Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 17)



17.        Mencoba


Sore hari, setelah menyerahkan skripsinya yang telah ditandatangani dosen pembimbingnya kepada pihak kampus, Taufan duduk sendiri di sebuah café kecil tidak jauh dari kampusnya. Segelas minuman bersoda dan  pancake durian yang tinggal separuh ada di atas meja di depannya. Satu persoalan terselesaikan sudah, jadwal upacara wisuda pun kurang dari tiga minggu lagi. Namun persoalan lain kini di depannya, Papa memaksanya untuk bekerja di kantornya. “Apa aku harus menuruti kata Baruna dan Mas Kosim, untuk mencobanya?” benaknya berkata, lalu meneguk minuman bersodanya yang kemudian dia terbatuk-batuk. “Tapi itu pasti akan membuatku sangat tersiksa, apalagi harus berada di kantor sepanjang hari dengan baju rapi!” Taufan menghela nafasnya. “Dan Sekar! Aku pasti akan bertemu Sekar setiap hari. Aku tidak mau Papa mengiraku semakin dekat dengannya lebih dari seorang teman. Aku juga tidak ingin melambungkan harapan Sekar. Aku tidak mau membuatnya sakit hati, karena aku tidak bisa menerima perjodohan itu!” Taufan memainkan garpu dan pisau untuk memotong pancake dengan tangannya. “Apa aku harus ngomong terus terang pada Papa, kalau aku benar-benar tidak ingin bekerja di kantornya? Tapi hal ini pasti akan menimbulkan perang dunia di rumah!” Kemudian terngiang kembali kata-kata Baruna dan Kosim yang menganjurkan untuk menuruti keinginan Papa. Dia menghela nafas lalu menyandarkan tubuhnya di punggung kursi.
                                                                        ***                                                                       
Papa dan Mama sedang duduk di ruang tengah, menonton sebuah siaran berita di sebuah stasiun televisi ketika Taufan pulang ke rumah.
“Besok kalau ke kantor, Papa tidak mau melihatmu berpakaian seperti itu lagi. Kamu harus berpakaian rapi!” ujar Papa.
“Memangnya kenapa Pa, apa ada yang salah dengan pakaianku?”
“Hei! Apa kamu tidak pernah melihat di cermin, pakaianmu itu seperti gembel! Seperti…”
“Seperti apa Pa? Papa mau mengatakan seperti orang-orang tidak berguna itu!”
“Taufan!” seru Mama dengan nada dan raut muka kuatir.
“Kamu suah tahu itu!”
“Pakaian tidak menunjukkan kepribadian seseorang Pa! Kadang-kadang hanya sebuah kamuflase!” tukas Taufan sambil berlalu pergi ke kamarnya.
Papa baru saja akan berkata namun Mama mencegahnya karena kuatir akan terjadi pertengkaran lagi.
“Anak keras kepala!” tukas Papa.
***
Taufan masuk ke kamar, melempar ranselnya, kemudian berdiri di dekat jendela kamarnya yang masih terbuka. “Apakah aku betul-betul harus mencobanya?!” benaknya. Tiba-tiba pintu kamar diketuk dan dibuka dari luar. Mama masuk dan langsung mendekatinya.
“Fan, apa salahnya menuruti kata-kata Papamu. Buatlah dia senang dan bangga padamu. Tidak ada ruginya kan? Sudah cukup yang terjadi dengan Badai, Mama tidak ingin terulang untuk kedua kalinya.” Mama memegang tangan anak bungsunya itu. “Mama ingin ada kedamaian lagi di rumah ini. Ada keceriaan dan kebahagiaan.”Taufan menghela nafasnya, tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya. “Mama senang kamu mau mengerti, Fan.” Mama mengusap-usap tangan Taufan, bibirnya mengurai sebuah senyuman, ada raut kelegaan di wajahnya. Setelah itu pergi meninggalkan kamar. Taufan memandang keluar jendela yang sudah mulai gelap. “Aku harus mencoba demi Mama,” gumamnya kemudian terbatuk-batuk.
***
Malam hari, bulan separuh nampak diantara lautan bintang di atas pantai, angin laut bertiup mengalunkan melodi lembut dan suara ombak yang pecah di atas pantai pasir memecah sunyinya pantai.
