SANDYAKALA (Bagian 16)
16 Kedatangan tamu
Pagi hari, suasana rumah Pak Said nampak
sibuk
“Makanan sudah beres semua kan, Bu?”
kata Mutiara ketika berada di dapur.
“Sudah, sebentar lagi juga sudah siap di
meja makan. Kamu tenang saja, masalah dapur sudah beres semua!” Bu Said
tersenyum sambil membelai rambut putrinya. “Kue bolunya sudah kamu iris?”
“Ya ampun! Aku lupa!” Mutiara menepuk
jidatnya sendiri, kemuadian langsung meninggalkan dapur dan berjalan ke meja
makan, tempat dia meletakkan kue-kue-nya. Bu Said mengikuti Mutiara dari
belakang.
“Sini, biar ibu bantu mengiris kue
bolunya. Bimo sama Bagas mana?”
“Mereka di depan, mengatur kursi-kursi
lagi, semalam sudah ditata, tapi katanya kurang bagus.”
***
Seseorang berdiri sambil mengucapkan
salam di pintu rumah Bu Said yang terbuka. Bimo dan Bagas membalas salam hampir
bersamaan. Keduanya nampak terkejut ketika melihat seorang perempuan cantik
berdiri dipintu.
“Maaf cari siapa ya?” tanya Bagas.
“Bu Said. Ini ada kiriman buat beliau,” kata
perempuan tersebut tersenyum sambil menunjukkan bungkusan yang berada
ditangannya.
“Oh ada. Mbak ini siapa ya?”
“Saya Ratna, anaknya Pak Haji Suryo.”
Bimo yang sedang membereskan kursi
langsung menghentikan pekerjaannya setelah mendengar perempuan itu menyebutkan namanya.
“Siapa Gas?” tanyanya sambil mendekat ke arah Bagas.
“Tamunya Bu Lek. Silakan masuk!” Bagas
mempersilakan Ratna untuk masuk. “Bim, aku panggil ibumu. Kamu temani Mbak
Ratna dulu!” Bagas mengedipkan mata kirinya kepada Bimo, kemudian masuk.
“Kenapa dengan si sableng itu!
Jangan-jangan dia sudah tahu tentang rencana perodohan itu!” benak Bimo. “Silakan
duduk. Ibu ada di belakang. Maaf agak berantakan,” kata Bimo mempersilakan
Ratna.
“Tidak apa-apa.” Ratna masuk dan
langsung duduk disalah satu kursi.
“Mbak ini, siapa ya?” Bimo mengulang
pertanyaan Bagas.
“Saya Ratna. Panggil saja Ratna, tidak
usah pakai Mbak. Saya anaknya Pak Haji Suryo. “ Ratna tersenyum. “Mas ini
siapanya Bu Said?”
“Bimo. Anaknya Bu Said. Yang tadi,
Bagas. Sepupuku.” Wajah Ratna nampak
merona setelah Bimo memperkenalkan diri.
“Oalaaaah...akhirnya tamu yang
dituggu-tunggu datang juga.” Bu Said datang dengan wajah penuh kegembiraan.
Ratna langsung berdiri dan mencium tangannya. Sementara Bagas yang datang
bersama Bu Said berbisik ketelinga Bimo sambil tersenyum. “Calon istrimu!” Bimo
melotot kearah Bagas. “Jadi benar, dia sudah tahu!” benak Bimo.
“Aduuuh repot-repot Nak Ratna,
semestinya tidak usah bawa apa-apa, sudah datang saja ibu senang!” kata Bu Said
sambil duduk.
“Ah tidak Bu. Ini cuma ala kadarnya dari
ibu,” kata Ratna sambil tersenyum.
“Oh iya, kenalkan ini Bimo, anak ibu dan
ini Bagas, kemenakan ibu, tapi sudah ibu anggap seperti anak sendiri.” Bu Said
memperkenalkan Bagas dan Bimo kepada Ratna.
“Oh iya Bu. Tadi kami sudah berkenalan.”
