Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"



Anak laki-laki itu berjalan ke pinggir lapangan sambil membuka kaosnya yang basah oleh keringat, kemudian duduk di atas rumput sambil mengelap badannnya dengan kaosnya tersebut. Matanya terus menatap ke tengah lapangan, diperhatikannnya teman-temannnya yang masih asyik bermain bola, sesekali mulutnya berteriak, memberi semangat kepada teman-temannya.
            “Alangkah senangnya bermain bola di sore hari bersama teman-teman!” Tiba-tiba terdengar suara berat seorang laki-laki dari arah samping kanan anak laki-laki itu, yang membuatnya cukup terkejut. Anak laki-laki itu langsung menoleh ke arah samping kanannya, dilihatnya seorang laki-laki yang sedang duduk tidak jauh dari tempatnya duduk. Laki-laki itu menoleh dan tersenyum ke arah anak laki-laki itu.
            “Kalian pasti senang,kan?” Laki-laki itu kembali bertanya.
            “Iya Mas, saya bersama teman-teman hampir setiap sore bermain bola di lapangan ini. Soalnya ini adalaj lapangan besar di desa kami.”
            Laki-laki itu tersenyum mendengar jawaban dari anak laki-laki yang duduk tidak jauh di sampingnya, kemudian dilihatnya anak laki-laki itu kembali memperhatikan teman-temannnya yang masih bermain bola. “Anak laki-laki yang baik.” Pikir laki-laki itu.
            “Mas ini, juga suka mainbola?” Tiba-tiba anak laki-laki itu bertanya, yang kemudian dijawab oleh laki-laki itu dengan anggukan dan senyuman. Anak laki-laki itu kemudian mulai bercerita tentang kegemarannnya bermain bola, tentang klub-klub sepakbola kesayangannnya, juga tentang pemain-pemain bola idolanya. Laki-laki itu pun mendengarkannnya dengan serius, sesekali dia memberi komentar tentang klub-klub sepakbola dan pemain-pemain terkenal dunia. Sesaat keduanya terdiam, perhatian mereka diarahkan pada anak-anak yang bermain bola.
            “Tapi sayang, lapangan bola ini juga kebun-kebun tebu dan sawah-sawah di sekelilingnya akan segera menghilang!” Tiba-tiba laki-laki itu berkata sambil terus mengarahkan pandangannya ke tengah lapangan.
            “Apa!” Anak laki-laki itu cukup terkejut mendengar kata-katanya, dilihatnya laki-laki itu tersenyum sinis. “Kenapa?” Rasa penasaran menyelimuti benak anak laki-laki itu.. Tetapi belum sempat laki-laki itu mejawab pertanyaannnya, tiba-tiba salah seorang anak memanggil anak laki-laki itu untuk menggantikannnya bermain bola. Anak laki-laki itu pun langsung melupakan rasa penasarannya, dia berlari sambil bertelanjang dada ke tengah lapangan untuk segera begabung bersama teman-temannya bermain bola, kaosnya yang basah oleh keringat digeletakkan begitu saja di pinggir lapangan.
            Hari pun semakin sore, anak-anak yang bermain di tengah lapangan mulai membubarkan diri, nampak wajah-wajah yang kelelahan dan tubuh-tubuh yang basah oleh keringat, namun mereka tidak menghiaukannnya, yang ada hanya rasa kegembiraan. Anak laki-laki itu berjalan ke arah di mana  dia meninggalkan kaosnya, tiba-tiba dia teringat kembali akan laki-laki yang beberapa saat lalu berbicara dan duduk tidak jauh di sampingnya, matanya mencoba mencari-cari sosok laki-laki itu. “Ke mana laki-laki itu? Anak laki-laki itu tidak menemukan sosok yang dicarinya. “Kamu mencari siapa?” Salah seorang temannnya bertanya. Anak laki-laki itu kemudian menceritakan tentang laki-laki yang tidak dikenalnya tersebut, juga tentang kata-katanya yang menyatakan bahwa lapangan yang biasa mereka gunakan unutuk bermain sepakbola akan segera menghilang. “Apa!” Suara dari teman-teman anak laki-laki itu terdengar serempak, mereka nampak terkejut dengan kata-katanya, kemudian mereka menanyakan alasannnya, tetapi anak laki-laki itu menggeleng. “Aku sendiri tidak tahu alasannnya” Salah seorang temannnya kemudian berkata, mungkin laki-laki itu oraqng gila yang suka menghayal, yang juga langsung mendapat persetujuan dari teman-teman yang lainnnya. Untuk sesaat anak laki-laki itu menyetujui pendapat teman-temannnya, “Bisa juga!” Tetapi sesaat kemudian, anak laki-laki itu segera menyangkalnya. “Tapi tidak mungkin laki-laki itu orang gila, masa orang gila tahu tentang sepak bola, dari mulai klub-klubnya sampai pemain-pemain terkenal dunia!” Teman-teman anak laki-laki itu pun nampak ragu-ragu. “Betul juga. Atau jangan-jangan, dia itu hantu?” Salah seorang teman anak laki-laki itu kembali menebak-nebak, tetapi langsung dibantah oleh anak laki-laki tiu. “Mana mungkin hantu keluar siang-siang, lagipula aku melihat laki-laki itu dengan jelas, duduk dan berkata dengan jelas!” “Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Lebih baik kita pulang saja, hari sudah petang.” Beberapa saaat kemudian anak-anak itu meninggalkan lapangan, menuju ke rumahnya masing-masing.
