Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 13)



13.        Cerita

Dua bulan, Taufan akhirnya selesai menyusun skripsinya. Setelah menyerahkan kepada dosen pembimbingnya di kampus untuk diperiksa dia pergi ke rumah Kakek dengan membawa peralatan lukisnya. Dia pernah berjanji akan melukis orang tua tersebut. Baruna tidak ada di rumah karena sedang bersama Syamsul memperbaiki bagian-bagian kapal yang rusak.
Satu jam lebih, akhirnya Taufan selesai melukis Kakek. Kakek sangat senang melihat lukisan dirinya.
“Lukisanmu bagus! Kakek sepertinya jauh lebih muda dan lebih ganteng dari aslinya!” Taufan tersenyum. “Tidak semua orang bisa melukis sebagus ini, Fan. Kamu wajib bersyukur karena telah diberi kelebihan. Orang tuamu pasti bangga mempunyai anak berbakat sepertimu.”
Taufan tersenyum kecut. “Andai saja Papa bangga, seperti yang Kakek katakan!” benaknya berkata.
“Apa lukisan ini untuk Kakek?”
“Yah, itu memang untuk Kakek, tapi nanti aku perhalus dan aku bingkai lukisannya, biar bisa dipasang di dinding.”
“Ah, begini saja sudah bagus!” Kakek tersenyum sambil terus memandangi lukisan dirinya.
Setelah membereskan peralatan lukisnya dan Kakek masuk ke dalam rumah, Taufan berjalan pergi, tempat yang ditujunya adalah warung makan ibunya Wulan.
 “Kamu tidak membuat kerupuk ikan?” tanya Taufan kepada Wulan.
“Sudah selesai, baru saja aku mengantarkan pesanan, lalu langsung ke sini.” Taufan terdiam dan menghela nafasnya. Wulan memperhatikannya. “Ada apa? Sepertinya ada yang ingin kamu katakan.”
“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu?”
Wulan tersenyum. “Tentang apa? Anak bengal itu?!” Taufan mengangguk. “Memangnya kamu mau tanya apa?”
“Siapa dia sebenarnya dan bagaimana dia sampai disini?”
Wulan mengajak Taufan keluar. Mereka ke pantai. Langit siang itu agak sedikit mendung sehingga udara tidak terlalu panas.
“Sejujurnya, aku juga tidak terlalu banyak mengenal dia selama hanpir empat bulan ini. Kenapa dia sampai di sini?” Wulan terdiam sesaat kemudian menghela nafasnya. “Sore itu, hampir empat bulan yang lalu.” Wulan mulai bercerita.
Wulan yang sedang berjalan di pantai setelah menemui Iqbal, melihat seseorang di laut, badannya masuk ke air laut hingga yang terlihat hanya kepalanya. “Itu orang kenapa? Sore-sore begini seorang diri berendam di air laut? Mau cari kesaktian?” pikir Wulan. Semakin lama diperhatikan, kepala orang tersebut makin menghilang kedalam air. “Orang sinting!” tukasnya, kemudian melangkahkan kakinya untuk berjalan pulang, namun tiba-tiba ada perasaan tidak enak menjalarinya. Baru sepuluh langkah berjalan, gadis itu menengok kembali ke tempat di mana orang yang dianggapnya sinting tersebut. “Kenapa dia tidak muncul lagi ke permukaan? Apa dia menyelam?” pikirnya, namun hati kecilnya berkata lain. “Tapi sepertinya ada yang tidak beres! Jangan-jangan itu orang mau bunuh diri menenggelamkan diri ke laut!” Wulan panik karena saat itu hanya seorang diri. Tanpa pikir panjang dia berlari ke laut, menceburkan diri, berenang untuk menolong orang tersebut. Ketika sampai di tempat dimana orang tersebut menghilang, Wulan menyelam mencarinya. Matanya kemudian menangkap sesosok yang melayang. Mendekatinya, menangkap tangannya dan membawanya ke permukaan lalu menariknya ke pantai. Wulan berusaha untuk menyadarkan orang yang ditolongnya tersebut, seorang laki-laki. “Ayo bangun! Aku tidak mau menjadi saksi orang yang bunuh diri di laut!” teriaknya sambil menekan dada laki-laki tersebut dengan kedua tangannya. Setelah kesekian kalinya akhirnya usahanya berhasil, laki-laki tersebut terbatuk dan membuka matanya. “Syukurlah kamu tidak jadi mati!” Wulan merasa lega.