Bagas kembali menyikut lengan Bimo.
“Eeeeh...ada Mbak Ratna.” Mutiara
tiba-tiba muncul ke ruang tamu.”Apa kabar Mbak?”
“Baik,” jawab Ratna. Bu Said kemudian menunjukkan kiriman yang
dibawa Ratna kepada Mutiara.
“Waduuuh Mbak, tidak usah repot-repot.”
“Tidak repot kok. Ini dari ibu,” jawab Ratna
sambil tersenyum. “Kalau begitu saya pamit dulu Bu Said.”
“Lho, kok cepetan?” tanya Bu Said.
“Maaf Bu, saya ada acara. Hari ini ada
jadwal posyandu. Lagipula disini juga sedang sibuk.”
“Nak Ratna naik apa kesini?”
“Oh, saya pakai sepeda motor Bu!”
Ratna pamit. Bu Said, Mutiara, Bagas dan
Bimo mengantarkannya sampai halaman depan, dimana Ratna memarkir sepeda
motornya.
“Salam dan sampaikan ucapan terima kasih
dari ibu buat bapak dan ibumu, Nak Ratna.”
“Ya Bu. Pasti akan saya sampaikan. Mari,”
pamit Ratna.
“Hati-hati
Dek Ratna, hari masih pagi, masih banyak kabut, apa tidak diantar saja sama Mas
Bimo?” Bagas tersenyum, lengannya terasa sakit karena disikut oleh Bimo.
“Terima
kasih,” jawab Ratna sambil tersenyum. Kemudian bidan cantik itu meninggalkan
halaman rumah Bu Said, yang tersisa hanya suara sepeda motornya yang semakin
menjauh.
“Bagaimana menurut kamu, Bim?” Bu Said
bertanya sambil melangkah masuk kedalam rumah.
“Apanya, Bu?”
“Jangan pura-pura, Bim!” Bagas tersenyum.
Mutiara tertawa sambil masuk dan membawa bungkusan dari Ratna.
“Kamu itu bagaimana tho, Bim. Bagas saja
tahu! Yang ibu maksud ya Ratna anaknaya Pak Haji Suryo itu!”
“Cantik! Orangnya kelihatan baik!” jawab
Bimo. Bu Said tersenyum kemudian kembali masuk ke dalam. Bagas tertawa. “Kenapa
memangnya Gas! Ada yang lucu!”
“Calon istrimu cantik, Bim!” Sebuah
bantal kursi melayang kearah Bagas, yang langsung menangkapnya sambil terus
tertawa.
***
Mutiara meletakkan handphone-nya
diatas meja, setelah berbicara dengan Bhisma, kemudian kembali mengatur kue-kue
kedalam piring saji. “Sepertinya ada yang kurang. Apa ya? Ya ampun! Kue kacang
hijau dari Rani belum diambil!” Mutiara berbalik dan langsung mengambil kunci
motor diatas meja kecil disebelah televisi kemudian berjalan kedepan untuk mencari
seseorang yang bisa pergi mengambil kue pesanannya ke rumah Khaerani. Di pintu
depan berpapasan dengan Bimo.
“Mau kemana Mut?”
“Cari Mukhlas atau Munir atau siapa
saja buat ambil kue kacang hijau di rumah Rani.” Mutiara menunjukkan kunci
motor yang dipegangnya kepada Bimo.
“Mukhlas sama Munir lagi disuruh bapak.
Sini! Biar aku saja yang mengambilnya!” Bimo merebut kunci dari tangan adiknya.
“Serius?”
Mutiara mengernyitkan dahinya.
“Kenapa
memangnya? Ada yang aneh?” jawab Bimo.
Mutiara
tersenyum, “kalau dicari ibu, bagaimana?”
“Kamu bilang saja, lagi keluar sebentar!
Tapi Mut, ngomong-ngomong, si anak sableng itu kemana?”
“Mas Bagas?”
“Memangnya ada lagi orang sableng di
rumah ini?”
