SANDYAKALA (Bagian 4)
4 Bayu
“Aku
tidak tahu, kenapa ibu tidak suka dengan hubungan kita!” kata Bayu kepada
Khaerani saat mereka sedang berdua di pinggir sungai.
“Mungkin ibumu menginginkan seseorang
yang terbaik untuk anaknya. Yang jauh lebih baik dari aku,” Khaerani tersenyum.
“Terbaik buat anaknya atau terbaik buat
dirinya!”
“Jangan berprasangka buruk!”
“Tapi aku akan meyakinkan ibu. Kalau
bukan suatu kesalahan mencintaimu!”
Khaerani tersenyum, ada keharuan di
matanya.
***
Suatu hari Bayu tiba-tiba datang kerumah
Khaerani dengan wajah pucat dan sinar mata keputusasaan.
“Rani, hari ini kamu libur kerja?”
“Iya. Ada apa?”
“Bisa kita keluar?”
Khaerani mengajak Bayu ke tempat yang
paling disukainya, yaitu di bukit kecil. Sebuah tanah luas yang letaknya lebih
tinggi dari tanah sekitarnya dan mirip bukit, hingga orang desa menyebutnya
bukit kecil.
“Tempat yang bagus, dari sini kita bisa
melihat hamparan sawah desa,” kata Bayu setelah sampai di bukit kecil dan duduk
di bawah pohon disamping Khaerani. Laki-laki berkulit putih itu kemudian
terdiam. Cukup lama. Matanya memandang kosong ke depan, sesekali terdengar
nafasnya yang berat. Khaerani merasa heran dengan sikapnya. Tiba-tiba Bayu
mendongakkan kepalanya, memandang langit biru cerah sambil menarik nafas
dalam-dalam.
“Rani,” katanya kemudian.
“Yah?”
“Apa yang kamu pikirkan tentang masa
depan?”
Khaerani menoleh kearah Bayu yang masih
mendongakkan kepalanya. “Aku tidak pernah memikirkannya, aku hanya berpikir
untuk hari ini, menjalani hari ini dengan baik, karena masa depan datang dari
hari ini, bukan tiba-tiba ada begitu saja.”
“Semua orang pasti menginginkan masa
depan yang indah dan bahagia,” kata Bayu kemudian.
“Yah, kamu benar. Tapi tidak ada seorang
pun yang tahu bagaimana masa depannya kelak. Kita hanya bisa punya rencana dan keinginan
terbaik.”
“Rencana dan keinginan terbaik,” Bayu
bergumam. “Tapi bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai masa depan?”
“Bagaimana dia tahu kalau tidak punya
masa depan?” Khaerani balik bertanya.
Bayu menoleh dan memandanginya. “Bagaimana
jika orang itu tahu, kalau masa depannya tidak seperti yang diangankan?”
“Hebat sekali orang itu, bisa tahu masa
depannya.”
“Rani. Apa rencana dan keinginan untuk
masa depanmu?”
Khaerani tersenyum, “bahagia bersamamu.
Dan aku akan membuktikan perkataanmu pada ibumu, kalau bukan suatu kesalahan
kalau kamu mencintaiku.”
Bayu tiba-tiba meraih tangannya,
memegangnya dengan erat. Khaerani merasakan tangan laki-laki yang dicintainya
itu bergetar dan terasa sangat dingin. “Itukah yang kamu angankan?”
“Apa ada lagi selain itu?” Khaerani
tersenyum.
“Bagaimana jika ternyata aku tidak mempunyai
masa depan?” kata Bayu tiba-tiba hingga membuat gadis yang dicintainya itu
terkejut dan menatapnya dengan tajam.
“Apa maksud kamu? Apa kamu ingin
...ingin hubungan kita berakhir?”
Bayu tersenyum, “setelah sekian tahun,
apa aku pernah mengisyaratkan seperti itu?”
Khaerani menggelengkan kepalanya,
dirasakannya genggaman tangan Bayu semakin erat. “Lantas apa maksud kamu?”
“Aku sakit!”
“Sakit?!”
“Aku divonis positif leukimia,” Bayu
mengalihkan pandangannya dari Khaerani ke arah seekor burung alap-alap yang
sedang terbang.
