Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"
Anak laki-laki itu berjalan ke pinggir
lapangan sambil membuka kaosnya yang basah oleh keringat, kemudian duduk di
atas rumput sambil mengelap badannnya dengan kaosnya tersebut. Matanya terus
menatap ke tengah lapangan, diperhatikannnya teman-temannnya yang masih asyik
bermain bola, sesekali mulutnya berteriak, memberi semangat kepada
teman-temannya.
“Alangkah senangnya bermain bola di sore hari bersama
teman-teman!” Tiba-tiba terdengar suara berat seorang laki-laki dari arah
samping kanan anak laki-laki itu, yang membuatnya cukup terkejut. Anak
laki-laki itu langsung menoleh ke arah samping kanannya, dilihatnya seorang
laki-laki yang sedang duduk tidak jauh dari tempatnya duduk. Laki-laki itu
menoleh dan tersenyum ke arah anak laki-laki itu.
“Kalian pasti senang,kan?” Laki-laki itu kembali
bertanya.
“Iya Mas, saya bersama teman-teman hampir setiap sore
bermain bola di lapangan ini. Soalnya ini adalaj lapangan besar di desa kami.”
Laki-laki itu tersenyum mendengar jawaban dari anak
laki-laki yang duduk tidak jauh di sampingnya, kemudian dilihatnya anak
laki-laki itu kembali memperhatikan teman-temannnya yang masih bermain bola.
“Anak laki-laki yang baik.” Pikir laki-laki itu.
“Mas ini, juga suka mainbola?” Tiba-tiba anak laki-laki
itu bertanya, yang kemudian dijawab oleh laki-laki itu dengan anggukan dan
senyuman. Anak laki-laki itu kemudian mulai bercerita tentang kegemarannnya
bermain bola, tentang klub-klub sepakbola kesayangannnya, juga tentang
pemain-pemain bola idolanya. Laki-laki itu pun mendengarkannnya dengan serius,
sesekali dia memberi komentar tentang klub-klub sepakbola dan pemain-pemain
terkenal dunia. Sesaat keduanya terdiam, perhatian mereka diarahkan pada
anak-anak yang bermain bola.
“Tapi sayang, lapangan bola ini juga kebun-kebun tebu dan
sawah-sawah di sekelilingnya akan segera menghilang!” Tiba-tiba laki-laki itu
berkata sambil terus mengarahkan pandangannya ke tengah lapangan.
“Apa!” Anak laki-laki itu cukup terkejut mendengar
kata-katanya, dilihatnya laki-laki itu tersenyum sinis. “Kenapa?” Rasa
penasaran menyelimuti benak anak laki-laki itu.. Tetapi belum sempat laki-laki
itu mejawab pertanyaannnya, tiba-tiba salah seorang anak memanggil anak
laki-laki itu untuk menggantikannnya bermain bola. Anak laki-laki itu pun
langsung melupakan rasa penasarannya, dia berlari sambil bertelanjang dada ke
tengah lapangan untuk segera begabung bersama teman-temannya bermain bola,
kaosnya yang basah oleh keringat digeletakkan begitu saja di pinggir lapangan.
Hari pun semakin sore, anak-anak yang bermain di tengah
lapangan mulai membubarkan diri, nampak wajah-wajah yang kelelahan dan
tubuh-tubuh yang basah oleh keringat, namun mereka tidak menghiaukannnya, yang
ada hanya rasa kegembiraan. Anak laki-laki itu berjalan ke arah di mana dia meninggalkan kaosnya, tiba-tiba dia
teringat kembali akan laki-laki yang beberapa saat lalu berbicara dan duduk
tidak jauh di sampingnya, matanya mencoba mencari-cari sosok laki-laki itu. “Ke
mana laki-laki itu? Anak laki-laki itu tidak menemukan sosok yang dicarinya.
“Kamu mencari siapa?” Salah seorang temannnya bertanya. Anak laki-laki itu
kemudian menceritakan tentang laki-laki yang tidak dikenalnya tersebut, juga
tentang kata-katanya yang menyatakan bahwa lapangan yang biasa mereka gunakan
unutuk bermain sepakbola akan segera menghilang. “Apa!” Suara dari teman-teman
anak laki-laki itu terdengar serempak, mereka nampak terkejut dengan
kata-katanya, kemudian mereka menanyakan alasannnya, tetapi anak laki-laki itu
menggeleng. “Aku sendiri tidak tahu alasannnya” Salah seorang temannnya
kemudian berkata, mungkin laki-laki itu oraqng gila yang suka menghayal, yang
juga langsung mendapat persetujuan dari teman-teman yang lainnnya. Untuk sesaat
anak laki-laki itu menyetujui pendapat teman-temannnya, “Bisa juga!” Tetapi
sesaat kemudian, anak laki-laki itu segera menyangkalnya. “Tapi tidak mungkin
laki-laki itu orang gila, masa orang gila tahu tentang sepak bola, dari mulai
klub-klubnya sampai pemain-pemain terkenal dunia!” Teman-teman anak laki-laki
itu pun nampak ragu-ragu. “Betul juga. Atau jangan-jangan, dia itu hantu?”
