Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 15)



15.        Lulus


Setelah beberapa kali perbaikan dan revisi, akhirnya tiba waktunya Taufan untuk mempresentasikan dan mempertanggunggungjawabkan isi skripsinya dalam sidang di depan dosen penguji. Hampir dua jam Taufan menjawab dan menjelaskan kepada tiga orang dosen pengujinya tentang apa yang dia tulis dalam skripsinya. Jam dua siang Taufan akhirnya keluar dari ruang siding. Beberapa temannya menyambutnya di depan pintu ruang sidang.
“Bagaimana Fan?” tanya Nina, seorang teman perempuannya.
“Dibantai gak Fan, sama si killer itu?” sahut Donny.
“Lulus atau disuruh ngulang?!” tanya Fajar.
Taufan memasang muka sedih, membuat teman-temannya mengernyitkan dahi dengan tatapan penasaran, namun sesaat kemudian Taufan berteriak. “Aku luluuuuuuuuuusssss!!!” Teman-temannya langsung berteriak senang dan memeluk Taufan.
“Wah! Sebentar lagi jadi menikah dong, Fan! Si Sekar sudah terlalu lama menunggu tuh!” ujar Nina yang juga teman Sekar. Taufan tertawa.
“Si Taufan mah enak! Setelah lulus bisa langsung kerja di perusahaan papanya! Tidak usah cari-cari dan ngelamar-ngelamar pekerjaan kayak kita!” ujar Donny.
“Pastilah! Bapaknya kan bos, pengusaha besar!” sahut Fajar.
Taufan tertawa. “Kalian bisa saja! Kalau kalian mau, kalian bisa bekerja dengan papaku, menggantikan aku!”
“Serius Fan?!” seru teman-temannya hampir bersamaan.
Taufan mengangguk sambil tersenyum.
“Aaaah, lupakan dulu soal kerja! Sekarang waktunya makan-makaaaan! Bukan begitu teman-teman?” kata Donny.
“Bettuullll!” teriak yang lainnya.
Taufan kemudian mengajak teman-temannya pergi ke rumah makan padang yang terletak tidak jauh dari kampus untuk mentraktirnya makan-makan seperti janjinya jika dia dinyatakan lulus.
“Jadi benar, kamu akan langsung bekerja di tempat papamu, Fan?” tanya Nina.
“Entahlah!”
“Kenapa? Kamu ingin kerja di tempat lain? Atau, membuka usaha sendiri?”
Taufan mengangkat kedua bahunya. “Sudahlah, jangan pikirkan soal itu! Sekarang mari kita makan!” Taufan mempersilakan teman-temannya untuk menyantap masakan padang yang telah dipesannya. Ketika sedang menikmati masakan padang tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Taufan mengangkatnya dan terdengar suara Papa.
“Kamu sudah selesai sidang? Bagaimana hasilnya?”
“Ya Pa! Aku sudah selesai sidang! Aku lulus!”
“Sekarang kamu dimana?”
“Aku sekarang sedang bersama teman-teman!” Taufan lalu mengatakan keberadaannya setelah itu menutup handphone-nya.
“Papamu Fan?” tanya Fajar.
Taufan mengangguk lalu terbatuk.
“Cieeeh… kayaknya mau langsung dikasih kedudukan tuh, di kantor!” celetuk Nina.
Taufan tertawa kecil. Selesai makan dia dan teman-temannya keluar dari rumah makan tersebut, di tempat parkir telah menunggu Pak Dirman di samping mobil Papa.
“Mas Taufan!” teriak Pak Dirman.
“Wah, Fan! Dijemput papamu, tuh!” goda Donny.
“Wuih! Kayaknya mau dikasih surpraise nih!” sahut Fajar.
Taufan tersenyum kecut. “Baiklah, aku duluan ya!”
“Fan! Jangan lupa undangan nikahnya ya!” teriak Nina.
Taufan tidak menjawab, hanya melambaikan tangannya. Setelah sampai di depan Pak Dirman, Taufan langsung menyapa laki-laki setengah baya itu. “Siang Pak Dirman.”
“Siang Mas Taufan. Selamat ya Mas,” kata Pak Dirman.
“Terima kasih, Pak. Semua karena doa Bapak.”
