SANDYAKALA (Bagian 10)

10  Cemburu

“Senangnya punya anak,” kata Khaerani kepada Mutiara ketika berjalan pulang, setelah mereka menjenguk Erna, salah seorang teman mereka yang baru melahirkan.
 “Aku jadi pengin segera punya keluarga dan punya anak,” jawab Mutiara sambil mengelus-elus perutnya.
Khaerani tersenyum. “Semua perempuan pasti menginginkannya.”
Kamu sendiri bagaimana, Ran?”
“Apanya?”
“Kamu tidak ingin segera cepat menikah dan berkeluarga?”
“Belum dipertemukan jodoh dan diijinkan  sama Tuhan, mungkin.”
“Bagaimana dengan Mas Bimo?”
“Bimo? Kakak kamu?”
“Memangnya ada lagi?”
“Kamu tahu sendiri, Muti. Aku dan kakakmu hanya berteman. Ngomong-ngomong  bagaimana kabar kakakmu itu, sudah lama aku tidak melihat dia pulang dan tidak mendengar kabarnya.” Khaerani berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
“Kabarnya baik. Dia masih di Jogja. Rani, bagaimana kalau ternyata Mas Bimo masih menyukaimu?”
Khaerani tersenyum. “Aku dan Bimo adalah teman baik. Aku rasa itulah yang terbaik!”
“Kamu, pernah menyukai Mas Bimo?”
“Kalau aku tidak meyukainya, tidak mungkin kami akan berteman sampai sekarang.”
“Tidak sebagai teman, tapi sebagai seorang laki-laki dewasa!” Khaerani terdiam. “Kenapa? Kamu takut sama ibuku?”
“Aku menghormati ibumu, Muti.”
Mutiara meghela nafas. “Selain itu karena kakakku itu memang penakut dan pengecut kan, Ran? Beda sekali dengan Mas Bagas!”
“Oh iya, ngomong-ngomong aku sudah tidak melihat sepupumu itu. Apa dia sudah kembali lagi ke Jakarta?”
“Kenapa? Kamu merasa kehilangan dia?” goda Mutiara sambil tersenyum.
“Bu-bukan begitu, maksud aku, setelah dia sempat mampir kerumahku, aku tidak melihat dia lagi, baik di jalan atau dimana pun.”
“Mas Bagas ke Jogja.”
“Jangan-jangan, dia pergi karena dimarahi Bu Said, gara-gara dia kerumahku?” kata Khaerani dengan nada kuatir.
Mutiara tertawa.”Tidak. Katanya ada yang harus dikerjakan di sana. Di Jogja mungkin dia akan bertemu dengan Mas Bimo.”
“Tapi, Bu Said tahu dia kerumahku?” Mutiara mengangguk. “Ibumu marah?”
 Mutiara menggelengkan kepalanya, “cuma ditanya. Tapi, apa benar Mas Bagas sering ketemu kamu, Rani?”
“Kebetulan saja ketemu di jalan juga disanggarnya Pak Lek Tresno.” Sebuah sepeda motor melaju mendekat kearah mereka.
“Mas Wildan sama Mbak Rosma,” bisik Mutiara kepada Khaerani.
“Sore, Rani, Muti,” sapa Wildan sambil menghentikan laju sepeda motornya.
“Sore, Mas Wildan, Mbak Rosma,” balas Khaerani dan Mutiara hampir bersamaan
“Kalian dari rumah Erna?” tanya Wildan.
“Iya, Mas,” jawab Mutiara.
“Kami juga mau kesana.”
“Ayo Mas, sudah sore, nanti keburu Magrib,” kata Rosma, istri Wildan.
“Kalau begitu, kami jalan dulu,” kata Wildan. Kedua suami istri itu pun meninggalkan Khaerani dan Mutiara.
Mutiara tiba-tiba tersenyum. “Berani taruhan! Mereka pasti bakal ribut lagi!” kata Mutiara.
“Memangnya kenapa?”
“Kamu seperti tidak tahu saja, apa yang Mbak Rosma pikirkan tentang kamu dan suaminya selama ini?”
Khaerani menghela nafas. “Aku tidak habis pikir! Mas Wildan sama aku itu tidak ada hubungan apa-apa, ketemu saja jarang. Kecemburuan Mbak Rosma itu tidak beralasan! Lagipula dia itu jauh diatas aku segalanya, cantik, pintar dan berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Kok ya cemburu sama aku!”
 Mutiara tertawa mendengar gerutuannya, “jangan-jangan Mas Wildan memang suka bercerita tentang kamu didepan Mbak Rosma, jadi dia bersikap seperti itu sama kamu, Ran.”
“Ah, aku tidak mau tahu. Yang jelas aku tidak pernah ada hubungan apa pun dengan Mas Wildan! Kamu tahu, Muti. Pernah suatu hari, Mbak Rosma ke rumah Mbak Risma untuk menjahitkan kain, awalnya mereka nampak asik mengobrol dan tertawa-tawa, begitu aku datang, eh Mbak Ros langsung diam dan langsung pamit pulang. Aku kan jadi tidak enak hati! Pusing aku dengan dia! Mau sampai kapan, coba!”
”Sampai kamu menikah!” kata Mutiara sambil tersenyum. Khaerani hanya menghela nafas panjang mendengarnya.
 Wildan adalah teman sekolah Pram, orangnya  cukup tampan, baik dan agak pendiam. Wildan pernah menyukai Khaerani, tapi gadis itu hanya menganggapnya sebagai kakak. Wildan kemudian menikah dengan Rosma. Pernikahan mereka terjadi karena perjodohan orang tua. Orang tua Wildan adalah teman baik ayahnya Rosma, seorang petani kaya. Rosma sendiri termasuk gadis yang cantik dan berpendidikan lumayan tinggi.
Pada suatu hari Rosma mendengar cerita dari seseorang yang melihat Wildan memboncengkan Khaerani, kemudian orang tersebut menceritakan pula tentang Wildan yang pernah menyukai Khaerani. Mulai saat itulah kecemburuan Rosma kepada Khaerani berawal. Padahal Wildan pernah memberikan alasannya kenapa memboncengkan Khaerani yang sedang menunggu angkutan umum di tepi jalan sendirian ditengah gerimis, juga menjelaskan kalau tidak mungkin dia akan menyukai Khaerani karena sudah punya anak dan istri dan Khaerani pun tidak pernah menyukainya. Tapi sikap cemburu Rosma tetap tidak mau menghilang.
Khaerani dan Mutiara berpisah di sebuah pertigaan. Ketika berjalan sendiri, Khaerani berpapasan dengan Pak Lek Tresno yang sedang bersepeda. “Pak Lek Tresno, mau kemana?” sapanya.
“Eh, Rani,” Pak Lek Tresno menghentikan kayuhan sepedanya. “Pak Lek mau ke rumahnya Pak Haji Nasrun, mau ambil bibit singkong. Kamu sendiri, darimana?”
“Saya baru menjenguk Erna yang baru melahirkan di rumahnya.”
“Bagas temanmu itu kemana Ran? Pak Lek sudah beberapa hari tidak melihatnya?”
“Katanya sih, sedang ke Jogja. Memangnya ada apa Pak Lek?”
Pak Lek Tresno kemudian bercerita tentang Bagas yang sudah beberapa kali pergi ke sanggar. Selain untuk melihat kegiatan ank-anak, juga ikut belajar bermain gamelan, ikut memberi pelajaran menggambar kepada anak-anak, juga membantu membuat rak-rak buku untuk taman bacaan. “Anaknya baik sekali, lho Ran,” kata Pak Lek Tresno.
Khaerani tersenyum, kemudian teringat ketika tidak sengaja melihat Bagas yang sedang bermain bersama anak-anak desa di pinggir lapangan, membantu Pak Maskur memanen jagung dan membantu Kusno memotong rumput.