***
            Beberapa hari kemudian, ketika anak laki-laki itu berjalan kaki bersama teman-temannnya sepulang dari sekolah, mereka melihat tiga mobil mewah melaju di jalan desanya. Mata anak laki-laki itu dan teman-temannnya  langsung menatap ke arah ketiga mobil mewah tersebut. Mereka merasa tidak percaya dengan apa yang baru sajaz dilihatnya. “Wah, mobil-mobilnya bagus sekali!” komentar salah seorang teman anak laki-laki itu. “Iya, mobilnya mengkilat dan bunyinya halus, tidak seperti mobil punya Pak Kades!” Komentar salah seorang anak, yang kemudian disambut tertawa oleh anak-anak lainnya. “Mereka itu, siapa yah?” Tanya salah seorang anak lagi, “Terus, mau apa mereka datang ke desa kita?” Anak laki-laki itu ikut berkomentar, tidak mau kalah dengan teman-temannnya. “Lihat! Mobil-mobil itu berhenti di depan balai desa!” Salah seorang teman anak laki laki itu bereriak sambil menunjuk ketiga mobil meawah itu yang berhenti di depan balai desa, yang terletak tidak jauh di depan anak-anak laki-laki itu dan teman-temannnya berjalan. “Kita ke sana, yuk!” Anak laki-laki itu mengajak teman-temannnya untuk menuju balai desa, dan tanpa menjawab, teman-temannnya tersebut langsung berlari ke arah tempat yang ditunjuk anak laki-laki itu.
“Wah, mobilnya benar-benar bagus, catnya mengkilap, bisa buat berkaca!” Komentar anak laki-laki itu kepada teman-temannya yang juga nampak terkagum-kagum dengan ketiga mobil mewah tersebut dari dekat. Anak-anak berseragam merah putih itu kemudian mengelilinginya sambil sesekali mencoba menyentuhnya dengan hati-hati. “Pasti enak, naik mobil ini.” Anak laki-laki itu berkata, yang langsung mendapat persetujuan dari teman-temannya. “Baru kali ini, ada mobil sebagus ini masuk ke desa kita, yang naiknyaa pasti orang kaya dari kota.” Salah seorang teman dari anak laki-laki itu kembali berkomentar. “Itu pasti!” Jawab yang lainnnya dengan serempak. “Atau, yang naik mobil ini para pejabat dari kota.” Komentar yang lainnya lagi. “Tidak mungkin, kalau pejabat pasti pengawalnya banyak, terus setiap warga desa ini pasti diundang oleh Pak Kades, untuk ikut menyambutnya.” Anak laki-laki mencoba menjelaskan pada teman-temannya. Mereka kemudian melanjutkaan mengamati ketiga mobil mewah tersebut. Tanpa mereka sadari, tidak jauh dari mereka, telah berdiri seorang laki-laki berpakaian hansip lengkap. “Hei, anak-anak! Kalian sedang apa!” Teriak laki-laki berseragam hansip itu kepada anak-anak seragam merah putih, yang nampak serius mengamati ketiga mobil mewah yang diparkir di halaman balai desa. Anak-anak itu nampak terkejut mendengar teriakan yang tiba-tiba tersebut, mereka langsung berbalik arah, dilihatnya laki-laki berseragam hansip tesebut dengan pandangan yang tidak bersalah. “Kami tidak berbuat apa-apa, Pak Hansip!” Anak laki-laki itu memberanikan diri berkata, mewakili teman-temannya. “Iya, Pak Hansip. Kami hanya melihat-lihat saja!” Salah seorang teman anak laki-laki itu ikut menambahkan. Tiba-tiba dilihatnya laki-laki berseragam hansip itu tertawa. “Dasar, anak-anak desa, baru melihat mobil bagus seperti baru melihat harta karun. Sama seperti aku, sat pertama kali melihat mobil-mobil mewah ini.” Pikir laki-laki berseragam hansip tersebut. Kemudian, anak laki-laki itu memberanikan diri bertanya, tentang siapa dan mau apa sebenarnya ornag-orang bermobil meawah itu datang ke desa mereka. Laki-laki berseragam hansip itu menjawab, kalau dia tidak tahu, yang mengetahuinya hanya Pak Kades, yang dia ketahui kalau mereka adalah orang-orang kaya dari kota.