Khaerani terdiam, jantungnya tiba-tiba
berdegub kencang dan merasakan tubuhnya bergetar. “Terus, kenapa dengan
leukimia,” katanya kemudian dengan berusaha setenang mungkin walaupun nada
suaranya sedikit bergetar.
Bayu tersenyum hambar, “kamu pasti tahu
apa itu leukimia kan, Ran?”
Khaerani terdiam. Bayu kemudian
menceritakan tentang kecelakaan dia jatuh dari sepeda motor seminggu yang lalu.
Sebenarnya tidak terlalu berat, tapi ibunya memaksa untuk mengecek segalanya,
takut terluka dalam atau yang lainnya. Dari hasil chek up itulah, dokter mendiagnosanya terkena leukimia, dokter
memintanya untuk chek up ulang, dan
hasilya tetap sama, positif leukimia. Ternyata keluhan-keluhan sakitnya selama
ini yang dianggapnya biasa saja membawanya ke leukimia.
“Kamu diam, Rani?”
“Memangnya kenapa?”
“Tidak histeris, seperti ibuku.”
Khaerani tersenyum, “kenapa aku harus
histeris? Kamu ada disini, disamping aku, itu sudah cukup, Bayu. Lagipula
banyak orang yang mampu bertahan hidup dengan leukimia.”
“Dokter mengatakan.....ketahananku untuk
hidup hanya tinggal beberapa tahun lagi, bisa dihitung hanya dengan jari tangan
saja.” Bayu membuka kedua telapak tangannya yang sudah melepaskan genggamannya
pada Khaerani dan dihadapkannya kearah matahari hingga membuat bayangan
diwajahnya.
“Dokter juga mahluk, bukan Tuhan. Dia
tidak bisa mendahului atau mengetahui apa yang menjadi keputusan Tuhan.”
“Bagaimana, kalau dokter itu benar?”
“Kematian adalah sesuatu yang sudah
pasti. Setiap yang hidup pasti akan mati.” Bayu kembali memandang Khaerani. “Kamu
sehat, Bayu. Masa depan pasti akan menantimu.”
“Menanti kita?”
“Yah, menanti kita. Perjuangan dan
semangat yang akan mengantarkan kita kesana. Apa kamu tidak menginginkannya?”
Bayu meraih pundak Khaerani dan
menyandarkan kepala gadis itu di pundaknya. Suara angin dan cericit burung tapuk
buah mengantarkan kedalam kesunyian. “Aku tidak salah selama ini, “ kata Bayu
kemudian.
“Kenapa memangnya.”
“Dari pertama kali aku bertemu denganmu..
Hati kecilku mengatakan inilah perempuan yang akan aku jadikan teman hidupku
suatu hari nanti.”
Khaerani tertawa kecil mendengar
kata-kata yang terdengar begitu indah di telinganya walaupun hatinya menangis.
***
Semangat Bayu kembali seperti semula
walaupun harus rutin berobat, hidupnya terus berjalan dan dijalaninya seperti
layaknya orang biasa, dia menganggap dirinya orang sehat, walau terkadang
ibunya menangis ketika melihatnya. Laki-laki tampan itu hanya bisa menenangkan
ibunya dan berkata kalau dirinya baik-baik saja, dan berjanji akan menyelesaikan
kuliahnya dengan baik.
“Bagaimana dengan gadis itu?” Ibunya
Bayu bertanya pada suatu hari.
“Namanya Khaerani, Bu.”
“Dia tahu tentang kamu?” Bayu
mengangguk. “Dia memutuskan kamu?”
Bayu tertawa, “dia gadis terbaik yang
pernah aku temui selama hidup, Bu. Rani, tidak akan pernah melakukan hal
seperti itu.”
“Bagaimana kamu tahu?”
“Karena aku percaya.”
“Kamu kan...” Ibunya Bayu tidak sanggup
melanjutkan kata-katanya.
“Bu, sudahlah. Bagi aku, dia adalah
segalanya, dia yang membuat aku bersemangat menjalani hidup ini.”
“Apa kamu yakin?”
“Seribu persen! Aku yakin!”
***
Ibu Khaerani meninggal dunia karena
sakit, hati gadis itu merasa terpukul, dan kehilangan semangatnya. Bayu
berusaha menghibur hati gadis yang dicintainya itu.
“Semua yang hidup pasti akan mati, Rani.
