Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 3)



3.         Menemui teman
           
Sore hari, setelah dari kampus, dengan sepeda motornya Taufan pergi ke pantai, berhenti di depan warung makan Wulan yang sudah tutup. “Wah, aku harus bertanya pada siapa ini?” gumamnya sambil melihat ke kanan dan ke kiri.
            “Cari siapa, Mas?” tanya seorang wanita dari arah samping warung. Wanita itu, berbadan dan bertinggi sedang, berkulit sawo matang, memakai atasan warna hijau dan rok panjang bermotif bunga-bunga dengan rambut digelung di belakang kepala, berusia sekitar dua puluh lima-an. Taufan mengatakan kalau dia sedang mencari Baruna. “Ooh, jadi Mas ini temannya Mas Baruna.” Wanita tersebut kemudian menunjukkan di mana Baruna tinggal.
Setelah mengucapkan terima kasih, Taufan pun dengan sepeda motornya menuju tempat yang ditunjukkan Ratri.
***
            “Ini pasti rumahnya.” Taufan menghentikan sepeda motornya di depan rumah mungil bercat kuning yang menghadap ke pantai, dengan terasnya terdapat tong-tong besar tempat ikan. Dua pohon kelapa tumbuh di halaman, tidak terlalu tinggi karena batangnya membengkok. Di antara dua pohon kelapa tersebut terpasang bambu melintang yang digantungkan sebuah jaring ikan dan di bawahnya ada sebuah bangku panjang. “Sepi,” gumamnya sambil membenarkan letak tas ransel di punggungnya. Baru saja akan melangkah menuju pintu, tiba-tiba muncul Baruna dari samping rumah.
            “Taufan?!” Baruna agak terkejut.
            “Hai!”
            “Bagaimana kamu tahu aku tinggal di sini?”
Taufan mengatakan kalau dia diberi tahu oleh seorang wanita. Baruna mengatakan kemungkinan wanita yang ditemuinya tersebut adalah Ratri, yang membantu ibunya Wulan di warung makan.
            “Jadi ini rumahmu?”
            “Sebenarnya ini bukan rumahku, aku hanya menumpang.” Baruna tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya.
            “Menumpang? Jadi benar dugaanku, kamu bukan orang asli sini, kan?”
            Baruna tertawa. “Baiklah, aku mengaku, aku memang bukan asli sini, aku hanya seorang pendatang!”
            “Bagaimana dengan kakimu? Masih sakit?” Taufan memperhatikan kaki kiri Baruna.
            “Lebih baik dari kemarin.”
            “Aku bawakan obat untukmu!” Taufan melepas dan mengambil sebuah botol kecil dan memberikannya kepada Baruna. “Aku memintanya dari temanku, katanya mujarab untuk sakit karena terkilir.”
            “Kamu tidak usah repot-repot. Nanti juga pasti akan sembuh dengan sendirinya.”  “Aku hanya kasihan melihatmu berjalan terpincang-pincang dan tidak bisa melaut lagi!”
            “Ternyata masih ada lagi orang yang kasihan padaku. Tapi baiklah, terima kasih!” Baruna tersenyum, lalu dia melihat buku-buku di dalam ransel Taufan ketika sedang ditutupnya. “Kuliah?”
            “Skripsi tepatnya!”
            “Baruna! Ada tamu kok tidak disuruh masuk!” tukas seorang laki-laki tua berumur enam puluhan, berkulit coklat dan berambut penuh uban namun masih kelihatan tegap dan kekar yang memakai celana panjang kain warna coklat dan t-shirt bermotif garis hitam merah yang muncul dari samping rumah dimana sebelumnya Baruna muncul.
            “Eh, kakek! Iya kek, ini baru saja aku ajak masuk!”
Baruna memperkenalkan laki-laki tua sebagai pemilik rumah dimana dia tinggal. Dia memanggilnya dengan sebutan Kakek.
            “Jadi, ini temanmu?” tanya Kakek.
            Baruna mengangguk.  Kakek kembali menyuruh Baruna untuk mengajak Taufan masuk ke dalam rumah.
            “Enak di luar, Kek. Sambil menikmati udara dan angin laut sore,” ujar Taufan dengan sopan.
