Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 1)


Haiiiii ketemu lagi...Ini ada kisah baru....Semoga kalian suka.....


Prolog

Pemuda berusia sembilan belas tahun itu hanya memandangi pintu rumah yang terbuka dengan tatapan kosong. Adik laki-lakinya yang berumur tujuh belas tahun yang berdiri di sampingnya melakukan hal yang sama. Nampak seorang wanita, Ibu mereka duduk di kursi kayu di ruang tamu mereka yang sempit.
            “Biarkan dia pergi dengan segala keinginanya!” wanita itu berkata dengan suara tegas namun terdengar bergetar. “Hidup kita harus terus berjalan.”
            “Kali ini aku yakin, dia tidak akan kembali lagi!” pemuda berusia sembilan belas tahun itu akhirnya membuka mulutnya. Sedangkan adiknya masih duduk terdiam. “Dan itu lebih baik! Daripada dia balik lagi hanya membuat susah keluarga ini!”
            “Tapi bagaimana pun, dia bapak kita Mas,” adiknya berkata.
        “Apa dia bisa disebut seorang Bapak, jika tidak berfungsi sebagai bapak dan suami sebagaimana mestinya! Yang ada dia hanya menjadi benalu bagi kita!” Adiknya terdiam. “Benar kata Ibu, apa pun yang terjadi hidup kitaharus tetap berjalan. Aku yakin akan lebih baik tanpa dia. Jangan ratapi kepergiannya!”
            Ketiganya kembali terdiam.
            “Kelak jika aku punya keluarga, aku tidak akan seperti dia! Aku akan menjadi orang kaya dan sukses! Dan anak-anakku pun tidak akan seperti dia!”
            Kehidupan keluarga itu pun terus berjalan. Pemuda sembilan belas tahun itu bekerja di sebuah pabrik meubel, ibunya bekerja sebagai pembuat kue dan adiknya yang masih duduk di bangku SMA ikut bekerja bersamanya saat libur sekolah.



1.        Prahara

 Sore hari, mobil sedan hitam itu masuk dan berhenti di halaman rumah mewah di sebuah kawasan elite Ibukota. Seorang laki-laki berdasi dan berjas hitam keluar dari mobil tersebut. Baru beberapa langkah, Papa, laki-laki yang masih terlihat tampan diusianya yang sudah kepala lima yang baru pulang dari kantor wajahnya menegang ketika melihat Taufan, anak bungsunya, laki-laki tampan berusia dua puluh tiga tahun, berkulit putih dan rambut hitam bergelombang itu keluar dari pintu rumah.
“Taufan! Kamu mau ke mana!” teriak Papa.  Taufan yang memakai jaket biru, kaos putih dan bercelana jeans biru tidak menghiraukannya, terus berjalan ke tempat sepeda motor sport yang terparkir di samping mobil sedan dan langsung menaikinya. “Taufan! Apa kamu tidak mendengar Papa!” Papa mendekati Taufan.
“Apa aku harus selalu melapor kemana aku pergi?!” Taufan berkata sambil memakaikan helm di kepalanya.
“Kamu pasti mau pergi ke tempat orang-orang tidak berguna itu, kan!” nada suara Papa meninggi.
“Tanpa pamit pun, Papa sudah tahu kemana aku pergi!” Tukas Taufan sambil menyalakan mesin sepeda motornya.
“Sudah Papa katakan berkali-kali, jangan lagi ke tempat orang-orang itu! Mereka meracunimu!”
Taufan membelokkan sepeda motornya tanpa menjawab perkataan Papa. “Pak Dirman! Aku pergi dulu!” teriaknya sambil melambaikan tangan pada laki-laki setengah baya berkulit coklat, sopir Papa
“Hati-hati di jalan, Mas!” balas Pak Dirman. Taufan mengajungkan jempol tangan kanannya, lalu tancap gas keluar halaman rumah.
“Semakin lama anak itu semakin tidak punya etika dan sopan santun! Itu pasti gara-gara bergaul dengan mereka!” Papa nampak marah, lalu berjalan masuk ke rumah.
Pak Dirman terdiam, setelah Papa masuk laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kapan mereka akan berdamai,” gumamnya lirih, lalu berjalan menuju ke bagian belakang rumah, untuk meminta segelas kopi dari Asri, pembantu rumah tangga majikannya sambil menunggu Papa yang akan pergi lagi untuk menghadiri meeting di sebuah hotel bintang lima dengan kolega-kolega-nya.