“Dengar dan turuti saja maunya Bapak Mas,” bisik Pak Dirman sebelum anak bungsu majikannya itu membuka pintu mobil. Taufan tersenyum lalu masuk ke  mobil. Sementara teman-temannya sudah kembali ke kampus.
Saat berangkat untuk sidang skripsi Taufan diantar oleh Pak Dirman, sebenarnya dia ingin menggunakan sepeda motornya seperti biasanya tapi Papa menyuruhnya untuk diantar oleh Pak Dirman dengan alasan supaya tetap fresh dan tenang, tidak terpengaruh keruwetan jalan raya. Mama pun menyuruhnya seperti itu.
“Turuti saja Fan, toh tidak ada ruginya. Jangan membuat pikiranmu menjadi kacau karena berdebat dengan papamu. Ingat, ini hari yang sangat berarti untukmu!” kata Mama. Taufan akhirnya menurut. Saat di jalan Pak Dirman pun mengatakan hal yang sama dan dia berdoa semoga anak majikannya itu diberi kelancaran dalam menghadapi ujian skripsinya.
“Akhirnya kamu lulus juga Fan!” Papa tersenyum.
“Papa mau ajak aku kemana?!”
“Ke kantor Papa!”
“Mau apa!”
“Papa mau memperkenalkan kamu pada karyawan papa!”
“Aku sudah mengenal mereka dan mereka sudah mengenalku!”
“Tidak sebagai anak Papa! Tetapi sebagai calon pengganti Papa suatu hari nanti!”
“Tapi Pa!...” Taufan tidak melanjutkan kata-katanya karena teringat pesan Pak Dirman.
“Memang tidak sekarang! Tapi kamu harus belajar pada orang-orang yang sudah berpengalaman, seperti Bayu dan Sekar! Tidak hanya satu bagian atau bidang saja, tapi kamu harus menguasai semua bagian dan bidang!”
Taufan terdiam, pandangannya diarahkan ke luar jendela mobil. Pikirannya melayang bagaimana dia ingin merayakan kelulusannya bersama Baruna, Wulan, Kakek, Syamsul  dan yang lainnya di pantai.
***
Papa turun dari mobil dengan senyum mengembang sedangkan Taufan hanya terdiam tanpa semangat.
“Tahan diri, Mas. Jangan ribut dengan Bapak di depan anak buahnya,” kata Pak Dirman sebelum Taufan turun dan melihat wajah anak majikannya itu tertekuk.
“Iya Pak. Aku juga sedang malas untuk berdebat dan bertengkar dengan Papa.”
Papa membawa Taufan dari bagian satu ke bagian yang lain dengan ditemani oleh Bayu dan mengatakan kalau anak laki-lakinya tersebut telah lulus menjadi sarjana dan siap menjadi bagian dari mereka.
“Kalian harus mengajarinya segala sesuatu tentang perusahaan ini!” Begitulah kata Papa. Taufan hanya terdiam tanpa berkomentar satu patah kata pun.
“Selamat ya Fan, kamu lulus dan selamat bergabung juga dengan kami di sini,” ucap Bayu setelah selesai acara kunjungan ke bagian-bagian kantor ketika berada di dalam lift turun sedangkan Papa harus menemui tamunya yang dari Malaysia.
Taufan tersenyum. “Aku tidak layak berada di sini dan menjadi pengganti Papa. Mas Bayu yang sebenarnya layak!”
“Kamu ngomong apa Fan. Kamulah anak laki-laki penerusnya!”
Taufan tertawa sinis. “Kalau tidak becus, apalah gunanya! Mas Bayu juga anak laki-laki Papa!”
“Kamu ada-ada saja, Fan! Aku ini hanya menantu! Tidak kurang dan tidak lebih.”
“Menantu juga anak Mas! Tidak ada perbedaannya!” Taufan menepuk punggung kakak iparnya tersebut.
Saat di lantai tiga pintu lift terbuka, Sekar masuk.
“Oh iya, aku akan ke bagian keuangan dulu,” ujar Bayu sambil tersenyum dan mengedipkan mata kirinya pada Taufan. Bayu keluar lift. Taufan tahu betul itu adalah alasan kakak iparnya saja supaya dia berdua dengan Sekar.
“Selamat ya Fan. Akhirnya kamu lulus juga,” kata Sekar sambil tersenyum.