“Kamu sakit?” suara Wulan mengejutkan Baruna yang sedang sendiri di bawah pohon kelapa di depan rumah Kakek. “Kata Bapak, malam ini kamu tidak ikut melaut. Kenapa?” Wulan duduk di sampingnya.
Baruna tersenyum. “Kamu menguatirkanku?”
“Mulai lagi! Saat ini aku tidak ingin berdebat dan bertengkar denganmu!”
Baruna tertawa kecil. “Tapi aku senang jika kamu menguatirkan dan memperhatikanku!”
“Kamu tinggal di rumah kakekku, kalau sesuatu terjadi pada kamu, nanti siapa yang repot!” Wulan mengelak.
“Apa pun alasanmu, tapi aku tetap senang kamu menguatirkanku!”
Wulan menyikut tangan Baruna. Untuk beberapa saat terjadi keheningan diantara keduanya.
Semakin hari aku melihat kamu dan Taufan semakin dekat saja.” Wulan kembali membuka pembicaraan.
“Dia seperti bagian jiwaku yang hilang!”
Jiwamu menjadi sempurna setelah dia datang? Dan sepertinya dia merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasakan.”
 Baruna menoleh pada Wulan. Terdiam sesaat kemudian terdengar hembusan nafasnya. “Jujur, aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Aku merasa senang dengan keberadaannya di sampingku. Aku merasa tidak sendiri dan sepi lagi di dunia ini. Aku seperti mempunyai energi baru.”
“Lalu kamu anggap apa aku selama ini, patung atau sekedar orang lewat yang tidak punya arti apa-apa?” goda Wulan sambil tersenyum.
“Tidak!” Baruna meraih tangan Wulan lalu menggenggamnya dengan erat, sehingga membuat gadis manis itu terkejut. “Kamu adalah malaikatku! Penolongku! Pemberi semangatku! Kamu adalah wanita terbaik pertama yang pernah aku kenal dalam hidupku!”
“Dan nyonya galak musuh bebuyutanmu!”
Baruna tertawa. “Tidak. Kamu nyonya galak yang baik hati, sahabat terbaikku!”
“Sahabat. Baru sekali ini aku menengar kamu menyebutku sebagai sahabat.”
Keduanya kemudian terdiam. Baruna masih menggenggam erat tangan Wulan.
“Anak juragan ikan itu tidak marah jika kamu berdua denganku malam-malam begini?” Wulan tersenyum kecut. “Kenapa?”
 “Hubungan kami ibarat bunga yang layu sebelum berkembang!” Wulan mendengus lalu menceritakan kalau antara dia dan Fajar, banyak terjadi ketidakcocokan, sehingga mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan dan hanya sebagai teman saja.
            “Kamu tidak kecewa dan sakit hati?” Wulan menggelengkan kepalanya. “Kenapa waktu putus dengan Iqbal kamu kelihatan sangat kecewa dan sakit hati?”
            “Lain ceritanya! Aku dengan Iqbal sudah menjalin hubungan tiga tahun lebih! Sedangkan dengan Fajar baru pada tahapan pendekatan, itu pun baru berjalan satu dua bulan!”
            “Baguslah kalau begitu. Aku tidak tega melihatmu bersedih karena patah hati! Jadi  tidak akan ada yang marah jika malam ini kamu aku ajak jalan-jalan di pantai, kan?” Baruna berdiri sambil menarik tangan Wulan.
“Mau apa? Kita sudah sering berjalan kesana. Apa kamu tidak bosan melihat pantai siang dan malam?”
“Cuaca malam ini sangat bagus, sayang kalau dilewatkan!”
Wulan akhirnya mengikuti Baruna dengan syarat tanpa bergandengan tangan. Mereka kemudian berjalan ke pantai.
“Langit malam ini sangat indah! Bertabur bintang, dan bulan separuh nampak jelas!” kata Baruan di antara suara ombak yang pecah di pantai dan menerpa kaki mereka. “Alangkah senangnya jika setiap malam seperti ini. Terasa begitu damai. Para nelayan pun pasti sangat senang! Ingin rasanya malam ini aku terbang ke sana!” Baruna menunjuk bintang-bintang di langit.
