Dan laut pun menjadi sepi..... (epidode 25)

25.        Wisuda

 

Graha Wisuda nampak ramai. Para wisudawan yang memakai toga lengkap dengan topi wisuda berwarna hitam nampak mendominasi. Sebagian lain adalah keluarga para wisudawan yang berpakaian rapi. Canda, tawa dan senyum nampak menghiasi mereka. Papa, Mama, Bayu dan Lintang yang dalam keadaan hamil tua berada diantaranya. Mereka terlihat senang dan bahagia, terutama Mama. Papa sempat emosi dan langsung ditenangkan oleh Bayu dan Lintang ketika Mama menyebut Badai yang tidak bisa datang pada wisuda adiknya, padahal kebahagiaan Taufan akan semakin lengkap dengan kehadirannya.

Sekar datang setelah upacara wisuda selesai. Dia menyambut Taufan di pintu gedung graha wisuda. Papa, Mama, Bayu dan Lintang nampak senang melihatnya. Taufan sendiri sudah menduga kedatangan gadis cantik itu.

            “Selamat Fan, akhirnya kamu diwisuda,” ucap Sekar sambil menjabat tangan Taufan.
            “Terima kasih,” jawab Taufan tersenyum, kemudian dia memandang ke sekeliling. Lintang memperhatikannya.
            “Sebenarnya kamu mencari siapa sih, Fan? Mbak perhatikan dari mulai masuk ruangan, di ruangan, sampai keluar ruangan, kamu seperti gelisah mencari-cari seseorang. Bukankah Sekar sudah datang?” goda Lintang sambil mengelus-elus perutnya yang besar. Mama dan Bayu tersenyum mendengar perkataannya, sedangkan Sekar tersipu, wajahnya merona.
            “Iya! Siapa yang kamu cari Fan!” tukas Papa dengan nada curiga.
            Taufan terdiam. Tiba-tiba wajahnya berubah dan tersenyum. “Wulan!” teriaknya ketika melihat seorang gadis yang berjalan seorang diri memakai tunik berwarna toska muda dan celana panjang hitam dan sepatu teplek berwarna hitam. Dia  nampak kebingunan. “Wulan!” teriak Taufan kembali. Gadis itu menoleh. Taufan berlari ke arahnya.
            “Taufan! Kamu mau kemana!” teriak Papa. Taufan tidak memperdulikannya.
            “Taufan!” sambut Wulan tersenyum ketika melihat Taufan berlari kearahnya. Tanpa basa-basi Taufan langsung memeluknya dengan erat hingga membuat gadis manis itu terkejut.
            “Aku kira kamu tidak datang! Kamu tahu, aku sangat gelisah ketika tidak melihatmu tadi. Cukup Baruna yang tidak datang saat wisudaku. Aku tidak mau ketidakbahagianku semakin lengkap dengan ketidakhadiranmu.”
            Wulan tersenyum sambil menepuk-nepuk punggung Taufan. “Jangan bicara seperti itu. Masih ada keluargamu.”
            “Apa-apaan anak itu! Main peluk perempuan di tempat umum!” teriak Papa. “Apa dia tidak lihat di sini ada Sekar!”
            “Sabar Pa! Dia itu temannya Taufan,” kata Bayu menenangkan.
            “Kamu mengenalnya!”
            “Aku dan Sekar pernah bertemu dengannya.” Bayu mencoba membuat Papa tenang.
            “Benar begitu Sekar?” tanya Mama. Sekar yang sedang memperhatikan Taufan dan Wulan mengangguk pelan, kemudian menggigit bibirnya.
            “Dengan siapa kamu ke sini?” tanya Taufan setelah melepaskan pelukannya pada Wulan.
            “Aku sendirian naik motor.” Wulan memperhatikan Taufan dari kepala hingga kaki. “Kamu kelihatan jelek memakai toga!” tukasnya sambil tertawa.
            “Oh yah! Kalau begitu aku akan membukanya!” Taufan melepas topi wisudanya.
            “Tidak usah! Becanda! Lagipula kapan lagi kamu akan memakai toga seperti ini!”
            “Taufan!” teriak Papa.
             “Mereka keluargaku,” kata Taufan kepada Wulan, lalu menarik tangan gadis itu dan mengajaknya menemui keluarganya.    Taufan memperkenalkan Wulan kepada keluarganya, juga Sekar. Saat berjabatan tangan dengan Wulan, Sekar menatapnya penuh tanda tanya.
“Hai, ketemu lagi.” Wulan tersenyum kepada Sekar.
            “Jadi kamu anak nelayan dan tinggal di perkampungan nelayan?!” kata Papa tiba-tiba.
            “Betul Pak,” jawab Wulan tegas.
            “Kamu tidak kuliah?”
            “Papa!” seru Taufan. Dia sudah tahu kearah mana Papa akan berbicara. “Untuk apa Papa bertanya seperti itu! Dia temanku! Dia kuliah atau tidak itu bukan urusan Papa!”
            “Apa salahnya Papa tanya! Itu hal biasa. Bukan sesuatu yang tabu!”
            “Tapi!..” Taufan tidak melanjutkan kata-katanya karena Wulan sudah menyahutnya.
            “Iya, saya memang tidak kuliah. Saya hanya lulus SMA!” sahut Wulan.
            Bayu sudah dapat membaca apa yang akan terjadi antara Papa dan Taufan selanjutnya, untuk menghindarinya dia mengajak mereka semua untuk foto bersama dan setelah itu makan bersama di sebuah rumah makan.
