SANDYAKALA (Bagian 4)

4  Bayu
 “Aku tidak tahu, kenapa ibu tidak suka dengan hubungan kita!” kata Bayu kepada Khaerani saat mereka sedang berdua di pinggir sungai.
“Mungkin ibumu menginginkan seseorang yang terbaik untuk anaknya. Yang jauh lebih baik dari aku,” Khaerani tersenyum.
“Terbaik buat anaknya atau terbaik buat dirinya!”
“Jangan berprasangka buruk!”
“Tapi aku akan meyakinkan ibu. Kalau bukan suatu kesalahan mencintaimu!”
Khaerani tersenyum, ada keharuan di matanya.
***
Suatu hari Bayu tiba-tiba datang kerumah Khaerani dengan wajah pucat dan sinar mata keputusasaan.
“Rani, hari ini kamu libur kerja?”
“Iya. Ada apa?”
“Bisa kita keluar?”
Khaerani mengajak Bayu ke tempat yang paling disukainya, yaitu di bukit kecil. Sebuah tanah luas yang letaknya lebih tinggi dari tanah sekitarnya dan mirip bukit, hingga orang desa menyebutnya bukit kecil.
“Tempat yang bagus, dari sini kita bisa melihat hamparan sawah desa,” kata Bayu setelah sampai di bukit kecil dan duduk di bawah pohon disamping Khaerani. Laki-laki berkulit putih itu kemudian terdiam. Cukup lama. Matanya memandang kosong ke depan, sesekali terdengar nafasnya yang berat. Khaerani merasa heran dengan sikapnya. Tiba-tiba Bayu mendongakkan kepalanya, memandang langit biru cerah sambil menarik nafas dalam-dalam.
“Rani,” katanya kemudian.
“Yah?”
“Apa yang kamu pikirkan tentang masa depan?”
Khaerani menoleh kearah Bayu yang masih mendongakkan kepalanya. “Aku tidak pernah memikirkannya, aku hanya berpikir untuk hari ini, menjalani hari ini dengan baik, karena masa depan datang dari hari ini, bukan tiba-tiba ada begitu saja.”
“Semua orang pasti menginginkan masa depan yang indah dan bahagia,” kata Bayu kemudian.
“Yah, kamu benar. Tapi tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana masa depannya kelak. Kita hanya bisa punya rencana dan keinginan terbaik.”
“Rencana dan keinginan terbaik,” Bayu bergumam. “Tapi bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai masa depan?”
“Bagaimana dia tahu kalau tidak punya masa depan?” Khaerani balik bertanya.
Bayu menoleh dan memandanginya. “Bagaimana jika orang itu tahu, kalau masa depannya tidak seperti yang diangankan?”
“Hebat sekali orang itu, bisa tahu masa depannya.”
“Rani. Apa rencana dan keinginan untuk masa depanmu?”
Khaerani tersenyum, “bahagia bersamamu. Dan aku akan membuktikan perkataanmu pada ibumu, kalau bukan suatu kesalahan kalau kamu mencintaiku.”
Bayu tiba-tiba meraih tangannya, memegangnya dengan erat. Khaerani merasakan tangan laki-laki yang dicintainya itu bergetar dan terasa sangat dingin. “Itukah yang kamu angankan?”
“Apa ada lagi selain itu?” Khaerani tersenyum.
“Bagaimana jika ternyata aku tidak mempunyai masa depan?” kata Bayu tiba-tiba hingga membuat gadis yang dicintainya itu terkejut dan menatapnya dengan tajam.
“Apa maksud kamu? Apa kamu ingin ...ingin hubungan kita berakhir?”
Bayu tersenyum, “setelah sekian tahun, apa aku pernah mengisyaratkan seperti itu?”
Khaerani menggelengkan kepalanya, dirasakannya genggaman tangan Bayu semakin erat. “Lantas apa maksud kamu?”
“Aku sakit!”
“Sakit?!”
“Aku divonis positif leukimia,” Bayu mengalihkan pandangannya dari Khaerani ke arah seekor burung alap-alap yang sedang terbang.
