Dan laut pun menjadi sepi...(episode 4)
4. Berenang
Taufan
merasa lega, setelah seminggu sudah bolak balik ke kampus akhirnya proposal
skripsinya disetujui oleh dosen
pembimbingnya. Hal ini membuat Papa terlihat senang, begitu juga dengan Mama,
karena sudah beberapa hari tidak lagi terjadi pertengkaran antara suami dan
anak bungsunya.
“Bagus,
kamu mau menyelesaikan skripsimu, Fan,” kata Kosim ketika Taufan ke rumahnya.
“Itu
karena aku sudah berjanji dengan Papa, Mas. Bukankah yang diinginkan Papa hanya
ijazah dan gelar sarjana-ku! Bukan kebahagianku!”
“Hush!
Jangan ngomong seperti itu! Apa yang Papa-mu lakukan, itu semua juga demi
kebahagiaan dan kebaikanmu, Fan! Demi masa depanmu!”
“Bukan
demi aku, Mas! Tapi demi Papa sendiri!”
“Jangan
berkata seperti itu. Sebaiknya kamu ambil positifnya saja. Yaaa, setidaknya
dengan kamu menyelesaikan skripsimu membuat mama-mu senang, karena dia tidak
perlu lagi menangis melihat kamu bertengkar dengan papamu. Atau setidaknya,
kamu tidak nekat pergi seperti kakakmu!”
Taufan
terdiam, teringat Mama yang sealalu menangis jika dia bertengkar dengan Papa,
dan saat membaca surat dari Badai, kakaknya yang berada di daerah pedalaman.
***
Sabtu
siang, Taufan meminta ijin kepada Mama untuk pergi dan menginap di rumah
temannya. Papa yang mendengarnya langsung menegurnya. Saat itu Lintang sedang
ada di rumah.
“Kamu
mau pergi ke tempat orang-orang berguna itu! Untuk apa?! Lebih baik kamu pergi
ke rumah Bayu atau ke kantor Papa untuk menyelesaikan skripsimu!”
“Pa,
aku tidak ingin bertengkar dengan Papa saat ini! Aku tahu apa yang harus aku
kerjakan dan bukankah aku sudah berjanji pada Papa?! Tenang Pa, aku tidak akan
lupa akan janji itu!” tukas Taufan dan tanpa berkata lagi langsung pergi.
“Taufan!”
teriak Papa. Lintang mencoba menenangkannya dengan mengatakan kalau Taufan
bukan tipe laki-laki yang lupa akan janjinya. “Papa kuatir, jika dia bergaul
dengan seniman-seniman kampung tidak berguna itu akan membuat pendiriannya berubah!”
“Pa!
Jangan pernah menyebut seniman itu tidak berguna!” tukas Lintang dengan nada
sedikit tinggi. “Mereka mungkin tidak berguna bagi Papa! Tapi bagi orang lain,
mereka mungkin sangat berguna!” Papa memandang Lintang dengan tatapan tajam. Karena
tidak ingin bertengkar dengan Papa, Lintang berlalu dari hadapannya dan pergi
ke dapur, diikuti Mama.
***
Taufan
berjalan mendekati kapal-kapal nelayan yang bersandar di dermaga untuk mencari
Baruna, setelah sebelumnya bertemu dengan Wulan dan mengatakan kalau Baruna sedang
membantu ayahnya mempersiapkan segala sesuatu untuk dibawa
melaut mencari ikan malam nanti. “Taufan!” teriak
seseorang.
Dilihatnya Baruna sedang berdiri di sebuah
kapal nelayan berukuran sedang dengan dominasi warna merah dan kuning sambil
melambaikan tangan. Baruna menyuruhnya untuk naik ke kapal.
“Baru kali ini aku naik
ke kapal nelayan,” ujar Taufan setelah naik ke kapal.
Di atas perahu tersebut ada dua orang yang sedang sibuk
bekerja, satu orang sedang menggulung tali kapal yang besar dan satunya lagi sedang
membereskan tong-tong besar untuk menampung ikan. Baruna mengajaknya menemui
seorang.
“Hei,
kakimu sudah tidak pincang lagi?” tukas Taufan ketika melihat Baruna berjalan.
“Aku
sudah berjalan normal dan tidak sakit lagi sejak tiga hari yang lalu. Obat
gosok yang kamu berikan benar-benar ampuh!”
“Apa
aku bilang!” Taufan tersenyum.
Mereka berdua menemui seorang laki-laki yang sedang memeriksa
bahan bakar mesin kapal. “Pak Syamsul, ini temanku,
Taufan, yang ingin ikut menangkap ikan bersama kita.”
