SANDYAKALA (Bagian 1)
1 Sepupu
Minggu siang yang cukup cerah. Pohon-pohon
asam besar yang diselingi pohon-pohon flamboyan yang sedang berbunga lebat
berjejer di sepanjang jalan di sebuah desa kecil di salah satu kabupaten di
Jawa Tengah. Tanaman padi terhampar luas dikiri kanannya, diiringi suara
gemericik air dari saluran irigasi tersier dan nyanyian burung pipit dan manyar
yang terbang bebas. Gumpalan awan putih menghiasi langit yang biru. Jauh di depan,
berdiri bukit hijau yang menjulang dengan megahnya, meniupkan semilir angin,
membuat udara desa terasa sejuk.
Khaerani terus mengayuh sepedanya diatas jalan
mulus yang belum lama diperbaiki itu ketika sebuah sepeda motor melintas
disamping kanannya. Seorang laki-laki mengendarai sepeda motor dengan seorang
perempuan membonceng dibelakangnya. “Raniiii!” teriak perempuan tersebut sambil
melambaikan tangan. Gadis manis berkulit sawo matang, dengan tinggi sedang dan
berambut hitam sebahu itu membalas lambaiannya. Sepeda motor itu menjauh
kemudian menghilang di sebuah tikungan.
***
Bapak, laki-laki tua berumur lebih dari lima
puluh tahun dengan badan ceking itu sedang duduk di balai-balai depan rumah
sambil sambil menghisap rokok kretek ditemani secangkir teh panas ketika
Khaerani, anak perempuannya sampai di rumah.
“Baru pulang, Ran?”
“Iya pak, tadi Rani mampir ke bank dulu.
Jadi pulang agak siang.”
“Oh iya Ran, tadi si Maksum beli kambing
kita dua ekor, katanya buat aqikahan anaknya.”
“Tapi bukan kambing kesayangannya Amir
kan, Pak?”
Amir adalah kemenakan Khaerani, anak
dari kakak laki-lakinya, Pram. Berusia delapan tahun dan duduk dibangku kelas
dua sekolah dasar.
“Ya jelas bukan, kalau iya, nanti bisa-bisa si
Amir nangis dua hari dua malam.” Lelaki tua itu tertawa. “Oh iya Ran, nanti
kamu ngomong sama Mbak dan Mas-mu, besok tidak usah masak, bapak mau sembelih
ayam dua ekor, nanti si Lela yang masak.”
“Iya Pak.” Khaerani masuk ke dalam rumah
dan langsung menuju belakang, didapatinya Mak Lela sedang mencuci piring. Mak
Lela, wanita berumur sekitar empat puluh tahun yang selalu memakai kebaya dan
kain dan rambut panjangnya yang selalu digelung diatas tengkuk itu adalah
saudara jauh dari Bapak, seorang janda tanpa anak, suami pertamanya meninggal
sepuluh tahun yang lalu karena sakit, lima tahun kemudian dia menikah lagi,
tapi baru dua tahun menikah, Mak Lela sudah kembali ditinggal suaminya karena
kecelakaan. Sepeninggal suaminya yang kedua, Mak Lela sampai sekarang belum
ingin menikah lagi, dia takut, karena setiap laki-laki yang dinikahinya pasti
meninggal. Mak Lela hidup sebatangkara, bekerja sebagai buruh tani. Bapak
merasa kasihan, lalu mengajaknya untuk tinggal bersamanya. Keberadaan Mak Lela
cukup membantu bagi Bapak, apalagi setelah Ibu Khaerani meninggal.
“Mak Lela sudah makan?”
“Eh, Mbak Rani, sudah pulang. Sudah
Mbak, Mak Lela sudah makan.”
“Mak Lela istirahat dulu, biar nanti aku
yang cuci piringnya. Mak pasti lelah.”
“Tidak apa-apa Mbak.” Wanita paruh baya
itu tersenyum.
“Oh iya Mak, kacang hijau yang buat
besok sudah disiapkan semua?”
“Sudah Mbak, di tempat seperti biasanya.”