Salah seorang teman anak laki-laki itu kembali menebak-nebak, tetapi langsung
dibantah oleh anak laki-laki tiu. “Mana mungkin hantu keluar siang-siang,
lagipula aku melihat laki-laki itu dengan jelas, duduk dan berkata dengan
jelas!” “Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Lebih baik kita pulang saja, hari
sudah petang.” Beberapa saaat kemudian anak-anak itu meninggalkan lapangan,
menuju ke rumahnya masing-masing.
***
Beberapa hari kemudian, ketika anak laki-laki itu
berjalan kaki bersama teman-temannnya sepulang dari sekolah, mereka melihat
tiga mobil mewah melaju di jalan desanya. Mata anak laki-laki itu dan
teman-temannnya langsung menatap ke arah
ketiga mobil mewah tersebut. Mereka merasa tidak percaya dengan apa yang baru
sajaz dilihatnya. “Wah, mobil-mobilnya bagus sekali!” komentar salah seorang
teman anak laki-laki itu. “Iya, mobilnya mengkilat dan bunyinya halus, tidak
seperti mobil punya Pak Kades!” Komentar salah seorang anak, yang kemudian
disambut tertawa oleh anak-anak lainnya. “Mereka itu, siapa yah?” Tanya salah
seorang anak lagi, “Terus, mau apa mereka datang ke desa kita?” Anak laki-laki
itu ikut berkomentar, tidak mau kalah dengan teman-temannnya. “Lihat! Mobil-mobil
itu berhenti di depan balai desa!” Salah seorang teman anak laki laki itu
bereriak sambil menunjuk ketiga mobil meawah itu yang berhenti di depan balai
desa, yang terletak tidak jauh di depan anak-anak laki-laki itu dan
teman-temannnya berjalan. “Kita ke sana, yuk!” Anak laki-laki itu mengajak
teman-temannnya untuk menuju balai desa, dan tanpa menjawab, teman-temannnya
tersebut langsung berlari ke arah tempat yang ditunjuk anak laki-laki itu.
“Wah, mobilnya
benar-benar bagus, catnya mengkilap, bisa buat berkaca!” Komentar anak
laki-laki itu kepada teman-temannya yang juga nampak terkagum-kagum dengan
ketiga mobil mewah tersebut dari dekat. Anak-anak berseragam merah putih itu
kemudian mengelilinginya sambil sesekali mencoba menyentuhnya dengan hati-hati.
“Pasti enak, naik mobil ini.” Anak laki-laki itu berkata, yang langsung
mendapat persetujuan dari teman-temannya. “Baru kali ini, ada mobil sebagus ini
masuk ke desa kita, yang naiknyaa pasti orang kaya dari kota.” Salah seorang
teman dari anak laki-laki itu kembali berkomentar. “Itu pasti!” Jawab yang
lainnnya dengan serempak. “Atau, yang naik mobil ini para pejabat dari kota.”
Komentar yang lainnya lagi. “Tidak mungkin, kalau pejabat pasti pengawalnya
banyak, terus setiap warga desa ini pasti diundang oleh Pak Kades, untuk ikut
menyambutnya.” Anak laki-laki mencoba menjelaskan pada teman-temannya. Mereka
kemudian melanjutkaan mengamati ketiga mobil mewah tersebut. Tanpa mereka
sadari, tidak jauh dari mereka, telah berdiri seorang laki-laki berpakaian hansip
lengkap. “Hei, anak-anak! Kalian sedang apa!” Teriak laki-laki berseragam
hansip itu kepada anak-anak seragam merah putih, yang nampak serius mengamati
ketiga mobil mewah yang diparkir di halaman balai desa. Anak-anak itu nampak
terkejut mendengar teriakan yang tiba-tiba tersebut, mereka langsung berbalik
arah, dilihatnya laki-laki berseragam hansip tesebut dengan pandangan yang
tidak bersalah. “Kami tidak berbuat apa-apa, Pak Hansip!” Anak laki-laki itu
memberanikan diri berkata, mewakili teman-temannya. “Iya, Pak Hansip. Kami
hanya melihat-lihat saja!” Salah seorang teman anak laki-laki itu ikut
menambahkan. Tiba-tiba dilihatnya laki-laki berseragam hansip itu tertawa.
“Dasar, anak-anak desa, baru melihat mobil bagus seperti baru melihat harta
karun. Sama seperti aku, sat pertama kali melihat mobil-mobil mewah ini.” Pikir
laki-laki berseragam hansip tersebut. Kemudian, anak laki-laki itu memberanikan
diri bertanya, tentang siapa dan mau apa sebenarnya ornag-orang bermobil meawah
itu datang ke desa mereka. Laki-laki berseragam hansip itu menjawab, kalau dia
tidak tahu, yang mengetahuinya hanya Pak Kades, yang dia ketahui kalau mereka
adalah orang-orang kaya dari kota.