***
            “Kenapa Mama tidak melarang Taufan pergi ke tempat itu?!” Papa berkata dengan nada tinggi kepada Mama,  wanita yang berumur dua tahun lebih muda darinya, berkulit putih berwajah ayu dan keibuan yang sedang duduk merajut sebuah syal dari benang wol. Mama yang melihat Papa langsung meninggalkan kesibukannya, menghampirinya dan menciumnya.
            “Mama tidak tahu Taufan akan pergi kemana, dia hanya mengatakan akan pergi ke tempat temannya.”
            “Tanpa dia katakan, Mama seharusnya sudah tahu dia akan pergi kemana!”
            Mama terdiam, sepert biasanya jika Papa sudah berbicara tentang Taufan dengan nada tinggi.  Papa kemudian mengalihkan pembicaraan kalau dia hanya sebentar di rumah untuk mengambil berkas untuk meeting yang tertinggal, dan dia tidak akan makan malam di rumah. Setelah selesai mengambil berkas-berkasnya, Papa pun pergi kembali, Mama mengantarkannya hingga pintu depan. Sementara Pak Dirman langsung berlari meninggalkan dapur dan cangkir kopinya yang masih setengah setelah mendengar panggilan dari Papa.
***
            Taufan menghentikan sepeda motornya di halaman depan sebuah rumah kayu yang nampak asri di sebuah perkampungan di pinggiran kota. Dia turun dari sepeda motornya dan langsung masuk ke rumah yang lebih mirip dengan galeri lukisan karena dinding-dindingnya penuh dengan lukisan-lukisan. Pada salah satu ruangan ditemuinya dua orang laki-laki yang nampak sedang serius melukis dengan cat minyak pada kanvasnya masing-masing.
            “Sedang sibuk, Mas?” sapa Taufan menghampiri kedua laki-laki tersebut.
Kosim, laki-laki berbadan tinggi dan berkacamata yang memakai kaos putih dengan tulisan Jogja dan bercelana panjang hitam komprang dari kain katun tersenyum melihat kedatangan Taufan. “Kenapa sore-sore yang cerah begini wajahmu ditekuk begitu, Fan?”
            “Mas Kosim seperti tidak tahu saja, pastilah habis bertengkar dengan bapaknya lagi.” Dayat, laki-laki satunya lagi yang berbadan lebih kurus dan lebih kecil serta lebih muda dari Kosim, memakai kaos berwarna merah dan sarung batik.
            “Tuh, Mas Dayat lebih tahu!” ujar Taufan sambil tesenyum nyinyir yang lalu menghampiri Kosim yang sedang melukis sebuah kegiatan pasar dengan gaya realisnya[1] dan Dayat yang sedang melukis seorang wanita cantik dengan gaya naturalisnya.[2]
            “Oh iya, Fan, apa bapakmu masih mengatakan kami ini orang-orang tidak berguna yang meracunimu?” ujar Dayat kemudian.
            Taufan yang sedang mempersiapkan peralatan lukisnya menghela nafas. “Entah sampai kapan Papa akan beranggapan seperti itu. Apa salahnya kalau aku melukis?” Tidak lama kemudian dia  sudah mulai sibuk mencorat-coret kanvasnya.
            “Lukisanmu semakin hari semakin bagus, Fan. Suatu hari nanti kamu harus membuat pameran tunggal, biar bapakmu bangga!” ujar Kosim sambil terus melukis. Taufan tidak menjawab, hanya terdengar tawanya yang bernada sinis.
            “Kenapa Fan? Apa itu mustahil bagi bapakmu?” Dayat menyela.
            “Kalian sudah tahu jawabannya!”
***
            Minggu pagi, Papa dan Mama sudah berada di meja makan untuk sarapan pagi. Taufan bergabung bersama mereka setelah selesai mandi dan rapi. Sarapan pagi pun berlangsung dalam suasana diam, sampai akhirnya Papa angkat bicara.
            “Taufan, Papa minta kamu fokus dengan skripsimu. Hentikan kegiatan yang tidak ada manfaatnya itu dan hentikan bergaul dengan orang-orang yang tidak berguna itu!”
            “Prang!” Taufan menghentikan makannya dengan melepaskan sendok di atas piring dengan  keras. “Pa! Jangan sebut lagi mereka orang-orang yang tidak berguna! Papa belum tahu dan mengenal mereka! Mungkin sebenarnya mereka jauh lebih berguna di masyarakat dibanding Papa!”
