SANDYAKALA (Bagian 12)
12 Demam
“Amir sudah sampai rumah, Mbak?” tanya
Khaerani kepada Kharisma sambil melepas jas hujannya.
“Sudah. Sekarang Mbak suruh mandi dengan
air hangat. Kamu tidak apa-apa Ran? Tadi Amir sempat cerita sedikit sebelum
mandi.”
“Tidak apa-apa Mbak. Syukurlah kalau
Amir sudah sampai rumah.”
“Maafkan Mbak, ya Ran. Jadi merepotkan
kamu?”
“Tidak apa-apa Mbak. Kalau begitu aku
pulang dulu, mau mandi dan ganti baju.”
“Bagaimana dengan Alfiyan?”
“Sudah ditangani dokter di klinik. Sepertinya
tidak apa-apa.”
Setelah meletakkan jas hujannya di kursi
depan rumah kakaknya, Khaerani langsung berlari kerumahnya.
“Mbak Rani darimana, hujan-hujan
begini?” tanya Mak Lela, terkejut melihat Khaerani yang masuk rumah dengan
keadaan basah kuyup. Gadis itu ingat, kalau dia lupa pamit kepada Mak Lela
untuk keluar mencari Amir, karena melihat kakak iparnya yang panik. “Habis cari
Amir, Mak!”
“Lho! Memangnya Amir kemana?” Khaerani kemudian
bercerita dengan singkat.“Waduuuh. Tapi Alfiyan tidak apa-apa?” tanya Mak Lela
setelah selesai mendengar cerita Khaerani. Gadis itu mengangguk. Mak Lela
kemudian menyuruhnya untuk segera mandi dan berganti pakaian.
Setelah
mandi dan berganti pakaian Khaerani mencari kotak obat di ruang tengah.
“Mak buatkan wedang jahe buat Mbak Rani.
Biar nanti tidak masuk angin,” kata Mak Lela sambil meletakan segelas jahe
diatas meja makan.
“Terima kasih Mak. Oh iya Mak, Bapak
sama Mas Pram belum pulang?”
“Belum Mbak. Mungkin menunggu hujan
reda. Hujannya terlalu deras untuk diterobos dan banyak petir.”
Khaerani menyeruput wedang jahe panas tersebut,
badannya terasa hangat. Kemudian membuka kotak obat yang baru saja diambilnya.
Dicarinya sebotol kecil antiseptik, kemudian dioleskan pada luka-luka dikaki
juga tangannya. Ketika mengoleskan obat pada luka di pergelangan tangannya,
tiba-tiba teringat kejadian waktu di klinik. “Bimo, Bagas,” gumamnya, ketika
sosok dua laki-laki tersebut berkelebat dipikirannya. “Bimo datang. Kenapa ada
sesuatu yang mengganjal dan bergetar dihatiku ketika berhadapannya? Dan Bagas.
Aku senang melihatnya kembali?” benaknya. “Aduuuh! Kenapa dengan aku ini?!” Khaerani mengetuk jidatnya sendiri. “Oh iya
Pak Said! Dia sakit apa ya? Kok, sampai
dibawa ke klinik?”
“Ada apa dengan Pak Said, Mbak?” tanya
Mak Lela yang ternyata sudah berada disamping Khaerani kembali dan mendengar
gumamannya.
“Tadi, bertemu di klinik, Mak.”
“Memangnya Pak Said sakit apa?”
Khaerani menggelengkan kepalanya, “Rani
sendiri tidak tahu Mak. Waktu itu tidak sempat tanya.”
***
Menjelang maghrib Bapak baru pulang,
diluar hujan sudah mulai reda.
“Bapak baru pulang?” tanya Khaerani
ketika bapaknya masuk.
“Tadi hujannya terlalu lebat dan banyak
petir, bapak sama Pram tidak berani pulang.”
“Ya sudah, bapak mandi dulu, tadi Mak
Lela sudah menyiapkan air panas buat mandi bapak, terus sudah dibuatkan wedang
jahe. Nanti Rani panaskan sebentar wedang jahenya.” Khaerani berjalan ke dapur.
“Si Lela memang pinter! Tahu yang Bapak
butuhkan,” kata Bapak tersenyum sambil melepaskan jas hujannya. “Kamu sakit,
Rani? Kok, pakai jaket tebal begitu?”