“Kita dapat pesenan kue lumayan banyak
buat minggu depan.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Khaerani mempunyai usaha kecil membuat
kue-kue dengan bahan dasar kacang hijau. Selain membuat pesanan juga untuk
dititipkan di toko-toko dan warung-warung.
“Bapak sudah bilang kalau besok mau
sembelih ayam dua ekor, Mak?”
“Sudah Mbak.”
“Kalau begitu, aku mau ke rumah Mbak
Risma dulu, mau kasih tahu sekalian bawa oleh-oleh buat Amir.”
Kharisma, biasa dipanggil Risma adalah
kakak ipar Khaerani, istri dari Pram. Rumahnya hanya berjarak sepuluh meter
disamping kanan rumah Bapak. Saat ini, Kharisma sedang mengandung anak
keduanya. Di rumahnya, Kharisma membuka usaha jahitan, sedangkan Pram,
suaminya, sama seperti Bapak, seorang petani.
“Mbak Risma.”
“Baru pulang Ran?” kata wanita cantik
berkulit putih yag sedang sibuk menjahit tersebut.
“Aduuuh Mbak, perut sudah besar begitu
masih saja menjahit, kan sudah ada Maryam. Ya, kan Mar?” Khaerani menyapa Maryam,
karyawan satu-satunya kakaknya. Perempuan muda yang sedang sibuk menjahit itu
hanya tersenyum.
“Maryam sudah bilang Mbak, tapi Mbak
Rismanya tidak mau dengar.”
“Daripada diam saja, malah badan jadi
pegel.” Kharisma nampak menggeser posisi duduknya sambil mengelus perutnya yang
besar itu.
“Masih mengerjakan pesanan batik dari
Kelompok Taninya Pak Makruf, Mbak?”
“Iya, masih kurang empat baju lagi.”
“Amir mana?”
Baru saja Kharisma akan menjawab, sebuah
sepeda motor berhenti didepan rumah. Nampak Amir turun dari sepeda motor yang
dikendarai bapaknya, Pram.
“Bu Lek Raniiii!” teriak Amir sambil
berlari ketika melihat Khaerani yang sedang bersama ibunya.
“Amir darimana?”
“Habis puter-puter desa naik sepeda
motor sama bapak.”
“Oh iya Mir. Bu Lek bawa sesuatu buat
Amir.” Khaerani menyerahkan bungkusan yang dibawanya kepada Amir.
“Apa ini Bu Lek?”
“Buka saja.”
Amir membuka bungkusan tersebut yang
ternyata berisi buku gambar dan crayon. Nampak kegembiraan terpancar diwajah
polosnya.
“Hayooo, bilang apa sama Bu Lek Rani,”
kata Pram yang baru saja masuk.
“Terima kasih Bu Lek,” kata Amir, dan
tanpa menunggu lagi langsung membawa buku gambar dan crayon tersebut diatas
meja, membuka dan langsung mencobanya.
Khaerani kemudian menyampaikan pesan
Bapak kepada kakak dan kakak iparnya tersebut.
“Waduuuh, besok kita bakal makan besar,”
kata Pram sambil tersenyum.
“Aku juga boleh makan, ya Mbak Rani?”
sahut Maryam.
“Ya tentu boleh, kamu bisa makan sepuas
kamu, Mar.”
“Asiiiik.” Maryam terlihat senang,
kemudian meneruskan kembali pekerjaannya.
***
Sore hari. Khaerani pergi ke tempat
Pak Said untuk membeli kacang hijau. Pak Said adalah seorang petani juga
pedagang hasil palawija. Rumah Pak Said berdampingan dengan tempat usahanya
yang berbentuk seperti aula besar, bagian depannya berupa ruang terbuka yang
berfungsi sebagai tempat penjemuran hasil palawija, sepert jagung, kacang tanah
dan kacang hijau. Bagian dalam ruangan berfungsi sebagai tempat penimbangan,
pengepakan, penyimpanan juga penjualan eceran. Tampak tumpukan karung-karung
yang berisi hasil palawija yang siap untuk dijual maupun dikirim kepada para
pedagang besar pelanggannya.
