SANDYAKALA (Bagian 2)
2 Makan besar
Setelah mengantarkan kue-kue pesanannnya
ke toko-toko di pasar, Khaerani segera pulang, mengayuh sepedanya dengan
kecepatan penuh karena beban keranjang didepan sepedanya sudah tidak ada, tidak
seperti waktu berangkat yang harus mengayuh sepedanya dengan hati-hati karena
takut kue-kuenya akan rusak. “Ayamnya dimasak apa sama Mak Lela ya?” pikirnya sambil
membayangkan makan besar dan enak di rumah hingga tidak melihat sepeda lain
yang muncul di sebuah pertigaan dan mengikutinya.
“Hai!” sapa pengendara sepeda tersebut,
membuat bayangan makanan enak dipikiran Khaerani langsung buyar. Gadis itu
langsung menengok kearah laki-laki pengendara sepeda disampingnya, menatapnya
sesaat, kemudian mengernyitkan dahinya.
“Kenapa? Ada yang aneh?” laki-laki
itu tersenyum. “Kamu yang kemarin di tempatnya Pak Said kan?”
“Ya, aku ingat. Laki-laki ini
sepupunya Mutiara, yang kemarin ketemu,” benak Khaerani.
“Hei, kok malah bengong? Baru
melihat orang ganteng ya? Hati-hati nanti kamu masuk saluran air!” laki-laki
itu tertawa. “Kamu yang kemarin ke rumah Pak Said kan?” ulang laki-laki itu.
Khaerani mengangguk.
“Kamu asli warga desa sini?”
“Iya.”
“Kamu kenal Pak Said, berarti kenal
dengan anaknya, Mutiara?”
“Iya.”
“Kalian berteman?”
“Kenapa memangnya?”
“Aku Bagas, sepupunya Mutiara,
keponakannya Pak Said. Apa bisa kita bicara sebentar?”
Khaerani terdiam sesaat. “Maaf mas, bisa
lain waktu? Aku terburu-buru, harus cepat sampai di rumah,” jawabnya kemudian,
lalu mempercepat kayuhan sepedanya meninggalkan kemenakan Pak Said itu yang
nampak keheranan.
“Aku hanya ingin tahu jalan dan tempat desa
ini. Kenapa dia sepertinya takut?”
***
“Waaah, hari ini kita makan besar,
Mir, ” kata Pram kepada anaknya ketika melihat makanan yang tersedia di meja
makan rumah Bapak.
“Ati ayam gorengnya buat Amir yah?”
kata Amir langsung duduk sambil mencoba mengambil hati ayam goreng yang
tersedia di piring.”
“Amir, cuci tangan dulu, baru ambil
makanan,” cegah Kharisma, sang ibu, sambil berusaha duduk.
“Ayo, ayo, kita makan bersama,
Maryam sama Lela dipanggil, mumpung masih hangat,” kata Bapak sambil duduk
disamping Amir.
“Mbah, ati ayamnya buat Amir semua
ya?”
“Iya, iya, semua buat Amir, kepala
ayamnya juga.”
“Kalau kepala, Amir tidak mau,
banyak tulangnya.”
Semua berkumpul sambil menikmati
ayam goreng masakan Mak Lela dan Khaerani, ditambah dengan lalapan ketimun dan
kemangi, sayur asam, tempe goreng dan sambal terasi.
“Simbah, katanya mau beli kambing
lagi ya?” tanya Amir kepada simbahnya sambil mengunyah ati ayam goreng
kesukaannya.
“Iya, ” jawab simbahnya.
“Asyiiik, jadi nanti kambingnya
Ambir tambah banyak! Tapi, kambing kesayangan Amir, si hitam jangan dijual ya
Mbah? Kasihan nanti anak-anaknya, masih kecil-kecil.”
“Si hitam kan kambing jantan, Mir.”
“Iya, kan kasihan kambing-kambing
kecil itu nanti tidak punya ada bapak.”
Semua yang ada di ruangan itu
tertawa mendengar celoteh Amir.
“Risma, kapan anakmu lahir?” tanya
Bapak.
“Masih lama Pak, ini masuk bulan
ketujuh.”
“Wah, Amir bakalan punya adik, jadi tidak
boleh nakal dan rewel lagi ya?” kata Bapak.
“Amir tidak nakal dan rewel kok,
Mbah. Iya kan, Bu, Pak, Amir tidak pernah nakal dan rewel,” Amir membela diri.
“Iya-iya, Amir anak yang baik,”
jawab ibunya.
“Rani, kakakmu sudah mau punya dua
anak lho,” kata Bapak kemudian.
“Wah, bapak mulai lagi, Mbak. Pasti arahnya
kesitu lagi,” Khaerani berkata setengah berbisik kepada kakak iparnya. Kharisma
tersenyum, karena sudah sering kali mendengar perdebatan antara bapak dan anak
perempuannya itu.
“Kamu sudah waktunya juga.”
“Iya Pak.”
“Umurmu sudah cukup, bahkan lebih,
teman-teman kamu sebagian sudah pada menikah dan punya anak. Lha terus, kamu
kapan? Bapak juga ingin melihat kamu berkeluarga dan punya anak, biar cucu
Bapak makin banyak dan ramai.”
“Sebentar lagi, adiknya Amir akan
lahir, pasti nanti ramai, Pak.”
“Kamu itu, Rani. Selalu saja ada
alasannya. Apa kamu tidak pengin punya keluarga? Bapak sudah tua, ingin lihat
kamu berkeluarga.”
“Mungkin belum waktunya, Pak. Tuhan
belum mengizinkan. Toh, kalau waktunya tiba, Rani pasti akan menikah dan
berkeluarga.”
“Sudahlah Pak, Rani kan sudah besar,
sudah dewasa, pasti tahu apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Jangan
dipaksakan, nanti malah akhirnya tidak baik.” Seperti biasanya, Pram selalu
berusaha menengahi antara Bapak dan adiknya.
“Betul Pak, apa yang dikatakan Mas
Pram,” kata Khaerani merasa senang, seperti biasanya kakaknya selalu
membelanya.
“Ya sudah, kita lanjutkan makannya
saja.” Kharisma mencoba mengembalikan keadaan.
(Bersambung ke Bagian 3)
(Bersambung ke Bagian 3)
***
Komentar
Posting Komentar