“Terima kasih. Sangat terlambat dibandingkan kamu ya?” Taufan tertawa.
“Tidak juga, masih banyak teman-teman kita yang belum lulus kok!”
“Maksudnya si Nina, Donny and the genk itu?”
“Siapa lagi!”
“Ah! Itu sih memang mereka sengaja, katanya masih enak jadi mahasiswa!”
Keduanya kemudian tertawa. Taufan terbatuk-batuk.
“Kamu sakit Fan?”
“Tidak! Hanya tenggorokan agak gatal saja. Ngomong-ngomong kamu mau kemana?” tanya Taufan sambil melihat tas berisi berkas-berkas yang dibawa Sekar.
“Aku mau ke kantor pajak, ada yang harus diperbaiki soalnya tadi ada kesalahan. Kamu sendiri?”
“Pulang ke rumah!”
“Lalu, a…” Sekar belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika pintu lift terbuka di lantai satu. Keduanya pun keluar dan berjalan menuju loby lalu keluar kantor. Sekar sudah ditunggu oleh sopir kantor yang akan mengantarkannya ke kantor pajak.
“Tadi kamu mau ngomong apa?” tanya Taufan ketika Sekar akan membuka pintu mobil.
Sekar tersenyum. “Tidak apa-apa. Bukan hal yang penting!” ujarnya lalu masuk ke mobil dan menutup pintu. Beberapa saat kemudian mobil tersebut berjalan. Taufan menatap kepergiannya.
“Mas Taufan!” suara Pak Dirman yang berjalan kearah Taufan. “Mas Taufan mau pulang?” Anak laki-laki majikannya itu mengangguk. “Saya antar Mas.”
“Tidak usah Pak, biar saya naik angkutan umum saja.”
“Bapak tadi bilang, saya disuruh antar, kalau Mas Taufan mau pulang, soalnya Bapak masih lama.”
“Terima kasih Pak. Saya naik angkutan umum saja.”
“Tapi Mas…”
“Tenang saja, saya tau jalan kok, tidak bakalan kesasar.”
 “Mas Taufan tidak habis bertengkar lagi dengan Bapak, kan?”
Taufan tersenyum. “Tidak Pak. Buktinya Papa mau berbaik hati menyuruh Pak Dirman mengantarkan saya pulang.”
“Iya juga. Saya senang melihatnya, Bapak sama Mas Taufan akur. Bapak itu sebenarnya sangat sayang sama Mas Taufan, itulah sebabnya Bapak suka marah-marah sama Mas.”
Taufan tersenyum. “Baiklah Pak Dirman, saya pulang dulu!”
“Mau saya panggilkan taksi, Mas?”
“Tidak usah, saya naik bus kota saja.”
“Kalau begitu, hati-hati di jalan!”
Taufan pergi meninggalkan area kantor papanya menuju jalan raya dan memberhentikan bus kota. Bus yang ditumpangi Taufan tidak terlalu penuh, karena belum jam pulang kerja. bahkan dia masih bisa mendapatkan kursi di dekat jendela.
“Iya juga. Saya senang melihatnya, Bapak sama Mas Taufan akur. Bapak itu sebenarnya sangat sayang sama Mas Taufan, itulah sebabnya Bapak suka marah-marah sama Mas.”Kata-kata Pak Dirman terngiang di telinga Taufan saat dia duduk memperhatikan lalu lintas jalan raya dari balik jendela bus kota.