Setelah puas melihat mobil-mobil mewah itu, anak laki-laki itu bersama teman-temannya pergi meninggalkan halaman balai desa. Baru beberapa meter meninggalkan halaman balai desa tersebut, tiba-tiba anak laki-laki itu berteriak sambil menunjuk seorang laki-laki yang sedang duduk di sebuah pos ronda. “Hei! Itu laki-laki yang beberapa hari lalu aku temui di lapangan, yang aku ceritakan pada kalian, yang mengatakan kalau lapangan bola desa kita akan segera menghilang!” Teman-teman anak laki-laki itu langsung mengarahkan pandangannya ke tempat yang ditunjukkan olehnya. “Orang gila itu?” Salah seorang temannya berkata. “Aku rasa. Dia itu bukan orang gila!” Anak laki-laki itu menjaab sambil melangkahkan kakinya ke arah pos ronda. “Jangan! Nanti orang gila itu ngamuk!” Salah seorang temannya menarik tangannya, tapi anak laki-laki itu tetap meneruskan langkahnya mendekati laki-laki yang sedang duduk di pos ronda. “Kamu ke sana, mau apa?” Salah seorang teman yang lainnya merasa kuatir dengan apa yang dilakukannya, tapi anak laki-laki itu tetap tidak mempedulikannya.
“Mas! Mas yang waktu itu berada di lapangan, bicara dengan aku, kan?” Anak laki-laki itu memberanikan diri bertanya pada laki-laki yang sedang di pos ronda. Laki-laki itu menengok ke arah anak laki-laki itu, yang datang bersama teman-temannnya, dia tersenyum sambil menganggukan kepalanya, “Iya, jadi kamu masih ingat!” Anak laki-laki itu menganggukkan kepalanya, dilihatnya wajah laki-laki yang sedang duduk di pos ronda itu nampak muram dan bersedih. “Saatnya hampir tiba, lapangan bola kebanggaan kalian, dan sebagian kebun-kebun tebu, dan sawah-sawah di desa ini akan segera menghilang. Laki-laki itu tiba-tiba berkata sehingga membuat anak laki-laki itu dan teman-temannya nampak heran dan kebingungan, karena tidak mengerti apa maksud perkataannya. Mereka kemudian saling berbisik satu sama lain. “Laki-laki itu, sepertinya memang benar-benar orang gila!” Bisik salah seorang teman anak laki0-laki itu. “Ssssssst,  jangan keras-keras, nanti dia mendengarnya, bisa-bisa dia ngamuk!” Bisik yang lainnya. Tiba-tiba laki-laki yang sedang di pos ronda itu tersenyum, dia seperti mendengar kata-kata dari anak-anak berseragam merah putih itu,  kemudian mulutnya mulai mengatakan sesuatu. “Jika kalian dan warga desa ini tetap diam dan matanya tertutup oleh kesenangan yang sesaat, maka kalian dan warga desa ini akan kehilangan lapangan itu, di mana kalian biasa bermain, juga kebun-kebun tebu dan sawah-sawah di mana para orang tua kalian bekerja. Kalian tidak akan bisa bermain bola, tidak akan bisa mencari keong dan belut, tidak akan bisa bermain Lumpur, dan desa ini tidak akan bisa lagi merayakan pesata panen tebu dan padi.” Anak-anak berseragam merah putih itu terdiam, mereka seperti sedang mendengar sebuah dongeng dari masa lalu. “Apa sebabnya?” Anak laki-laki itu memberanikan diri untuk bertanya, dilihatnya laki-laki itu menghela nafasnya. “Kalian melihat tiga mobil mewah yang berada di depan balai desa itu?” Laki-laki itu menunjukan jarinya ke arah balai desa. “Iya, kami melihatnya, mobilnya bagus-bagus, baru kali ini kami melihat mobil seperti itu!” Salah seorang teman anak laki-laki itu yang berkata. “Memangnya ada apa dengan mobil-mobil itu?” Anak laki-laki itu kembali bertanya. “Orang-orang yang mempunyai mobil mewah itulah yang akan membuat lapangan bola, kebun-kebun tebu dan sawah-sawah desa kalian akan menghilang!” Laki-laki itu berkata dengan tatapan yang sinis. “Apa!” Anak laki-laki itu dan teman-temannnya berteriak hampir bersamaan. “Tapi kenapa? Mereka itu siapa?”
Laki-laki itu terdiam mendengar anak-anak berseragam merah putih yang saling berebutan bertanya. “Mereka itu orang-orang kaya dari kota, yang sangat suka membangun perumahan dan gedung-gedung tinggi, dengan cara merampas tanah-tanah milik rakyat, warga desa seperti kalian!”
“Kenapa begitu?” Anak laki-lai itu bertanya, kemudia dilihatnya laki-laki yang masih duduk di pos ronda itu tersenyum kepadanya. “Demi tanah yang diinginkan, apa pun mereka lakukan, merayu denagn segala macam cara, dari mulai yang sangat halus dan manis sampai yang keras. Mereka akan menjanjikan sesuatu yang membuat kalian dan warga desa tertarik dan bermimpi indah, kemudian setelah kalian dan warga desa menyerahkan tanahnya, maka janji-janji itu akan diingkarinya begitu saja, dengan segala macam alasan. Kalian dan warga desa tidak berdaya, karena telah terlanjur menyerahkan tanahnya, dan pada akhirnya, yang terjadi adalah penyesalan dan bencana!” Laki-laki itu berkata, sedangkan anak laki-laki itu bersama teman-temannya nampak terdiam, berusaha mengerti apa yang telah dijelaskannya, hanya satu yang ada di pikiran mereka, yaitu mereka tidak mau kehilangan lapangan bola kesayangan mereka.
