Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 6)
6. Memulai
“Apa
kamu tidak bosan melihat matahari tenggelam dan terbit hampir setiap hari?” Suara
Wulan mengagetkan Baruna yang sedang berdiri di ujung dermaga menatap
tenggelamnya matahari sore. “Itu adalah matahari yag sama dengan yang kemarin,
seminggu, sebulan, setahun, seratus bahkan seribu tahun yang lalu!”
Baruna bergeming terus memperhatikan matahari yang perlahan turun ke peraduannya.
“Matahari tenggelam meninggalkan hari yang lama dan terbit untuk menemui hari
yang baru,” ujarnya.
“Kamu sendiri? Apa sudah meninggalkan
hari lamamu dan menemui hari barumu?” Baruna terdiam. Wulan meliriknya,
memperhatikan ekspresi wajah laki-laki disampingnya itu.
“Sampai kapan kamu akan terus di sini dan seperti ini? Tidakkah kamu ingin mengubahnya?
Taufan saja selalu kembali ke rumah setiap kali kabur ke sini!”
“Kenapa
tiba-tiba kamu membandingkan aku dengan Taufan?” Baruna menoleh dan memandang
Wulan. “Jangan-jangan kamu memang suka dengan dia?!”
“Hei!
Bukan maksudku seperti itu!”
“Lalu?”
Baruna tersenyum.
“Maksudku,
apa kamu tidak ingin pulang ke rumahmu? Merindukan keluargamu?”
Baruna
terdiam sesaat, kemudain menghela nafasnya dan tersenyum. “Tidak! Aku lebih
senang di sini bersamamu!” ujarnya, lalu
dengan tia-tiba merangkul pundak Wulan dengan erat.
“Apa-apaan
sih!” Wulan meronta berusaha melepaskan rangkulan tangan Baruna, namun
laki-laki itu makin mempererat rangkulannya sambil tertawa.
“Atau,
sebenarnya kamu suka padaku, tapi malu mengatakannya?”
“Siapa
yang suka padamu!” Wulan menyikut pinggang Baruna.
“Buktinya
kamu mau menemaniku melihat matahari terbenam di sore yang indah ini.”
“Heh!”
Wulan mendorong tubuh Baruna dengan keras hingga rangkulan tangan pada
pundaknya terlepas. “Aku ke sini karena kasihan padamu! Bengong sendirian,
nanti ujung-ujungnya terjun ke laut! Siapa nanti yang repot?!”
“Jadi,
bukan ingin menikamati suasana sore yang romantis denganku?” Baruna tertawa.
Wulan memasang muka masam, lalu tiba-tiba jongkok. “Kenapa?” tanya Baruna keheranan.
“Diam!
Jangan melihatku, tetap berdiri dan bersikap seakan-akan kamu sedang
sendirian!” tukas Wulan.
Baruna
mengernyitkan dahinya. “Memangnya ada apa, sih?”
“Jangan
banyak tanya! Lakukan saja apa yang aku katakan!”
Baruna
menurut apa yang dikatakan Wulan. Matanya kemudian menangkap seorang laki-laki
yang sedang berjaan di pantai tidak jauh dari dermaga. Dia pun tersenyum. “Kamu
takut terlihat Fajar sedang bersamaku?” Wulan yang berjongkok tidak menjawab. “Tenang
saja, dia sepertinya tidak melihatmu. Dia mau pergi ke musholla. Baruna tertawa.
“Jadi, sekarang kamu sedang naksir anak juragan ikan yang ganteng dan pintar
mengaji itu!”
“Bukan
urusanmu!” Wulan menukas sambil berdiri, lalu melangkah pergi meninggalkan
Baruna yang masih tertawa.
Terdengar
kumandang azan maghrib. Baruna pun beranjak pergi. Matahari pun
sampai ke praduannya dengan meninggalkan warna jingga kemerahan di cakrawala.
***
Selesai makan malam, Taufan langsung
masuk ke kamarnya, menghindari pertanyaan-pertanyaan dari Papa akan
kepergiannya, yang ujungnya pasti akan timbul perdebatan dan pertengkaran dan
Mama yang menangis karena tidak tahu harus berbuat apa dan membela siapa.