Syamsul, laki-laki
tinggi besar, berkulit coklat, berbadan kekar, berambut ikal hitam dengan wajah
cukup tampan dan mata hitam besar dengan tatapan tajam yang tidak lain adalah
ayah Wulan, tersenyum lalu menjabat tangan Taufan. Mata tersebut mengingatkan
Taufan akan Wulan dan Kakek.
“Baruna
pernah bererita katanya ada temannya yang ingin ikut melaut mencari ikan.”
Syamsul memperhatikan Taufan dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu yakin
mau ikut melaut besama kami? Nanti seperti Baruna saat pertama kali melaut mencari
ikan!” Syamsul tertawa sambil mengerlingkan matanya pada Baruna.
“Memangnnya
kenapa Pak?” tanya Taufan.
“Dia
mabuk laut! Muntah-muntah, akhirnya hanya berbaring saja di dalam kapal!”
Baruna menyeringai sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Kamu pernah naik kapal sbelumnya?”
“Pernah,
tapi kapal feri penyeberangan antar pulau. Itu pun siang
hari,” ungkap Taufan sambil tersenyum.
“Setidaknya
kamu pernah naik kapal.”
Setelah
selesai berbicara dengan Syamsul, Baruna mengajak Taufan melihat-lihat isi dan
bagian-bagian kapal.
“Bagaimana
skripsimu?”
“Tinggal
jalan! Tapi sebelum itu aku ingin penyegaran!”
Taufan
berdiri menatap laut lepas. Baruna berdiri di sampingnya. “Semua karena
papaku!” Baruna memandang Taufan dari samping sambil mengernyitkan dahinya.
Taufan kemudian menceritakan bagaimana hubungan dia dengan papanya. Sikap dan
keinginan papanya yang selalu bertentangan dengan dia dan kakak-kakaknya hingga
membuat mamanya selalu bersedih, apalagi setelah Badai, kakaknya pergi dari
rumah.
“Papamu
itu diktator ya!” komentar Baruna setelah selesai mendengar cerita Taufan.
“Jadi itu penyebab kamu kabur dari rumah?!”
“Sudah
kesekian kalinya aku pergi dari rumah. Sepertinya sudah menjadi agenda
wajibku!” Taufan tertawa datar. “Tapi aku selalu balik ke rumah lagi, karena
aku kasihan dengan Mama!”
“Mama.”
Baruna bergumam lirih.
“Lalu,
apa yang menyebabkanmu berada disini? Kamu juga melarikan diri dari rumah?
Atau, sekedar mahasiswa magang atau penelitian untuk skripsi?”
Baruna
tertawa. “Sudah kubilang, aku tinggal di sini! Aku seorang
nelayan!”
“Bukankah
aku pernah mengatakan, kalau kamu tidak ada tampang seorang nelayan! Kamu kuliah?”
“Aku sudah lulus. Gelar sarjana sudah aku dapatkan, meskipun aku
tidak ikut upacara wisuda!”
“Oh
yah?!” Taufan sedikit terkejut dan tidak percaya.
“Dan
aku tidak kabur atau melarikan diri dari apa pun atau siapa pun! Aku hanya
melarikan diri dari kenyataan!” Baruna tertawa datar, matanya menerawang jauh
ke laut lepas.
“Orang
tua atau saudara-saudaramu tidak mencarimu?” tanya Taufan penasaran sambil
memperhatikan wajah Baruna dari samping.
“Aku
anak tunggal, ayahku sudah meninggal dan ibuku sedang pergi, jadi tidak akan ada
orang yang mencariku. Ah sudahlah! Kita tidak usah membahas kenapa kita berada
di sini sekarang!” Baruna berbalik dan berjalan meninggalkan Taufan.
“Kamu
mau kemana?!” teriak Taufan.
“Aku
mau turun!” Taufan mengikuti. Keduanya turun dari kapal, keluar dari dermaga dan
berjalan di pantai.
“Kamu bisa berenang?” tanya Baruna.Taufan
mengangguk. Baruna mengajaknya belomba renang di laut.
“Siapa
takut!” kata Taufan.
Baruna
menentukan batas untuk berbalik, yaitu sebuah tonggak yang
biasa digunakan oleh para penduduk kampung nelayan sebagai batas untuk berenang.
“Bolak
balik dua kali! Yang kalah harus gendong yang menang dari sini sampai warung
makannya Wulan!”
usul Taufan.
“Deal!”
Keduanya saling berjabatan tangan.
Kemudian langsung melepas kaos masing-masing dan melemparkannya begitu saja di
atas pasir dan berjalan ke air.
“Kita
mulai di sini!” seru Baruna, ketika air laut sudah berada di atas lutunya. Taufan
mengangguk. Baruna memberikan aba-aba, pada hitungan ketiga mereka sudah terjun
ke laut.
