SANDYAKALA (Bagian 7)

7  Mengikuti

Suara gamelan terdengar dari sanggar milik Pak Lek Tresno. Khaerani masuk ke sanggar setelah menaruh sepedanya di bawah pohon nangka di depan sanggar sambil membawa sebuah kardus berisi buku-buku. Pak Lek Tresno yang sedang mengawasi anak-anak berlatih gamelan melihat kedatangannya dan langsung mendekatinya.
“Ini, ada buku-buku yang berhasil aku kumpulkan dari beberapa teman, Pak Lek.” Khaerani menyerahkan kardus bawaannya kepada Pak Lek Tresno.
“Waduh, terima kasih sekali Ran. Kalau begini, taman bacaannya bakal cepat dibuka,” kata laki-laki itu sambil tersenyum.
“Selamat sore.” Seorang laki-laki berdiri di pintu sanggar.
“Selamat sore,” jawab Pak Lek Tresno sambil melihat kearah pintu.
“Maaf, datang tiba-tiba,” kata laki-laki itu sambil berjalan kearah Pak Lek Tresno dan Khaerani berdiri.
“Sepupunya Mutiara! Kenapa bisa sampai disini!” pikir Khaerani.
“Saya Bagas. Apa Pak Lek tidak ingat? Waktu itu ketemu di jalan bareng Rani,” kata laki-laki itu berusaha mengingatkan Pak Lek Tresno.
“Oh ya..ya.. Pak Lek ingat. Kamu yang keponakannya Pak Said itu kan?” kata Pak Lek Tresno. Bagas mengangguk sambil tersenyum.
“Bagaimana kamu bisa kesini?” tanya Khaerani sambil memandang kearah Bagas.  Kemenakan Pak Said itu tersenyum dan mengatakan kalau di jalan ketika dia bersepeda melihatnya, berusaha mengejarnya untuk menanyakan keberadaan sanggar Pak Lek Tresno yang belum sempat dia tanyakan alamatnya. Tapi baru saja akan memanggil, ternyata belok dan sudah sampai di sanggar.
“Jadi, mengikutiku?!”
Bagas tersenyum.
“Sudah..sudah... Yang penting Nak Bagas sudah sampai di tempat Pak Lek. Memangnya ada yang bisa saya bantu, Nak Bagas?”
“Saya hanya ingin tahu saja Pak Lek.”        
“Kalau begitu, saya pulang dulu, ya Pak Lek,” pamit Khaerani.
“Lho! Kok pulang Ran, tidak mau menemani Nak Bagas disini?” kata Pak Lek Tresno.
“Sudah sore Pak Lek. Nanti takut dicari Bapak. Lagipula Mas ini sudah besar, tidak usah ditemani!” Khaerani keluar, mengambil sepedanya, kemudian mengayuhnya meninggalkan sanggar.
Pak Lek Tresno dengan semangat menceritakan tentang sanggarnya yang bisa digunakan oleh siapa saja, terutama anak-anak dan remaja untuk bermain, berlatih gamelan, menari dan menyanyi. Gamelannya merupakan peninggalan dari orang tuanya yang dulu seorang seniman dan dalang terkenal. Laki-laki itu pun mengatakan kalau jaman dulu Pak Said, bapak dan ibunya Rani pintar bermain gamelan dan nembang jawa. Dan dari cerita Pak Lek Tresno, Bagas kemudian tahu, kalau dulunya Pak Said dan Bapaknya Rani suka dengan satu orang, yatu ibunya Rani. Tapi ibunya Rani akhirnya menikah dengan bapaknya Rani, sedangkan Pak Said akhirnya menikahi Bu Said.
“Tapi, ngomong-ngomong Nak Bagas ini kemenakannya Pak Said dari siapa ya?” Bagas mengatakan kalau dia adalah anak dari kakaknya Pak Said yang bernama Perwiro. “Ooooh Mas Wiro. Kalau tidak salah bapakmu itu mudanya tidak disini ya? Ikut Pak Lek-nya yang di Semarang. Lalu katanya ke Kalimantan. Betul begitu?”
“Betul Pak Lek. Makanya saya tidak tahu menahu tentang desa ini. Pernah sekali ke desa ini waktu saya masih kecil.” Pak Lek Tresno mengangguk-angguk. “Oh iya Pak Lek. Rani membawa buku-buku itu untuk apa?” tanya Bagas. Pak Lek Tresno kemudian mengungkapkan keinginannya untuk membuat taman bacaan desa. Orang-orang sangat setuju dengan rencananya, dan dengan sukarela mau membantu. Termasuk Kharani. “Apa boleh, kalau saya ikut membantu?”
“Wah, dengan senang hati nak. Itu pun kalau tidak merepotkan.”
Bagas tersenyum, “tidak Pak Lek. Terus, apa saya juga boleh belajar bersama anak-anak main gamelan?”
Pak Lek Tresno tertawa, “oh ya tentu boleh. Dengan senang hati.”
***
“Bagaimana, Mas Bagas, sudah mulai kerasan di desa ini?” Mutiara bertanya kepada Bagas yang duduk disampingnya sambil menyetir mobil, ketika mereka berdua pergi ke kecamatan karena disuruh oleh Bu Said untuk membeli sesuatu disore hari.
“Sangat kerasan, disamping desamu indah, orangnya ramah, juga banyak cerita menariknya.” Bagas kemudian bercerita tentang pengalamannya di sanggar Pak Lek Tresno.