Mutiara tertawa, “lagi mandi!
Memangnya kenapa?”
“Tidak apa-apa! Ya sudah, aku pergi
dulu!” Bimo berjalan ke samping rumah untuk mengambil motor sedangkan Mutiara
masuk kembali kedalam rumah. Beberapa saat kemudian terdengar motor yang
dikendarai Bimo meninggalkan halaman rumah.
***
“Wealaaah...cucuku sudah sembuh,” kata Bapak
sambil meletakkan gelas berisi teh panas di atas meja di ruang tengah ketika
melihat Amir berlari kecil ke tempatnya duduk.
“Amir
sudah sembuh Mbah. Ayo Mbah, Amir mau kasih makan kambing Amir,” kata Amir
sambil menarik tangan simbahnya.
“Iya sebentar.”
“Lho, Amir. Mau kemana?” tanya Khaerani
ketika melihat kemenakannya itu mengandeng tangan Bapak.
“Mau kasih makan kambing, Bu Lek.’
“Amir kan masih sakit.”
“Sudah sembuh, Bu Lek.”
“Biarkan saja. Toh bukan pekerjaan
berat,” kata Bapak sambil tersenyum dan mengikuti cucunya. Khaerani hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Terdengar suara sepeda motor
berhenti didepan rumah. “Itu mungkin orang suruhan Mutiara buat ambil kue,” pikir
Khaerani sambil bergegas menuju ke depan.
“Bimo!” katanya terkejut ketika melihat laki-laki yang baru saja turun dari
sepeda motor dan berjalan kearahnya. Tiba-tiba ada sesuatu yang menekan
dadanya.
“Apa kabar Ran?” Bimo menjabat tangan
Khaerani, suaranya terdengar sedikit bergetar.
“Baik, Bim. Akhirnya kita bertemu juga,
setelah kemarin tidak sengaja ketemu di klinik.” Khaerani beusaha untuk berskap
biasa.
“Maaf. Aku baru bisa ke rumahmu
sekarang.”
Khaerani tersenyum. “Bagaiman kabar
kamu, Bim. Sepertinya sudah lama sekali kita tidak bertemu dan berbicara.”
Bimo
tersenyum. “Aku baik. Bagaimana keadaan kamu, Ran? Katanya kamu sakit? Mutiara
cerita tentang kejadian kemarin di saluran irigasi.”
“Aku tidak apa-apa dan baik-baik saja.
Apa kamu melihat aku seperti orang yang sakit?” Bimo menggeleng sambil
tersenyum. “Kamu kesini, pasti mau ambil kue pesanan Mutiara?” Bimo mengangguk.
“Baiklah, silakan masuk, aku mau ambil kue-nya.”
“Aku disini saja,” kata Bimo sambil
duduk diatas balai-balai.
Khaerani masuk kedalam. Tidak lama
kemudian keluar lagi sambil membawa kardus yang berisi kue pesanan Mutiara dan meletakannya
disamping Bimo. “Ini kuenya dan ini uang kembaliannya. Mutiara memberikannya
terlalu banyak,” katanya sambil meletakkan sebuah amplop diatas kardus kue.
Bimo memperhatikan amplop di atas kardus
tersebut, ingin mengatakan sesuatu, tetapi mulutnya tidak sanggup dia buka.
“Oh iya Bim, bagaimana pekerjaan kamu di
Jogja. Kamu pasti sangat sibuk sampai kamu jarang pulang.”
“Baik. Pekerjaanku berjalan dengan
baik,” jawab Bimo tersenyum “Ayo Ran, katakan kau menungguku dan merindukan
kedatanganku,” benaknya berkata. Kemudian Bimo menjelaskan keberadaannya di
desa, selain ada acaranya Mutiara juga karena tugas pekerjaan. “Bagaimana dengan
luka kamu?” tanya Bimo sambil memperhatikan luka di pergelangan tangan
Khaerani.
“Tidak apa-apa, cuma luka kecil.”
Khaerani memperlihatkan pegelangan tangan kanannya kepada Bimo.