Setelah puas
melihat mobil-mobil mewah itu, anak laki-laki itu bersama teman-temannya pergi
meninggalkan halaman balai desa. Baru beberapa meter meninggalkan halaman balai
desa tersebut, tiba-tiba anak laki-laki itu berteriak sambil menunjuk seorang
laki-laki yang sedang duduk di sebuah pos ronda. “Hei! Itu laki-laki yang
beberapa hari lalu aku temui di lapangan, yang aku ceritakan pada kalian, yang
mengatakan kalau lapangan bola desa kita akan segera menghilang!” Teman-teman
anak laki-laki itu langsung mengarahkan pandangannya ke tempat yang ditunjukkan
olehnya. “Orang gila itu?” Salah seorang temannya berkata. “Aku rasa. Dia itu
bukan orang gila!” Anak laki-laki itu menjaab sambil melangkahkan kakinya ke
arah pos ronda. “Jangan! Nanti orang gila itu ngamuk!” Salah seorang temannya
menarik tangannya, tapi anak laki-laki itu tetap meneruskan langkahnya
mendekati laki-laki yang sedang duduk di pos ronda. “Kamu ke sana, mau apa?”
Salah seorang teman yang lainnya merasa kuatir dengan apa yang dilakukannya,
tapi anak laki-laki itu tetap tidak mempedulikannya.
“Mas! Mas yang
waktu itu berada di lapangan, bicara dengan aku, kan?” Anak laki-laki itu
memberanikan diri bertanya pada laki-laki yang sedang di pos ronda. Laki-laki
itu menengok ke arah anak laki-laki itu, yang datang bersama teman-temannnya,
dia tersenyum sambil menganggukan kepalanya, “Iya, jadi kamu masih ingat!” Anak
laki-laki itu menganggukkan kepalanya, dilihatnya wajah laki-laki yang sedang
duduk di pos ronda itu nampak muram dan bersedih. “Saatnya hampir tiba,
lapangan bola kebanggaan kalian, dan sebagian kebun-kebun tebu, dan sawah-sawah
di desa ini akan segera menghilang. Laki-laki itu tiba-tiba berkata sehingga
membuat anak laki-laki itu dan teman-temannya nampak heran dan kebingungan,
karena tidak mengerti apa maksud perkataannya. Mereka kemudian saling berbisik
satu sama lain. “Laki-laki itu, sepertinya memang benar-benar orang gila!”
Bisik salah seorang teman anak laki0-laki itu. “Ssssssst, jangan keras-keras, nanti dia mendengarnya,
bisa-bisa dia ngamuk!” Bisik yang lainnya. Tiba-tiba laki-laki yang sedang di
pos ronda itu tersenyum, dia seperti mendengar kata-kata dari anak-anak
berseragam merah putih itu, kemudian
mulutnya mulai mengatakan sesuatu. “Jika kalian dan warga desa ini tetap diam
dan matanya tertutup oleh kesenangan yang sesaat, maka kalian dan warga desa
ini akan kehilangan lapangan itu, di mana kalian biasa bermain, juga
kebun-kebun tebu dan sawah-sawah di mana para orang tua kalian bekerja. Kalian
tidak akan bisa bermain bola, tidak akan bisa mencari keong dan belut, tidak
akan bisa bermain Lumpur, dan desa ini tidak akan bisa lagi merayakan pesata
panen tebu dan padi.” Anak-anak berseragam merah putih itu terdiam, mereka
seperti sedang mendengar sebuah dongeng dari masa lalu. “Apa sebabnya?” Anak
laki-laki itu memberanikan diri untuk bertanya, dilihatnya laki-laki itu
menghela nafasnya. “Kalian melihat tiga mobil mewah yang berada di depan balai
desa itu?” Laki-laki itu menunjukan jarinya ke arah balai desa. “Iya, kami
melihatnya, mobilnya bagus-bagus, baru kali ini kami melihat mobil seperti
itu!” Salah seorang teman anak laki-laki itu yang berkata. “Memangnya ada apa
dengan mobil-mobil itu?” Anak laki-laki itu kembali bertanya. “Orang-orang yang
mempunyai mobil mewah itulah yang akan membuat lapangan bola, kebun-kebun tebu
dan sawah-sawah desa kalian akan menghilang!” Laki-laki itu berkata dengan
tatapan yang sinis. “Apa!” Anak laki-laki itu dan teman-temannnya berteriak
hampir bersamaan. “Tapi kenapa? Mereka itu siapa?”
Laki-laki itu
terdiam mendengar anak-anak berseragam merah putih yang saling berebutan bertanya.
“Mereka itu orang-orang kaya dari kota, yang sangat suka membangun perumahan
dan gedung-gedung tinggi, dengan cara merampas tanah-tanah milik rakyat, warga
desa seperti kalian!”
“Kenapa
begitu?” Anak laki-lai itu bertanya, kemudia dilihatnya laki-laki yang masih
duduk di pos ronda itu tersenyum kepadanya. “Demi tanah yang diinginkan, apa
pun mereka lakukan, merayu denagn segala macam cara, dari mulai yang sangat
halus dan manis sampai yang keras. Mereka akan menjanjikan sesuatu yang membuat
kalian dan warga desa tertarik dan bermimpi indah, kemudian setelah kalian dan
warga desa menyerahkan tanahnya, maka janji-janji itu akan diingkarinya begitu
saja, dengan segala macam alasan. Kalian dan warga desa tidak berdaya, karena
telah terlanjur menyerahkan tanahnya, dan pada akhirnya, yang terjadi adalah
penyesalan dan bencana!” Laki-laki itu berkata, sedangkan anak laki-laki itu
bersama teman-temannya nampak terdiam, berusaha mengerti apa yang telah
dijelaskannya, hanya satu yang ada di pikiran mereka, yaitu mereka tidak mau
kehilangan lapangan bola kesayangan mereka.
