SANDYAKALA (Bagian 13)

13  Cerita Amir

Pagi hari, Khaerani ke rumah kakaknya dengan masih memakai jaket tebal dan rambut yang belum sempat disisir.
“Mba Rani mau kemana?” tanya Mak Lela yang sedang menyapkan sarapan.
“Ke rumah Amir, Mak!”
“Rani! Kamu sudah sembuh?” tanya Kharisma agak terkejut ketika melihat adik iparnya yang masuk dengan keadaan yang masih berantakan.
“Amir, bagaimana keadaannya, Mbak?”
“Sudah mendingan, sekarang sedang sarapan. Tadi pagi-pagi Bapak sudah kesini, jenguk Amir. Kamu sendiri bagaimana keadaannya?” Kharisma mendekat ke Khaerani dan memegang dahi adik iparnya tersebut. “Badan kamu masih panas, Ran.”
“Tidak apa-apa kok, Mbak. Aku sudah merasa baikan.”
“Kamu luka, Ran?” Kharisma memperhatikan plester ditangan adik iparnya.
“Cuma lecet kecil. Tidak apa-apa,” jawab Khaerani tersenyum.
“Mbak, mengucapkan banyak terima kasih sama kamu, Ran. Coba kemarin tidak ada kamu, apa jadinya Amir dan temannya. Tapi karena Amir, kamu jadi sakit begini.” Wanita cantik itu nampak sedih sambil mengelus-elus tangan Khaerani.”
“Sudahlah Mbak, Aku kan Bu Lek- nya Amir, anak Mas Pram sama saja anak aku. Sesama saudara harus saling tolong menolong.” Khaerani tersenyum sambil mengelus-elus perut kakak iparnya yang semakin besar. “Aku mau mendengar cerita Amir yang selengkapnya, kenapa sampai mereka hampir hanyut dan tenggelam di saluran irigasi. Oh iya Mbak, Mas Pram mana?”
“Ke sekolah Amir, minta ijin hari ini absen.”
“Maryam?”
“Belum datang, mungkin sebentar lagi,” jawab Kharisma sambil membuka salah satu mesin jahitnya.
Khaerani kemudian masuk untuk mencari kemenakannya. “Amir!” teriaknya ketika melihat kemenakannya yang sedang sarapan pagi di meja makan.
 “Bu Lek!” teriak Amir sambil bangkit dari duduknya dan berlari kearah Khaerani dan langsung memeluknya.
 “Amir tidak apa-apa?” Khaerani memegang dahi kemenakannya, dirasakannya masih terasa panas.
“Amir tidak apa apa. Bu Lek bagaiamana? Kata bapak, Bu Lek Rani sakit.”
“Tidak apa-apa, Bu Lek sudah sehat. Amir makannya dihabiskan dulu.” Khaerani menuntun Amir kembali ke tempatnya makan.
“Alfiyan, bagaimana Bu Lek?”
“Alfiyan tidak apa-apa, tapi mungkin sekarang masih di Puskesmas. Oh iya, Mir. Bu Lek mau minta tolong sama Amir.”
“Apa Bu Lek?”
“Tolong, kalau nanti Alfiyan sudah sembuh, terus tanya siapa yang menolongnya, bilang saja Amir tidak tahu ya?”
“Kenapa Bu Lek?”
“Tidak kenapa-napa.”
“Berarti Amir bohong?”
“Tidak. Amir tidak bohong, yang menolong Alfiyan sebenarnya kan Tuhan,” jawab Khaerani. Amir mengangguk, kemudian kembali makan sarapan paginya.
“Bu Lek ingin tahu ceritanya, kenapa kamu sama Alfiyan kemarin hampir hanyut dan tenggelam di saluran irigasi? Terus, kenapa hujan deras begitu masih mandi di saluran irigasi?” tanya Khaerani setelah Amir selesai sarapannya.
Amir bercerita bahwa kemarin dia dan teman-temannya bermain bola di lapangan desa. Setelah selesai bermain bola, Alfiyan mengajaknya main dan mandi di saluran irigasi.