Khaerani terdiam, jantungnya tiba-tiba berdegub kencang dan merasakan tubuhnya bergetar. “Terus, kenapa dengan leukimia,” katanya kemudian dengan berusaha setenang mungkin walaupun nada suaranya sedikit bergetar.
Bayu tersenyum hambar, “kamu pasti tahu apa itu leukimia kan, Ran?”
Khaerani terdiam. Bayu kemudian menceritakan tentang kecelakaan dia jatuh dari sepeda motor seminggu yang lalu. Sebenarnya tidak terlalu berat, tapi ibunya memaksa untuk mengecek segalanya, takut terluka dalam atau yang lainnya. Dari hasil chek up itulah, dokter mendiagnosanya terkena leukimia, dokter memintanya untuk chek up ulang, dan hasilya tetap sama, positif leukimia. Ternyata keluhan-keluhan sakitnya selama ini yang dianggapnya biasa saja membawanya ke leukimia.
“Kamu diam, Rani?”
“Memangnya kenapa?”
“Tidak histeris, seperti ibuku.”
Khaerani tersenyum, “kenapa aku harus histeris? Kamu ada disini, disamping aku, itu sudah cukup, Bayu. Lagipula banyak orang yang mampu bertahan hidup dengan leukimia.”
“Dokter mengatakan.....ketahananku untuk hidup hanya tinggal beberapa tahun lagi, bisa dihitung hanya dengan jari tangan saja.” Bayu membuka kedua telapak tangannya yang sudah melepaskan genggamannya pada Khaerani dan dihadapkannya kearah matahari hingga membuat bayangan diwajahnya.
“Dokter juga mahluk, bukan Tuhan. Dia tidak bisa mendahului atau mengetahui apa yang menjadi keputusan Tuhan.”
“Bagaimana, kalau dokter itu benar?”
“Kematian adalah sesuatu yang sudah pasti. Setiap yang hidup pasti akan mati.” Bayu kembali memandang Khaerani. “Kamu sehat, Bayu. Masa depan pasti akan menantimu.”
“Menanti kita?”
“Yah, menanti kita. Perjuangan dan semangat yang akan mengantarkan kita kesana. Apa kamu tidak menginginkannya?”
Bayu meraih pundak Khaerani dan menyandarkan kepala gadis itu di pundaknya. Suara angin dan cericit burung tapuk buah mengantarkan kedalam kesunyian. “Aku tidak salah selama ini, “ kata Bayu kemudian.
“Kenapa memangnya.”
“Dari pertama kali aku bertemu denganmu.. Hati kecilku mengatakan inilah perempuan yang akan aku jadikan teman hidupku suatu hari nanti.”
Khaerani tertawa kecil mendengar kata-kata yang terdengar begitu indah di telinganya walaupun hatinya menangis.
***
Semangat Bayu kembali seperti semula walaupun harus rutin berobat, hidupnya terus berjalan dan dijalaninya seperti layaknya orang biasa, dia menganggap dirinya orang sehat, walau terkadang ibunya menangis ketika melihatnya. Laki-laki tampan itu hanya bisa menenangkan ibunya dan berkata kalau dirinya baik-baik saja, dan berjanji akan menyelesaikan kuliahnya dengan baik.
“Bagaimana dengan gadis itu?” Ibunya Bayu bertanya pada suatu hari.
“Namanya Khaerani, Bu.”
“Dia tahu tentang kamu?” Bayu mengangguk. “Dia memutuskan kamu?”
Bayu tertawa, “dia gadis terbaik yang pernah aku temui selama hidup, Bu. Rani, tidak akan pernah melakukan hal seperti itu.”
“Bagaimana kamu tahu?”
“Karena aku percaya.”
“Kamu kan...” Ibunya Bayu tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
“Bu, sudahlah. Bagi aku, dia adalah segalanya, dia yang membuat aku bersemangat menjalani hidup ini.”
“Apa kamu yakin?”
“Seribu persen! Aku yakin!”
***
Ibu Khaerani meninggal dunia karena sakit, hati gadis itu merasa terpukul, dan kehilangan semangatnya. Bayu berusaha menghibur hati gadis yang dicintainya itu.
“Semua yang hidup pasti akan mati, Rani. Kapan pun pasti akan tiba saatnya, entah cepat entah lama, dengan cara apa pun, tidak ada yang bisa menghindarinya.”