Setelah melewati tempat penjemuran, Khaerani
langsung menuju tempat yang melayani penjualan eceran, dilihatnya Pak Said,
laki-laki berumur limapulahan dengan postur tinggi besar yang selalu memakai
peci putih itu sedang mengawasi kerja para karyawannya. Laki-laki itu tersenyum
melihat kedatangannya.
“Eh, Rani. Mau ambil kacang hijau
lagi?”
“Iya Pak. Saya mau beli lima kilo.” Pak Said kemudian menyuruh salah seorang
karyawannya untuk menimbang kacang hijau pesanan Khaerani. “Oh iya Pak Said,
saya mau pesan tujuh kilo untuk dua hari yang akan datang.”
“Wah, kayaknya lagi banyak pesanan
ya?”
Khaerani mengangguk sambil
tersenyum. Setelah menerima kacang hijaunya kemudian membayarkan sejumlah uang
kepada salah satu karyawan Pak Said. Kemudian permisi untuk pulang.
“Tidak main dulu Ran, ada Mutiara di
rumah.”
“Terima kasih Pak, lain waktu saja, mendung
dilangit sudah mulai tebal, takut hujan, sayang kacang hijaunya.” Khaerani
segera berlalu dari hadapan Pak Said.
Pak Said memperhatikan langit dan
membenarkan ucapan Khaerani. Dilihatnya beberapa karyawannya yang mulai
mengangkat jagung, kacang hijau, kacang tanah dan kedelai yang sedang dijemur
karena matahari sudah tidak lagi menampakkan sinarnya, berganti dengan awan
hitam yang sudah mulai menggulung.
“Rani itu gadis yang baik, rajin,
orangnya manis. Tidak ingin punya menantu seperti dia, Pak?” seloroh seorang
karyawan Pak Said ketika dilihatnya laki-laki itu memandangi kepergian
Khaerani. Pak Said hanya tertawa kecil mendengarnya.
Khaerani berjalan ke tempat
sepedanya yang diletakkan dibawah pohon nangka besar disamping tempat
penjemuran, diletakkannya kacang hijau yang baru dibelinya di keranjang depan
sepeda. Ketika akan menaiki sepedanya, gadis itu melihat seorang laki-laki yang
keluar dari rumah Pak Said dan berjalan ke tempat usahanya. Laki-laki itu
tersenyum ketika pandangannya beradu dengannya. Khaerani pun tersenyum sambil
sedikit menganggukkan kepalanya. Setelah itu menaiki dan mengayuh sepedanya. Tapi
baru beberapa kayuhan tiba-tiba ada seseorang yang memanggilnya. “Rani!” Khaerani
menghentikan kayuhannya, menengok ke arah orang tersebut. Seorang perempuan
nampak berdiri di pintu depan rumah Pak Said. “Mutiara,” sapanya pada perempuan
yang sedang berjalan kerahnya, yang tidak lain adalah anak perempuan Pak Said.
Kemudian turun dari sepedanya.
“Waduh, sekarang sibuk ya, Ran?”
kata Mutiara, gadis dengan tinggi sedang, berkulit putih, bermata besar dan
berambut lurus sebahu itu setelah berdiri didepan Khaerani.
“Tidak juga,” jawab Khaerani sambil
tersenyum. “Oh iya, siang tadi aku kamu naik motor dengan siapa?”
“Itu sepupuku. Dia baru datang dari Jakarta.
Kebetulan hari minggu, aku libur, jadi aku jemput dia di terminal kecamatan.”
Mutiara mengatakan kalau laki-laki itu adalah anak dari kakak laki-lakinya Pak
Said. “Baru saja dia mau ketemu bapak, kamu tidak ketemu?”
Khaerani mengernyitkan dahi.
“Laki-laki yang berkaus biru dan bercelana jins itu?” Mutiara mengangguk. “Yah,
aku melihatnya.” Khaerani kemudian pamit untuk segera pulang, karena langit
sudah tidak bisa diajak kompromi lagi, titik-titik air sudah mulai jatuh dari
langit.
(Bersambung ke Bagian 2)
(Bersambung ke Bagian 2)
***
asyik maca ceritane ka... mengalir...
BalasHapusMakasih Fal..ternyata wong sibuk masih sempat maca ya....
Hapus