Kapan pun pasti akan tiba saatnya, entah cepat entah lama, dengan cara apa pun,
tidak ada yang bisa menghindarinya.”
***
Bayu akhirnya bisa menyelesaikan
kuliahnya begitu juga dengan Bimo. Bayu bekerja di kota kabupaten sedangkan
Bimo diterima kerja di semarang, kota provinsi. Khaerani sudah berhenti bekerja
semenjak ibunya meninggal, dia di rumah meneruskan usaha ibunya membuat kue dan
beternak kambing dan ayam bersama Bapak dan kakaknya yang juga seorang petani
dan melupakan cita-cita masa kecilnya untuk menjadi guru.
***
Sore hari yang cerah, Bayu datang
kerumah Khaerani. Bercengkerama dengan Bapak, Pram dan Amir yang masih berumur tiga
tahun. Khaerani merasa bahagia karena melihat Bayu yang kelihatan seperti orang
yang sehat pada umumnya.
Hari menjelang magrib. Bayu pamit
pulang. Sebelum pergi, Bayu berbisik ke telinga Khaerani, kalau besok pagi sebelum
matahari terbit, sekitar pukul lima, disuruh menunggu di depan rumah, karena
dia akan datang dan mengajaknya pergi ke suatu tempat. Khaerani tidak tahu apa
tujuan dari ajakan Bayu tersebut, dia hanya mengiyakan saja.
“Jam berapa kamu pergi dari rumah, Bay?”
“Sehabis shubuh.”
“Tapi udara terlalu dingin, apa tidak
berpengaruh dengan...”
“Tenang saja. Aku baik-baik saja.”
Setelah itu, Bayu dengan menggunakan
sepeda motor meninggalkan rumah Khaerani.
***
Sehabis subuh Khaerani menunggu di depan
rumah, dengan jaket tebal yang membungkus tubuhnya, karena udara pagi desanya
sangat dingin, dia pamit kepada Mak Lela untuk jalan-jalan pagi sebentar.
Beberapa saat kemudian datang Bayu dengan
sepeda motor menggunakan jaket tebal.
“Udara pagi ini sangat dingin,” kata
Bayu ketika sudah berada didepan Khaerani. “Motornya aku titipka disini ya?”
“Naikkan saja ke teras.”
“Sebenarnya kamu mau ajak aku kemana?”
tanya Khaerani penasaran setelah Bayu mengunci motornya.
Bayu tersenyum, lalu langsung mengajak
Khaerani untuk segera jalan. “Kita ke bukit kecil itu.”
“Tapi Bay, disana pasti udaranya jauh lebih
dingin. Apa kamu tidak apa-apa?” Ada nada kuatir dalam kata-kata Khaerani.
“Memangnya kenapa? Aku tidak apa-apa.
Malah aku jauh merasa lebih sehat dari hari-hari kemarin.”
“Tapi jalanannya masih gelap.”
Bayu
tersenyum sambil mengeluarkan senter kecil dari saku jaketnya, kemudian dengan menggandeng
tangan Khaerani, berjalan menyusuri jalan menuju ke bukit kecil. Setelah sampai
di bukit kecil, udara terasa lebih dingin ditambah dengan kabut pagi yang masih
tebal. Bayu mengajak Khaerani duduk menghadap ke arah matahari terbit. Mereka
duduk sambil mendekap kedua lutut masing-masing karena kedinginan. “Aku ingin
melihat matahari terbit bersama kamu, Rani.” Bayu menarik tangan Khaerani dan menggenggamnya dengan erat.
Perlahan langit di sebelah timur nampak
mulai merah, angin dingin berhembus lembut. Kabut tebal mulai memudar, cahaya
merah berubah menjadi kuning, dan akhirnya sang surya menampakkan wajahnya dari
balik bukit yang berdiri dengan megahnya. Cahaya lembut menerpa wajah Bayu dan
Khaerani, tangan mereka masih tergenggam erat. Terdengar cericit burung cerukcuk
dengan paruh hitamnya yang terbangun dari tidur malamnya dan suara sisa-sisa
serangga malam masih terdengar diantara rerumputan, semak dan pepohonan.
“Pagi terindah yang pernah kurasakan,
matahari nampak begitu sempurna, senyumnnya menghangatkanku.” Bayu berkata
sambil terus memperhatikan matahari yang baru terbit.
