SANDYAKALA (Bagian 15)
15 Pergi kemana?
Bimo baru saja keluar dari mobil ketika dilihatnya
Munir dengan sepeda motornya masuk ke halaman rumah. Sementara Mukhlas sudah
kembali dengan aktivitasnya, berkutat dengan jagung, kedelai, kacang hijau dan
kacang tanah. “Munir sendirian. Dimana Bagas?” pikir Bimo. Munir turun dari
sepeda motornya sambil membawa empat ekor ayam di tangannya, berjalan menuju
pintu samping rumah, yang langsung menuju dapur. “Mas Munir!” panggil Bimo.
“Ya Mas Bimo.”
“Darimana?”
“Ambil ayam-ayam pesanannya Bu Said dari
rumahnya Pak Suseno, Mas,” kata Munir memperlihatkan ayam-ayam yang berada
ditangannya.
“Pak Suseno? Bapaknya Rani?”
“Iya Mas.”
“Sendirian?” selidik Bimo.
“Pulangnya sndirian Mas. Tapi waktu
berangkat bareng sama Mas Bagas.”
“Terus, sekarang Mas Bagas-nya dimana?”
“Sekarang saya tidak tahu dimana Mas
Bagas, Mas.”
Munir kemudian bercerita kalau Bagas
turun di jalan sebelum sampai di rumah Pak Suseno. Setelah itu berjalan kembali
ke pintu samping rumah, meninggalkan Bimo yang berdiri mematung. “Jangan-jangan
anak sableng itu pergi ke rumah Rani! Pasti akal-akalan dia turun di jalan!”
pikir Bimo. “Bagaimana keadaan Rani? Apa yang sebenarnya terjadi kemarin?” benaknya
sambil memainkan kunci mobil yang berada di tangannya.
Sebuah
sepeda motor masuk ke halaman rumah, Mutiara pulang dengan membawa beberapa
bungkusan besar. “Mas tolong aku,” teriak Mutiara kepada Bimo sambil
menghentikan sepeda motornya.
Bimo mendekati adiknya. “Kamu belanja
apa saja, Mut?”
“Cuma buah-buahan dan beberapa kue bolu
buat besok,” jawab Mutiara mengambil bungkusan dan diserahkan kepada Bimo.
“Banyak sekali.”
Mutiara tertawa sambil turun dari sepeda
motornya juga mengambil beberapa bungkusan lainnya. “Mas Bagas mana?”
“Tidak tahu, kabur kemana itu si anak
sableng!”
“Mas Bimo sendiri darimana, pegang kunci
mobil?”
“Dari rumahnya Pak Haji Suryo, antar
barang pesanan.”
“Oooh.”
“Kenapa memangnya?”
“Tidak apa-apa.” Mutiara tersenyum,
kemudian keduanya masuk ke dalam rumah dan meletakkan bungkusan-bungkusan yang
dibawanya diatas meja makan.
“Muti.”
“Ya. Ada apa Mas?”
“Kamu punya nomor telephon-nya Rani?” kata
Bimo dengan berbisik.
Mutiara tersenyum, “memangnya Mas Bimo tidak
punya?” Bimo menggelengkan kepala. “Kok bisa tidak punya?”
“Ssstttt..jangan keras-keras!” Bimo
meletakkan jari telunjuk dibibirnya.
“Kenapa harus pakai telephone sih, Mas.
Kenapa Mas Bimo tidak ke rumahnya saja, kan dekat. Dan akan lebih enak kalau
tanya dan ngomong langsung. Kalian kan berteman,” kata Mutiara. Bimo terdiam.
“Tapi Mas Bimo tidak perlu kuatir! Rani baik-baik saja, cuma masih sedikit agak
demam!”
“Bagaimana kamu tahu?”
“Pagi tadi aku mampir kesana!”
“Terus, apa yang sebenarnya yang
terjadi?”
Mutiara kemudian menceritakan kembali
apa yang telah diceritakan Khaerani kepadanya tentang peristiwa yang terjadi di
saluran irigasi. “Mas Bimo tidak ingin menemuinya?” tanyanya setelah selesai
bercerita. Bimo kembali terdiam. “Apa susahnya? Mas Bimo tinggal pergi kesana
saja.” Bimo masih terdiam. “Kenapa? Kuatir?”
“Kuatir? Memangnya kuatir apa?”
Mutiara tertawa. “Kalau tidak ada yang dikuatirkan
apa salahnya Mas Bimo ke rumahnya. Bereskan!”
“Apanya yang beres?” Suara Bu Said
mengejutkan Bimo dan Mutiara.
“Ah ibu, bikin kaget saja!” kata
Mutiara.
“Memangnya kalian bicara apa? Sampai
terkejut mendengar suara ibu!”
“Ini Bu, persiapan buat acara besok,
semua sudah beres!” kata Bimo.
“Ooooh, ibu kira ada apa. Oh iya Bim.
Bagaimana? Kamu ketemu dengan Pak Haji Suryo?”
Bimo mengangguk sambil tangannya
mengambil sebuah anggur dari meja dan memakannya. Mutiara menepuk tangan
kakaknya, “belum dicuci!”
“Ketemu Ratna?”
“Siapa Ratna?” tanya Bimo berpura-pura.
“Anaknya Pak Haji Suryo, yang jadi bidan
itu?” sahut Mutiara sambil tersenyum. Bimo menggelengkan kepalanya.
“Kok tidak ketemu?” kata Bu Said dengan
nada kecewa.
“Kata Pak Haji, sedang keluar.”
“Ya sudah, kali lain pasti kamu akan
bertemu dengan dia.”
“Memangnya kenapa Bu?”
Bu Said tersenyum. “Apa salahnya
berkenalan, toh tidak ada ruginya.” Bu Said kemudian masuk kedalam kamar.