Dihampirinya meja di kamarnya yang nampak berantakan karena ada
beberapa buku yang dibiarkan tergeletak dan terbuka. Mata
Taufan kemudian tertuju pada uang lima puluh ribuan terlipat yang tergeletak bersama
dompet kulitnya di samping sebuah buku yang terbuka. Diambilnya uang tersebut,
dibuka lipatannya lalu
dipandanginya uang pemberian Syamsul itu.
“Kenapa Papa tidak seperti ayahnya Wulan? Yang selalu ramah dan tersenyum?”
benaknya, lalu memasukkan uang tersebut kedalam dompet. Dia teringat
bagaimana pengalaman pertamanya melaut juga mimpinya. “Kenapa aku memimpikan
hal yang sama? Apa artinya? Lalu, tangan siapa yang menarikku? Setiap kali aku
ingin mengenalinya, selalu saja aku tersadar dan
terbangun.”
Taufan menghela nafasnya. “Semoga bukan pertanda buruk dan hanya sekedar bunga
tidur!”
Terdengar
ketukan di pintu kamar dan disusul suara Mama. “Kamu belum tidur, Fan? Ini Mama. Boleh Mama masuk?”
“Masuk saja Ma, tidak dikunci,”
jawab Taufan. Mama masuk sambil tersenyum dan berdiri disamping Taufan.
“Kamu kemana saja, Fan?”
“Ke
rumah teman, Ma.”
“Lalu,
bagaimana dengan skripsimu? Kamu jadi mengambil studi kasus di perusahaan
Papa?”
“Iya Ma. Bukankah itu yang Papa
inginkan!” Mama mengelus rambut anak bungsunya
tersebut. “Sudah ada kabar lagi dari Mas Badai?” Taufan mengalihkan pembicaraan
karena tidak ingin melihat Mama bersedih.
“Kakakmu kemarin malam menelpon!” Wajah
Mama langsung berubah, terlihat segurat kebahagiaan.
“Oh yah?” Taufan pun tidak bisa
menutupi rasa senangnya.
Mama kemudian menceritakan kembali
apa yang dikatakan oleh Badai. Kebetulan dia sedang mengantarkan seorang anak
yang sakit ke puskesmas kota kecamatan yang jaraknya lumayan jauh dari desa di
mana dia tinggal dan mengajar, dan di sana menemukan kantor Telkom, lalu
mengambil kesempatan itu untuk menelphon rumah.
“Papa tahu?”
Raut wajah sedih kembali menghampiri
Mama. “Papa langsung pergi setelah tahu Mama menerima telephon dari kakakmu.” Mama
menghela nafasnya. “Sampai kapan Papa akan bersikap seperti itu pada kakakmu,
padahal Badai ingin sekali berbicara dengannya. Dia tetap menghormati dan menyayangi Papa.”
Taufan merangkul pinggang
Mama. “Suatu saat keadaan pasti akan berubah Ma. Papa pasti akan sadar kalau
setiap orang menjalani hidup dengan caranya masing-masing.
Dan kebahagiaan seseorang tidak mutlak dinilai dengan uang, harta dan status sosial!”
ujarnya menghibur Mama.
“Semoga saat itu datang dengan
cepat!”
***
Hari-hari berikutnya Taufan sudah
mulai sibuk dengan urusan skripsinya, sebagian besar waktunya dihabiskan di
kantor Papa, berurusan dengan segala macam data, berkas-berkas, juga
pegawai-pegawainya. Perusahaan ayahnya Taufan bergerak dalam bidang ekspor
impor meubel. Taufan
dibantu oleh Bayu, suami Lintang, kakak iparnya yang sangat baik,
penyabar, detail dan merupakan tangan kanan Papa dalam urusan pekerjaan.