“Tapi tanganmu sedingin es, Bayu. Kamu
kedinginan,” kata khaerani yang duduk disampingnya.
Bayu tersenyum, “di sana mungkin akan
lebih dingin.”
“Bayu,” kata Khaerani lirih. Laki-laki
yang duduk disampingnya itu menoleh menoleh sambil tersenyum, dipandanginya
wajah gadis yang dicintainya.
“Yah, di sana pasti akan lebih dingin. Di
sana aku akan sendirian, tidak ada yang menggenggam tanganku seperti sekarang
ini.” Bayu menarik genggaman tangannya pada Khaerani dan menaruhnya didadanya.
“Bayu...” kata Khaerani dengan mata
berkaca-kaca. Sinar lembut matahari pagi yang baru terbit membias di wajahnya.
“Oh iya, disana pasti aku akan bertemu
ibumu. Mungkin aku akan menggenggam tangannya, seperti sekarang aku menggenggam
tanganmu, dan aku akan berkata padanya, kalau dia telah melahirkan anak
perempuan yang sangat baik.”
Khaerani tidak mampu membendung lagi air
matanya, mengalir melalu pipinya, dan nampak berkilau terkena pantulan cahaya
matahari pagi. “Kamu ngelantur, Bayu. Udara dingin ini mungkin membekukan pikiranmu.
Sebaiknya kita pulang,” katanya sambil beranjak berdiri, tapi Bayu segera menarik
tangannya, hingga membuatnya kembali duduk. Lalu keduanya terdiam.
“Bagaimana dengan Bimo?” tanya Bayu
tiba-tiba.
“Kenapa dengan Bimo?”
“Dia mencintai kamu. Aku tahu itu.”
“Dia sahabatku.”
“Bimo bisa menjadi pengganti aku,
menjagamu, jika suatu saat nanti...”
“Bayu! Kamu tambah ngelantur. Kamu
ingat, apa keinginanku untuk masa depan? Bahagia bersamamu. Titik!” Bayu
menarik tangan Khaerani dan meraihnya dalam pelukan, airmata gadis itu kembali
mengalir deras pipinya. “Kamu sehat, Bayu. Perjalanan kita masih jauh.“
“Apa tidak seharusnya aku menikahimu
sekarang saja? Atau memang semua rencana Tuhan aku tidak berjodoh denganmu,
Rani.”
“Sudahlah, Bayu. Jangan memikirkan
sesuatu yang belum terjadi.”
“Kamu tahu Rani, mengingat namamu aku
jadi ingat cerita wayang Palguna dan Palgunadi. Kamu tahu itu?”
“Iya, aku tahu. Kakekku pernah
menceritakannya. Kenapa memangnya?”
Bayu tertawa kecil. “Kamu tahu siapa
tokoh-tokohnya?”
Khaerani mengangguk. “Bambang Ekalaya
atau Palgunadi, raja dari negara Paranggelung, permaisurinya Dewi Anggraeni dan
Arjuna atau Palguna.”
“Yah, Dewi Anggraini, permaisuri cantik
yang sangat setia kepada suaminya, Palgunadi, walaupun mendapat godaan dari
Palguna yang tampan, tetapi kesetiaannya tidak tergoyahkan.”
“Terus, apa hubungannya dengan aku dan
kamu?”
Bayu kembali tertawa. “Namamu Khaerani
Anggraeni. Yah, Dewi Anggraeni. Yang seharusnya berpasangan dengan Palgunadi.”
Khaerani tertawa. “Dan aku, bukanlah Palgunadi atau Ekalaya, tapi aku adalah
Bayu. Seorang Dewa Angin.” Bayu menghela nafasnya. “Dewi Anggraeni tidak
berpasangan dengan Dewa Bayu, tapi dengan Palgunadi atau Bambang Ekalaya. Jadi mungkin Tuhan tahu
itu, aku bukanlah takdirmu.”
“Kamu ngomong apa sih. Itu hanya sebuah
cerita wayang.”
“Jika memang takdirnya Dewi Anggraini
dengan Palgunadi atau Bambang Ekalaya. Berarti kamu juga tidak akan berjodoh
dengan Bimo. Karena Bimo berpasangan dengan Nagagini, Arimbi atau Urangayu.”