***
Bayu akhirnya bisa menyelesaikan kuliahnya begitu juga dengan Bimo. Bayu bekerja di kota kabupaten sedangkan Bimo diterima kerja di semarang, kota provinsi. Khaerani sudah berhenti bekerja semenjak ibunya meninggal, dia di rumah meneruskan usaha ibunya membuat kue dan beternak kambing dan ayam bersama Bapak dan kakaknya yang juga seorang petani dan melupakan cita-cita masa kecilnya untuk menjadi guru.
***
Sore hari yang cerah, Bayu datang kerumah Khaerani. Bercengkerama dengan Bapak, Pram dan Amir yang masih berumur tiga tahun. Khaerani merasa bahagia karena melihat Bayu yang kelihatan seperti orang yang sehat pada umumnya.
Hari menjelang magrib. Bayu pamit pulang. Sebelum pergi, Bayu berbisik ke telinga Khaerani, kalau besok pagi sebelum matahari terbit, sekitar pukul lima, disuruh menunggu di depan rumah, karena dia akan datang dan mengajaknya pergi ke suatu tempat. Khaerani tidak tahu apa tujuan dari ajakan Bayu tersebut, dia hanya mengiyakan saja.
“Jam berapa kamu pergi dari rumah, Bay?”
“Sehabis shubuh.”
“Tapi udara terlalu dingin, apa tidak berpengaruh dengan...”
“Tenang saja. Aku baik-baik saja.”
Setelah itu, Bayu dengan menggunakan sepeda motor meninggalkan rumah Khaerani.
***
Sehabis subuh Khaerani menunggu di depan rumah, dengan jaket tebal yang membungkus tubuhnya, karena udara pagi desanya sangat dingin, dia pamit kepada Mak Lela untuk jalan-jalan pagi sebentar. Beberapa saat kemudian datang Bayu dengan  sepeda motor menggunakan jaket tebal.
“Udara pagi ini sangat dingin,” kata Bayu ketika sudah berada didepan Khaerani. “Motornya aku titipka disini ya?”
“Naikkan saja ke teras.”
“Sebenarnya kamu mau ajak aku kemana?” tanya Khaerani penasaran setelah Bayu mengunci motornya.
Bayu tersenyum, lalu langsung mengajak Khaerani untuk segera jalan. “Kita ke bukit kecil itu.”
“Tapi Bay, disana pasti udaranya jauh lebih dingin. Apa kamu tidak apa-apa?” Ada nada kuatir dalam kata-kata Khaerani.
“Memangnya kenapa? Aku tidak apa-apa. Malah aku jauh merasa lebih sehat dari hari-hari kemarin.”
“Tapi jalanannya masih gelap.”
 Bayu tersenyum sambil mengeluarkan senter kecil dari saku jaketnya, kemudian dengan menggandeng tangan Khaerani, berjalan menyusuri jalan menuju ke bukit kecil. Setelah sampai di bukit kecil, udara terasa lebih dingin ditambah dengan kabut pagi yang masih tebal. Bayu mengajak Khaerani duduk menghadap ke arah matahari terbit. Mereka duduk sambil mendekap kedua lutut masing-masing karena kedinginan. “Aku ingin melihat matahari terbit bersama kamu, Rani.” Bayu menarik tangan Khaerani dan  menggenggamnya dengan erat.
Perlahan langit di sebelah timur nampak mulai merah, angin dingin berhembus lembut. Kabut tebal mulai memudar, cahaya merah berubah menjadi kuning, dan akhirnya sang surya menampakkan wajahnya dari balik bukit yang berdiri dengan megahnya. Cahaya lembut menerpa wajah Bayu dan Khaerani, tangan mereka masih tergenggam erat. Terdengar cericit burung cerukcuk dengan paruh hitamnya yang terbangun dari tidur malamnya dan suara sisa-sisa serangga malam masih terdengar diantara rerumputan, semak dan pepohonan.
“Pagi terindah yang pernah kurasakan, matahari nampak begitu sempurna, senyumnnya menghangatkanku.” Bayu berkata sambil terus memperhatikan matahari yang baru terbit.