“Jadi,
orang-orang kota itu akan mengubah lapangan bola kami, kebun-kebun tebu dan
sawah-sawah desa ini menjadi perumahan? Kalau begitu di mana lagi, kami bisa
bermain bola, di mana akan diadakannnya pesata panen tebu dan padi, di mana
akan diudakannnya upacara dan perayaan tujuh belas agustusan di desa kami, lalu
di mana lagi para orang tua kami akan bekerja?” Salah seorang teman anak
laki-laki berkata, yang kemudian langsung mendapat persetujuan dari yang
lainnnya. “Tapi, apa benar mereka akan berbuat seperti itu?” Anak laki-laki itu
bertanya, dia tidak begitu saja mempercayainya. “Kenapa tidak! Mereka adalah
orang-orang yang mempunyai uang berlimpah, kedudukan dan jabatan, yang biasa
mereka gunakan sebagai senjata, apalagi jika dilihatnya kalian dan warga desa
tergiur oleh uang dan janji-janjinya!”
“Terus,
bagaimana caranya supaya mereka tidak merampas lapangan bola, kebun dan sawah
desa kami?” Anak laki-laki itu kembali
bertanya. Laki-laki itu kemudian tersenyum. “Jika kalian dan warga desa
benar-benar mencintai desa ini, dan bersatu, maka lapangan bola, kebun dan
sawah desa ini bisa dipertahankan!” Anak laki-laki itu bersama teman-temannya
terdiam, berusaha mengerti apa yang baru saja dikatakan oleh laki-laki yang
berada di depannya. “Tpi, kami bisa apa?” Tiba-tiba slah seorang anak
berkomentar, yang membuat laki-laki itu tersenyum. “Kalian adalah anak-anak
desa yang pandai dan cerdas, pasti kalian mempunyai cara sendiri untuk bisa
mempertahankan apa yang menjadi milik kalian!” Anak-laki-laki itu dan
teman-temannya tidak lama kemudian
meninggalkan laki-laki yang yang sedang duduk di pos ronda tersebut. Mereka
setengah percaya dan setengah tidak dengan apa yang telah dikatakan laki-laki
itu tentang lapangan bola, kebun-kebun dan sawah-sawah desa mereka yang akan
segera menghilang.
***
Beberapa hari
kemudian, seluruh warga desa, termasuk orang tua anak laki-laki itu berkumpul
di balai desa. Seperti biasanya, setiap ada pertemuan warga di balai desa, tempat
itu menjadi penuh orang, bahkan sampai ke halaman depan. Tapi hari itu ada yang
berbeda, di halaman depan balai desa nampak terparkir tiga mobil mewah, yang
menjadi pusat perhatian warga desa yang datang mengikuti pertemuan tersebut,
mereka merasa terkejut dan tidak percaya dengan keberadaan mobil-mobil itu di halaman balai desa mereka. “Wah, mobilnya
bagus sekali. Saya baru kali ini melihat mobil sebagus ini!” Begitulah
rata-rata komentar warga desa ketika melihat ketiga mobil mewah tersebut.
Anak laki-laki
itu bersama teman-temannya nampak memasuki halaman balai desa bersama para
warga desa lainnya. “Apa kita tidak dimarahi, ikut masuk ke sini?” Salah
seorang teman anak laki-laki itu berkata dengan nada sedikit kuatir. “Kita juga
termasuk warga desa ini, jadi tidak ada salahnya kalau kita ikut!” Jawab anak
laki-laki itu. “Tapi kita kan, masih kecil!” Teman yang lainnya ikut berkata
dengan nada yang kuatir juga. “Yang kecil kan, badan kita, bukan jiwa dan
pikiran kita!” Anak laki-laki itu kembali menjawab dengan gaya bicara seperti orang dewasa, seperti yang
biasa dia lihat ketika ayahnya berbicara
dengan orang lain. Mendengar jwaban dari anak laki-laki itu, teman-temannya
saling berpandangan, kemudian menganggukkan kepalanya hampir bersamaan. Tetapi
belum sampai mereka melangkah lebih jauh, tiba-tiba seorang laki-laki
berpakaian hansip menegur mereka. “Hei, kalian sedang apa di sini? Ini bukan
tempat anak-anak kecil!” Anak laki-laki itu bersama teman-temannya langsung
menghentikan langkahnya. “Kami ingin ikut pertemuan, Pak Hansip!” Anak
laki-laki itu menjawab. Laki-laki berseragam hansip itu kemudian tertawa
medengarnya, kemudian dia mengatakan kalau pertemuan tersebut bukan untuk anak
kecil. “Tapi, kami juga warga desa ini, jadi tidak ada salahnya kalau kami ikut
pertemuan ini, Pak hansip!” Salah seorang anak menjawab menirukan ucapan anak
laki-laki itu. Laki-laki berseragam hansip itu tersenyum, dia berpikir jika
terus melarang anak –anak itu, maka masalahnya akan menjadi panjang, dan tentu
dengan segala cara anak-anak itu akan berusaha untuk ikut pertemuan itu,
akhirnya dia memperbolehkan anak-anak itu untuk ikut mendengarkan pertemuan,
dengan catatan hanya mendengarkannya dari luar dan tidak mengganggu jalannya
pertemuan.