Bayu tertawa.
“Itu hanya sebuah kebetulan. Kebetulan
saja namaku Anggraeni. Apa aku harus mengubah namaku agar berjodoh denganmu?”
Bayu tersenyum. Keduanya kemudian terdiam
membisu menatap terbitnya sang surya.
“Aku sangat senang melihat matahari terbit
di pagi ini bersamamu. Dan, aku ingin suatu hari nanti dapat melihat sandyakala
di sore hari yang indah bersamamu juga. Pagi yang indah mengawal hari baru
diakhiri dengan sore yang indah. Aku ingin mengawali hidup bersamamu dan
berakhir hidup suatu hari nanti, juga bersamamu.”
“Ya. Kita pasti akan melihatnya, gurat
merah di langit senja itu,” jawab Khaerani dengan tersenyum, meskipun airmata
masih meleh dikedua pipinya.
***
Seminggu kemudian, Bayu datang ke rumah
Khaerani.
“Aku ingin kita pergi ke sungai. Aku
ingin ke tempat sejuk dibawah bukit itu,” ajaknya kepada Khaerani.
Setelah sampai di sungai mereka duduk di sebuah
batu besar pinggir sungai. Bayu kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku
celananya.
“Aku melihatnya di sebuah toko kerajinan
perak ketika aku ada tugas luar,” katanya sambil memasangkan sebuah cincin
perak berbentuk bintang berukir bunga matahari di tengahnya di jari manis
tangan kiri Khaerani.
“Bagus sekali,” kata Khaerani sambil
memperhatikan cincin dijarinya.
“Cincin ini melambangkan kau adalah matahari
dan bintang, yang diciptakan untukku,” kata Bayu. Khaerani tersenyum. Bayu pun
tersenyum. “Tapi itu bukan cincin tunangan atau lamaran. Jika tiba saatnya
nanti aku ingin memasangkan cincin bermata hijau dijarimu. Hijau seperti bukit
itu dan pepohonan disini.” Khaerani merasa begitu bahagia mendengarnya, dia
melihat ada sinar harapan dan semangat di wajah Bayu. “Kamu adalah semangat dan
kekuatanku untuk hidup.”
Khaerani menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Bukan aku. Tetapi dirimu sendiri. Kamu kuat Bayu. Seperti namamu. Bayu
Taufan Samudera. Angin topan samudera yang dapat mengalahkan apa pun.”
Bayu tersenyum sambil menggenggam erat
tangan Khaerani.
***.
Dua bulan kemudian, Khaerani mendapat
kabar dari Bimo kalau Bayu kesehatannya menurun drastis dan harus dibawa ke
rumah sakit besar di Semarang. Gadis itu menangis, ingin rasanya dia berada
disamping Bayu, tapi tidak mungkin, Bayu dirawat di kota, yang jaraknya cukup
jauh, dia hanya bisa berkomunikasi dengan Bimo, yang bekerja di sana. Segala
keinginan dan perkataan Khaerani disampaikan Bimo kepada Bayu, begitu juga
sebaliknya, karena untuk berkata langsung, tidak memungkinkan, karena hampir duapuluh
empat jam ibunya Bayu berada disamping Bayu.
Sebulan kemudian. Khaerani melihat Bimo
sedang mengetuk rumahnya, ketika dia baru saja pulang dari mengantarkan makan
siang untuk bapak dan kakaknya di sawah. Jantungnya tiba-tia berdegup kencang,
hati kecilnya mengatakan “telah tiba waktunya”. Gadis itu berlari kearah Bimo. “Bagaimana
Bayu?” Bimo terdiam. “Waktunya telah tiba?”
“Sekarang sudah ada di rumahnya. Semangat
hidupnya tinggi, tapi tidak dengan daya tahan tubuhnya, yang akhirnya menyerah
dengan penyakit itu. Tapi dia bahagia, Rani.” Tangis Khaerani pecah, Bimo
perlahan memeluk tubuhnya yang bergetar.