“Untuk apa?”
“Sepertinya di sana aku merasa bebas tidak ada beban! Dan mungkin di sana aku akan bertemu dengan papaku!”
“Hei! Jangan bilang seperti itu! Di sini kamu masih mempunyai seorang mama!”
“Mama! Mama yang tidak pernah mengharapkan kehadiranku di dunia ini?”
“Kamu membencinya?”
Baruna menghela nafasnya. “Tidak! Aku tidak membencinya, aku hanya membenci sikapnya padaku!”
Kenapa kamu tidak mencoba menemuinya? Mungkin saat ini dia kehilanganmu!”
Baruna tertawa. “Kalau dia kehilanganku, pasti sudah mencariku sejak hari pertama aku pergi!”
Wulan kemudian terdiam, tidak tahu apa yang harus dikatakannya lagi.
“Lan, bolehkah aku menciummu?!” kata Baruna tiba-tiba.
“Apa!” Wulan terkejut lalu memandang Baruna dengan tatapan heran. “Becandamu sudah kelewatan!”
“Aku tidak sedang becanda! Aku serius!”
“Kamu pikir aku apa! Sore itu kamu mencium…” Wulan tidak melanjutkan kata-katanya.
“Aku hanya ingin merasakan bagaimana mencium seorang wanita.”
“Apa! Gila kamu!” Wulan berjalan meninggalkan Baruna.
“Wulan! Tunggu!” Baruna mengejarnya dan langsung meraih tangannya, kemudian mereka berdiri berhadapan.
“Mau apa! Kamu pikir aku ini perempuan apa! Perempuan percobaan! Perempuan gampangan!”
“Bukan maksudku seperti itu.”
“Lalu apa maksud perkataanmu ‘ingin merasakan bagaimana mencium seorang wanita’!” Nada suara Wulan meninggi dan penuh emosi. “Kalau hanya ingin merasakan, kenapa padaku!”
“Aku tidak bermaksud merendahkanmu. Kamu adalah perempuan paling baik yang pernah aku kenal dan aku temui! Aku……” Baruna tidak melanjutkan kata-katanya, kemudian terdiam dan menunduk. Wulan melangkah, mengangkat kepalanya dan mencium bibir Baruna dengan lembut.
“Apa yang kamu rasakan?” tanya Wulan setelah mencium Baruna.
Baruna tersenyum. “Ada kelembutan, ketenangan dan kedamaian. Dan bolehkah aku memelukmu?” Sebelum Wulan menjawab, Baruna sudah kemudian memeluknya dengan erat, bahkan sangat erat.
***
            Tengah malam Taufan terbangun. Dia duduk di tempat tidurnya.
“Ya Tuhan, kenapa mimpi itu datang lagi! Dan tangan itu, adalah tangan Baruna!” Taufan menutup muka dengan kedua tangannya. Dia kembali bermimpi saat dia dan keluarganya terhempas oleh badai dan terombang-ambing di laut.
Setengah sadar Taufan berusaha membuka matanya ketika sebuah perahu mendekatinya dan seseorang mengulurkan tangannya. “Ulurkan tanganmu!” seru suara laki-laki di perahu. Taufan pun berusaha keras untuk dapat melihat sosok yang berbicara dan mengulurkan tangannya. “Ayo ulurkan tanganmu! Kalau tidak kamu bisa mati kedinginan!” Dengan perlahan Taufan berusaha mengangkat tangannya dan menyambut uluran tangannya. Rasa hangat langsung menjalari tubuhnya ketika tangannya sudah tergenggam. “Sekarang naiklah ke perahuku!” Akhirnya Taufan dapat dengan jelas melihat sosok yang menolongnya. Seorang laki-laki tampan sebaya dengannya yang sedang tersenyum.
“Baruna yang menolongku. Sama seperti pada kenyataannya, dialah yang menolongku dari keresahan-keresahan yang aku alami!” Taufan kemudian terbatuk-batuk, setelah itu kembali membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya.
***
(Baca kelanjutannya yaaaaa di episode 18)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)