Tidak berapa
lama, pertemuan itu pun dimulai, Pak Kades, sebagai pemimpin desa membuka
pertemuan tersebut dan memberitahukan kepada warga desanya apa maksud dan
tujuan diadakannya pertemuan tersebut, kemudian memperkenalkan para tamu dari
kota yang mobil-mobilnya diparkir di halaman depan balai desa dan menjadi
perhatian para warga desa, yang duduk di sampingnya. Sesaat para warga menjadi
ramai, mereka saling bertanya dan berbisik, ada juga yang merasa terkagum-kagum
dengan para tamu yang berpenampilan perlente tersebut, sangat berbeda dengan
penampilan mereka, walaupun memakai pakaian dan barang-barang yang paling bagus
pun. Pak Kades kemudian mencoba menenangkan para warganya, setelah itu
mempersilahkan kepada salah seorang tamunya untuk berbicara tentang apa maksud
dan tujuan mereka datang. Para warga desa pun langsung terdiam, mereka
terpesona dengan penampilan dan cara berbicara tamu tersebut, yang berbicara
tentang kemajuan jaman, pembangunan, teknologi, meningkatkan taraf hidup,
pendidikan, persamaan hak, ketertinggalan, perubahan, dan tentang hal-hal
lainnnya, yang terkadang tidak dimengerti oleh para warga desa. Rasa kekaguman
para warga desa semakin bertambah ketika para tamu itu menunjukkan
gambar-gambar hidup tentang apa yang
telah dijelaskan sebelumnya, tentang pembangunan, perubahan, dan penciptaan
sebuah perumahan yang lengkap dengan segala fasilitasnya. “Wah, seperti nonton
laayar tancap!” Komentar beberapa warga.
Setelah pemutaran gambar-gambar hidup tersebut selesai, salah tamu
tersebut kembali berbicara. “Apa bapak-bapak dan ibu-ibu tidak senang, jika
mempunyai daerah seperti dalam gambar-gambar tersebut?” Para warga terdiam,
seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja merela lihat dan dengar.
Kemudian tamu tersebut berbicara kembali, mereka menjelasakan bahwa desa ini
akan berubah seperti jika mereka mau merelakan sebagian tanah desa ini untuk
dijual kepadaini akan berubah seperti jika mereka mau merelakan sebagian tanah
desa ini untuk dijual kepada meeka, dan para tamu itu berjanji untuk menukarnya
dengan nilai yang pantas, juga akan memberikan segala fasilitas yang diperlukan
oleh para warga. Para warga desa kembali ramai, mereka tidak mengerti dengan
kata menjual sebagian tanah desanya kepada para tamu itu. Pak kades akhirnya
ikut menjelaskan apa maksud dari kata-kata tamu tersebut, para penduduk itu pun
semakin ramai setelah mengetahuinya dengan jelas. Sementara di antara para
warga desa yang berdiri, karena tidak kebagian kursi, nampak laki-laki itu
berdiri dengan wajah yang murung dan agak sedikit tegang, di sisi lain, di
salah satu jendela yang terbuka,nampak anak laki-laki itu bersama
teman-temannya. “Laki-laki itu benar, kalau orang-orang kaya dari kota itu akan
merampas lapangan bola kita, juga sebagian kebun-kebun dan sawah-sawah desa
kita!” Anak laki-laki itu berkata kepada teman-temannya. “Jadi laki-laki itu
bukan orang gila, buktinya apa yang dikatakannya benar!” Salah seorang teman
anak laki-laki itu ikut berkomentar.
***
Setelah hampir
tiga jam, pertemuan para warga dengan orang-orang kota di balai desa akhirnya
selesai juga. Para warga desa nampak ribut ketika meninggalkan balai desa
tersebut, mereka berusaha menceran dengan apa yang dikatakan oleh para orang
kota tersebut.
“Lapangan bola,
tempat biasa kita bermain benar-benar akan menghilang!” Salah seorang teman
anak laki-laki itu berkata dengan nada bersedih sambil berjalan meninggalkan
balai desa bersama dengan anak laki-laki itu dan teman-teman yang lainnya. “Iya
benar!” Salah seorang anak ikut membenarkan kata-katanya. “Tapi tunggu dulu!”
Tiba-tiba anak laki-laki itu berkata dengan sedikit keras, sehingga membuat
teman-temannya terkejut, kemudian anak laki-laki itu menjelaskan kalau mereka
harus mencegah maksud dan tujuan orang-orang kota itu. “Tapi bagaimana caranya,
kita kan cuma anak kecil!” Salah seorang temannya berkata dengan nada pesimis.
“Harus kita coba! Lagipula kita kan belum tahu, apa warga desa ini setuju atau
tidak jika harus menyerahkan sebagian tanah desanya kepada orang-orang kota
itu!” Anak laki-laki itu berusaha memberikan semangat kepada teman-temannya.
“Iya, tapi dengan cara apa?” Salah seorang temannya kembali bertanya. “Itu yang
harus kita pikirkan bersama!” jawab anak laki-laki itu sambil tersenyum.