            “Taufan!” Nada suara Papa meninggi. Mama seperti biasa berusaha menenangkan keduanya dan menyuruh mereka untuk melanjutkan sarapannya. “Lihat Ma! Anak ini semakin tidak hormat denganku! Ini pasti racun yang telah diberikan oleh para seniman kampung yang tidak berguna itu!”
            “Cukup Pa! Jangan sebut mereka seperti itu!”
            “Lalu Papa harus menyebutnya apa! Mereka yang menyebabkan kamu tidak menghormati Papa, ayahmu!”
            Taufan terdiam sesaat, kemudian menghela nafasnya. “Bukannya aku tidak menghormati Papa. Tapi berilah aku kebebasan, Pa. Toh, aku sudah menuruti keinginan Papa untuk kuliah di jurusan ekonomi yang Papa inginkan. Aku korbankan keinginanku masuk ke jurusan seni! Aku lakukan itu untuk Papa!”
            “Itu memang jurusan yang seharusnya kamu ambil!””
            “Untuk itu Pa, aku mohon pada Papa untuk kesekian kalinya, untuk memberi kebebasan aku melakukan apa yang aku sukai!”
            “Tapi itu menyita hampir semua waktumu hingga kuliahmu berantakan!” Taufan terdiam. “Apa salah, jika Papa marah?! Pergaulanmu dengan orang-orang itu membuat hidupmu berantakan! Tidak mempunyai arah dan tujuan! Jelas-jelas Papa memberimu arah dan jalan yang benar dan tepat!”
            “Tanpa bergaul dengan mereka pun hidupku juga sudah berantaan! Bahkan dari kecil! Papa tahu?! Aku ini hidup bukan dengan seorang ayah, tapi seorang tirani, seorang diktator!”
            “Taufan! Jaga mulutmu!”
            “Sudah…sudah…” Mama mulai menangis.
            “Apa Papa tidak sadar? Mas Badai, Mba Lintang,! Juga Mama!” Taufan melihat kearah Mama yang sedang mengusap air mata yang mengalir di pipi dengan punggung tangannya.
            “Kenapa memangnya dengan mereka?! Badai memang tidak bisa diatur. Dia ingin hidup dengan caranya sendiri. Dikasih hidup enak malah kabur entah kemana! Dan Papa tidak mau itu terjadi sama kamu, Taufan! Kamulah harapan Papa untuk menjadi penerus bisnis Papa!”
            “Semua orang berhak untuk hidup dengan caranya sendiri, Pa!”
            “Tapi kalau untuk menderita, buat apa!”
            “Menderita menurut Papa, tapi tidak untuk Mas Badai. Dia bahagia sebagai seorang guru di daerah terpencil”
            Mama berusaha kembali menenangkan Papa dan Taufan masih dengan tangisnya, tapi sia-sia, keduanya sedang dalam pengaruh ego dan amarah.
            “Bahagia darimana?! Yang ada dia malah terkena malaria dan hidup kekurangan tanpa fasilitas apa pun! Seharusnya dia sekarang kalau tidak menjadi general manager di perusahan Papa, dia pasti sudah menjadi  seorang dosen dan menikah dengan anak pengusaha teman baik Papa juga sudah keliling dunia!”
            “Dia sekarang sudah sembuh, Pa,” Mama menyahut dengan pelan.
            “Bahagia tidak diukur dari materi dan berapa negara yang dikunjungi, Pa!”
            “Omong kosong! Itu alasannya saja untuk tidak menurut kata-kata Papa! Lihat saja Lintang, sekarang dia hidup bahagia karena menurut apa kata Papa!”
            “Bahagia, Papa bilang?! Bagaimana dia akan bahagia kalau dia menikah dengan orang yang tidak dicintainya dan mengorbankan cita-citanya menjadi seorang penari professional, yang mungkin sekarang sudah keliling nusantara, bahkan dunia! Apa Papa tidak melihat dia menangis dan tertekan waktu akan menikah?!”
            “Omong kosong! Buktinya sekarang dia baik-baik saja. Suaminya juga bukan laki-laki sembarangan, dia sangat baik, berpendidikan tinggi dan pintar! Lintang pasti akan hidup senang dan tidak akan kekurangan suatu apa pun bersama dengan suaminya sekarang! Daripada dia hanya menjadi seorang penari dan menikah dengan orang yang tidak jelas!”