Tidak Pak, udaranya terasa dingin. Tadi
Rani habis kehujanan,” jawab Khaerani dari dapur.
“Hujan-hujanan? Kayak anak kecil saja.”
“Tadi habis jemput Amir.”
“Lha memang anak itu kemana?”
“Biasa, main Pak. Hari sudah hujan, Mbak
Risma kebingungan, Mas Pram tidak ada, jadi Rani yang jemput Amir.”
“Tapi sekarang Amir sudah pulang ke
rumah?”
“Sudah Pak.”
Khaerani kembali sambil membawa segelas
wedang jahe. Bapak yang baru keluar dari kamar untuk mandi melihat tangan
Khaerani yang diplester.
“Tanganmu kenapa, Ran?”
“Tadi, tidak sengaja kegores, Pak. Tidak
apa-apa, cuma lecet kecil saja. Bapak mandi dulu, sebentar lagi maghrib. Mak
Lela sedang memanaskan makan malam.”
“Iya. Tapi bapak mau minum jahenya si
Lela dulu.” Khaerani menyerahkan gelas berisi wedang jahe kepada Bapak. “Tangan
kamu kok hangat, Ran. Kamu demam?” tanya Bapak ketika menerima gelas.
“Tidak
Pak, ini pengaruh dari wedang jahe yang masih panas.”
“Ah, tidak, bapak tahu mana panas karena
demam dan mana panas karena air,” kata Bapak sambil memegang dahi Khaerani.
“Benar Pak, tidak apa-apa, Rani sehat-sehat
saja.”
“Ya sudah, kalau kamu merasa begitu.
Tapi, setelah maghrib, kamu segera makan lalu minum obat demam, setelah isya
kamu langsung istirahat. Besok tidak ada pesenan kue kan?”
“Iya Pak.”
Setelah Isya, Khaerani merasa yang
dikatakan Bapak benar, badannya terasa demam. Setelah minum obat demam kemudian
masuk kamar, berbaring di tempat tidur yang sepreinya baru diganti oleh Mak
Lela, menarik selimut keseluruh badannya yang masih memakai jaket. Tidak
beberapa lama kemudian rasa kantuk menyerangnya, matanya terasa berat untuk
dibuka, dan akhirnya tertidur.
***
“Ada
apa, Mas Pram?” tanya Mak Lela ketika membuka pintu depan dan dilihatnya Pram
sedang berdiri sambil memakai jaket dan melipat kedua tangannya didada.
“Rani mana Mak?”
“Mbak Rani sepertinya sudah tidur, Mas.
Badannya demam, siang tadi habis kehujanan,” jawab Mak Lela sambil menutup
pintu depan, udara malam sehabis hujan terasa dingin.
“Kalau Bapak?”
“Bapak di kamar, masih sholat Isya.”
Pram ke kamar Khaerani. Perlahan
mendorong pintu kamar yang tidak dikunci, dilihatnya adiknya yang sudah
tertidur pulas dengan memakai jaket dan selimut. Dirabanya dahi adiknya itu. “Panas,
Rani kena demam.”
“Ada apa Pram?” terdengar suara Bapak.
Pram keluar kamar Khaerani. “Rani sakit,
Pak?”
“Katanya tadi siang kehujanan, terus
tadi badannya panas,” kata Bapak sambil duduk di kursi di depan televisi.
“Sudah minum obat?” tanya Pram.
“Tadi, sudah bapak suruh minum, terus
istirahat.”
Pram terdiam sambil menoleh ke pintu
kamar adiknya.
“Lela! Tadi Rani jadi minum obat apa
belum?” tanya bapak pada Mak Lela yang baru akan masuk kamar untuk sholat Isya.
“Sudah Pak.”
“Sebenarnya ada apa sih, Pram?”
Pram duduk di kursi sebelah bapaknya. “Tadi
siang, Amir hampir saja hanyut dan tenggelam di saluran irigasi waktu hujan
gede!”
“Lho! Kok bisa!” Bapak terkejut dengan
apa yang baru saja didenarnya. “Terus, Amir sekarang bagaimana?”
“Amir tidak apa-apa, cuma sekarang
seperti Rani, terserang demam.”
“Walaah, bagaimana ceritanya? Anak sama
cucu bapak jadi sakit semua.”