Bimo kembali terdiam. Mutiara
memperhatikan ekspresi wajah kakaknya. “Ehem...ehem... Sepertinya tidak lama
lagi, giliran keluarga kita yang bertamu ke Pak Haji Suryo!” Bimo tidak berkata
apa-apa, kini sudah jelas apa yang dipikirkannya, tentang ibunya yang tiba-tiba
menyuruh mengantar barang pesanan ke Pak Haji Suryo. “Mas Bimo! Kok jadi
melamun? Seharusnya merasa senang!”
“Senang apanya?”
“Mau dijodohkan dengan anaknya Pak Haji Suryo!”
Mutiara berbisik ditelinga kakaknya. Bimo langsung melotot ke arah adiknya yang
tertawa. “Ini serius lho, Mas!”
“Siapa ingin dijodohkan dengan siapa!”
Bimo pergi meninggalkan Mutiara, kemudian masuk ke kamar. “Jadi ibu ingin
menjodohkan aku dengan anak Pak Haji Suryo?! benak Bimo sambil duduk dipinggir
tempat tidurnya. Kemudian menghela nafasnya dalam-dalam. “Kenapa sih, Bu?
Kenapa ibu selalu bersikap seperti itu? Ibu tahu. Aku tidak berdaya dengan
semua kenginan ibu.” Bimo menjatuhkan badannya diatas tempat tidur. “Rani?
Bagaimana dengan Rani?! Aku menyukainya. Kenapa ibu tidak menyukai aku
berhubungan dengannya? Apa salah dia?” Bimo memejamkan matanya. “Aku tidak
berdaya! Dan, Bagas! Kenapa dia harus hadir di sini!”
***
Bagas sedang duduk memasukkan kameranya
didalam tas di kamarnya setelah selesai makan malam.
“Sibuk Gas?” kata Bimo yang berdiri
dipintu kamar Bagas yang terbuka.
“Tidak. Mau ajak aku keluar lagi?”
Bimo tertawa. “Seharian tadi kamu kemana?”
tanyanya kemudian.
“Kenapa memangnya? Apa aku harus buat
laporan setelah bepergian?” Bagas tertawa. “Hari ini hari yang cukup melelahkan. Setelah
selesai menulis dan mengirim e-mail aku pergi keluar. Ikut bekerja memperbaiki
saluran irigasi bersama bapak-bapak, memperbaiki gapura bersama pemuda desa, ke
sanggar Pak Lek Tresno, menyusuri sungai dan ketemu anak-anak gembala.” Bimo duduk
ditemapt tidur Bagas. “Kamu sendiri?”
Bimo
menghela nafas. “Tidak ada. Setelah mengantarkan barang, langsung pulang. Lagipula
mau kemana? Ini kan desaku, aku sudah hafal semua jalan dan setiap sudut desa
ini!”
“Kamu tidak ingin menemuinya, Bim?”
“Siapa?”
“Rani! Siang tadi aku ke rumahnya!”
Bimo menegakkan kepalanya dan memandang
Bagas dengan tajam. “Bagaimana keadaannya?” tanyanya.
“Apakah kamu yakin, kamu perlu tahu
bagaimana keadaannya?” jawab Bagas.
“Dia temanku, Gas!”
Bagas
tertawa. “Kenapa kamu tidak menemui dan bertanya sendiri ke orangnya?!”
“Bagaimana keadaan Rani?” Bimo mengulang
kembali pertanyaannya.
“Keadaan dia baik, cuma mengalami
sedikit demam dan luka-luka di tangan dan juga kakinya. Kamu benar-benar tidak
ingin menemui dan melihatnya?! Kamu tidak mengkuatirkannya?!”
“Tentu saja aku mengkuatirkannya! Dia
temanku!”
Bagas tertawa. “Teman seperti apa kamu
itu, Bim! Kenapa tidak sekarang saja kamu pergi menemuinya!” Bimo terdiam.
“Mas
Bagas, Mas Bimo tolong bantu aku dong!” Mutiara tiba-tiba muncul di pintu kamar
Bagas.
“Ada apa?” tanya Bimo.
“Membereskan dan menata ruang depan!”
“Sekarang?” tanya Bagas.
“Kapan lagi! Besok nanti tidak keburu!”
Bimo bangkit dari duduknya, melangkah
menuju pintu.
“Pertanyaanku belum kamu jawab, Bim!”
kata Bagas tersenyum. Bimo berhenti sesaat kemudian langsung keluar kamar
setelah mendengar perkataan Bagas. “Kamu itu penakut atau memang pengecut
Bimo!” benak Bagas sambil melangkah keluar kamar.
***
Khaerani menghempaskan badannya ditempat
tidur setelah selesai membuat pesanan kue Mutiara dan setelah Bapak dan Mak
Lela beristirahat di kamar masing-masing. Matanya menatap langit-langit kamar
yang berwarna putih, tangan kirinya meraba luka di pergelangan tangan kanannya kemudian
memegang dahinya. “Bagas! Dia sangat perhatian sekali,” gumamnya lirih. “Jangan
berpikiran macam-macam, Rani! Ingat! Dia itu siapa! Bukannya kamu pernah
berkata kalau tidak ingin mempunyai hubungan dengan laki-laki keluarga Said
lagi!” pikirnya kemudian. Khaerani bangkit dan berjalan ke meja kecil di sudut
kamarnya, dibukanya laci meja kecil tersebut, diambilnya sebuah cincin perak
yang berbentuk bintang. Dipandanginya cincin perak tersebut. “Bayu,” katanya
lirih, kemudian digenggamnya cincin tersebut dengan erat.
(Mau tau terusannya?....Baca ya Bagian 16)
***
Komentar
Posting Komentar