“Jadi, orang-orang kota itu akan mengubah lapangan bola kami, kebun-kebun tebu dan sawah-sawah desa ini menjadi perumahan? Kalau begitu di mana lagi, kami bisa bermain bola, di mana akan diadakannnya pesata panen tebu dan padi, di mana akan diudakannnya upacara dan perayaan tujuh belas agustusan di desa kami, lalu di mana lagi para orang tua kami akan bekerja?” Salah seorang teman anak laki-laki berkata, yang kemudian langsung mendapat persetujuan dari yang lainnnya. “Tapi, apa benar mereka akan berbuat seperti itu?” Anak laki-laki itu bertanya, dia tidak begitu saja mempercayainya. “Kenapa tidak! Mereka adalah orang-orang yang mempunyai uang berlimpah, kedudukan dan jabatan, yang biasa mereka gunakan sebagai senjata, apalagi jika dilihatnya kalian dan warga desa tergiur oleh uang dan janji-janjinya!”
“Terus, bagaimana caranya supaya mereka tidak merampas lapangan bola, kebun dan sawah desa kami?”  Anak laki-laki itu kembali bertanya. Laki-laki itu kemudian tersenyum. “Jika kalian dan warga desa benar-benar mencintai desa ini, dan bersatu, maka lapangan bola, kebun dan sawah desa ini bisa dipertahankan!” Anak laki-laki itu bersama teman-temannya terdiam, berusaha mengerti apa yang baru saja dikatakan oleh laki-laki yang berada di depannya. “Tpi, kami bisa apa?” Tiba-tiba slah seorang anak berkomentar, yang membuat laki-laki itu tersenyum. “Kalian adalah anak-anak desa yang pandai dan cerdas, pasti kalian mempunyai cara sendiri untuk bisa mempertahankan apa yang menjadi milik kalian!” Anak-laki-laki itu dan teman-temannya  tidak lama kemudian meninggalkan laki-laki yang yang sedang duduk di pos ronda tersebut. Mereka setengah percaya dan setengah tidak dengan apa yang telah dikatakan laki-laki itu tentang lapangan bola, kebun-kebun dan sawah-sawah desa mereka yang akan segera menghilang.
***
Beberapa hari kemudian, seluruh warga desa, termasuk orang tua anak laki-laki itu berkumpul di balai desa. Seperti biasanya, setiap ada pertemuan warga di balai desa, tempat itu menjadi penuh orang, bahkan sampai ke halaman depan. Tapi hari itu ada yang berbeda, di halaman depan balai desa nampak terparkir tiga mobil mewah, yang menjadi pusat perhatian warga desa yang datang mengikuti pertemuan tersebut, mereka merasa terkejut dan tidak percaya dengan keberadaan mobil-mobil itu  di halaman balai desa mereka. “Wah, mobilnya bagus sekali. Saya baru kali ini melihat mobil sebagus ini!” Begitulah rata-rata komentar warga desa ketika melihat ketiga mobil mewah tersebut.
Anak laki-laki itu bersama teman-temannya nampak memasuki halaman balai desa bersama para warga desa lainnya. “Apa kita tidak dimarahi, ikut masuk ke sini?” Salah seorang teman anak laki-laki itu berkata dengan nada sedikit kuatir. “Kita juga termasuk warga desa ini, jadi tidak ada salahnya kalau kita ikut!” Jawab anak laki-laki itu. “Tapi kita kan, masih kecil!” Teman yang lainnya ikut berkata dengan nada yang kuatir juga. “Yang kecil kan, badan kita, bukan jiwa dan pikiran kita!” Anak laki-laki itu kembali menjawab dengan gaya  bicara seperti orang dewasa, seperti yang biasa  dia lihat ketika ayahnya berbicara dengan orang lain. Mendengar jwaban dari anak laki-laki itu, teman-temannya saling berpandangan, kemudian menganggukkan kepalanya hampir bersamaan. Tetapi belum sampai mereka melangkah lebih jauh, tiba-tiba seorang laki-laki berpakaian hansip menegur mereka. “Hei, kalian sedang apa di sini? Ini bukan tempat anak-anak kecil!” Anak laki-laki itu bersama teman-temannya langsung menghentikan langkahnya. “Kami ingin ikut pertemuan, Pak Hansip!” Anak laki-laki itu menjawab. Laki-laki berseragam hansip itu kemudian tertawa medengarnya, kemudian dia mengatakan kalau pertemuan tersebut bukan untuk anak kecil. “Tapi, kami juga warga desa ini, jadi tidak ada salahnya kalau kami ikut pertemuan ini, Pak hansip!” Salah seorang anak menjawab menirukan ucapan anak laki-laki itu. Laki-laki berseragam hansip itu tersenyum, dia berpikir jika terus melarang anak –anak itu, maka masalahnya akan menjadi panjang, dan tentu dengan segala cara anak-anak itu akan berusaha untuk ikut pertemuan itu, akhirnya dia memperbolehkan anak-anak itu untuk ikut mendengarkan pertemuan, dengan catatan hanya mendengarkannya dari luar dan tidak mengganggu jalannya pertemuan.