            “Temanku ini sudah lama tidak melihat laut, Kek!”
            “Ooh begitu. Ya sudahlah terserah kalian saja! Kakek mau masuk dan mandi dulu!” Kakek kemudian masuk ke rumah.
            “Jadi, kamu tinggal dengan seorang kakek?” tanya Taufan setelah Kakek masuk. Baruna mengangguk, lalu mengajaknya duduk di bangku panjang di bawah pohon kelapa yang biasa dia gunakan, juga Kakek, untuk memperbaiki jaring ikan yang rusak atau sobek.         “Jadi, apa yang kamu kerjakan di sini?” tanya Taufan.
            “Aku sudah mengatakannya padamu, kan? Kalau aku adalah seorang nelayan, kalau malam aku berlayar di laut untuk mencari ikan dan siang harinya aku memperbaiki jarring-jaring ini!” Baruna memegang jaring ikan yang tergantung di sampingnya. “Karena kakiku masih sakit, tiga hari ini aku tidak ikut melaut dan hanya membantu Wulan membuat kerupuk ikan.”
            “Gadis anak pemilik warung makan itu?” Baruna mengangguk dan mengatakan kalau pekerjaan utama Wulan bukan di warung membuat kerupuk ikan. Wulan yang lulusan SMA pernah bekerja di sebuah perusahaan pengalengan ikan. Karena sifatnya yang keras, tidak mau diatur dan disuruh, membuatnya sering ribut dengan atasannya. Wulan merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya dan tempatnya bekerja, lalu memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan membantu ibunya di warung makan, suatu hari Wulan mendapatkan ide untuk membuat kerupuk dari ikan yang dibawa pulang bapaknya, dan setelah jadi ternyata rasanya enak. Pertama hanya menyediakan kerupuk tersebut di warung makan ibunya dan ternyata banyak yang menyukainya. Setelah itu memperbanyak kerupuk buatannya dan kemudian dijual juga menerima pesanan. Selain dijual dalam bentuk sudah matang juga dijual dalam bentuk mentahnya. Kini kerupuknya sudah dikenal, baik di kampungnya juga di kampung-kampung tetangga.
            “Gadis yang cerdas!” ungkap Taufan.
            “Yah, aku akui, walaupun dia itu jutek dan galak tapi gadis manis yang cerdas dan baik!”
            “Apa kamu menyukainya? Atau jangan-jangan dia itu pacarmu?! Kalian berdua kelihatan akrab dan saling mengenal satu sama lain!” Taufan memandang Baruna.
            “Aku berpacaran dengan Wulan?!” Baruna tertawa. “Bisa-bisa leherku digorok sama kakeknya!” Baruna menunjuk rumah di belakangnya, di mana dia tinggal.
            “Jadi! Kakek itu, kakeknya Wulan? Kamu tinggal di rumah kakeknya Wulan?!” Baruna mengangguk sambil tersenyum, kemudian menceritakan kalau kakeknya Wulan tinggal seorang diri di rumahnya, istrinya, neneknya Wulan telah meninggal lima tahun yang lalu. Sebenarnya keluarga Wulan ingin Kakek tinggal bersamanya, tetapi ditolaknya dengan alasan tidak ingin merepotkan anak dan cucunya. Segala sesuatunya Kakek masih bisa melakukannya sendiri, kecuali untuk masakan, setiap harinya ibunya Wulan mengiriminya makanan atau terkadang Kakek yang pergi ke rumah Wulan. Ayah Wulan adalah anak nomor dua dari Kakek, anak pertamanya meninggal ketika masih anak-anak, anak bungsunya, perempuan, dibawa suaminya ke Surabaya.
            “Lalu, bagaimana kamu bisa tinggal dengan kakeknya Wulan?”
             “Mungkin kasihan melihatku!” Baruna tersenyum hambar. “Kalau adiknya Wulan datang, dia pasti tidur di rumah Kakek!” Baruna mengalihkan pembicaraan.
            “Memang adiknya Wulan kemana?”
            “Dia mondok di Jawa Timur.”
            “Laki-laki?”
            “Yah, namanya Chandra.”
            Keduanya terdiam sesaat.