“Pak Lek pergi dulu, Ran. Sudah sore, ditunggu Pak Haji Nasrun dirumahnya.”
“Oh iya Pak Lek. Silahkan.” Pak Lek Tresno kembali mengayuh sepedanya dan khaerani kembali berjalan pulang.
***
Khaerani masuk kedalam rumah, dilihatnya Kharisma, kakak iparnya sedang duduk dan berbicara dengan Mak Lela di ruang tengah. “Mak, Bapak mana?”
“Masih di rumah Pak Haji Syarif, yang katanya mau beli kambing.”
“Ada apa Mbak, kok cemberut begitu?” tanya Khaerani kepada kakak iparnya, yang kelihatan sedang tidak enak hati.  “Ada apa sama Mbak Risma, Mak?”
Mak Lela bangkit dari duduknya sambil tersenyum. “Biar kakakmu sendiri yang menjelaskan.”
Khaerani mendekati kakak iparnya, sementara Mak Lela pergi ke belakang. “Ada apa sih, Mbak?”
Kharisma diam, mendengus, raut mukanya nampak cemberut sambil tangannya mengelus-elus perutnya yang besar. “Bapaknya Amir!”
“Memangnya Mas Pram kenapa?”
“Tadi Asih kesini, ambil jahitan. Waktu di jalan dia melihat Mas Pram memboncengkan Marini?”
“Marini?” Khaerani mengernyitkan dahinya.
“Janda cantik, teman SMA Mas Pram!”
“Oooh itu. Terus kenapa Mbak Risma jadi marah begini? Memangnya ada yang salah?”
“Ya jelas salah! Mbak tahu kalau Marini itu mantannya Mas Pram waktu SMA!”
“Oalaaah Mbak, Mbak.”
“Kenapa? Kamu mau bela Mas-mu?”
“Bukanya begitu, apa salah kalau Mas Pram memboncengkan Marini?” Kharisma diam sambil terus mengelus-elus perutnya.“Mbak Risma sudah ketemu Mas Pram?”
“Sudah!”
“Sudah tanya, kenapa Mas Pram memboncengkan Marini?”
“Sudah!”
“Terus, Mas Pram jawab apa?”
“Katanya tidak sengaja ketemu Marini di jalan, dia sedang terburu-buru mau ke rumahnya Bu Bidan. Adiknya, yang bernama Aini mau melahirkan, jadi Mas Pram tidak tidak tega, lalu memboncengkannya ke rumah Bu Bidan!”
“Nah, tuh kan, Mas Pram tidak berniat apa-apa sama Marini, dia hanya menolong.”
“Kenapa harus Marini!”
Khaerani tertawa. “Mbak Risma ini ada-ada saja, lha wong tadi ketemunya Marini, kalau tadi ketemunya Mak Surti, pasti yang ditolong Mak Surti.”
“Semua orang melihat Mas Pram memboncengkan Marini, nanti apa katanya!”
“Halaaah Mbak, biar saja, yang penting kan Mas Pram tidak ada apa-apa sama Marini.”
“Kamu yakin sekali dengan Mas Pram, Ran?”
“Aku yakin seratus persen, seribu persen malah, Mas Pram itu tidak bakalan tergoda dengan perempuan lain! Lagipula dia itu tidak ada bakat untuk seperti itu!”
Kharisma tersenyum.“Nah, begitu Mbak. Tersenyum, jangan cemberut dan marah- marah terus, kasihan nanti adiknya Amir yang dalam perut.”
“Tapi, Marini itu janda cantik, lho Ran, semua laki-lak pasti tertarik sama dia! Apalagi sekarang, aku lagi hamil, badanku gendut, jelek begini”