Tidak berapa lama, pertemuan itu pun dimulai, Pak Kades, sebagai pemimpin desa membuka pertemuan tersebut dan memberitahukan kepada warga desanya apa maksud dan tujuan diadakannya pertemuan tersebut, kemudian memperkenalkan para tamu dari kota yang mobil-mobilnya diparkir di halaman depan balai desa dan menjadi perhatian para warga desa, yang duduk di sampingnya. Sesaat para warga menjadi ramai, mereka saling bertanya dan berbisik, ada juga yang merasa terkagum-kagum dengan para tamu yang berpenampilan perlente tersebut, sangat berbeda dengan penampilan mereka, walaupun memakai pakaian dan barang-barang yang paling bagus pun. Pak Kades kemudian mencoba menenangkan para warganya, setelah itu mempersilahkan kepada salah seorang tamunya untuk berbicara tentang apa maksud dan tujuan mereka datang. Para warga desa pun langsung terdiam, mereka terpesona dengan penampilan dan cara berbicara tamu tersebut, yang berbicara tentang kemajuan jaman, pembangunan, teknologi, meningkatkan taraf hidup, pendidikan, persamaan hak, ketertinggalan, perubahan, dan tentang hal-hal lainnnya, yang terkadang tidak dimengerti oleh para warga desa. Rasa kekaguman para warga desa semakin bertambah ketika para tamu itu menunjukkan gambar-gambar hidup  tentang apa yang telah dijelaskan sebelumnya, tentang pembangunan, perubahan, dan penciptaan sebuah perumahan yang lengkap dengan segala fasilitasnya. “Wah, seperti nonton laayar tancap!” Komentar beberapa warga.  Setelah pemutaran gambar-gambar hidup tersebut selesai, salah tamu tersebut kembali berbicara. “Apa bapak-bapak dan ibu-ibu tidak senang, jika mempunyai daerah seperti dalam gambar-gambar tersebut?” Para warga terdiam, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja merela lihat dan dengar. Kemudian tamu tersebut berbicara kembali, mereka menjelasakan bahwa desa ini akan berubah seperti jika mereka mau merelakan sebagian tanah desa ini untuk dijual kepadaini akan berubah seperti jika mereka mau merelakan sebagian tanah desa ini untuk dijual kepada meeka, dan para tamu itu berjanji untuk menukarnya dengan nilai yang pantas, juga akan memberikan segala fasilitas yang diperlukan oleh para warga. Para warga desa kembali ramai, mereka tidak mengerti dengan kata menjual sebagian tanah desanya kepada para tamu itu. Pak kades akhirnya ikut menjelaskan apa maksud dari kata-kata tamu tersebut, para penduduk itu pun semakin ramai setelah mengetahuinya dengan jelas. Sementara di antara para warga desa yang berdiri, karena tidak kebagian kursi, nampak laki-laki itu berdiri dengan wajah yang murung dan agak sedikit tegang, di sisi lain, di salah satu jendela yang terbuka,nampak anak laki-laki itu bersama teman-temannya. “Laki-laki itu benar, kalau orang-orang kaya dari kota itu akan merampas lapangan bola kita, juga sebagian kebun-kebun dan sawah-sawah desa kita!” Anak laki-laki itu berkata kepada teman-temannya. “Jadi laki-laki itu bukan orang gila, buktinya apa yang dikatakannya benar!” Salah seorang teman anak laki-laki itu ikut berkomentar.
***
Setelah hampir tiga jam, pertemuan para warga dengan orang-orang kota di balai desa akhirnya selesai juga. Para warga desa nampak ribut ketika meninggalkan balai desa tersebut, mereka berusaha menceran dengan apa yang dikatakan oleh para orang kota tersebut.
“Lapangan bola, tempat biasa kita bermain benar-benar akan menghilang!” Salah seorang teman anak laki-laki itu berkata dengan nada bersedih sambil berjalan meninggalkan balai desa bersama dengan anak laki-laki itu dan teman-teman yang lainnya. “Iya benar!” Salah seorang anak ikut membenarkan kata-katanya. “Tapi tunggu dulu!” Tiba-tiba anak laki-laki itu berkata dengan sedikit keras, sehingga membuat teman-temannya terkejut, kemudian anak laki-laki itu menjelaskan kalau mereka harus mencegah maksud dan tujuan orang-orang kota itu. “Tapi bagaimana caranya, kita kan cuma anak kecil!” Salah seorang temannya berkata dengan nada pesimis. “Harus kita coba! Lagipula kita kan belum tahu, apa warga desa ini setuju atau tidak jika harus menyerahkan sebagian tanah desanya kepada orang-orang kota itu!” Anak laki-laki itu berusaha memberikan semangat kepada teman-temannya. “Iya, tapi dengan cara apa?” Salah seorang temannya kembali bertanya. “Itu yang harus kita pikirkan bersama!” jawab anak laki-laki itu sambil tersenyum.
