Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)
Epilog
Lintang
melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan lucu, Bayu memberinya nama Langit
Bummi Pratama. Keluarga Lintang menyambut bahagia kehadiran Langit, setelah
mereka kehilangan Taufan.
Badai
pergi lagi di daerah pedalaman Kalimantan
setelah kelahiran kemenakan barunya. Papa sudah tidak mempermasalahkan lagi
dengan jalan yang ditempuhnya. Sebelum berangkat dia menemui Sekar dan
mengatakan kepada gadis cantik itu untuk melupakan Taufan.
“Kamu
masih muda, cantik, pintar dan mandiri. Semua yang diidamkan pria pada wanita
ada padamu. “ Sekar tersipu mendengar sanjungan Badai. “Kamu tidak boleh sedih
berkepanjangan dan memikirkan Taufan terus menerus.
Hidupmu masih terus berlanjut. Kamu pasti
akan menemukan sesorang yang jauh lebih baik dan lebih sempurna dari Taufan.”
Sekar mengangguk dan tersenyum, ada ketenangan dihatinya ketika mendengar kata-kata
kakak laki-laki Taufan tersebut. Satu tunas kecil tiba-tiba tumbuh didalam
dadanya yang sempat gersang.
***
Tamara
berdiri di pintu salonnya. Dia nampak
memperhatikan jalan raya.
“Sedang
menunggu seseorang Mbak?” Andah bertanya.
“Tidak.
Aku hanya merasa heran. Sudah lama Taufan tidak kelihatan batang hidungnya ya?
Kemana saja anak itu?”
“Mbak
tidak hubungi dia lewat elepon?”
“Aku
lupa minta nomor teleponnya.”
Tamara
kemudian masuk dan menyuruh Andah dan Dyan untuk
segera melayani pelanggan yang sudah datang.
***
Wulan
mengangkat handphone milik Taufan yang berbunyi saat dia baru saja keluar dari
pintu rumahnya untuk mengantarkan kerupuk-kerupuk
ikan pesanan para pelanggannya.
“Hallo?”
“Hallo, ini aku. Badai, kakaknya
Taufan.”
“Yah
aku tahu! Tidak perlu kamu jelaskan! Aku masih ingat suaramu dan namamu tertera di layar hp!” Terdengar
suara tawa lepas Badai di telephon. “Ada apa?”
“Hari ini aku kembali ke
Kalimantan. Maaf aku tidak bisa datang untuk pamit padamu.”
“Tidak
apa-apa.”
“Ada satu yang ingin aku katakan padamu,
Wulan. Maukah kamu menerimaku menjadi temanmu, seperti kamu menerima Taufan dan
Baruna sebagai temanmu. Aku pasti akan kembali dan berjanji tidak akan membuat
lautmu sepi lagi.”
“Tapi
aku tidak mau berteman dengan laki-laki bodoh lagi!” Badai kembali tertawa.
“Laut dan pantai pasti akan menyambutmu. Perlu kamu ketahui, tidak hanya di
daerah terpencil, di sini pun, masih banyak anak-anak yang perlu orang-orang
sepertimu!”
Wulan
kemudian menutup telephonya setelah mengucapkan selamat jalan pada Badai. Gadis
manis itu tersnyum lalu melangkah pergi.
***
Lukman
menemui Ramadhan di sebuah café.
“Bagaimana
keadaan Sofie?” tanya Lukman.
“Dia
masih sangat terguncang. Sekarang dia berada di Bogor di tempat bibinya agar
bisa tenang.”
Lukman
menghela nafasnya. “Semuanya memang berawal dari aku! Andai saja…..”
“Tidak
ada yang perlu disesali, semuanya sudah terjadi.
Penyesalanmu tidak akan membuat Baruna kembali.”
“Tapi
anak itu. Baruna! Darah dagingku satu-satunya! Dia tdak bersalah apa-apa!”
“Nasi
sudah menjadi bubur. Tidak ada penyesalan yang datang diawal!” Ramadhan
kemudian mengambil sebuah bungkusan berbentuk segi empat yang dibawanya dan
menyerahkannya pada Lukman. “Bukalah!” Lukman
menerimanya dan langsung membuka kertas
pembungkusnya. Dia terpana melihatnya. “Itu Baruna! Aku
memberikannya padamu. Itu adalah hasil karya temannya yang belum lama
meninggal. Dia sangt mirip denganmu di lukisan itu.”
Lukman
terdiam, matanya berkaca-kaca memperhatikan lukisan di tangannya.
***
Saat
berada di dalam pesawat, Badai memikirkan kata-kata Wulan. “Perlu kamu ketahui, tidak hanya di daerah
terpencil, di sini pun, masih banyak anak-anak yang perlu orang-orang
sepertimu!”
Cuaca cerah. Pesawat pun terbang
tinggi menembus awan menuju daratan Borneo.
@@@
Komentar
Posting Komentar