Walaupun sudah tua, Kakek masih terlihat segar dan kuat!” Taufan kembali memulai pembicaraan.
            Yah begitulah, seperti yang kamu lihat. Selain itu dia juga keras kepala dan galak! Dan sekarang kamu tahu sifat galak dan keras kepalanya Wulan diturunkan dari siapa?!” kata Baruna yang kemudian tertawa.
            “Hei!” terdengar suara Wulan.  Mereka berdua menoleh, terlihat Wulan sedang berdiri di belakang dengan tampang galak, tangan kanannya memegang rantang susun tiga.
            “Wah, panjang umur!” kata Baruna sambil tersenyum.
            “Kamu pasti sedang menjelek-jelekkan aku!” Wulan mendekat. “Jangan pernah percaya dengan apa yang dikatakan oleh anak bengal ini!” tukas Wulan kepada Taufan sambil menunjuk Baruna yang tertawa dengan telunjuk tangan kirinya.
            “Kenapa memangnya? Aku berbicara yang sebenarnya, tanpa dikurangi apalagi dilebihkan!” ucap Baruna disela tawanya. Wulan melotot. Taufan tertawa melihat tingkah keduanya.
            “Sudah sana masuk, itu makanan untuk Kakek nanti tumpah!” Baruna menunjuk rantang yang dibawa Wulan.
            Wulan mendengus. “Sekali lagi aku dengar kamu membicarakanku yang tidak-tidak, aku tendang kakimu! Dan aku suruh Kakek mengusirmu dari rumahnya!” ujarnya sambil berbalik dan masuk ke rumah kakeknya. Baruna tertawa.  
            “Wah! Sadis sekali dia!” ujar Taufan setelah Wulan tidak terlihat lagi.
            “Itulah Wulan, cucu Kakek, si gadis pantai pembuat kerupuk ikan yang galak!”
            “Tapi orangnya manis dan cukup menarik. Apa kamu tidak tertarik padanya?”
            Baruna tersenyum. “Aku menyukainya sebatas teman, dan dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, begitu juga dengan adiknya. Adik perempuan dan adik laki-laki yang belum pernah aku miliki sebelumnya.” Ada nada getir dalam kata-katanya.
            “Bagaimana dengan dia? Apa dia tidak menyukaimu. Aku rasa kamu cukup tampan. Setiap perempuan pasti akan menyukai dan tertarik padamu!”
            Baruna tertawa. “Wulan tidak mungkin menyukaiku!”
            “Kenapa?!”
            “Apa kamu tidak mendengar bagaimana dia menyebutku? ‘Anak bengal’! Aku bukan tipe laki-laki yang disukainya. Dia menyukai laki-laki yang sopan dan alim.”
            “Oh yah?!” Baruna kemudian bercerita tentang Wulan yang pernah menyukai anak seorang ustadz di kampungnya yang bernama Iqbal, orangnya tampan, pintar alim dan lulusan pesantren. Namun tiga bulan yang lalu Iqbal menikah dengan anak seorang kyai dari Tasik, teman dari ayahnya, karena dijodohkan. “Wah, kasihan si Wulan. Dia pasti patah hati.”
            “Itu pasti! Dia sempat protes dengan berkata ‘apa anak seorang ustadz harus berpasangan dengan anak ustadz juga! Memangnya ada hukum yang melarang anak ustadz berdampingan dengan anak seorang nelayan! Apa kalau bukan anak ustadz berarti dia tidak tahu apa-apa tentang agama dan kitab suci! Apa karena aku tidak memakai kerudung maka aku dianggap pendosa dan hina!’ Dia berkata di depanku!”
            “Lalu kamu menghiburnya?”
            “Tidak! Jujur saja, aku tidak tahu bagaimana menghadapi seorang perempuan yang sedang patah hati dan emosi.” Baruna tersenyum. “Tapi Wulan bukan gadis yang lemah. Dia gadis yang kuat dan tidak cengeng. Aku malah mengatainya, ‘makanya jadi perempuan itu jangan judes dan galak, jadi tidak membuat laki-laki yang akan mendekatimu menjadi takut!“
Taufan tertawa. “Bagaimana tanggapannya?”