***
Sementara itu di balai desa, nampak Pak kades sedang bebicara dengan salah seorang tamu dari kota yang berpakaian perlente tersebut. “Bagaimana menurut Pak Kades?” Tamu tersebut bertanya Kepada Pak Kades. “Saya tidak tahu, apakah warga desa ini setuju atau tidak dengan rencana Anda. Tapi saya menegaskan kepada Anda, jawabannya mungkin akan lama, karena tidak semudah itu bagi warga desa ini untuk melepaskan tanah leluhur mereka, segala sesuatunya diambil dengan keputusan bersama.” Pak Kades menjawabnya dengan tersenyum. “Tapi, sebagai kades, bapak bisa membuat mereka setuju, kan?  Bapak tidak usah kuatir, jika berhasil, Bapak pasti akan mendapatkan banyak dari kami.” Tamu itu berusaha meyakinkan Pak Kades, yang kemudian menjawabnya kembali dengan tersenyum namun dengan sedikit emosi. “Anda jangan meremehkan saya dan warga desa ini, karena kami berbeda dengan desa-desa lain!” Mendengar jawaban yang tidak disangkanya, tamu tersebut nampak tersenyum kecut.
Setelah para tamu dari kota itu pergi, Pak kades langsung diserbu para bawahannya, yang ingin mengetahui pendapatnya tentang rencana para tamu dari kota tersebut. “Bagaimana menurut Pak kades?” Begitulah rata-rata pertanyaan yang disodorkan, Pak kades hanya tersenyum, dan mengatakan bahwa semuanya tergantung dari warga desa itu sendiri dan keputusan bersama. “Menurut Pak kades pribadi, bagaimana?” Pak kades menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kemudian ditatapnya satu per satu bawahannya. “Untuk saya pribadi, saya tidak setuju!” Para bawahannya terkejut mendengar jawaban dengan nada yang tinggi dari Pak kades, mereka langsung bertanya dengan serempak. “Kenapa Pak?” Pak kades sesaat terdiam, kemudian mulai terdengar kembali suaranya. “Karena sebenarnya, mereka itu tidak berniat beniat mensejahterakan dan memajukan desa kita ini, sebaliknya mereka akan menghancurkannya!” Pak kades berkata dengan nada suara sedikit emosi, sehingga membuat para anak buahnya tersebut saling pandang. “Bagaimana bisa begitu, bukankah mereka berjanji akan mensejahterakan dan memajukan desa kita?” Salah seorang anak buahnya nampak penasaran. Pak kades kembali diam sesaat dan dipandanginya para anak buahnya tersebut. “Kalian masih ingin diadakan pesta panen tebu dan padi di desa ini?” Anak buahnya nampak bingung dengan pertanyaan Pak kades, mereka tidak mengerti arah pembicaraannya, tetapi secara reflek mereka mengangguk. “Kalian masih ingin melihat pertandingan sepak bola, masih ingin diadakannya perayaan tujuh belas agustus-an, dan masih ingin diadakannya dangdutan di lapangan desa kita?” Para anak buahnya kembali mengangguk. Kalian ingin melihat anak cucu kalian berkembang secara normal, dan masih ingin warga desa ini tetap menjadi warga desa yang sejati dengan mempertahankan nilai kebersamaan dan kegotongroyongannya?” Mereka pun mengangguk. “Atau, kalian ingin mengalami bencana banjir dan tanah longsor?” Mereka menggeleng. “Jika orang-orang kota berhasil mewujudkan rencana mereka terhadap desa ini, maka apa yang kalian inginkan hanya sebuah impian!” Pak kades kembali berkata denagn nada suara yang tinggi. “Tapi Pak kades, mereka sudah berjanji, masa orang-orang berpendidikan seperti mereka mau membohongi kita?” Pak kades pun tersenyum. “Memang benar, mereka pasti akan membantu kita, tapi hanya sekedarnya, sekedar membuat kita diam. Mereka itu sama saja dengan orang jualan, tidak akan membuat sesuatu yang tidak akan menguntungkan mereka. Apa kemajuan kesejahteraan dan kemajuan mereka akan menguntungkan mereka? Kalian kan tahu sendiri, bagaimana orang berjualan pada masa sekarang, mereka tidak akan mengatakan barang yang dijualnya jelek atau pun palsu, pasti akan mengatakan bagus dan asli!” Para anak buahnya tersebut nampak terdiam mendengar jawaban dari Pak kades. “Kalau mereka ingin mensejahterkan dan memajukan desa kita ini, bukan begitu caranya, buat saja fasilitas-fasilitas yang mendukungnya, seperti sekolah, taman bacaan, atau yang lain-lainnya, asal sesuai dengan keadaan desa ini. Biarkanlah kami maju sejahtera dan maju dengan cara kami sendiri, toch warga desa ini bukanlah warga desa yang bodoh. Apa kalian ingin segepok uang demi kebahagian sesaat, tapi kemudian menderita sepanjang hidup sampai anak cucu kalian, karena telah kehilangan segalanya?” Para anak buahnya kemudian menjawab secara bersamaan, “Tentu saja tidak, Pak kades!” Setelah itu, mereka langsung membubarkan diri untuk melanjutkan tugasnya masing-masing sambil berusaha mencerna apa yang telah dikatakan oleh kades mereka.