“Biar dia secantik bidadari, cintanya Mas Pram tetap buat Mbak Risma, apapun keadannya Mbak Risma.” Kharisma tertawa mendengar perkataan adik iparnya tersebut.
“Akhirnya istriku yang cantik sudah bisa tertawa lagi, sudah tidak cemberut dan marah lagi?” kata Pram yang sudah berdiri di pintu tengah sambil tersenyum. “Nah begitu, kan enak dilihat!”
Kharisma langsung cemberut lagi, “ jadi aku ini tidak enak dilihat, gendut dan jelek! Lebih cantikan Marini itu!”
“Lha kok mulai lagi! Bagi aku, kamu itu lebih cantik dari semua wanita yang ada di bumi ini, bahkan para bidadari yang ada di kayangan, kamu adalah wanita terbaik bagi aku dan anak-anakku, juga kakak terbaik bagi Rani, dan menantu terbaik bagi Bapak.” Pram mendekati istrinya, mengelus perutnya dan mencium keningnya. “Ayo, kita pulang, Amir baru saja mandi, terus cari ibunya, katanya sarung kesayangannya yang buat ngaji tidak ketemu di lemari.” Pram kemudian menggandeng istrinya dan berjalan keluar.
Khaerani tersenyum melihat tingkah kakak dan kakak iparnya tersebut.
“Bagimana Mbak? Mereka sudah berdamai?” tanya Mak Lela yang muncul dari belakang sambil tersenyum.
“Sudah beres Mak.”

(Mau tau lanjutnya....ikuti Bagian 11 yaaaa...)
***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"