“Tadi Amir cerita kejadian sebenarnya
kepada Risma.” Pram kemudian menceritakan apa yang diceritakan oleh Amir kepada
istrinya.
“Ya Tuhan. Terima kasih Engkau masih
melindungi anak dan cucu-ku,” kata Bapak ketika Pram selesai bercerita. “Terus,
anak yang ditolong Rani, bagaimana keadaanya?”
“Pram juga belum tahu, Pak. Rani yang
tahu, karena dia yang menolongnya dan membawanya ke klinik.”
“Tapi, Amir tidak apa-apa kan?”
“Cuma demam, sekarang sudah tidur, tadi
sudah minum obat. Paling, besok ijin sekolah.”
Bapak menghela nafas, “bapak mau lihat
keadaanya Amir.” Bapak bangkit dari duduknya, tapi Pram langsung memegang
tangannya.
“Besok saja Pak, di luar dingin, bapak
juga capek, tadi sedikit kena hujan.” Bapak akhirnya duduk kembali. “Ya sudah,
kalau begitu aku balik dulu, kasihan Risma di rumah.” Pram bangkit dan berjalan
menuju intu depan.“Jangan lupa, pintunya dikunci Pak!” katanya sambil menutup
pintu.
“Iya!”
kata bapak sambil bangkit dan berjalan menuju pintu depan dan menguncinya.
***
“Bagaimana
rasanya Pak Lek, setelah obatnya diminum?” Bagas bertanya kepada Pak Said, Pak
Lek-nya yang nampak terkantuk-kantuk duduk di kursi goyang kesayangannya.
“Sudah
merasa lebih baik, Gas. Pak Lek merasa sehat kembali, tidak merasa habis jatuh
dan tensi-nya naik.”
“Pak Lek istirahat dikamar saja. Disini
dingin.”
“Iya, nanti Gas.”
Bagas berjalan ke kamar Mutiara. “Muti, kamu
sudah tidur?” Bagas mendorong pintu kamar Mutiara.
“Belum Mas.”
Bagas masuk kedalam kamar sepupunya dan
duduk di pinggir tempat tidur, sedangkan Mutiara nampak duduk di depan meja. “Kamu
sedang mengerjakan apa?”
“Periksa hasil pekerjaan anak-anak. Ada
apa Mas?”
“Kamu kenal, anak kecil yang bernama
Alfiyan?”
“Alfiyan?” Mutiara mengernyitkan
dahinya. “Memangnya ada apa Mas Bagas tiba-tiba menanyakan Alfiyan?”
“Bimo belum cerita sama kamu?”
“Cerita apa?”
“Waktu kami di klinik, antar Pak Lek
periksa ke dokter.Kami bertemu dengan Rani!”
“Rani. Dia sakit?” Mutiara bangkit dari kursinya
dan duduk disamping sepupunya.
Bagas
kemudian menceritakan pertemuannya antara dirinya, Bimo, Pak Said dengan
Khaerani, juga bercerita tentang anak kecil yang bernama Alfiyan.
“Sepertinya lagi
serius!” tiba-tiba kepala Bimo muncul dari balik pintu.
“Kenapa Mas Bimo
tidak cerita sama aku!”
“Cerita apa?” Bimo masuk dan duduk di
kursi yang sebelumnya diduduki Mutiara.
“Kejadian waktu di klinik!”
“Lha ini baru mau aku ceritakan. Tapi
keduluan sama si sableng ini!” Bimo tersenyum melihat Bagas.
“Jadi, kamu tahu siapa anak kecil yang
bernama Alfiyan itu, Mut?” potong Bagas
“Ya, temannya Amir,” jawab Mutiara.
“Kalau yang itu aku tahu, tapi dia itu
anak siapa, sampai-sampai Rani tidak mau diketahui oleh orang tua Alfiyan kalau
dirinya yang menolong anaknya.”
Mutiara tersenyum, “jelas saja, Rani tidak
mau, soalnya dia tidak mau membuat masalah yang ada menjadi semakin panjang.”
“Kok bisa begitu? Memangnya masalah apa?”
tanya Bimo.
“Iya, kok bisa?” sambung Bagas.
“Karena, Alfiyan itu, anaknya Mas Wildan
dan Mbak Rosma!”
“Maksud kamu, Wildan...” Bimo mencoba
mengingat sesuatu. “Wildan, teman kakaknya Rani, yang dulu naksir Rani itu?”