“Aku dulu, sempat belajar tari disana tapi sekarang sudah tidak lagi. Sepertinya memang tidak berbakat!” kata Mutiara sambil tertawa.
“Aku mendengar dari Pak Lek Tresno, kalau bapakmu, bapak Rani dan ibunya Rani dulu terlibat cinta segita ya? Tapi akhirnya, ibunya Rani menikah dengan bapaknya Rani, dan bapakmu menikah dengan ibumu.”
“Katanya sih, begitu.” Mutiara tertawa. “Aku pernah tanya ke bapak, tapi bapak hanya tertawa. Sedangkan tanya ke ibu, ibu bilang tidak. Katanya mereka sudah saling suka sejak dulu. Entahlah! Tapi bapak bilang, mereka dijodohkan oleh orang tua masing-masing, yang katanya teman seperjuangan! Jadi, aku sendiri bingung bagaimana cerita yang sebenarnya.”
“Jangan-jangan, ibumu tidak suka dengan Rani, karena itu. Bapakmu suka sama ibunya Rani!” tebak Bagas.
 Mutiara tertawa. “Aku tidak tahu. Mungkin salah satunya itu. Tapi, sudahlah, tidak usah dibahas. Yang jelas sekarang Pak Said menikah dengan Bu Said. Bapaknya Rani menikah dengan almarhumah ibunya Rani. Titik. Dan mereka bahagia dengan pasangannya masing-masing.” Bagas tertawa mendengar penjelasan sepupunya itu. “Tapi, ngomog-ngomong. Kelamaan di desa, apa tidak ada yang nyari, Mas?”
“Memangnya siapa yang bakal cari aku?” Bagas tertawa.
“Pacar?”
“Lagi tidak punya.”
“Masa sih, bukannya yang ngantri buat dapetin hatinya Mas Bagas itu banyak?” Bagas tertawa mendengar perkataan dari sepupu itu. “Apa Mas Bagas belum bisa melupakan Ami?”
Bagas menggelengkan kepalanya sambil tersenyum ketika Mutiara menyebut nama mantan kekasihnya. “Ami adalah masa lalu. Dan, yang lalu, biarlah berlalu. Dia sudah menemukan kebahagiaan diluar sana. Dan aku. Mungkin akan menemukan kenahagiaan disini.” Bagas tersenyum.
Ami adalah mantan kekasih Bagas di Jakarta. Gadis cantik anak seorang pengusaha meubel itu adalah seorang penggiat dan aktivis dibidang sosial dan pendidikan, juga seorang penulis sama seperti Bagas. Pertemuan mereka pertama kali di suatu daerah di pelosok Jawa Tengah, dimana Ami dan teman-temannya sedang mengadakan kegiatan belajar mengajar untuk anak-anak daerah terpencil, sedangkan Bagas sedang memotret. Perkenalan mereka yang tidak disengaja berlanjut. Dan, mereka saling jatuh cinta. Menjalin hubungan hampir dua tahun, walaupun jarang bertemu karena kesibukannya masing-masing. Sampai akhirnya Bagas memantapkan diri untuk hubungan yang lebih serius, ingin meminang Ami.
Bukan rona bahagia seperti yang Bagas bayangkan ketika mengutarakan niatnya, tapi sebuah tundukan kepala dari gadis cantik yang dicintainya tersebut.
“Bukannya aku tidak mencintaimu Gas. Tapi...”
“Tapi kenapa? Kamu takut, aku akan menghalangi aktivitasmu, kecintaanmu pada anak-anak, pendidikan dan sosial?” Tidak Ami. Aku tidak akan menghalangi apa yang menjadi tujuan hidup dan kebahagianmu!”
“Aku tahu itu, Gas. Tapi, bukan itu. Aku takut tidak dapat membuatmu bahagia, tidak dapat menjadi pendamping hidup yang baik untukmu. Seperti selayaknya seorang wanita yang menjadi istri.”
“Itu sebuah ketakutan yang tidak beralasan, Ami!”
“Tapi itu yang aku rasakan, Gas! Hidupku untuk mereka, anak-anak kecil dan orang-orang di pedalaman.” Keduanya kemudian terdiam. “Maafkan aku,” kata Ami kemudian.
“Aku mencintaimu apa adanya, Ami. Dan dengan segala resiko yang ada jika aku bersamamu.”
“Aku juga mencintaimu. Tapi untuk menjadi istrimu, pendamping hidupmu, ibu dari anak-anakmu. Aku belum bisa. Saat ini aku ingin membahagiakan anak-anak dan orang-orang itu sebelum aku membahagiakan diriku sendiri dan anak-anakku. Aku takut jika tidak bisa menyeimbangkannya. Aku senang bisa bersamamu. Tapi untuk membangun sebuah mahligai rumah tangga sebagaiaman layaknya. Aku belum bisa. Sekali lagi, maafkan aku!” Bagas terdiam. “Mungkin ada perempuan lain diluar sana yang jauh lebih baik dan pantas untuk menjadi pendamping hidupmu. Bukan Aku!” Suara Ami bergetar, matanya nampak berkaca-kaca. Kemudian gadis cantik itu bangkit dari duduknya, menggenggam erat tangan Bagas, lalu meninggalkan laki-laki yang dicintainya itu. Bagas terdiam, duduk memandang ke jendela kaca cafe, melihat sosok Ami yang berjalan pergi di antara rintik gerimis.