Laki-laki itu terbatuk beberapa kali, lalu dia berusaha untuk duduk. “Kenapa kamu menolongku?” ujarnya dengan terbatuk kepada Wulan yang duduk dengan berlutut di sampingnya.
“Sudah kewajiban orang untuk menolong sesamanya. Lagipula siapa lagi yang akan menolongmu! Hanya ada aku disini!”
“Semestinya kamu tidak perlu menolongku dan membiarkan aku tenggelam di dasar laut!”
“Apa!” Wulan terkejut. “Jadi dugaanku benar! Kamu mau bunuh diri!” Laki-laki itu terdiam. “Oh Tuhaan!” Laki-laki itu kemudian bangkit dari duduknya, badannya terhuyung, dengan sisa-sia tenaganya dia berjalan menuju ke laut. Wulan terkejut dan berteriak. “Hei! Kamu mau kemana! Mau mencoba bunuh diri lagi!”
“Bukan urusanmu!” tukas laki-laki itu.
“Memang bukan urusanku, tapi kini kamu ada di hadapanku, jadi menjadi urusanku! Aku tidak mau menjadi saksi orang yang bunuh diri!” Laki-laki itu tidak menghiraukannya, terus saja melangkah sempoyongan menuju ke laut.”Hei!” Wulan mengejarnya dan menarik tangannya. “Kalau mau bunuh diri jangan di depan orang dan disini! Pergi saja ke jembatan atau gedung bertingkat limapuluh lalu terjun!” Laki-laki itu menepis tangan Wulan. Tiba-tiba tangan Wulan melayang dan menamparnya dengan keras sehingga membuatnya terhuyung. “Dengar! Hanya orang bodoh yang tak beriman dan tak beragama yanga melakukan bunuh diri! Itu dosa! Karena mendahului kehendak Tuhan!” maki Wulan.
Laki-laki itu terdiam, lalu menjatuhan dirinya, hingga duduk berlutut dan kemudian berteriak dengan keras. “Aaaaaaaaaaa!”
“Kalau kamu punya masalah, bukan bunuh diri penyelesainnya!” Nada suara Wulan merendah. “Sebaiknya kamu pulang, merenung untuk mencari penyelesaian masalahmu!”
“Aku tidak punya rumah! Dan aku tidak tahu harus pergi kemana!”
“Orang tuamu! Saudaramu!” Laki-laki itu menggelengkan kepalanya. Wulan menghela nafasnya, kemudian melihat ke sekelilingnya. “Hari sudah terlalu sore. Baiklah, hari ini aku berbaik hati padamu. Untuk malam ini kamu bisa menumpang di rumah Kakekku, karena ini kampung nelayan tidak ada hotel atau penginapan. Besoknya terserah, kamu akan pergi ke mana!”
“Bunuh diri?!” Separah apa sebenarnya persoalan yang sedang dia hadapi?”
“Dia tidak mau cerita, dan aku tidak memaksanya untuk bercerita.”
“Lalu dengan menenggelamkan diri?! Dia kan pandai berenang?”
“Namanya juga orang yang berniat bunuh diri, tak peduli kalau pandai berenang! Mungkin karena dia pandai berenang makanya tahu bagaimana cara menenggelamkan diri!”