***
Sementara itu
di balai desa, nampak Pak kades sedang bebicara dengan salah seorang tamu dari
kota yang berpakaian perlente tersebut. “Bagaimana menurut Pak Kades?” Tamu
tersebut bertanya Kepada Pak Kades. “Saya tidak tahu, apakah warga desa ini
setuju atau tidak dengan rencana Anda. Tapi saya menegaskan kepada Anda,
jawabannya mungkin akan lama, karena tidak semudah itu bagi warga desa ini
untuk melepaskan tanah leluhur mereka, segala sesuatunya diambil dengan
keputusan bersama.” Pak Kades menjawabnya dengan tersenyum. “Tapi, sebagai
kades, bapak bisa membuat mereka setuju, kan?
Bapak tidak usah kuatir, jika berhasil, Bapak pasti akan mendapatkan
banyak dari kami.” Tamu itu berusaha meyakinkan Pak Kades, yang kemudian
menjawabnya kembali dengan tersenyum namun dengan sedikit emosi. “Anda jangan
meremehkan saya dan warga desa ini, karena kami berbeda dengan desa-desa lain!”
Mendengar jawaban yang tidak disangkanya, tamu tersebut nampak tersenyum kecut.
Setelah para
tamu dari kota itu pergi, Pak kades langsung diserbu para bawahannya, yang
ingin mengetahui pendapatnya tentang rencana para tamu dari kota tersebut.
“Bagaimana menurut Pak kades?” Begitulah rata-rata pertanyaan yang disodorkan,
Pak kades hanya tersenyum, dan mengatakan bahwa semuanya tergantung dari warga
desa itu sendiri dan keputusan bersama. “Menurut Pak kades pribadi, bagaimana?”
Pak kades menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kemudian
ditatapnya satu per satu bawahannya. “Untuk saya pribadi, saya tidak setuju!”
Para bawahannya terkejut mendengar jawaban dengan nada yang tinggi dari Pak
kades, mereka langsung bertanya dengan serempak. “Kenapa Pak?” Pak kades sesaat
terdiam, kemudian mulai terdengar kembali suaranya. “Karena sebenarnya, mereka
itu tidak berniat beniat mensejahterakan dan memajukan desa kita ini,
sebaliknya mereka akan menghancurkannya!” Pak kades berkata dengan nada suara
sedikit emosi, sehingga membuat para anak buahnya tersebut saling pandang.
“Bagaimana bisa begitu, bukankah mereka berjanji akan mensejahterakan dan
memajukan desa kita?” Salah seorang anak buahnya nampak penasaran. Pak kades
kembali diam sesaat dan dipandanginya para anak buahnya tersebut. “Kalian masih
ingin diadakan pesta panen tebu dan padi di desa ini?” Anak buahnya nampak
bingung dengan pertanyaan Pak kades, mereka tidak mengerti arah pembicaraannya,
tetapi secara reflek mereka mengangguk. “Kalian masih ingin melihat
pertandingan sepak bola, masih ingin diadakannya perayaan tujuh belas
agustus-an, dan masih ingin diadakannya dangdutan di lapangan desa kita?” Para
anak buahnya kembali mengangguk. Kalian ingin melihat anak cucu kalian
berkembang secara normal, dan masih ingin warga desa ini tetap menjadi warga
desa yang sejati dengan mempertahankan nilai kebersamaan dan
kegotongroyongannya?” Mereka pun mengangguk. “Atau, kalian ingin mengalami
bencana banjir dan tanah longsor?” Mereka menggeleng. “Jika orang-orang kota
berhasil mewujudkan rencana mereka terhadap desa ini, maka apa yang kalian
inginkan hanya sebuah impian!” Pak kades kembali berkata denagn nada suara yang
tinggi. “Tapi Pak kades, mereka sudah berjanji, masa orang-orang berpendidikan
seperti mereka mau membohongi kita?” Pak kades pun tersenyum. “Memang benar,
mereka pasti akan membantu kita, tapi hanya sekedarnya, sekedar membuat kita
diam. Mereka itu sama saja dengan orang jualan, tidak akan membuat sesuatu yang
tidak akan menguntungkan mereka. Apa kemajuan kesejahteraan dan kemajuan mereka
akan menguntungkan mereka? Kalian kan tahu sendiri, bagaimana orang berjualan
pada masa sekarang, mereka tidak akan mengatakan barang yang dijualnya jelek
atau pun palsu, pasti akan mengatakan bagus dan asli!” Para anak buahnya
tersebut nampak terdiam mendengar jawaban dari Pak kades. “Kalau mereka ingin
mensejahterkan dan memajukan desa kita ini, bukan begitu caranya, buat saja
fasilitas-fasilitas yang mendukungnya, seperti sekolah, taman bacaan, atau yang
lain-lainnya, asal sesuai dengan keadaan desa ini. Biarkanlah kami maju
sejahtera dan maju dengan cara kami sendiri, toch warga desa ini
bukanlah warga desa yang bodoh. Apa kalian ingin segepok uang demi kebahagian
sesaat, tapi kemudian menderita sepanjang hidup sampai anak cucu kalian, karena
telah kehilangan segalanya?” Para anak buahnya kemudian menjawab secara
bersamaan, “Tentu saja tidak, Pak kades!” Setelah itu, mereka langsung
membubarkan diri untuk melanjutkan tugasnya masing-masing sambil berusaha
mencerna apa yang telah dikatakan oleh kades mereka.