“Tapi tanganmu sedingin es, Bayu. Kamu kedinginan,” kata khaerani yang duduk disampingnya.
Bayu tersenyum, “di sana mungkin akan lebih dingin.”
“Bayu,” kata Khaerani lirih. Laki-laki yang duduk disampingnya itu menoleh menoleh sambil tersenyum, dipandanginya wajah gadis yang dicintainya.
“Yah, di sana pasti akan lebih dingin. Di sana aku akan sendirian, tidak ada yang menggenggam tanganku seperti sekarang ini.” Bayu menarik genggaman tangannya pada Khaerani dan menaruhnya didadanya.
“Bayu...” kata Khaerani dengan mata berkaca-kaca. Sinar lembut matahari pagi yang baru terbit membias di wajahnya.
“Oh iya, disana pasti aku akan bertemu ibumu. Mungkin aku akan menggenggam tangannya, seperti sekarang aku menggenggam tanganmu, dan aku akan berkata padanya, kalau dia telah melahirkan anak perempuan yang sangat baik.”
Khaerani tidak mampu membendung lagi air matanya, mengalir melalu pipinya, dan nampak berkilau terkena pantulan cahaya matahari pagi. “Kamu ngelantur, Bayu. Udara dingin ini mungkin membekukan pikiranmu. Sebaiknya kita pulang,” katanya sambil beranjak berdiri, tapi Bayu segera menarik tangannya, hingga membuatnya kembali duduk. Lalu keduanya terdiam.
“Bagaimana dengan Bimo?” tanya Bayu tiba-tiba.
“Kenapa dengan Bimo?”
“Dia mencintai kamu. Aku tahu itu.”
“Dia sahabatku.”
“Bimo bisa menjadi pengganti aku, menjagamu, jika suatu saat nanti...”
“Bayu! Kamu tambah ngelantur. Kamu ingat, apa keinginanku untuk masa depan? Bahagia bersamamu. Titik!” Bayu menarik tangan Khaerani dan meraihnya dalam pelukan, airmata gadis itu kembali mengalir deras pipinya. “Kamu sehat, Bayu. Perjalanan kita masih jauh.“
“Apa tidak seharusnya aku menikahimu sekarang saja? Atau memang semua rencana Tuhan aku tidak berjodoh denganmu, Rani.”
“Sudahlah, Bayu. Jangan memikirkan sesuatu yang belum terjadi.”
“Kamu tahu Rani, mengingat namamu aku jadi ingat cerita wayang Palguna dan Palgunadi. Kamu tahu itu?”
“Iya, aku tahu. Kakekku pernah menceritakannya. Kenapa memangnya?”
Bayu tertawa kecil. “Kamu tahu siapa tokoh-tokohnya?”
Khaerani mengangguk. “Bambang Ekalaya atau Palgunadi, raja dari negara Paranggelung, permaisurinya Dewi Anggraeni dan Arjuna atau Palguna.”
“Yah, Dewi Anggraini, permaisuri cantik yang sangat setia kepada suaminya, Palgunadi, walaupun mendapat godaan dari Palguna yang tampan, tetapi kesetiaannya tidak tergoyahkan.”
“Terus, apa hubungannya dengan aku dan kamu?”
Bayu kembali tertawa. “Namamu Khaerani Anggraeni. Yah, Dewi Anggraeni. Yang seharusnya berpasangan dengan Palgunadi.” Khaerani tertawa. “Dan aku, bukanlah Palgunadi atau Ekalaya, tapi aku adalah Bayu. Seorang Dewa Angin.” Bayu menghela nafasnya. “Dewi Anggraeni tidak berpasangan dengan Dewa Bayu, tapi dengan Palgunadi  atau Bambang Ekalaya. Jadi mungkin Tuhan tahu itu, aku bukanlah takdirmu.”
“Kamu ngomong apa sih. Itu hanya sebuah cerita wayang.”
“Jika memang takdirnya Dewi Anggraini dengan Palgunadi atau Bambang Ekalaya. Berarti kamu juga tidak akan berjodoh dengan Bimo. Karena Bimo berpasangan dengan Nagagini, Arimbi atau Urangayu.” Bayu tertawa.