Khaerani dan Bimo kemudian terdiam
“Rani.” Bimo kembali membuka pembicaraan.
“Sudah lama kita tidak berbicara berdua seperti ini.” Khaerani tersenyum. “Kamu
masih sering ke makam Bayu?” Khaerani
mengangguk. “Sudah lama aku
tidak ke sana.” Bimo menundukkan kepala sesaat sambil memainkan kunci motor
ditangannya. “Pernah ketemu ibunya Bayu?”
Khaerani menggeleng, “aku sengaja,
supaya tidak bertemu dengannya. Masih ada perasaan bersalah kalau bertemu
dengan ibunya Bayu.”
“Aku juga sudah lama tidak bertemu
dengannya. Kapan kita bisa bersama ke makam Bayu?”
Khaerani tertawa kecil. “Aku bisa kapan
saja, Bim. Kamu yang mungkin tidak bisa.”
Bimo terdiam, dia tahu apa maksud dari
perkataan Khaerani yang pasti menanyakan keberaniannya pergi bersamanya.
“Baiklah Ran, lain waktu kita bicara
lagi. Mutiara pasti sedang menunggu kue-kue ini.” Bimo mengambil kardus kue dan amplop berisi
uang yang kemudian dimasukkan kedalam saku celananya. “Salam buat Bapak dan Mas
Pram.”
Bimo berjalan ke sepeda motornya,
setelah menata letak kardusnya, dia pun segera melaju meniggalkan halaman rumah
Khaerani. Gadis itu memandang kepergian Bimo dengan tersenyum, menghela nafas,
kemudian masuk ke dalam rumah.
***
Setelah mengunci sepeda motornya di
halaman depan, Bimo langsung masuk ke rumah. Di ruang tengah bertemu dengan
Bagas yang baru saja keluar dari kamar dengan pakaian rapi.
“Darimana Bim?” tanya Bagas.
“Ambil kue pesanan Mutiara,” jawab Bimo
tersenyum sambil mengangkat kardus kue yang dipegangnya. Bagas mengernyitkan
dahinya sambil memandangi sepupunya tersebut. “Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Bimo.
“Sepertinya pagi ini kamu kelihatan
senang sekali?”
“Memangnya ada larangan kalau aku
senang?” Bimo melangkah ke meja makan dan meletakkan bungkusan kue yang dibawanya.
Bagas mengikutinya dari belakang.
“Habis
ketemu siapa di jalan? Sampai kamu kelihatan cerah ceria begitu?” Bagas
tersenyum, berusaha memancing Bimo untuk mengatakan yang sejujurnya, karena
pada dasarnya dia tahu Bimo baru saja mengambil kue dari tempat siapa.
“Memangnya
aku harus laporan sama kamu?” Bimo tertawa.
“Pasti
habis ketemu orang yang istimewa!” Bagas tersenyum.
“Ya iyalah, masa ketemu kambing
istimewa!” jawab Bimo sambil berjalan ke kamar Mutiara. Bagas tersenyum melihat
sikap sepupunya tersebut, kemudian berjalan ke ruang depan.
“Mutiara!” Bimo mengetuk pintu kamar Mutiara.
“Ya, masuk!”
Bimo masuk, dilihatnya adiknya sedang
berdandan di depan cermin. “Kamu kelihatan cantik, Muti,” puji Bimo kepada
adiknya.
“Oh
ya jelas,” Mutiara tersenyum.
“Aku
sudah ambil kue pesanan kamu. Dan ini!” Bimo menyerahkan amplop yang diberikan
Khaerani.
“Apa ini?” Mutiara nampak bingung
menerima amplop tersebut
“Uang kembalian. Kata Rani, kamu
memberikannya terlalu banyak, jadi dia mengembalikannya.”
Mutiara membuka amplop tersebut dan
menghitung uang didalamnya. “Rani hanya mengambil setengahnya.” Bimo mengangkat
kedua bahunya. “Mestinya Mas Bimo tidak usah menerima uang ini!”