***
Anak laki-laki itu nampak sedang membuat pekerjaan
rumahnya di meja makan yang ditemani oleh kakak laki-lakinya yang juga sedang
mengerjakan tugas dari sekolahnya, sementara tidak jauh dari mereka, ayah dan
ibunya nampak sedang berbincang-bincang, suara ayahnya terdengar keras dan
sedikit emosi. Anak laki-laki itu berusaha menangkap pembicaraan ayahnya, yang
sepulang dari pertemuan di balai desa nampak uring-uringan dan sedikit emosi. Dengan emosi, ayah anak
laki-laki itu mengatakan kalau orang-orang kota itu tidak tahu malu, mau
mengambil tanah desanya seenaknya saja. “Tapi, mereka tidak akan mengambil
begitu saja, Pak. Mereka pasti akan menggantinya kan?” Ibu anak laki-laki itu
berusaha menenangkanya, tapi yang apa yang diharapkan sebaliknya, ayah anak
laki-laki itu semakin bertambah emosi. “Apa! Itu sama saja kita menjual harga
diri kita, menjual kehidupan kita dan anak cucu kita, Bu! Apa Ibu tidak pernah
surat kabar dan melihat televisi, bagaimana mereka berjuang sampai tetes darah
penghabisan, gara-gara tanah mereka diambil oleh orang-orang rakus seperti
mereka itu!” Ibu anak laki-laki itu terdiam, dia membenarkan ucapan-ucapan ayah
anak laki-laki itu. “Pokoknya, sampai kapan pun dan dengan alasan apa pun, aku
tidak setuju kalau sebagian tanah desaini diambil oleh orang-orang kota itu!
Habis isya nanti, aku mau ke Pak kades!”
Anak laki-laki itu nampak tersenyum mendengar
perbincangan antara ayah dan ibunya, membuat kakak laki-lakinya merasa
keheranan. “Ada apa, kok kamu tersenyum?” Anak laki-laki itu tersenyum,
ditutupnya buku pekerjaan rumahnya dan bangkit dari duduknya. “Kamu mau ke
mana? Pekerjaan rumahnya sudah selesai belum?” Kakak laki-lakinya nampak tidak
mengerti dengan anak laki-laki itu. “Sudah selesai!” Sebelum kakak laki-lakinya
berkata kembali, anak laki-laki itu segera berlari menuju ke depan, mengambil
sepedanya dan mengayuhnya dengan cepat, suara kakaknya yang memanggil tidak
dihiraukannya.
Anak laki-laki itu menghentikan sepedanya di depan rumah
salah satu temannya. “Ada apa malam-malam begini ke rumahku?” Temannya tersebut
merasa heran dengan kedatangan anak laki-laki itu.“Ayahku sedang marah-marah,
tidak setuju dengan rencana orang-orang kota itu!” Anak laki-laki itu berkata dengan semangat.
“Sama. Ayahku juga, sekarang sedang berbicara dengan para tetangga di dalam.
Sepulang dari pertemuan di balai desa siang tadi, ayahku uring-uringan terus,
dan mengatai orang-orang kota itu!” Kedua anak laki-laki itu kemudian
tersenyum, sesaat kemudian keduanya pergi dengan menggunakan sepeda
masing-masing menuju rumah teman yang lainnya.
***
Setelah isya, ayah anak laki-laki
itu bersama para tetangga pergi ke rumah Pak kades, tidak sangka di tempat itu
telah banyak warga yang berkumpul, yang ternyata mempunyai maksud yang sama
dengan ayah anak laki-laki itu bersama para tetangganya. Setelah bertemu dengan
Pak kades, masing-masing warga ingin menyampaikan pendapatnya, sehingga Pak
kades harus menenangkannya, dan karena ruang tamu Pak kades yang tidak terlalu
besar untuk menampung warga yang datang, akhirnya Pak kades menggelar tikar di
teras rumahnya, nampak laki-laki itu duduk paling belakang di antara para warga
yang datang di rumah pak kades malam itu.
Setelah hampir
dua jam para warga dan Pak kades mengemukakan pendapatnya satu sama lain dan
tidak menyetujui jika sebagian tanah desa mereka diambil orang-orang kota untuk
dijadikan perumahan. Pak Kades pun menjanjikan akan diadakannya pertemuan besar
desa di lapangan bola dalam wakru dekat, akhirnya para warga tersebut, termasuk
ayah anak laki-laki itu pulang ke rumahnya masing-masing dengan perasaan agak
sedikit tenang.
***
Sore hari keesokan harinya, nampak
banyak anak berkumpul di bahan pohon rindang, di pinggir lapangan, mereka
nampak sibuk membuat tulisan-tulisan pada kertas-kertas dengan berbagai ukuran
dengan peralatan tulis seadanya. Mereka nampak saling bertanya satu sama
lainnya tentang apa yang akan mereka tulis. “Apa ini akan berhasil mencegah
orang-orang kota itu merampas lapangan bola desa kita ini?” Salah seorang anak
bertanya pada anak yang lainnya. “Kita coba saja, namanya juga usaha, yang
penting orang-orang harus tahu, kalau kita juga mempunyai kepenringan dengan
lapangan bola, kebun-kebun dan sawah-sawah desa ini.” Anak laki-laki itu
berusaha menjelaskan. “Iya benar! Pokoknya lapangan bola ini, juga kenbun-kebun
dan sawah-sawah desa ini, di mana kita sering bermain tidak boleh digusur!”