Taufan mengajak Wulan, namun gadis itu menolaknya. Dia harus kembali ke perkampungan nelayan karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya.
            “Ini acara keluargamu, Fan. Aku tidak mau merusak kebahagian mereka. Terutama papamu!.”
            “Kamu keluargaku Lan! Seperti aku dan Baruna yang juga menjadi keluargamu!”
            Wulan tersenyum. “Maka dari itu aku ke sini. Aku sudah memenuhi permintaanmu!”
            “Tapi..”
            “Kalau tidak mau. Tidak usah kamu paksa Fan!” ujar Papa.
            “Iya benar kata bapakmu, Fan,” kata Wulan kemudian pamit pergi.
            “Wulan!” teriak Taufan. Wulan berbalik sesaat dan tersenyum kepada Taufan, setelah itu kembali berjalan dan pergi.
            “Kenapa Papa berkata seperti itu pada dia!” tukas Taufan.
            “Memangnya kenapa? Papa hanya bertanya. Apa itu salah?”
            “Tapi tidak menginterogasinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting itu!”
            “Sudah, sudah, sudah,” kata Mama yang melihat gelagat yang kurang menyenangkan antara suami dan anak bungsunya. Namun Papa dan Taufan sepertinya tidak mendengarnya.
            “Memangnya dia itu siapa!”
            “Dia temanku!”
            “Teman macam apa dia!”
            “Dia teman baikku Pa! Dia juga gadis yang baik!”
            “Baik bagaimana?! Main peluk laki-laki di depan umum!”
            Taufan mendengus. “Bukan dia yang memelukku Pa, tapi aku yang memeluk dia!”
            “Oh jadi begitu? Apa kamu tidak melihat Sekar ada di sini?! Ingat Fan, perjodohan itu akan tetap beranjut!”
            Sekar nampak menunduk.
            “Papa, Taufan, sudahlah, jangan rusak kebahagiaan hari ini dengan pertengkaran kalian yang tidak pernah ada ujung pangkalnya!” kata Lintang. Sementara mata Mama mulai berkaca-kaca.
            Taufan mendengus, dia ingin mengeluarkan seluruh isi hatinya, tentang apa yang dirasakannya, namun mengurungkannya karena tidak tega melihat Sekar, juga Mama. Melihat keadaan tersebut Bayu kembali mengajak mereka untuk segera merayakan wisuda Taufan dengan makan bersama seperti rencana yang telah mereka susun. Taufan dan Papa akhirnya diam. Mereka pun akhirnya pergi. Karena tidak ingin ada pertengkaran kembali antara Papa dan Taufan, Lintang menyuruh adik bungsunya itu ikut mobil Sekar.
            “Maaf, melibatkanmu dalam masalahku dengan Papa,” kata Taufan yang duduk di samping Sekar yang sedang menyetir.  
            Sekar tersenyum. “Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong dia itu cantik. Kalian sudah lama saling mengenal?”
            “Wulan?” Sekar mengangguk. “Baru beberapa bulan. Baruna yang memperkenalkanku dengannya. Dia lebih dulu mengenal Wulan. Dan kami bertiga akhirnya berteman baik.” Sekar mengangguk-angguk. Oh iya Sekar, tentang perjodohan itu…” Taufan mengalihkan pembicaraan.
            “Aku tidak mau membahasnya sekarang!” jawab Sekar cepat.
            “Maafkan aku,balas Taufan.  
            “Tidak ada yang perlu dimaafkan.”
            Keduanya kemudian terdiam dengan angan dan pikirannya masing-masing. Mobil terus berjalan mengikuti mobil depan yang dikemudikan Bayu.
            “Andai saja ada Mas Badai, juga Baruna,” benak Taufan sambil memandang keluar jendela kaca mobil.
***
            Suasana makan bersama yang seharusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan akhirnya berlangsung dalam suasana tegang. Bayu yang berusaha mencairan suasana dengan bertanya tentang rencana Taufan selanjutnya setelah mendapatkan gelar sarjananya tidak berpengaruh karena Taufan hanya menjawab singkat.
“Aku tidak perlu merencanakan apa-apa Mas. Semuanya terserah Papa!”
“Bagus! Akhirnya kamu sadar itu!” sahut Papa.
Lintang yang tidak ingin ada perdebatan lagi antara Papa dan adiknya akhirnya bertanya pada Sekar tentang kegiatannya dan rencana kedepannya. Saat Mama menyinggung soal perjodohan, Sekar hanya tersenyum tipis.
“Kalau memang jodoh pasti tidak akan kemana tante. Tapi perasaan tidak bisa dipaksakan.”
“Tapi kalian berjodoh!” sahut Papa.
Sekar tersenyum malu, sedangkan Taufan hanya terdiam sambil memainkan sedotan dalam gelas es jeruknya yang tinggal separuh.
“Aku doakan semoga kalian berjodoh!” kata Lintang sambil tersenyum.
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)