“Dia marah, melotot padaku lalu menendang kakiku dan langsung pergi!” Baruna tertawa.
“Hei anak Bengal! Kamu dan temanmu disuruh Kakek masuk!” teriak Wulan dari pintu rumah Kakek, dan tanpa menunggu jawaban dari Baruna langsung ngeloyor pergi.
“Kau mau kemana?!” teriak Baruna.
“Pulang!” Jawab Wulan sambil terus melangkah.
Baruna kemudian mengajak Taufan masuk ke rumah Kakek.
***
Menjelang maghrib Taufan pamit pulang.
“Kakek-nya Wulan meskipun galak tapi baik,” kata Taufan sambil duduk di sepeda motornya.
“Dia sangat senang kalau bertemu dengan orang baru, apalagi anak muda yang mau mendengarkan ceritanya. Dan dia pasti akan menanyakanmu terus padaku dan menyuruhku untuk sering mengajakmu ke sini, untuk bisa bercerita lebih banyak lagi.”
Taufan tertawa. “Aku sebenarnya ingin lebih lama di sini, tapi aku harus pulang karena mamaku sendirian di rumah, papaku sedang pergi keluar kota beberapa hari.”
“Mama,” gumam Baruna lirih. “Mamamu pasti menyayangimu.”
“Semua ibu pasti menyayangi anaknya, walaupun kadang-kadang si anak sering membuatnya bersedih dan menangis.” Taufan berkata dengan nada getir.
 “Memang seharusnya begitu untuk seorang ibu, kan?”
“Yah, memang seharusnya.” Taufan menyalakan mesin sepeda motornya.“Baiklah, aku pergi dulu. Tapi aku janji, aku pasti akan datang lagi. Selain untuk mendengar cerita kakek, aku juga ingin pergi melaut menangkap ikan!”
Baruna tertawa. “Kamu yakin?”
“Kenapa? Kamu tidak yakin kalau aku juga mampu menjadi nelayan? Kalau kamu bisa, kenapa aku tidak!” tegas Taufan. Baruna tersenyum. “Oh iya jangan lupa oleskan obat itu di kakimu yang sakit!”
“Ya. Aku tidak akan lupa!”
Taufan pun berlalu. Baruna memandangi kepergiannya.
***
            Malam hari, setelah menyelesaikan proposal skripsinya yang tertunda hampir satu tahun lebih. Taufan menghempaskan badannya di atas tempat tidur. Berbaring, matanya menatap langit-langit kamar, menghela nafas, kemudian pikirannya melayang ke pantai, perkampungan nelayan dan Baruna.”Siapa sebenarnya anak itu? Kenapa dia ada di sana? Aku yakin dia anak yang berpendidikan tinggi dan dari keluarga yang mampu! Apa dia juga sepertiku, anak yang kabur dari keluarganya?” Lalu teringat dengan Wulan, gadis manis yang galak dan kakek-nya yang juga galak namun baik hati dan suka bercerita tentang masa lalu.
Waktu pun bergulir, rasa kantuk yang menghinggapinya membuat mata Taufan dengan cepat terpejam hingga lupa mematikan lampu kamar.
***
            Baruna duduk di atas dipan kayu kamarnya yang sederhana sambil mengoleskan obat gosok pemberian Taufan di kaki kirinya yang sakit. Sesekali terdengar suara dengkur Kakek dari kamar sebelah. “Teman baru yang sangat baik.” Benaknya, bibirnya tersungging senyum tipis. Kemudian teringat perkataan Wulan, ‘melihat temanmu, seperti melihatmu pertama datang ke kampung ini enam bulan yang lalu!’. “Tapi sepertinya aku jauh lebih parah dari dia! Apa anak itu senasib denganku? Tapi sepertinya tidak! Dia masih mempunyai orang tua yang lengkap, dia harus pulang karena harus menemani mamanya yang sendirian, papanya sedang pergi keluar kota. Sedangkan aku!” Baruna menghela nafasnya lalu memegangi kakinya yang sakit karena merasakan panas, efek dari obat gosok yang dioleskannya. Suara angin laut dan ombak yang pecah di pantai terdengar bersambungan dari jendela kamar.
***

(lanjut episode 4 yaaaa.................)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)