Salah seorang anak berkata dengan semangat, yang langsung mendapat teriakan
persetujuan dari yang lainnya. Mereka pun kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Apa yang sedang kalian kerjakan?” Suara berat seorang
laki-laki mengejutkan anak-anak yang tengah tersebut, mereka pun langsung
menoleh ke arah pemilik suara tersebut. “Eh, Mas lagi.” Anak laki-laki itu
langsung mengenali sosok laki-laki itu. “Kalian sedang apa?” Laki-laki itu
mengulangi pertanyaannya. “Bukannya Mas ini, yang menyuruh kami mencegah
orang-orang kota itu mengambil lapanga bola, kebun-kebun dan sawah-sawah desa
ini?” Anak laki-laki itu menjawab. Sedangkam laki-laki itu hanya tersenyum
mendengarnya. “Tulisan apa yang kalian buat?” Beberapa anak langsung
memperlihatkan tulisan-tulisan yang dibuatnya, laki-laki itu kemudian
membacanya satu per satu. “Bagaimana menurut Mas?” Anak laki-laki itu mencoba
meminta pendapat dari laki-laki itu, yang langsung menjawabnya dengan dengan
acungan dua jempol tangannya sambil tersenyum.
Setelah sselesai membuat tulisan-tulisan pada
kertas-kertas, anak-anak itu langsung memasangnya di pinggir-pinggir lapangan,
terutama yang dekat dengan jalan yang biasa dilalui oleh orang, dengan berbagai
cara, dari yang menggunakan tongkat kayu, bambu, tali, sampai yang di temple di
batang pohon. Sementara laki-laki itu hanya memperhatikan apa yang dikerjakan
oleh anak laki-laki itu bersama teman-temannya dengan tersenyum dan wajah yang
berseri, berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang nampak muram dan bersedih.
Sedangkan apa yang telah dikerjakan oleh anak-anak itu mendapat perhatian dari
orang-orang yang lewat maupun oleh orang-orang yang sengaja ingin pergi ke
lapangan bola sore itu, mereka yang membaca tulisan-tulisan anak-anak itu
nampak tersenyum dan memberi dukugannya. “INI LAPANGAN BOLA KAMI, TEMPAT
BERMAIN KAMI, JANGAN DIAMBIL!”, “JANGAN AMBIL LAPANGAN BOLA, KEBUN DAN SAWAH
KAMI!”, “JANGAN AMBIL TEMPAT BERMAIN KAMI!”, “BIARKAN KAAMI TETAP BERMAIN!”,
itulah sebagian tulisan-tulisan yang dibuat oleh anak-anak itu.
Kabar tentang apa yang dilakukan anak laki-laki itu bersama
teman-temannya akhirnya sampai juga di telinga Pak kades, dan Pak kades
menanggapinya dengan senyuman, entah senyuman yang berarti apa, hanya Pak kades
dan Tuhan yang mengetahuinya.
***
Dua hari kemudian, terjadi kejutan,
tulisan-tulisan di lapangan bola itu menjadi semakin banyak, tidak lagi
dikerjakan oleh anak laki-laki itu bersama teman-temannya tetapi oleh para
warga desa, bahkan ada yang membuat spanduk dengan kain, yang berintikan bahwa
mereka tidak akan menyerahkan apa yang telah menjadi miliknya, dengan alasan
apa pun dan dengan janji apa pun, walaupun nyawa taruhannya. Bahkan yang lebih
mengejutkan, hampir setiap rumah memasang tulisan-tulisan di depannya yang
umumnya berisi penolakan terhadap rencana yang dibuat oleh orang-orang kaya
dari kota itu. Kini, desa itu pun kelihatan ramai dan berwarna-warni dengan
adanya tulisan-tulisan tersebut, yang jumlahnya hampir me;ebihi jumlah
warganya.
Beberapa hari kemudian, Pak kades
mengadakan pertemuan besar desa, seperti yang dijanjikannya, di lapangan bola.
Di sana para warga diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya
masing-masing di samping Pak kades dan beberapa orang yang dianggap pandai dan
mempunyai pendidikan tinggi dan pengalaman cukup banyak memberikan pidato yang
berisi nasihat-nasihat, akhirnya warga desa mempunyai kata sepakat untuk tidak
menyerahkan sebagian tanah desanya kepada orang-orang kota itu, termasuk
lapangan sepak bola kesayangan mereka, apa pun alasannya, dan berapa pun
orang-orang kota itu akan membayarnya.Warga desa akan tetap mempertahankan apa
yang telah menjadi miliknya, yang merupakan titipan dari moyang mereka dan anak
cucu mereka kelak, apa pun caranya walaupun dengan nyawa dan darah! Anak
laki-laki itu bersdama teman-temannya yang ikut dalam pertemuan besar desa itu
nampak bergembira, mereka ikut berteriak mendukung keputusan yang telah dibuat
oleh warga desanya. Sementara laki-laki itu, yang duduk di bahwah pohon besar
di pinggir lapangan bersama dengan warga desa lainnya, nampak tersenyum
bahagia.
Komentar
Posting Komentar