***
            Anak laki-laki itu nampak sedang membuat pekerjaan rumahnya di meja makan yang ditemani oleh kakak laki-lakinya yang juga sedang mengerjakan tugas dari sekolahnya, sementara tidak jauh dari mereka, ayah dan ibunya nampak sedang berbincang-bincang, suara ayahnya terdengar keras dan sedikit emosi. Anak laki-laki itu berusaha menangkap pembicaraan ayahnya, yang sepulang dari pertemuan di balai desa nampak uring-uringan  dan sedikit emosi. Dengan emosi, ayah anak laki-laki itu mengatakan kalau orang-orang kota itu tidak tahu malu, mau mengambil tanah desanya seenaknya saja. “Tapi, mereka tidak akan mengambil begitu saja, Pak. Mereka pasti akan menggantinya kan?” Ibu anak laki-laki itu berusaha menenangkanya, tapi yang apa yang diharapkan sebaliknya, ayah anak laki-laki itu semakin bertambah emosi. “Apa! Itu sama saja kita menjual harga diri kita, menjual kehidupan kita dan anak cucu kita, Bu! Apa Ibu tidak pernah surat kabar dan melihat televisi, bagaimana mereka berjuang sampai tetes darah penghabisan, gara-gara tanah mereka diambil oleh orang-orang rakus seperti mereka itu!” Ibu anak laki-laki itu terdiam, dia membenarkan ucapan-ucapan ayah anak laki-laki itu. “Pokoknya, sampai kapan pun dan dengan alasan apa pun, aku tidak setuju kalau sebagian tanah desaini diambil oleh orang-orang kota itu! Habis isya nanti, aku mau ke Pak kades!”
            Anak laki-laki itu nampak tersenyum mendengar perbincangan antara ayah dan ibunya, membuat kakak laki-lakinya merasa keheranan. “Ada apa, kok kamu tersenyum?” Anak laki-laki itu tersenyum, ditutupnya buku pekerjaan rumahnya dan bangkit dari duduknya. “Kamu mau ke mana? Pekerjaan rumahnya sudah selesai belum?” Kakak laki-lakinya nampak tidak mengerti dengan anak laki-laki itu. “Sudah selesai!” Sebelum kakak laki-lakinya berkata kembali, anak laki-laki itu segera berlari menuju ke depan, mengambil sepedanya dan mengayuhnya dengan cepat, suara kakaknya yang memanggil tidak dihiraukannya.
            Anak laki-laki itu menghentikan sepedanya di depan rumah salah satu temannya. “Ada apa malam-malam begini ke rumahku?” Temannya tersebut merasa heran dengan kedatangan anak laki-laki itu.“Ayahku sedang marah-marah, tidak setuju dengan rencana orang-orang kota itu!”  Anak laki-laki itu berkata dengan semangat. “Sama. Ayahku juga, sekarang sedang berbicara dengan para tetangga di dalam. Sepulang dari pertemuan di balai desa siang tadi, ayahku uring-uringan terus, dan mengatai orang-orang kota itu!” Kedua anak laki-laki itu kemudian tersenyum, sesaat kemudian keduanya pergi dengan menggunakan sepeda masing-masing menuju rumah teman yang lainnya.
***
            Setelah isya, ayah anak laki-laki itu bersama para tetangga pergi ke rumah Pak kades, tidak sangka di tempat itu telah banyak warga yang berkumpul, yang ternyata mempunyai maksud yang sama dengan ayah anak laki-laki itu bersama para tetangganya. Setelah bertemu dengan Pak kades, masing-masing warga ingin menyampaikan pendapatnya, sehingga Pak kades harus menenangkannya, dan karena ruang tamu Pak kades yang tidak terlalu besar untuk menampung warga yang datang, akhirnya Pak kades menggelar tikar di teras rumahnya, nampak laki-laki itu duduk paling belakang di antara para warga yang datang di rumah pak kades malam itu.
Setelah hampir dua jam para warga dan Pak kades mengemukakan pendapatnya satu sama lain dan tidak menyetujui jika sebagian tanah desa mereka diambil orang-orang kota untuk dijadikan perumahan. Pak Kades pun menjanjikan akan diadakannya pertemuan besar desa di lapangan bola dalam wakru dekat, akhirnya para warga tersebut, termasuk ayah anak laki-laki itu pulang ke rumahnya masing-masing dengan perasaan agak sedikit tenang.
***
            Sore hari keesokan harinya, nampak banyak anak berkumpul di bahan pohon rindang, di pinggir lapangan, mereka nampak sibuk membuat tulisan-tulisan pada kertas-kertas dengan berbagai ukuran dengan peralatan tulis seadanya. Mereka nampak saling bertanya satu sama lainnya tentang apa yang akan mereka tulis. “Apa ini akan berhasil mencegah orang-orang kota itu merampas lapangan bola desa kita ini?” Salah seorang anak bertanya pada anak yang lainnya. “Kita coba saja, namanya juga usaha, yang penting orang-orang harus tahu, kalau kita juga mempunyai kepenringan dengan lapangan bola, kebun-kebun dan sawah-sawah desa ini.” Anak laki-laki itu berusaha menjelaskan. “Iya benar! Pokoknya lapangan bola ini, juga kenbun-kebun dan sawah-sawah desa ini, di mana kita sering bermain tidak boleh digusur!” Salah seorang anak berkata dengan semangat, yang langsung mendapat teriakan persetujuan dari yang lainnya. Mereka pun kembali melanjutkan pekerjaannya.