***
Bimo mengantar Khaerani pergi ke rumah
Bayu. Sesampainya di sana, sudah banyak orang dan telah berdiri sebuah tenda
dan kursi-kursi berjejer. Gadis itu ingin sekali berlari dan melihat Bayu untuk
yang terakhir kalinya, tapi semua itu ditahannya, matanya sembab, nafasnya
nampak tersengal-sengal berusaha tidak histeris, sementara Bimo disampingnya
memegang erat pundaknya. Sesampainya di pintu terlihat sesosok tubuh yang
terbujur kaku yang tertutup kain, ingin sekali dia berlari dan memeluk tubuh
Bayu yang kini sudah tak bernafas lagi. Baru satu langkah memasuki rumah,
didepan mereka telah berdiri ibu Bayu yang didampingi salah seorang kakak
perempuan Bayu.
“Mau apa kamu kemari!” Ibunya Bayu
berkata kepada Khaerani dengan nada kemarahan, matanya nampak sembab.
“Bu, sudah. Biar dia melihat Bayu untuk
terakhir kalinya.” Kakak Bayu berusaha menenangkan ibunya. Khaerani dan Bimo
terdiam. Tiba-tiba gadis itu merasakan tangannya ditarik dengan keras. Ibunya
Bayu menarik tangannya dan membawanya ke samping rumah.
“Bu!” teriak kakak Bayu.
“Rani!” teriak Bimo.
Bimo dan kakak Bayu mengikuti ibu Bayu
yang membawa Khaerani ke samping rumah. “Sudah
tidak ada artinya lagi, kamu kesini. Bayu sudah tidak memerlukan kamu!” Khaerani
masih terdiam, air matanya mengalir dikedua pipinya, Bimo kini sudah berada
disampingnya lagi, sementara kakak Bayu berusaha menenangkan ibunya. “Kamu
kemana saja! Kamu tahu, saat-saat terakhirnya Bayu ingin kamu berada
disampingnya, satu-satunya perempuan yang dia sayangi! Tapi lihat! Kamu tidak
memperlihatkan batang hidung kamu selama dia di rumah sakit!”
“Ibu. Sudahlah!”
“Maafkan saya, Bu. Bukan maksud saya...”
Khaerani tidak tahu harus berkata apa kepada wanita yang sedang emosi
didepannya.
“Lebih baik, kamu tidak usah melihat
Bayu sekalian!” Ibunya Bayu langsung pergi meninggalkannya dan Bimo.
“Maafkan ibu, ya Ran,” kata kakak Bayu.
“Tidak apa-apa Mbak. Saya yang
seharusnya meminta maaf,” jawab Khaerani sambil mengusap air mata dengan
punggung tangannya. Kakak Bayu kemudian kembali masuk kedalam rumah. Bimo
mengajak Khaerani untuk pergi dari tempat itu. Sesampainya di mobil Bimo, gadis
itu tidak dapat menahannya lagi, menangis hingga tubuhnya bergetar cukup
kencang. Bimo tidak dapat berkata apa-apa, dia hanya bisa memandangi gadis yang
duduk disampinginya itu dengan perasaan pilu.
“Aku ingin sekali melihatnya,” Khaerani
berkata diantara tangisnya.
“Iya, aku tahu perasaan kamu, tapi kita
tidak bisa masuk ke dalam rumah itu. Ibunya Bimo pasti akan histeris ketika
melihat kamu.”
“Aku yang salah, aku yang salah, Bimo.
Seharusnya aku berada disampingnya!”
“Tidak. Tidak ada yang salah, kita semua
tahu, kalau saat ini pasti akan tiba. Kamu tidak salah, Rani. Rumah sakit
tempat Bayu dirawat cukup jauh, kamu juga punya tanggung jawab sendiri di rumah
kamu. Bayu tahu itu.”
Khaerani kembali menangis hebat, Bimo meraih
tubuh Khaerani dan membiarkan gadis itu menangis didalam pelukannya.
***
Penguburan selesai, para pelayat dan
keluarga sudah meninggalkan area pemakaman, yang tertinggal hanya makam Bayu
yang masih basah dan penuh bunga segar dan makam-makam lainnya. Khaerani segera
keluar dari mobil, Bimo mengikutinya dari belakang. Gadis itu berlari dan
langsung bersimpuh disamping makam Bimo, tangisnya tak tertahan lagi, pecah diantara
sunyi pohon kamboja dan puring. Bimo berdiri disamping Khaerani sambil
bergantian memandang antara Khaerani yang sedang menangis dan makam Bimo.
(Bersambung ke Bagian 5)
***
Komentar
Posting Komentar