“Aku tahu Papa menyayangiku, juga Mas Badai dan Mbak Lintang! Tapi bukan seperti itu cara menyanginya Pa! Memaksakan kehendak Papa pada kami!” benak Taufan. “Papa itu ayah kami! Bukan diktator seperti yang dikatakan Baruna!” Pikiran Taufan langsung beralih kepada Baruna. “Ah Baruna! Dia belum kuberitahu tentang kelulusanku! Tanpanya aku mungkin belum bisa menghadapi sidang skripsi hari ini. Malam ini aku harus ke sana! Aku ingin merayakannya bersama mereka!” Senyum tipis terulas di bibir Taufan. “Aku juga harus memberitahukan Mas Kosim dan Mas Dayat! Lebih baik aku mampir ke rumahnya dulu!” Lamunan Taufan buyar ketika bus kota berhenti di sebuah lampu merah dan mendengar seorang pengamen, laki-laki yang mungkin seumuran dengannya menyanyikan sebuah lagu lama Ebiet G. Ade dengan gitar tuanya. Lampu pun berganti hijau, pengamen itu masih terus bernyanyi hingga lagu kedua. Setelah lagu kedua pengamen tersebut berterima kasih dengan kata-kata yang sudah hafal diluar kepala karena setiap saat dia mengatakannya, lalu membuka topinya an menyodorkan ke setiap penumpang. Taufan mengambil uang sepuluh ribu yang ada di kantong bajunya, kembalian dari rumah makan padang setelah mentraktir teman-temannya, menaruhnya di topi pengamen yang disodorkan padanya. Si pengamen nampak tidak percaya lalu memperhatikan wajah Taufan. “Ambil saja. Teruslah berkarya Mas!” ucap Taufan sambil tersenyum.
“Terima kasih Mas!” Raut senang nampak jelas di wajah pengamen itu.
Saat bus berhenti di sebuah halte pengamen itu turun, dan berteriak terima kasih dari luar ketika melihat Taufan di jenela. “Sekali lagi terima kasih Mas! Saya pasti akan terus berkarya!” teriaknya. Taufan tersenyum sambil melambaikan tangannya. Bersamaan dengan itu naik seorang perempuan berpakaian rapi dan duduk di depan Taufan, aroma wangi segar tercium ketika angin menerpanya saat bus kembali berjalan.
“Mirip aroma Sekar!” benak Taufan, lalu teringat akan gadis cantik yang akan dijodohkan dengannya tersebut. “Aku tahu kamu pasti akan menanyakan bagaimana rencanaku setelah aku lulus dan sudah bekerja?” Taufan menghela nafasnya kemudian terbatuk. “Maafkan aku Sekar! Kamu memang gadis yang terbaik yang dipilihakan Papa untukku! Tapi aku tidak layak untuk menerimamu! Aku bukan yang terbaik untukmu! Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan!” Taufan kemudian teringat akan kejadian dengan Baruna sore itu. “Aku benar-benar tidak tahu! Perasaan apa yang sebenarnya dalam diriku!”
Taufan tersentak ketika kondektur bus kota meneriakkan sebuah tempat, dia segera bangkit dari duduknya. “Kiri bang!” teriaknya. Setelah turun lalu menghentikan sebuah angkutan kota.
***
Taufan ke rumah Kosim. Dia bertemu dengan Kosim dan Dayat. Kedua orang itu merasa senang saat mengetahui Taufan lulus dalam sidang skripsinya. Kedua orang itu  baru pulang menghadiri pertemuan para seniman yang akan mengadakan pameran lukisan dua bulan akan datang. Kosim dan Dayat berniat menyertakan lukisannya dalam pameran. Taufan menyerahkannya pada kedua orang tersebut.
Untuk merayakan kelulusan Taufan, Kosim meminta istrinya untuk membuatkan kopi.
“Papamu pasti sangat senang dan bahagia,” ujar Dayat.
“Begitulah!” Taufan duduk di kursi, kemudian bercerita tentang bagaimana dia dibawa Papa ke kantornya.
“Apa salahnya menuruti keinginan papamu, Fan. Tidak ada ruginya, kan?” anjur Kosim.
            “Itu bukan duniaku Mas. Aku tidak bisa.”
“Kamu belum mencobanya!”
Layla, istri Kosim atang sambil membawa nampan berisi dua cangkir kopi dan sepiring pisang goreng. “Selamat ya Fan, kamu lulus. Kapan wisudanya?” kata Layla.
“Acara wisuda di kampus sekitar dua bulan lagi.”
“Mbak doakan semoga semuanya berjalan lancar, Fan.”
“Terima kasih Mbak.”
Layla kemudian kembali ke belakang.
Hari menjelang sore, Taufan pulang ke rumah. Mama menyambutnya dengan pelukan dan senyuman bahagia.
“Papa sudah bercerita Fan,” kata Mama sambil melepaskan pelukannya.
Taufan tersenyum lalu terbatuk-batuk.
“Akhir-akhir ini Mama lihat kamu sering terbatuk-batuk, apa kamu sakit Fan? Badanmu juga jadi lebih kurus.” Mama nampak kuatir.