            “Apa yang sedang kalian kerjakan?” Suara berat seorang laki-laki mengejutkan anak-anak yang tengah tersebut, mereka pun langsung menoleh ke arah pemilik suara tersebut. “Eh, Mas lagi.” Anak laki-laki itu langsung mengenali sosok laki-laki itu. “Kalian sedang apa?” Laki-laki itu mengulangi pertanyaannya. “Bukannya Mas ini, yang menyuruh kami mencegah orang-orang kota itu mengambil lapanga bola, kebun-kebun dan sawah-sawah desa ini?” Anak laki-laki itu menjawab. Sedangkam laki-laki itu hanya tersenyum mendengarnya. “Tulisan apa yang kalian buat?” Beberapa anak langsung memperlihatkan tulisan-tulisan yang dibuatnya, laki-laki itu kemudian membacanya satu per satu. “Bagaimana menurut Mas?” Anak laki-laki itu mencoba meminta pendapat dari laki-laki itu, yang langsung menjawabnya dengan dengan acungan dua jempol tangannya sambil tersenyum.
            Setelah sselesai membuat tulisan-tulisan pada kertas-kertas, anak-anak itu langsung memasangnya di pinggir-pinggir lapangan, terutama yang dekat dengan jalan yang biasa dilalui oleh orang, dengan berbagai cara, dari yang menggunakan tongkat kayu, bambu, tali, sampai yang di temple di batang pohon. Sementara laki-laki itu hanya memperhatikan apa yang dikerjakan oleh anak laki-laki itu bersama teman-temannya dengan tersenyum dan wajah yang berseri, berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang nampak muram dan bersedih. Sedangkan apa yang telah dikerjakan oleh anak-anak itu mendapat perhatian dari orang-orang yang lewat maupun oleh orang-orang yang sengaja ingin pergi ke lapangan bola sore itu, mereka yang membaca tulisan-tulisan anak-anak itu nampak tersenyum dan memberi dukugannya. “INI LAPANGAN BOLA KAMI, TEMPAT BERMAIN KAMI, JANGAN DIAMBIL!”, “JANGAN AMBIL LAPANGAN BOLA, KEBUN DAN SAWAH KAMI!”, “JANGAN AMBIL TEMPAT BERMAIN KAMI!”, “BIARKAN KAAMI TETAP BERMAIN!”, itulah sebagian tulisan-tulisan yang dibuat oleh anak-anak itu.
            Kabar tentang apa yang dilakukan anak laki-laki itu bersama teman-temannya akhirnya sampai juga di telinga Pak kades, dan Pak kades menanggapinya dengan senyuman, entah senyuman yang berarti apa, hanya Pak kades dan Tuhan yang mengetahuinya.
***
            Dua hari kemudian, terjadi kejutan, tulisan-tulisan di lapangan bola itu menjadi semakin banyak, tidak lagi dikerjakan oleh anak laki-laki itu bersama teman-temannya tetapi oleh para warga desa, bahkan ada yang membuat spanduk dengan kain, yang berintikan bahwa mereka tidak akan menyerahkan apa yang telah menjadi miliknya, dengan alasan apa pun dan dengan janji apa pun, walaupun nyawa taruhannya. Bahkan yang lebih mengejutkan, hampir setiap rumah memasang tulisan-tulisan di depannya yang umumnya berisi penolakan terhadap rencana yang dibuat oleh orang-orang kaya dari kota itu. Kini, desa itu pun kelihatan ramai dan berwarna-warni dengan adanya tulisan-tulisan tersebut, yang jumlahnya hampir me;ebihi jumlah warganya.
            Beberapa hari kemudian, Pak kades mengadakan pertemuan besar desa, seperti yang dijanjikannya, di lapangan bola. Di sana para warga diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing di samping Pak kades dan beberapa orang yang dianggap pandai dan mempunyai pendidikan tinggi dan pengalaman cukup banyak memberikan pidato yang berisi nasihat-nasihat, akhirnya warga desa mempunyai kata sepakat untuk tidak menyerahkan sebagian tanah desanya kepada orang-orang kota itu, termasuk lapangan sepak bola kesayangan mereka, apa pun alasannya, dan berapa pun orang-orang kota itu akan membayarnya.Warga desa akan tetap mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya, yang merupakan titipan dari moyang mereka dan anak cucu mereka kelak, apa pun caranya walaupun dengan nyawa dan darah! Anak laki-laki itu bersdama teman-temannya yang ikut dalam pertemuan besar desa itu nampak bergembira, mereka ikut berteriak mendukung keputusan yang telah dibuat oleh warga desanya. Sementara laki-laki itu, yang duduk di bahwah pohon besar di pinggir lapangan bersama dengan warga desa lainnya, nampak tersenyum bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)