa dan mengatakan kalau hanya dia yang merasa senang kalau dirinya belum menikah, karena yang lainnya merasa kasihan dalam umurnya yang hampir menginjak tiga puluh belum juga menikah, sedangkan teman-teman seangkatannya hampir semuanya sudah menikah dan mempunyai anak.
            “Dan Mbak belum punya pacar kan?”
            “Kenapa memangnya? Kamu juga mau seperti teman-temanku yang lain, menjodohkanku?” Sofie tertawa.
            Dewa menoleh dan memandang Sofie dengan tajam, wajahnya tiba-tiba berubah serius. Hal ini membuat Sofie menjadi salah tingkah, jantungnya tiba-tiba berdenyut lebih cepat dari biasanya.
            “Aku suka sama Mbak Sofie sejak dulu.”
            “A-apa!” Sofie kembali terkejut. Dewa kemudian mengatakan kalau dia sudah menyukai Sofie SMA, ketika pertama kali merasakan benar-benar kagum dan cinta kepada perempuan. Itulah makanya dia sering membuat ulah di rumahnya, hal ini agar bisa bertemu dengannya.
            “Aku tidak bisa melupakan Mbak Sofie juga Cinta. Karena Cinta-lah yang membuat aku menemukan sosok perempuan sempurna dalam hidupku.” Sofie memandanh Dewa, matanya berkaca-kaca. Ruangan dalam dadanya yang sempat kosong dan kering tiba-tiba terisi dan terasa sejuk. “Yah, aku tahu Mbak Sofie lebih tua lima tahun dari aku. Sejak dulu aku tidak pernah memikirkan soal umur, yang aku tahu, Mbak Sofie-lah, satu-satunya perempuan yang membuatku hidupku berarti, juga Cinta. Setiap aku kehilangan semangat aku selalu teringat Cinta, dengan keadaannya dan kehilangan kedua orang tuanya, dia tetap ceria.” Sofie menitikkan air mata mendengar kata-kata Dewa. “Mbak, bolehkah aku menemani hidup Mba untuk sekarang dan yang akan datang?” Sofie terdiam. “Mbak tidak perlu menjawabnya sekarang, aku akan menunggunya sampai kapan pun!” Sofie tidak tahu harus berkata apa, kesejukan benar-benar sedang menyelimuti hatinya. Dia terdiam ketika dengan hangat Dewa menggenggam tangannya. Dewa tersenyum ketika tahu Sofie tidak menolak genggamannya.
            “Hari sudah terlalu siang. Cinta harus makan. Kalau mau, kamu aku undang untuk makan siang bersama kami.” Dewa mengangguk.
Sofi memanggil Cinta. Gadis kecil langsung berlari kearahnya. Sambil berteriak “Mama”. Dewa menangkapnya dan langsung menggendongnya di pundaknya. “Mari kita makan siang Cinta.” Cinta tertawa senang. Sofie memperhatikannya dengan tersenyum. Senyum kebahagiaan. Mereka pun pergi bersama.
@@@



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)