“Itu hanya sebuah kebetulan. Kebetulan saja namaku Anggraeni. Apa aku harus mengubah namaku agar berjodoh denganmu?”
Bayu tersenyum. Keduanya kemudian terdiam membisu menatap terbitnya sang surya.
“Aku sangat senang melihat matahari terbit di pagi ini bersamamu. Dan, aku ingin suatu hari nanti dapat melihat sandyakala di sore hari yang indah bersamamu juga. Pagi yang indah mengawal hari baru diakhiri dengan sore yang indah. Aku ingin mengawali hidup bersamamu dan berakhir hidup suatu hari nanti, juga bersamamu.”
“Ya. Kita pasti akan melihatnya, gurat merah di langit senja itu,” jawab Khaerani dengan tersenyum, meskipun airmata masih meleh dikedua pipinya.
***
Seminggu kemudian, Bayu datang ke rumah Khaerani.
“Aku ingin kita pergi ke sungai. Aku ingin ke tempat sejuk dibawah bukit itu,” ajaknya kepada Khaerani.
 Setelah sampai di sungai mereka duduk di sebuah batu besar pinggir sungai. Bayu kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
“Aku melihatnya di sebuah toko kerajinan perak ketika aku ada tugas luar,” katanya sambil memasangkan sebuah cincin perak berbentuk bintang berukir bunga matahari di tengahnya di jari manis tangan kiri Khaerani.
“Bagus sekali,” kata Khaerani sambil memperhatikan cincin dijarinya.
“Cincin ini melambangkan kau adalah matahari dan bintang, yang diciptakan untukku,” kata Bayu. Khaerani tersenyum. Bayu pun tersenyum. “Tapi itu bukan cincin tunangan atau lamaran. Jika tiba saatnya nanti aku ingin memasangkan cincin bermata hijau dijarimu. Hijau seperti bukit itu dan pepohonan disini.” Khaerani merasa begitu bahagia mendengarnya, dia melihat ada sinar harapan dan semangat di wajah Bayu. “Kamu adalah semangat dan kekuatanku untuk hidup.”
Khaerani menggelengkan kepalanya. “Tidak. Bukan aku. Tetapi dirimu sendiri. Kamu kuat Bayu. Seperti namamu. Bayu Taufan Samudera. Angin topan samudera yang dapat mengalahkan apa pun.”
Bayu tersenyum sambil menggenggam erat tangan Khaerani.
***.
Dua bulan kemudian, Khaerani mendapat kabar dari Bimo kalau Bayu kesehatannya menurun drastis dan harus dibawa ke rumah sakit besar di Semarang. Gadis itu menangis, ingin rasanya dia berada disamping Bayu, tapi tidak mungkin, Bayu dirawat di kota, yang jaraknya cukup jauh, dia hanya bisa berkomunikasi dengan Bimo, yang bekerja di sana. Segala keinginan dan perkataan Khaerani disampaikan Bimo kepada Bayu, begitu juga sebaliknya, karena untuk berkata langsung, tidak memungkinkan, karena hampir duapuluh empat jam ibunya Bayu berada disamping Bayu.
Sebulan kemudian. Khaerani melihat Bimo sedang mengetuk rumahnya, ketika dia baru saja pulang dari mengantarkan makan siang untuk bapak dan kakaknya di sawah. Jantungnya tiba-tia berdegup kencang, hati kecilnya mengatakan “telah tiba waktunya”. Gadis itu berlari kearah Bimo. “Bagaimana Bayu?” Bimo terdiam. “Waktunya telah tiba?”
“Sekarang sudah ada di rumahnya. Semangat hidupnya tinggi, tapi tidak dengan daya tahan tubuhnya, yang akhirnya menyerah dengan penyakit itu. Tapi dia bahagia, Rani.” Tangis Khaerani pecah, Bimo perlahan memeluk tubuhnya yang bergetar.