 “Tidak apa-apa Ma, mungkin karena aku kecapekan saja. Tidak ada yang perlu dikuatirkan!”
Mungkin karena skripsimu, Fan. Makanya untuk menebus semua itu malam ini harus dirayakan! Mama sudah minta Asri membuat masakan kesukaanmu, iga bakar dan sop sum-sum tulang sapi. Mama juga mengundang Lintang dan Bayu.”
Taufan mengangguk sambil tersenyum,. Dia sangat senang saat melihat wanita yang sangat disayanginya itu sangat bahagia.
***
Malam hari, Taufan makan bersama dengan keluarganya. Rasa bahagia begitu terlihat pada Mama, dia tidak henti-hentinya menanyakan bagaimana sidang skripsi yang dihadapi anak laki-laki bungsunya tersebut. Pembicaraan kemudian didominasi oleh Papa yang membicarakan tentang rencana-rencananya pada Taufan dan perusahaan. Taufan hanya terdiam, walaupun sebenarnya ingin mengatakan kalau dia tidak menginginkan apa yang diinginkan Papa terhadap dirinya.
“Sekar! Seharusnya dia diundang sekarang, untuk merayakan kelulusanmu. kata Papa tiba-tiba. Taufan langsung menghentikan makannya. “Papa senang akhirnya kamu bisa semakin dekat dengannya!”
“Oh yah? Betul begitu Fan?” Mama nampak senang.
“Kami memang dekat. Tapi tidak seperti yang Papa pikirkan! Aku dan dia…” Taufan tidak melanjutkan kata-katanya, karena dia yakin Papa tidak mau tahu, apalagi melihat Mama yang begitu antusias ketika mendengar Papa mengatakan kalau dia semakin dekat dengan Sekar.
“Tidak ada alasan kamu untuk menolaknya Fan,” kata Mama sambil tersenyum.
“Lagipula apa salahnya, Sekar gadis yang baik, pintar dan juga cantik,” tambah Bayu. Lintang yang duduk disampingnya dengan perut yang semakin besar tidak berkomentar apa-apa, dia melirik ke adiknya yang semakin tidak nyaman dengan pembicaraan tentang Sekar.
Tiba-tiba terdengar suara dering telephon.
“Biar Mama yang angkat!” Mama berdiri. Beberapa saat kemudian terdengar teriakan Mama. “Badai!”
Mendengar nama Badai disebut Papa langsung membanting sendok dan garpu yang dipegangnya di atas piring. Taufan, Lintang dan Bayu sempat kaget. Kemudian terdengar Mama berteriak. “Badai, kamu di mana? Kamu baik-baik saja? Kami di sini benar-benar merindukanmu! Pulanglah Nak! Kamu tahu, Taufan hari ini sidang skripsi dan dinyatakan lulus!”
“Buat apa dia telephon! Apa akan mempengaruhi adiknya supaya mengikuti jalannya itu!” tukas Papa.
“Pa!” seru Taufan dan Lintang bersamaan. Namun Papa tidak menghiraukannya, dia langsung berdiri dan meninggalkan meja makan. Taufan dan Lintang pun beranjak dan pergi ke tempat Mama yang sedang berbicara dengan Badai. Bayu hanya menghela nafasnya. Kembali terdengar suara Mama yang sedang berbicara dengan Badai ditelephon. “Lintang sedang hamil, usia kandungannya sudah menginjak bulan kedua! Sebentar lagi kamu bakal mempunyai keponakan dan menjadi seorang om! Oh iya Badai, ini Taufan dan Lintang ingin berbicara denganmu!” Taufan dan Lintang pun kemudian berbicara dengan Badai. Mama yang baru saja berbahagia kembali bersedih ketika kembali ke meja makan dilihatnya Papa yang sudah tidak ada lagi, hanya ada Bayu yang sedang duduk sendiri. Bayu yang tahu betul bagaimana mertuanya tersebtu, dia langsung berdiri dan mendekati Mama dan mencoba menghiburnya.
“Semua pasti ada akhirnya Ma. Mama harus bersabar,” ujar Bayu sambil membelai lembut punggung Mama. Mama mengangguk pelan dan berusaha untuk tersenyum.
***
(Masih lanjut ya di episode 16..................)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)