***
“Bagaimana skripsimu, Fan?”
tanya Kosim saat Taufan ke rumahnya setelah pulang
kantor. Saat
itu Kosim sedang santai, menikmati secangkir kopi dan sepiring pisang goreng
sambil menonton sebuah tayangan berita sore di salah satu televisi swata
nasional.
“Belum Mas, masih proses pencarian
data dan bahan,” jawab Taufan sambil menguap lebar.
Melihat Taufan yang menguap lebar,
Kosim menyuruh istrinya untuk membuat secangkir kopi untuknya. Setelah kopi
terseuguh tanpa basa-basi Taufan langsung menyeruputnya.
“Sudah
lama aku tidak minum kopi buatan Mbak Layla. Rasanya nikmat sekali!” ungkap
Taufan. Kosim tertawa. Keduanya kemudian sama-sama memperhatikan sebuah berita
di televise.
“Berita dari hari ke hari kok ya
sama, masalah politik dan korupsi yang tidak ada habis-habisnya!”
“Juga tidak ada penyelesainnya Mas,
malah makin panjang dan meluas, menyangkut semua profesi!”
“Mereka memang sengaja tidak mau
menyelesaikannya Fan! Orang-orang itu cuma
memikirkan dirinya sendiri tidak mau mikir bagaimana orang lain! Apalagi rakyat
kecil seperti kita ini!”
“Memangnya mau menimbun harta seberapa banyak?
Kalau sudah banyak toh juga mau apa! Mau beli dunia ini?! Kenapa tidak sekalian
beli akhirat!”
“Mungkin
begitu Mas!” Taufan tertawa.
“Hidup
enak di atas kesengsaraan orang lain!”
“Apa
enaknya!”
“Aku
tidak tahu! Soalnya aku belum pernah sekaya itu dan korupsi sebanyak itu!”
Kosim tertawa, begitu juga dengan Taufan. “Oh iya, Fan. Dua lukisanku yang ikut
dipamerkan di galeri kemarin laku terjual!” Kosim berkata dengan mata berbinar.
“Oh
yah! Aku ikut senang mendengarnya. Wah! Lagi banyak rejeki dong, Mas!”
Kosim
tertawa bahagia. “Alhamdulillan, bisa beli sepeda baru buat si Bagus!” Bagus adalah
anak pertama Kosim, baru duduk di bangku kelas lima SD. “Lalu, kapan lukisanmu
mau diikutkan pameran? Biar semua orang tahu kalau kamu mempunyai bakat melukis
yang luar bisa Fan, terutama papa-mu!”
Taufan
tersenyum sinis. “Papa baru akan sadar, mungkin kalau
aku sudah mati, Mas!”
“Hush!
Jangan ngomong begitu, pamali!” tukas Kosim. Taufan terdiam, lalu kembali
menyeruput kopinya. “Tapi ngomong-ngomong, lukisan-lukisanmu yang baru itu
nampak lebih berwarna, cerah dan nampak tersenyum.”
Taufan
tertawa. “Mas Kosim bisa saja. Aku melukis seperti biasanya.”
“Menurutku berbeda dari lukisan-lukisan kamu sebelumnya. Apa kamu sedang
merasa senang Fan?” Taufan tersenyum sambil
mengangkat kedua bahunya.
Keduanya
kembali fokus pada siaran berita yang mengetengahkan bencana gunung meletus,
banjir dan gempa di beberapa daerah di Indonesia.
Setelah
menghabiskan kopinya Taufan pamit pulang. Saat sedang menaiki sepeda motornya
dia melihat seorang laki-laki sebaya Kosim sedang menggendong anak laki-laki di
pundaknya yang sedang menangis. “Aku sudah tidak ingat lagi kapan terakhir Papa
menggendongku! Aku juga tidak ingat kapan terakhir kalinya Papa becanda,
tertawa dan tersenyum padaku! Yang aku ingat, setiap kali kami bertemu dan bersama,
yang ada hanya perdebatan dan pertengkaran!” benak Taufan, kemudian
meninggalkan rumah Kosim.
***
(Masih lanjut lho...jangan upa baca episode 7 yaaaa.......)
Komentar
Posting Komentar