“Niatnya memang begitu. Tapi kamu
kan tahu sendiri bagaimana Rani. Nanti disangkanya kita merendahkan dia! Ya,
terpaksa aku terima !”
Mutiara menghela nafas. “Ya sudahlah
kalau begitu,” katanya sambil memasukkan amplop dari Khaerani kedalam laci meja
riasnya. Bimo kemudian keluar kamar dan membiarkan adiknya itu melanjutkan
berdandannya yang belum selesai.
***
Bhisma dan keluarganya datang.
Segala keramahtamahan, saling cerita dan saling kagum antara dua keluarga pun
terjadi, karena ini adalah pertama kalinya kelurga Bhisma bertemu dengan
keluarga Mutiara. Pertemuan tersebut adalah pertemuan silaturahmi, agar dua
keluarga saling mengenal satu sama lain. Segala macam jamuan makanan dan
minuman disajikan keluarga Mutiara kepada keluarga Bhisma untuk menambah
keakraban.
Menjelang sore, keluarga Bhisma pamit
pulang. Orang tua Bhisma mengatakan bahwa dalam waktu dekat akan datang kembali
untuk melamar Mutiara secara resmi. Baik Bhisma maupun Mutiara nampak senang,
rona bahagia tidak dapat mereka sembunyikan dari wajah mereka.
“Bagaimana dengan kamu, Bim?” tanya
Bagas kepada Bimo setelah kepergian keluarga Bhisma, ketika mereka hanya duduk
berdua di kursi teras depan rumah. “Bagaimana
apanya?”
“Jangan pura-pura tidak tahu.
Mutiara sebentar lagi akan dilamar, dan pastinya tidak lama dari itu dia pasti
akan menikah.” Bagas tersenyum sambil memukul lengan sepupunya itu.
“Memangnya kenapa? Seharusnya pertanyaan
itu aku ajukan sama kamu, Gas. Kamu lebih tua dari aku, dan Mbak Ambar, kakakmu
sudah berkeluarga dan punya anak. Aku yakin, dia pasti mengharapkan adik
satu-satunya yang sableng ini cepat berkeluarga dan punya anak!”
Bagas
tertawa. “Mbak Ambar tidak pernah menyatakan hal seperti itu.”
“Kamu tidak tahu saja, Gas! Tapi aku
yakin dia pasti mengharapkan seperti itu!”
Tiba-tiba Bagas mencondongkan
badannya kearah Bimo dan berkata setengah berbisik, “Mbak Ambar tidak seperti
Bu Said, yang suka memaksakan kehendak kepada orang lain!” kata Bagas yang kemudian
tertawa.
“Heh!” Bimo memukul lengan Bagas.
“Kenapa? Bukannya kamu melihat dan
merasakannya sendiri kan, Bim? Coba ingat, siapa yang tadi pagi datang?”
“Siapa?”
“Siapa lagi, calon istrimu, bidan
cantik itu!” kata Bagas sambil tersenyum sedangkan Bimo terdiam. “Kenapa Bim?
Ada masalah? Menurut aku, bidan itu wanita yang ideal. Cantik, berpendidikan,
punya pekerjaan yang bagus dan berasal dari keluarga terpandang, juga kaya,
sesuai dengan kriteria Bu Said!” kata Bagas.
“Itu kan kriteria Ibu, bukan
kriteria aku!”
“Terus, perempuan yang seperti apa,
yang menjadi kriteria dan idaman kamu, Bim?” Bagas berusaha memancing Bimo
untuk menyatakan apa yang ada didalam hatinya. Bimo terdiam sambil memainkan
jari-jarinya pada lengan kursi. Bagas tersenyum memperhatikan sikap sepupunya
tersebut. “Mana keberanianmu, Bim! Pertanyaan seperti itu saja tidak berani
kamu jawab!” benak Bagas.
(Lihat dan baca Bagian 17 yaaa kalo mau tau kelanjutannya)
***
Komentar
Posting Komentar