SANDYAKALA (Bagian 17)



17 Titip

Bapak sakit, badannya lemah dan hampir tidak kuat untuk berjalan, juga nafasnya agak sesak. Pada awalnya tidak mau dibawa ke dokter, tapi setelah dirayu dengan berbagai macam cara, Bapak akhirnya mau periksa ke dokter di klinik dengan diantar Pram menggunakan sepeda motor. Dokter mengatakan kalau Bapak kecapekan, perlu banyak istirahat dan ada sedikit gangguan pernafasan. Pihak klinik menyarankan Bapak untuk rawat inap di klinik agar mendapat perawatan yang lebih intensif. Seperti biasanya, Bapak menolak, tapi dengan nasihat dari dokter Fahri yang mengatakan demi kebaikan semuanya, akhirnya Bapak mau juga untuk rawat inap di klinik, tapi dengan dengan mengajukan syarat, kalau tidak mau lama-lama dirawat di klinik. Dokter Fahri tersenyum ketika mendengar persyaratan dari Bapak. “Tidak lama kok Pak Seno, paling sehari atau dua hari,” kata dokter Fahri. Bapak dirawat di klinik. Pram, Khaerani dan Mak Lela bergantian menjaga Bapak di klinik. Malam harinya Khaerani yang menjaga Bapak, Pram menjaga rumah, karena dialah satu-satunya laki-laki dewasa yang ada, selain itu untuk menjaga anak dan istrinya yag sedang hamil besar.
***
            “Pak Suseno dirawat di klinik, Bu,” kata Pak Said kepada istrinya saat makan malam hanya berdua karena Mutiara sedang berada di kota kabupaten selama beberapa hari untuk mengikuti seminar pendidikan, Bagas balik ke Jakarta untuk urusan pekerjaan, sedangkan Bimo berkutat dengan laptopnya di kamar, tidak ikut makan malam karena katanya sehabis pulang kerja, ditraktir makan oleh temannya.
            “Kok, bapak tahu?” tanya Bu Said sambil menuangkan nasi di piring suaminya.     “Tadi siang, bapak ke klinik untuk cek tensi darah. Di sana ketemu sama Rani yang sedang menungguinya.”
            “Memangnya Pak Suseno sakit apa?”
            “Katanya sih, kecapekan dan ada sedikit gangguan pernafasan, makanya harus dirawat inap di klinik,” jawab Pak Said sambil mengambil pepes ikan mas didepannya kemudian menaruh di piring nasinya.
 “Kasihan juga Pak Suseno ya Pak.”
             “Apalagi dia itu sudah tidak punya istri. Tapi untungnya dia itu punya anak-anak yang baik. Kalau ingat dia, bapak jadi ingat waktu kami masih sama-sama muda.” Bu Said tiba-tiba memasang muka cemberut.         “Kok cemberut Bu?” Bu Said diam sambil memasukkan sesendok nasi kemulutnya. “Walaaah... Ibu pasti berpikir bapak sedang mau membicarakan Lastri, ibunya Rani. Oalaah bu...bu... jangan berpikiran yang tidak-tidak. Lha wong Lastri itu sudah meninggal. Toh, dia kan sudah jadi istrinya Mas Seno. Sudah punya keluarga sendiri. Bapak kan juga sudah menikah dan bahagia sama ibu. Itu kan, cerita masa lalu!”
            “Tapi, kenapa bapak masih ingin menjodohkan anak kita dengan anak Pak Seno! Bapak ingin selalu mengenangnya kan?”” kata Bu Said.
            “Ibu ini bagaimana. Apa salahnya menjaga silaturahmi dengan teman dekat. Namanya juga kenginan. Lagipula waktu itu hanya obrolan biasa-biasa saja, bukan serius. Toh nyatanya, anak-anak kita sama anak-anak Pak Suseno tidak ada yang berjodoh.” Bu Said tersenyum terkulum.
Di dalam kamarnya, Bimo mendengarkan apa yang dibicarakan kedua orang tuanya. “Rani sedang menunggui bapaknya yang sedang rawat inap di klinik?” kata Bimo lirih. Ada perasaan ingin segera berlari mengambil sepeda motor dan menuju ke klinik, tapi entah kenapa ada sebuah kekuatan yang menghalanginya untuk melakukan hal tersebut. Bimo menghela nafasnya. Tiba-tiba teringat dengan Bayu, ketika terakhir mereka bertemu di rumah sakit.

            “Bim, sepertinya masaku sudah hampir habis di dunia ini,” kata Bayu ketika berbaring diranjang rumah sakit.
“Kamu ngomong apa, Bayu? Masa kamu masih panjang. Ingat cita-cita kamu, dan ingat juga Rani! Lagipula, hanya Tuhan yang tahu akan sampai kapan masa kita di dunia ini!””
Bayu tertawa lirih. “Aku tahu itu. Tapi aku juga tahu dengan pasti bagaimana  keadaanku.”  Keduanya kemudian terdiam. “Bimo. Jika aku sudah tidak berada disamping kalian, maukah kamu menjaga Rani untukku? Aku menitipkan Rani pada kamu, Bim,” kata Bayu kemudian.
“Bayu!” Bimo terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sahabatnya tersebut. Kemudian dilihatnya Bayu terdiam, ada kesedihan terpancar dimatanya.
“Aku tahu, kamu mencintainya Bim. Mungkin jauh sebelum Rani bertemu denganku, tapi kamu tidak pernah mengatakannya.”
            “Aku dan Rani hanya berteman. Kamu tahu itu, Bayu.”
            Bayu tersenyum.

Bimo menghela nafas, didongakkannya kepalanya, dipandanginya langit-langit kamar, kemudian dipejamkannya matanya. “Aku bodoh Bayu. Aku memang pengecut, tidak punya keberanian untuk mengungkapkan apa yang menjadi keinginanku. Kenapa? Kenapa aku tidak bisa seperti kamu?” Bimo menutup muka dengan kedua telapak tangannya.
***
“Apa aku harus menjenguk bapaknya Rani di klinik sekarang?” pikir Bimo sambil menyetir mobilnya ketika akan berangkat kerja dipagi hari. “Tapi, bagaimana kalau ada orang di klinik yang mengatakannya ke ibu?” Bimo memperlambat laju mobilnya ketika sudah berada tidak jauh dari klinik, kemudian menghentikannya dipinggir jalan seberang klinik. Baru saja akan membuka pintu mobil matanya melihat Khaerani, Pram dan Mak Lela di pintu utama klinik. Beberapa saat kemudian, dilihatnya Khaerani yang membonceng sepeda motor Pram meninggalkan klinik. “Rani pasti diantar pulang sama Mas Pram, gantian dengan Mak Lela,” pikirnya. Kemudian sebuah sepeda motor memasuki halaman klinik. “Itu Riena dengan Yuyun.” Dibelakangg sepeda motor tersebut muncul sepeda motor lainnya. “Lha, itu Mukhlas sama bapaknya!” Bimo menghela nafas panjang, tiba-tiba muncul keraguan dihatinya untuk turun dari mobil. Akhirnya menghidupkan mesin mobilnya kembali dan kemudian melaju meninggalkan klinik. “Bimo...Bimo...apa yang kamu lakukan? Kenapa tidak jadi turun? Kamu takut? Kuatir? Kamu memang pengecut Bimo! Percuma saja kamu diberi nama Bimo!” katanya dalam hati pada dirinya sendiri. “Yah. Bimo ksatria yang gagah berani yang tidak pernah mengenal rasa takut! Sedangkan aku? Pengecut!”
***
(Lanjut yaaaaa ke Bagian 18)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"