“Lalu, bagaimana dia akhirnya tinggal di tempat kakekmu hingga sampai sekarang?”
“Aku akhirnya membawanya ke rumah Kakek dan menginap di sana. Sebelum ada berita yang kurang enak didengar tentang aku membawa seorang laki-laki pulang, aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Kakek, Ayah juga Ibu.”  Wulan membungkuk mengambil sebuah cangkang kerang berwarna putih lalu memainkannya dengan tangannya. “Keadaan dia waktu itu sangat memprihatinkan, hanya terdiam dan terdiam. Keesokan harinya kulihat dia duduk seorang diri di bawah pohon kelapa. Termenung dan pandangan matanya kosong. Kata kakek, waktu tidur, dia mengginggau dan terus menyebut kata ‘papa’! Melihat keadaannya aku tidak tega menyuruhnya pergi. Dua hari dia dalam keadaan seperti itu, tanpa melakukan apa pun. Bahkan dia tidak mau makan. Hanya duduk melamun di bawah pohon kelapa dan di pantai. Saat dia sendirian di pantai, aku megikutinya, takut kalau dia akan bunuh diri lagi. Malam ketiga saat dia sedang berada di dermaga untuk pertama kalinya, dia melihat aktivitas nelayan yang akan berangkat melaut. Dia melihat ayahku dan bertanya tentang apa yang akan dilakukan nelayan saat berada di tengah laut. Ayahku tentu saja tertawa dengan pertanyaan bodohnya itu. Tentu saja yang dilakukan nelayan di tengah laut adalah menangkap ikan.”
“Bodoh!” tukas Taufan sambil tertawa.
“Kamu tahu keadaanya waktu awal-awal dia disini? Sama sepertimu saat baru datang ke sini! Lusuh, tak ada semangat, hanya ada sinar keputusasaan!”
“Betulkah?”
Wulan mengangguk, kemudian melanjutkan ceritanya. “Dia akhirnya ikut ayah melaut. Dan kamu tahu apa yang terjadi?”
“Yah, dia mabuk laut parah hingga tidak bisa apa-apa! Ayahmu yang menceritakan!” Taufan tersenyum.
“Setelah mendarat, dia dipapah pulang dan tergeletak di tempat tidur hingga siang. Ayah, Kakek dan adikku mentertawakannya. Saat itulah kulihat dia tersenyum untuk pertama kalinya. Malam berikutnya dia ingin ikut melaut lagi, ayahku mengijinkannya bahkan menantangnya apa dia sanggup bertahan atau tidak! Ternyata, hari kedua melaut dia dapat melewatinya dengan baik. Saat kembali mendarat dan berkumpul untuk makan di warung ibuku, kulihat ada perubahan pada dirinya.”
“Apa itu?”
“Kulihat ada semangat dalam dirinya. Dia sudah bisa tertawa dan mulai banyak bicara. Hari-hari berikutnya, setiap malam dia selalu ikut ayah melaut. Dan sikapnya sangat berubah dari Baruna yang pernah aku tolong saat akan menenggelamkan diri ke laut, tapi belum seperti sekarang!”
“Kamu tidak jadi menyuruhnya pergi?” Wulan terdiam. “Apa kamu kemudian sadar kalau dia cukup tampan dan menarik dan kamu mulai menyukainya lalu enggan menyuruhnya pergi?” Taufan tertawa.
 “Aku bukan perempuan seperti itu!” tukas Wulan
“Lalu, kenapa sampai sekarang dia masih disini? Jangan-jangan Kakek dan ayahmu akan menjodohkanmu dengan dia!”
“Jangan sembarangan ngomong!” Wulan memukul lengan Taufan. “Aku sudah pernah menyuruhnya pergi! Waktu itu aku merasa tidak enak…”
“Dengan mantan pacarmu yang anak ustadz itu!” Taufan tersenyum.
Wulan merengut sesaat, kemudian mulai bercerita kembali.