Setelah
bolak-balik dua kali. Taufan menang
dengan terlebih dahulu sampai. Dengan nafas yang masih
tersengal-sengal Taufan tertawa senang. “Bagaimana bisa seorang yang mengaku
nelayan kalah berenang dengan seorang yang bukan nelayan!” ledeknya ketika
melihat Baruna yang baru keluar dari air.
“Aku
akui, sebagai orang yang sedang mengalami depresi, ternyata tenagamu cukup
kuat!” tukas Baruna dengan nafas yang juga masih tersengal-sengal berjalan mendekati
Taufan yang duduk di pasir. “Besok, aku pasti menang melawanmu!” ujarnya lagi
sambil duduk dan memukul lengan Taufan.
“Tapi
janji tetaplah janji, kamu harus mengendongku sampai ke warung makan ibunya
Wulan dan mentraktirku makan!”
“Hei!
Itu tidak ada dalam perjanjian awal!”
“Itu
janji yang dulu, waktu pertama kita bertemu, kalau lain kali kamu yang akan
mentraktirku makan! Nah, sekarang aku menagihnya! Sehabis berenang perutku
terasa lapar!” Taufan berdiri sambil tertawa, kemudian mengambil kaosnya dan
memakainya.
“Kamu
memanfaatkan keadaan Fan!” protes
Baruna, juga mengambil kaosnya dan memakainya. “Baiklah,
aku mengakui kekalahanku! Sekarang aku akan
menggendongmu!” Sambil tertawa Taufan naik ke punggung Baruna.
“Ternyata kamu berat juga! Seharusnya orang yang sedang punya masalah itu kurus
dan ringan, tidak seberat ini!” Taufan yang masih tertawa lalu menyuruh Baruna
untuk berjalan lebih cepat. “Kalau kamu ringan, aku pasti bisa menggendongmu
sambil berlari!” Baruna mempercepat langkahnya dan berbelok
ke laut.
“Hei,
kamu mau kemana!” protes Taufan, namun Baruna tidak menghiraukannya bahkan
berjalan semakin cepat, ketika sudah berada di air melepaskan pegangannya dan
menjatuhkannya di air. “Apa yang kamu lakukan! Ini curang namanya!” teriak
Taufan. Baruna berlari menuju pantai sambil tertawa. Taufan mengejarnya. Setelah
berhasil mencapai Baruna, langsung menubruknya, hingga keduanya sama-sama
jatuh. “Kamu harus memenuhi janjimu untuk menggendongku!” teriak Taufan.
“Sudah
kubilang badanmu itu berat!” Baruna tertawa sambil menyingkirkan tubuh Taufan
yang menimpanya, lalu duduk di atas pasir, sedang Taufan tidak ikut bangkit,
dia berbaring dengan kedua tangan di belakang kepalanya.
“Sudah
lama sekali aku tidak bermain seperti ini di pantai. Terakhir aku lakukan ketika
aku SMA, bersama Badai, kakakku!” Taufan
menatap langit.
Baruna
menoleh dan memperhatikannya. “Sekarang kakakmu berada di mana?”
Taufan
menghela nafasnya. “Bahagia dengan hidup dan cita-citanya, menjadi guru di
daerah pedalaman Papua. Itu yang tertulis di dalam suratnya satu bulan yang lalu!”
“Hei!
Kalian mau di sini sampai kapan! Kalian ditunggu ayah di warung!” Terdengar
suara Wulan. Baruna menoleh ke belakang dan Taufan memiringkan wajahnya. “Dan aku tidak mau ada orang masuk ke warungku
dalam keadaan basah dan kotor begitu!” Wulan berbalik dan berjalan pergi.
“Iya
nyonya galak!” teriak Baruna, lalu tertawa. Seperti biasanya, Wulan tidak
menghiraukannya.
“Semakin
galak, dia semakin menarik!” Taufan tersenyum.
“Kamu
suka dia?”
Taufan
tertawa. “Aku paling tidak bisa menghadapi perempuan galak!” Baruna pun ikut
tertawa. Keduanya kemudian bangkit berdiri, lalu berjalan menuju ke warung
makan.
***
Sore
hari, Taufan dan Baruna duduk bersama Kakek yang sedang membetulkan
jaring ikan yang rusak dan sobek di bawah pohon kelapa. Sambil tangannya
bekerja Kakek bercerita tentang pengalaman-pengalamannya sebagai nelayan waktu
muda, juga bercerita apa yang pernah diceritakan oleh ayah dan kakeknya kepada dirinya saat-saat susah masa perang kemerdekaan.
Taufan sangat senang mendengarkannya, selama ini dia tidak pernah mendengar
cerita apa pun dari kakeknya, baik kakek dari Papa maupun Mama, karena keduanya
sudah meninggal ketika dia lahir dan hanya mengenalnya dari cerita-cerita Mama
dan Papa juga foto-foto yang ada.
***
(Jangan lupa baca kelanjutannya di episode 5.....)
Komentar
Posting Komentar