            “Karena Mba Lintang takut sama Papa dan tidak ingin melihat Mama bersedih! Untung saja Mas Bayu orang yang sangat baik. Papa harus ingat, kakek, ayah Papa. Dia juga seorang seniman!”
            “Maka dari itu,  Papa tidak mau anak-anak Papa menjadi seorang seorang seniman! Orang yang tidak punya masa depan! Orang yang tidak bertanggung jawab! Meninggalkan istri dan anak-anaknya!” Mata Papa memerah dan berkaca-kaca. “Kamu harus tahu, Taufan,” nada suara Papa mulai menurun.”Karena kakekmu yang tidak bertanggung jawab, Papa, om kamu dan juga nenek kamu harus berjuang dan bekerja keras untuk dapat hidup seperti sekarang ini.”
            “Tidak semua seniman seperti itu, Pa.” Suara Taufan memelan.
            “Apa buktinya!” Nada suara Papa kembali naik.Yang ada semua seniman itu sama! Lihat Lintang, yang kuliahnya berantakan karena kegilaannya pada tari! Dan sekarang kamu. Kuliahmu juga berantakan gara-gara melukis!”
            “Itu karena Papa selalu memaksakan kehendak dan tidak memberi kebebasan pada kami untuk kuliah di bidang yang kami sukai!” Nada suara Taufan pun kembali tinggi.
            “Omong kosong! Itu alasanmu saja! Pokoknya Papa tidak mau tahu, kamu harus selesaikan kuliahmu dan bekerja di kantor Papa! Melanjutkan bisnis Papa! Jangan pernah kamu membantah lagi dan jangan bergaul dengan orang-orang itu. Racun yang mereka berikan lama-lama akan membunuhmu!”
            “Cukup Pa!” Taufan berdiri. Mama menatapnya kuatir, matanya penuh dengan air mata. “Sudah cukup Papa mengungkung kebebasanku!” Taufan berbalik dan melangkah pergi.
            “Taufan!” teriak Papa.
            Taufan menghentikn langkahnya, menoleh dan menatap Papa. “Papa tidak usah kuatir! Aku pasti akan mempersembahkan ijazah sarjanaku pada Papa!” Setelah itu Taufan pergi ke kamarnya dan sesaat kemudian keluar lagi dengan sudah memakai jaket dan ransel di punggungnya.
            “Taufan! Kamu mau kemana, Nak?” Mama berteriak dengan nada kuatir, berusaha bangkit untuk mengejar Taufan, tapi dicegah oleh Papa, dan seperti biasanya Mama menurut dan tidak berdaya.
            “Biarkan saja, Ma!”
            “Tapi, Pa. Mama tidak ingin kejadian Badai terulang lagi!”
            “Tidak akan! Mama tadi dengar sendiri, kan? Dia sudah berjanji di depan Papa!”   Terdengar suara sepeda motor meninggalkan halaman rumah.
            “Tapi, .....”
            “Sudahlah Ma, Papa yakin dia tidak akan seperti Badai. Papa akan keluar sebentar, sudah tidak berselera untuk sarapan pagi lagi!” Papa berdiri dan pergi meninggalkan meja makan.
Masih duduk dengan wajah sedih. “Kapan prahara di rumah ini akan selesai?” gumamnya lirih, air matanya kembali menitik dan mengalir di kedua pipinya. Wanita cantik itu menghela nafasnya, lalu mengusap airmatanya dengan tangan, setelah itu memanggil Asri untuk membereskan meja makan.
Asri datang dan melihat Mama yang bersedih, namun tidak berani bertanya, dia sudah hafal betul apa yang terjadi dengan majikannya tersebut. Mama kemudian meninggalkan Asri yang sibuk dengan pekerjaannya.
***
(Nyambung di episode 2 yaaaaaa........................)



[1] Aliran Realisme yaitu aliran  yang  menampilkan subjek dalam suatu karya sebagaimana tampil dalam kehidupan sehari-hari tanpa tambahan embel-embel atau interpretasi tertentu. Maknanya bisa pula mengacu kepada usaha dalam seni rupa unruk memperlihatkan kebenaran, bahkan tanpa menyembunyikan hal yang buruk sekalipun.Wikipedia
[2] Aliran Naturalisme adalah aliran yang berusaha menampilkan suatu objek yang realistis. Melukiskan segala sesuatu sesuai dengan alam nyata dan disesuaikan dengan tangkapan mata kita. Wikipedia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)