“Tapi, hari sepertinya mau hujan, Yan,” kata Amir kepada Alfiyan.
“Ah, kamu penakut. Justru, mandi di saluran saat hujan itu lebih menyenangkan. Airnya jadi lebih banyak, berenangnya juga enak, bukannya kamu itu terkenal jago berenang?”
“Tapi, kalau airnya meluap, kan bahaya, Yan.”
“Ya, kita lihat, kalau kira-kira airnya datang kita naik! Bagaimana?” Amir diam saja. “Ah, kamu payah, percuma saja kalian jago berenang, tapi penakut!”
“Siapa yang takut! Aku berani!” kata Amir. Amir dan Alfiyan akhirnya pergi ke saluran irigasi. Hari mulai gerimis dan hujan.
“Bagaimana? Benar kan yang aku bilang, mandi di saluran saat hujan lebih menyenangkan?”
“Iya bener. Airnya jadi lebih banyak, berenangnya jadi lebih enak.”
Hujan semakin deras, kedua anak itu masih asik bermain dan berenang didalam air.
“Airnya sepertinya makin tinggi, Yan, juga arusnya semakin deras. Kita naik saja, yuk!” ajak Amir, tapi Alfiyan masih terus berenang menjauh. Hujan semakin deras. Amir kemudian berteriak kepada Alfiyan, “Alfiyan, ayo naik, hujan semakin deras, air saluran semakin tinggi dan deras!”
“Mir, kakiku tiba-tiba tidak bisa bergerak!”
“Apa! Aku tidak mendengar!”
“Kakiku tidak bisa bergerak!”
Amir melihat tiba-tiba tubuh Alfiyan timbul tenggelam dan hampir terbawa arus. “Alfiyan!” Amir segera berenang kearah Alfiyan, “Alfiyan! Kamu kenapa!”
“To-long! Ka-kiku tak-bi-sa ge-rak!” Tubuh Alfiyan terus timbul dan tenggelam dan sedikit mengikuti arus air. Amir dengan susah payah menangkap tubuh Alfiyan, tiba-tiba sebatang kayu besar yang terbawa arus mengenai kepala Alfiyan, anak itu pingsan. Hujan semakin deras. Amir berusaha sekuat tenaga menolong Alfiyan.

“Begitulah Bu Lek, ceritanya.”
Khaerani mendengarkan sambil mengusap-usap kepala Amir. “Ya sudah, buat pengalaman Amir dan teman-teman Amir, jangan main dan mandi di saluran irigasi kalau langit sudah kelihatan mendung tebal, apalagi kalau bukit sudah tidak kelihatan. Bahaya! Coba, kalau kemarin petugas penjaga pintu air lebih cepat membuka pintu airnya? Bu Lek, tidak tahu apa yang terjadi.”
“Ya, Bu Lek.”
“Ya sudah, sekarang Amir istirahat saja, jangan main dulu.”
***
Khaerani kembali ke rumahnya.
“Mba Rani, mandi dulu, Mak Lela sudah siapkan air panas, setelah itu sarapan pagi,” kata Mak Lela.
“Iya Mak.”
“Badan Mbak Rani masih demam?”
“Sudah mendingan Mak.”
“Apa tidak sebaiknya pergi ke dokter, Mbak?”

“Tidak usah, Rani tidak apa-apa.”
“Ya sudah kalau begitu, Mbak Rani hari ini istirahat saja.”
“Kacang hijau yang pesanannya Mutiara bagaimana Mak?”
“Sudah Mak Lela persiapkan, tinggal dibuat saja, Mbak Rani tidak usah kuatir. Diambilnya besok pagi kan?”
“Iya Mak. Terima kasih atas semuanya. Tapi ayam-ayamnya diambil Mutiara hari ini kan?”
Dua hari yang lalu Mutiara datang ke rumah Khaeranai sambil membawa satu kantong kacang hijau. Mutiara mengatakan kalau kedatangannya untuk minta dibuatkan kue kacang hijau yang enak dan untuk memesan empat ekor ayam kampung. “Mau ada acara apa memangnya?” tanya Khaerani.
Anak perempuan Pak Said itu mengatakan kalau keluarga Bhisma, pacarnya, akan datang untuk bersilaturahmi dengan keluarganya. “Ini kacang hijaunya dan ini uangnya.” Mutiara menyerahkan kantung yang berisi kacang hijau dan sebuah amplop berisi uang kepada Khaerani.
“Aku tidak paham harga ayam, Mut. Yang tahu bapak.”
“Gampang. Kalau kurang kamu tinggal hubungi aku saja.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Kuenya aku ambil minggu pagi saja. Tapi kalau ayam-ayamnya mungkin sabtu siang atau sore, nanti mas Munir atau siapa yang mengambilnya.”
“Bimo datang?”
Mutiara mengangkat kedua bahunya, “kurang tahu, Mas Bimo itu terlalu sibuk dengan pekerjaan. Atau menyibukkan diri dengan pekerjaan, aku juga tidak tahu. Memangnya kamu tidak pernah berkomunikasi lagi dengan dia, Ran?”
Khaerani mengeleng sambil tersenyum, “lebih baik seperti itu.”
“Kenapa?” tanya Mutiara.
“Buat kebaikan kita semua.”
***
Khaerani baru saja selesai sarapan ketika terdengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah kemudian terdengar seseorang mengucapkan salam dari pintu depan. “Semoga bukan Pak Sofyan,” katanya dalam hati sambil membuka pintu depan.
“Mutiara?!”
“Rani. Bagaimana keadaan kamu?”
“Kamu mau ambil kue dan ayam-ayamnya sekarang?!”
Mutiara tertawa. “Tidak, aku hanya mau tahu keadaan kamu. Kata Mas Bimo dan Bagas, kemarin kamu ke klinik habis menolong anak yang hampir hanyut dan tenggelam?” Khaerani mempersilakan Mutiara untuk masuk dan duduk. “Kamu tidak apa-apa, Ran?”
“Aku baik-baik saja.”
“Tapi, kamu kelihatan pucat, dan badan kamu masih sedikit panas.” Mutiara memegang tangan Khaerani.
“Tidak apa-apa, sebentar lagi juga sembuh. Aku sudah banyak istirahat dan minum obat. Kamu tidak mengajar hari ini?”
“Setelah dari sini aku baru berangkat mengajar. Sebenarnya, apa yang terjadi?”
Khaerani kemudian meceritakan kembali apa yang telah diceritakan Amir kepadanya.
“Oooh, jadi begitu ceritanya.”
“Ya begitulah anak-anak!”
“Alfiyan bagaimana? Orang tuanya sudah tahu?”
“Mungkin sudah. Yuyun sudah memberitahukan kepada mereka.”