“Kamu mau kemana Gas?” tanya Ambar  yang berdiri dipintu kamar Bagas, ketika melihat adiknya sedang memasukkan pakaian kedalam ransel.
“Ke Jogja, Mbak.”
“Kerjaan lagi? Atau sedang melarikan diri?” Ambar tersenyum.
“Kerjaan Mbak,” jawab Bagas.

Di jembatan kali code di tengah rintik gerimis. Bagas berdiri, dilihatnya aliran sungai yang cukup deras, membawa lahar dingin merapi, karena di puncak merapi hujan deras. Masih terngiang suara Septa, teman Ami yang baru saja menelponnya dan mengabarkan Ami yang berangkat ke Papua yang kemudian akan disusul ke Maluku dan NTT.
Bagas megeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jaketnya, kemudian dibuka dan dipandanginya cincin bermata putih yang ada didalamnya. Menghela nafas dalam-dalam. kemudian melemparkan kotak dan cincin tersebut ke sungai di bawahnya. Dipandanginya air sungai bercampur lahar dingin yang langsung melenyapkan kotak dan cincinnya. Setelah itu berjalan meninggalkan jembatan. Tiba-tiba, ada rasa sesak dan menyesal dihatinya.
***
Bagas tiba-tiba dia memperlambat laju mobilnya dan menunjuk kedepan. “Muti, bukannya itu Khaerani?”
Mutiara segera melihat seseorang yang sedang berdiri di pinggir jalan yang ditunjuk oleh Bagas. “Iya bener, itu Rani.”
“Eh, dia naik angkutan umum. Mau kemana dia?”
Mutiara memperhatikan angkutan yang ditunjukkan oleh Bagas.“Dia pasti mau ke makam Bayu.”
“Bagaimana kamu tahu?”
“Itu angkutan jurusan ke daerah tempat Bayu. Lagipula, hari ini, hari jumat, kan?”
“Kita ikuti angkutan itu!”
“Buat apa? Nanti ketahuan Rani. Dia pasti tahu ini mobil bapak.”
“Tenang saja. Masalah ikuti mengikuti aku paling jagonya.”
Mobil yang ditumpangi Bagas dan Mutiara kemudian mengikuti angkutan umum didepannya, yang ditumpangi oleh Khaerani.
“Kamu tahu makamnya Bayu?”
“Tahu, aku pernah ke sana menemani Mas Bimo, waktu itu.”
“Bareng sama Rani?” tanya Bagas yang kemudian dijawab gelengan kepala sepupunya.
Setelah hampir setengah jam akhirnya tempat yang dituju oleh Khaerani sampai juga. Bagas dan Mutiara menghentikan mobilnya ketika dilihatnya Khaerani turun dari angkutan di sebuah area pemakaman dan berjalan berjalan menuju kios penjual bunga khusus untuk makam. Bagas memprhatikan Khaerani yang sedang berjalan dengan membawa bunga ditangannya yang kemudian memasuki gerbang pemakaman.
“Mas, Bagas mau nunggu, sampai Rani pulang?” tanya Mutiara. “Memangnya ada apa sih, Mas?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja!” Bagas kemudian memutar balik mobilnya dan langsung melaju pulang.
***
Bagas berbaring ditempat tidurnya. Matanya belum terpejam. “Kenapa aku memikirkan gadis itu? Apa karena bernasib hampir sama denganku. Ditinggal pergi oleh seseorang yang sangat dicintai. Tapi Ami masih ada, entah dimana diluar sana. Sedangkan kekasihnya sudah pergi untuk selamanya.” Bagas menghela nafasnya. “Dia gadis yang menarik, pantas saja Bimo dan Bayu menyukainya. Kenapa juga aku merasa senang jika melihatnya?” pikir Bagas.

(Bersambung ke Bagian 8)


***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"