“Sepertinya kamu sudah baik dan normal kembali!” Wulan mendatangi Baruna yang sedang belajar memperbaiki jaring ikan di bawah pohon kelapa di depan rumah Kakek. Baruna menoleh dan tersenyum. “Waktumu berada di sini sudah lebih panjang dari yang pernah aku berikan!”
“Kenapa? Kamu keberatan! Kakekmu mengijinkanku untuk tinggal di tempatnya selama waktu yang aku inginkan!”
“Apa!”
“Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada kakekmu!”
“Kamu pasti berbohong! Atau kalau tidak, kamu pasti bercerita sesuatu tentang dirimu sehingga membuat Kakek merasa kasihan. Betul begitu?” Wulan memandang Baruna dengan penuh kecurigaan.
“Apa aku punya tampang yang perlu dikasihani?” Baruna tersenyum.
“Sepertinya begitu! Kalau tidak, kenapa kamu nekat menenggelamkan diri ke laut!”
Baruna menghentikan kesibukannya, terdiam sesaat, lalu menghela nafasnya. “Terima kasih kamu telah menyelamatkanku waktu itu.”
“Terima kasih? Bukankah waktu itu kamu marah-marah karena menyelamatkanmu?” Wulan tertawa mengejek.
“Pikiranku sedang kacau waktu itu.”
“Sekacau apa, hingga membuatmu ingin bunuh diri! Bukankah laki-laki itu harus kuat!” tukas Wulan. Baruna terdiam. “Sudah hampir seminggu kamu di sini, apa keluargamu tidak mencarimu?”
“Aku tidak mempunyai keluarga!”
Wulan tidak percaya. “Bagaimana dengan kedua orang tuamu?”
“Papaku sudah meninggal.” Baruna berkata lirih namun terdengar bergetar. “Dan mamaku sedang tidak berada di rumah!”
Wulan mengernyitkan dahinya. “Kakakmu atau adikmu?”
“Aku anak tunggal!”
“Tapi kamu pasti masih punya keluarga yang lainnya kan? Kakek, nenek, om, tante?” Baruna terdiam. “Jangan-jangan kamu kabur dari keluargamu! Kamu mempunyai masalah besar dan tidak bisa mengatasinya, lalu mencoba bunuh diri!” Wulan menatap tajam Baruna.
“Kalau iya, memangnya kenapa?” Baruna tersenyum.
Wulan mendengus. “Aku tidak peduli dengan masalahmu! Lalu, sampai kapan kamu akan tinggal disini?”
Baruna kembali sibuk memperbaiki jaring yang rusak. “Kakekmu mengatakan  kapan pun aku suka dan aku mau!”
“Heh!”
“Kamu tidak suka? Kenapa? Takut aku adalah orang jahat? Perlu kamu ketahui, aku ini orang baik-baik! Tampangku juga bukan tampang ora jahat, malah banyak yang mengatakan tampangku cukup ganteng!” Wulan mencibir, tanpa berkata apa-apa langsung pergi. “Suatu saat kamu akan menyesal jika aku pergi nanti!” Baruna tertawa.
“Kenapa kamu keberatan dengan keberadaanya?” potong Taufan.
Wulan menghela nafasnya. “Karena Iqbal!”
“Mantan pacarmu yang anak ustadz itu?”
“Dia cemburu padanya! Makanya aku ingin dia secepatnya pergi, aku tidak ingin hubungan yang begitu susah kujalin berantakan!”
“Hubungan yang susah?!”
“Kami backstreet! Ayahnya Iqbal tidak begitu menyukaiku! Dan Pak Haji telah memilihkan jodoh yang ‘katanya terbaik’ buat anaknya!”
 “Dan kekasihmu itu akhirnya menyerah, tidak mau memperjuangkan cintanya?!”
“Ayahnya sakit! Dan dia tidak mau menjadi anak durhaka, tidak berbakti kepada orang tua!”