“Mas Wildan dan Mbak Rosma tahu kamu yang menolong anaknya?” tanya Mutiara dengan nada menyelidik.
Khaerani menghela nafas. “Lebih baik tidak tahu. Aku takut nanti ada salah pengertian lagi, keadaan bisa tambah ruwet!” Mutiara tersenyum mendengar alasannya. “Oh iya Mut, Pak Said kenapa, kok sampai dibawa ke klinik?”
“Biasa kecapekan, terus jatuh, tensinya naik. Kebetulan ada Bimo dan Bagas yang baru datang dari Jogja, jadilah mereka mengantar bapak ke klinik.”
“Tapi, bapakmu tidak apa-apa kan?”
“Tidak apa-apa, bapak sehat wal’afiat dan segar bugar pagi ini.”
“Syukurlah kalau begitu. Aku kira Pak Said kena sakit serius.”
Sesaat keduanya membisu.
“Mereka datang bersama?” tanya Khaerani kemudian, dengan suara lirih.
“Siapa? Mas Bimo dan Mas Bagas? Ya, mereka memang datang bersamaan dari Jogja dengan mobil Mas Bimo. Kebetulan Mas Bagas akan pulang dan Mas Bimo mendapat tugas dari perusahaannya di kabupaten tetangga kita.”
“Oooh jadi begitu. Aku kira mereka datang karena ada acara kamu, Mut.”
Mutiara tersenyum. “Termasuk itu juga. Kenapa memangnya?”
“Tidak apa-apa,” jawab Khaerani sambil tersenyum.
Mutiara kemudian pamit dan meninggalkan rumah Khaerani dengan sepeda motornya menuju tempatnya mengajar. Khaerani nampak berdiri mematung melihat kepergiannya, tak sengaja tangan kirinya menyentuh plester yang menutup luka pada pergelangan tangan kanannya, dia teringat kembali pada sosok Bagas dan Bimo.
“Rani!” suara Bapak mengejutkannya. Dilihatnya Bapak sudah siap-siap akan pergi.
“Bapak mau kemana?”
“Mau lihat sawah. Kemarin kan habis hujan gede dan lama, takut kebanyakan air.”
“Sendiran Pak? Tidak nunggu Mas Pram?”
“Pram nanti langsung menyusul ke sawah.”
“Ya sudah kalau begitu. Bapak hati-hati, habis hujan, tanah sawah biasanya licin.”
“Kamu juga Ran, istirahat saja dulu, biar cepat sembuh.”
“Iya Pak. Tapi Rani sudah sembuh kok.”
Bapak kemudian melangkah keluar rumah dan Khaerani masuk ke dalam, untuk menemui Mak Lela yang sudah mulai sibuk di dapur. “Mbak Rani istirahat dulu saja, biar urusan dapur Mak Lela yang tangani. Kue kacang hijau pesanan Mbak Mutiara biar nanti sore saja, waktunya masih keburu kan?”
“Tidak apa-apa Mak, Rani sudah sembuh kok.”

(Lanjut ke Bagian 14 yaaaaa.............)
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"