***
Bimo mengantar Khaerani pergi ke rumah Bayu. Sesampainya di sana, sudah banyak orang dan telah berdiri sebuah tenda dan kursi-kursi berjejer. Gadis itu ingin sekali berlari dan melihat Bayu untuk yang terakhir kalinya, tapi semua itu ditahannya, matanya sembab, nafasnya nampak tersengal-sengal berusaha tidak histeris, sementara Bimo disampingnya memegang erat pundaknya. Sesampainya di pintu terlihat sesosok tubuh yang terbujur kaku yang tertutup kain, ingin sekali dia berlari dan memeluk tubuh Bayu yang kini sudah tak bernafas lagi. Baru satu langkah memasuki rumah, didepan mereka telah berdiri ibu Bayu yang didampingi salah seorang kakak perempuan Bayu.
“Mau apa kamu kemari!” Ibunya Bayu berkata kepada Khaerani dengan nada kemarahan, matanya nampak sembab.
“Bu, sudah. Biar dia melihat Bayu untuk terakhir kalinya.” Kakak Bayu berusaha menenangkan ibunya. Khaerani dan Bimo terdiam. Tiba-tiba gadis itu merasakan tangannya ditarik dengan keras. Ibunya Bayu menarik tangannya dan membawanya ke samping rumah.
“Bu!” teriak kakak Bayu.
“Rani!” teriak Bimo.
Bimo dan kakak Bayu mengikuti ibu Bayu yang  membawa Khaerani ke samping rumah. “Sudah tidak ada artinya lagi, kamu kesini. Bayu sudah tidak memerlukan kamu!” Khaerani masih terdiam, air matanya mengalir dikedua pipinya, Bimo kini sudah berada disampingnya lagi, sementara kakak Bayu berusaha menenangkan ibunya. “Kamu kemana saja! Kamu tahu, saat-saat terakhirnya Bayu ingin kamu berada disampingnya, satu-satunya perempuan yang dia sayangi! Tapi lihat! Kamu tidak memperlihatkan batang hidung kamu selama dia di rumah sakit!”
“Ibu. Sudahlah!”
“Maafkan saya, Bu. Bukan maksud saya...” Khaerani tidak tahu harus berkata apa kepada wanita yang sedang emosi didepannya.
“Lebih baik, kamu tidak usah melihat Bayu sekalian!” Ibunya Bayu langsung pergi meninggalkannya dan Bimo.
“Maafkan ibu, ya Ran,” kata kakak Bayu.
“Tidak apa-apa Mbak. Saya yang seharusnya meminta maaf,” jawab Khaerani sambil mengusap air mata dengan punggung tangannya. Kakak Bayu kemudian kembali masuk kedalam rumah. Bimo mengajak Khaerani untuk pergi dari tempat itu. Sesampainya di mobil Bimo, gadis itu tidak dapat menahannya lagi, menangis hingga tubuhnya bergetar cukup kencang. Bimo tidak dapat berkata apa-apa, dia hanya bisa memandangi gadis yang duduk disampinginya itu dengan perasaan pilu.
“Aku ingin sekali melihatnya,” Khaerani berkata diantara tangisnya.
“Iya, aku tahu perasaan kamu, tapi kita tidak bisa masuk ke dalam rumah itu. Ibunya Bimo pasti akan histeris ketika melihat kamu.”
“Aku yang salah, aku yang salah, Bimo. Seharusnya aku berada disampingnya!”
“Tidak. Tidak ada yang salah, kita semua tahu, kalau saat ini pasti akan tiba. Kamu tidak salah, Rani. Rumah sakit tempat Bayu dirawat cukup jauh, kamu juga punya tanggung jawab sendiri di rumah kamu. Bayu tahu itu.”
Khaerani kembali menangis hebat, Bimo meraih tubuh Khaerani dan membiarkan gadis itu menangis didalam pelukannya.
***
Penguburan selesai, para pelayat dan keluarga sudah meninggalkan area pemakaman, yang tertinggal hanya makam Bayu yang masih basah dan penuh bunga segar dan makam-makam lainnya. Khaerani segera keluar dari mobil, Bimo mengikutinya dari belakang. Gadis itu berlari dan langsung bersimpuh disamping makam Bimo, tangisnya tak tertahan lagi, pecah diantara sunyi pohon kamboja dan puring. Bimo berdiri disamping Khaerani sambil bergantian memandang antara Khaerani yang sedang menangis dan makam Bimo.

(Bersambung ke Bagian 5)

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"