Taufan tertawa. “Seperti cerita sinetron saja!”
“Hei! Kenapa jadi bercerita tentang aku dan Iqbal!” protes Wulan.
“Apa salahnya? Bukan suatu aib kan?”
“Memang bukan! Tapi aku malas cerita soal itu!”
Keduanya kemudian terdiam untuk beberapa saat.
“Walaupun kelihatannya sekarang dia baik-baik saja, kurasa sebenarnya tidak! Dia sering menyendiri di pantai. Tapi sampai sekarang dia tidak mau cerita apa yang sebenarnya dia alami! Tapi aku rasa dia mempunyai masalah mamanya. Kamu juga Fan? Bermasalah dengan orang tuamu?!” Taufan tersenyum dan membenarkannya. “Ya Tuhan!” Wulan menepuk jidatnya sendiri. “Kenapa tempatku dipenuhi laki-laki yang kabur dari rumah  karena bermasalah dengan orang tuanya! Jangan-jangan kalian berjodoh dan dipertemukan Tuhan di tempat ini!”
Taufan tertawa, kemudian mengajak Wulan pulang ke rumah Kakek dan melihat lukisan hasil karyanya.
“Ini benar lukisanmu?! Bagus sekali!” Wulan nampak tidak percaya melihat lukisan Taufan, dia terus memandang lukisan bergambar kakeknya itu.
“Dan sekarang aku akan melukismu!”
Serius!” Wulan nampak senang.
Wulan pun kemudian dilukis oleh Taufan. Menjelang sore, Taufan selesai melukisnya.
 “Wah!” Wulan nampak senang melihat lukisan dirinya.
“Bagaimana menurutmu?”
“Cantik sekali!” ujar Wulan, tak habis matanya memandang lukisan dirinya.
“Lebih cantik mana dengan aslinya?” Wulan menyikut lengan Taufan.
“Kamu pelukis yang berbakat dan hebat Fan! Taufan tersenyum. “Sudah pernah mengikuti pameran?” Taufan menggelengkan kepalanya. “Kenapa? Kamu harus mengikuti pameran, agar semua orang tahu kalau kamu aalah pelukis yang hebat dan berbakat! Orang tuamu pasti bangga!”
Taufan tersenyum kecut. “Andai saja papaku bangga!”
“Kenapa?” Wulan mengernyitkan dahinya. Taufan terdiam. “Oooh aku ingat! Jangan-jangan ini yang menjadi masalah antara kamu dengan orang tuamu!”
Taufan menghela nafasnya. “Papaku tidak ingin aku menjadi seorang seniman. Dia menginginkan aku menjadi seorang pengusaha yang sukses!”
“Dan kamu tidak menginginkannya? Lalu kalian bertengkar dan kamu kabur ke sini?” potong Wulan. Taufan mengangkat kedua bahunya. “Gara-gara hal seperti itu kamu kabur dari rumah? Kenapa kamu buat susah? Kenapa kamu tidak menjadi dua-duanya saja. Seorang pengusaha juga seorang pelukis? Kan gampang. Tidak usah bertengkar dengan papamu dan tidak perlu kabur dari rumah!”
“Kisahnya panjang Lan!” Setelah nenghela nafasnya, Taufan kemudian bercerita tentang apa yang terjadi dengan dirinya sebenarnya.
“Aku tidak tahu harus ngomong apa. Tapi apa salahnya mencoba Fan, setidaknya demi mamamu!” ujar Wulan setelah selesai mendengar cerita Taufan. Taufan hanya terdiam.
“Baiklah, aku akan membingkai lukisan Kakek dan lukisanku besok, dan akan aku pasang di dinding!” Wulan tersenyum mengalihkan pembicaraan karena dilihatnya Taufan tertunduk. Kemudian dia pamit pulang.
***
(Tungguin cerita selanjutnya di episode 14 yaaaaaaaa............)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)