“Betul sekali!” jawab Mutiara.
“Maksudnya bagaimana?” tanya Bagas
bingung. Mutiara kemudian bercerita tentang Wildan dan Rosma.
“Jadi, Rosma masih suka cemburu dengan
Rani?” tanya Bimo kemudian.
“Yah, begitulah. Aku tidak tahu. Rani
sendiri juga tidak tahu kenapa!”
Ketiganya kemudian terdiam.
“Bagaimana sebenarnya kalian saling
mengenal?” tanya Bimo tiba-tiba, kepada Bagas.
“Siapa?”
“Kamu dengan Rani!”
“Desa ini desa kecil, Bim, pasti cepat
mengenal seseorang!”
“Dimana kamu mengenal dia?”
“Ya jelas di desa ini!” Bagas tertawa kemudian
bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kamar. sambil keluar dan menutup
pintu kamar Mutiara.
“Itu anak, sablengnya tidak
sembuh-sembuh dari dulu!”
“Kenapa mas? Cemburu?” goda Mutiara
kepada kakaknya sambil tersenyum.
“Apa!” Bimo mengacak rambutnya sendiri. “Dimana
sebenarnya mereka saling kenal? kamu tahu, Mut?”
Mutiara mengangkat kedua bahunya,
“jelasnya sih, aku tidak tahu. Tapi, Rani kan suka kesini, beli kacang hijau
dari Bapak. Memangnya kenapa?”
“Tidak apa-apa!” kata Bimo sambil bangkit
dan berjalan keluar dari kamar adiknya. Mutiara tersenyum melihat sikap
kakaknya tersebut.
***
Perusahaan tempat Bimo bekerja yang
bergerak di bidang alat dan mesin pertanian
di Jogja, membuka cabang di kabupaten
tetangga, Bimo dipromosikan kedudukan yang lebih tinggi ditempat baru tersebut.
Jaraknya hanya ditempuh satu setengah jam dari rumah.
“Jadi, sementara bakal tinggal dirumah
Bim?” tanya Pak Said.
“Sementara begitu, Pak. Ini juga masih
percobaan selama tiga bulan.”
“Apa kamu tidak cari kontrakan saja,
Bim? Kan lumayan capek kalau bolak-balik dari rumah ke tempat kerja kamu yang
baru itu,” kata Bu Said dengan nada memaksa.
Bimo menghela nafas, “yah, namanya juga
sementara Bu. Kalau sudah jelas Bimo ditugaskan ditempat baru itu, pasti Bimo
akan mencari kontrakan.”
“Biarkan saja tho, Bu. Jaraknya juga
tidak terlalu jauh. Lagipula, Bimo kan sudah lama tidak pulang, mugkin dia
kangen sama desa ini juga teman-temannya.”
“Tapi, Pak!”
Bimo sangat tahu betul kekuatiran
ibunya. Untuk menghindari perdebatan yang lebih panjang, dia permisi untuk
tidur, karena besok paginya harus pagi-pagi ke tempat kerja yang baru.
***
Bagas berada di kamarnya, sedang duduk
didepan laptopnya yang baru saja dinyalakan, tapi tiba-tiba pikirannya melayang
ke tempat lain. “Saat ini, dia pasti
sedang demam. Bagaimana keadannya ya?” Bagas menghela nafasnya. “Dia menatap
Bimo dengan pandangan yang berbeda. Apa masih ada rasa terhadap Bimo di
hatinya? Dan Bimo, jelas sekali dia masih menyukai Rani!” Bagas mengetukkan
jari-jarinya diatas meja. “Dan aku tidak suka ketika mereka saling berhadapan!”
Sementara di kamar sebelahnya, Bimo
nampak telentang di atas tempat tidurnya, matanya menatap langit-langit kamar,
pikirannya sedang berjalan menyusuri masa lalunya. Wajah Khaerani dan Bayu
silih berganti berkelebat di benaknya juga wajah ibunya Bayu dan Bu Said hingga
tiba-tiba muncul wajah Bagas. “Bagas!” gumam Bimo lirih. “Apa sebenarnya yang
sedang dia lakukan disini! Kenapa dia begitu perhatian dengan Rani?!”
(Hayoooooo...pengin tahu cerita selanjutnya? Baca ya Bagian 13....)
***
Komentar
Posting Komentar