Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 12)
12.
Syukuran
Malam
hari, Baruna yang tidak ikut melaut berjalan
bersama Wulan setelah menemaninya ke rumah Haji Syukur untuk mengantarkan
kerupuk pesanan. Wulan menanyakan kepergian Baruna bersama Taufan pada malam sebelumnya. Baruna pun menceritakan semuanya kecuali tentang Tamara dan Amin.
“Aku
melihat kamu jadi lebih bersemangat dan lebih bergembira senjak ada dia!”
Baruna
tersenyum. “Mungkin karena bertemu dengan orang yang senasib denganku,
jadi aku merasa tidak sendirian!”
“Oh
yah?! Apa dia mengalami hal yang sama denganmu?”
“Yaaa,
kurang lebihnya begitu.”
Baruna
tiba-tiba meraih tangan Wulan dan mengatakan kalau dia ingin ditemani ke pantai.
“Kenapa?
Kamu takut kalau berniat bunuh diri lagi?!”
“Mungkin!”
Keduanya
berjalan ke pantai ditemani cahaya bulan, bintang dan lampu-lampu dari
perkampungan nelayan.
“Kamu
kenapa?” tanya Wulan karena melihat
Baruna yang hanya terdiam.
“Tidak
apa-apa.” Baruna menghentikan langkahnya lalu duduk di atas pasir menatap gelapnya laut
lepas yang membawa ombak dan memecahkannya di pantai. Wulan duduk di sampingnya.
“Lan, boleh aku meminjam pundakmu?”
“Untuk
apa!” Wulan menoleh, memandangnya dengan tajam dan curiga.
“Tenang
saja, aku tidak akan berbuat apa-apa.”
Wulan
terdiam, lalu membiarkan Baruna menyandarkan kepala di bahunya. Mereka duduk
dalam kebisuan dengan pikirannya masing-masing hanya ditemani debur ombak dan
suara angin laut.
“Kamu kenapa? Tidak biasanya begini.”
“Aku merindukan mereka.”
“Siapa?”
“Keluargaku?”
“Kenapa kamu tidak pulang ke rumah?”
“Mereka tidak ada di sana.”
Wulan terdiam, dia tahu Baruna sedang bersedih dan dia
tidak mau menambah kesedihannya. Tanpa sadar dia memegang tangan Baruna yang
terasa dingin. Terdengar lirih Baruna mengucapkan kata ‘mama’.
Ketika udara dingin mulai menusuk tubuh, Wulan mengajak
Baruna untuk pulang.
***
Hari minggu, Mama mengadakan
syukuran atas kehamilan Lintang. Lintang sebenarnya menolaknya, dia akan
mengadakan syukuran jika nanti usia kandungannya empat bulan namun Mama
beralasan kalau syukuran tersebut hanya untuk keluarga dan sebagai tanda syukur kepada Tuhan. Pada syukuran tersebut Sekar datang
atas undangan Papa. Taufan mengundang Baruna. Sebetulnya Wulan pun turut
diundang, namun dia tidak bisa datang karena harus
membantu ibunya di warung sebab Ratri yang
biasa membantu tidak bekerja karena sakit. Taufan memperkenalkan Baruna kepada
kakak dan kakak iparnya, juga kepada Sekar.
“Kakak iparmu sangat ramah,
sepertinya dia orang yang baik,” kata Baruna setelah berkenalan dan berbicara
dengan Bayu.
“Sangat baik malah. Beruntung
kakakku dijodohkan dengan dia!”
“Dan Sekar?” Taufan mengangkat kedua
bahunya. “Papamu rupanya mempunyai selera yang bagus dalam memilihkan jodoh
anak-anaknya!” Baruna tertawa.
“Yah, aku akui papaku mempunyai
selera bagus dan tinggi! Tapi masalah hati tidak bisa dipaksakan, Bar!”
“Kakakmu bisa!”
“Aku bukan dia!”
“Tapi gadis itu cantik dan menarik,
Fan! Dan kelihatannya baik, juga pintar! Bodoh
kamu, jika tidak mau dengannya!”
“Ah sudahlah tidak usah dibahas! Lebih
baik kita makan saja sekarang!”
***
Taufan, Baruna dan Sekar makan
bersama di teras belakang. Sekar menanyakan sudah sejauh mana skripsinya dan
rencananya setelah lulus dan wisuda nanti kepada Taufan. Taufan
menceritakan tentang skripsinya namun dia belum tahu yang akan dilakukannya
setelah lulus nanti.
“Kenapa tidak bekerja di kantor
papamu saja? Seribu persen aku jamin, kamu pasti akan diterima di sini!” ujar
Sekar tersenyum.
“Wah, kalau Taufan bekerja bareng
papanya, bisa-bisa kamu akan melihat perang dunia ketiga setiap hari di
kantor!” sahut Baruna.
“Apa maksudnya?” Sekar mengernyitkan
dahinya sambil memandang dua laki-laki tampan di depannya secara bergantian
dengan penuh tanda tanya.
“Tidak apa-apa. Aku cuma sering
tidak cocok saja dengan Papa.”
“Oh iya, bagaimana dengan kalian?
Aku dengar kalian dijodohkan!” ujar Baruna tiba-tiba. Taufan menyeringai
sedangkan Sekar nampak malu dan wajahnya memerah.
“Itu kan hanya keinginan kedua orang
tua kami saja. Betul kan, Sekar?” Taufan meminta persetujuan Sekar, namun gadis
yang duduk di depannya tersebut tidak menjawab, hanya tersenyum tipis.
“Tapi kalian berdua sangat serasi
dan sepertinya cocok satu sama lain!”
“Kamu jadi seperti orang tua kami
saja, Bar!” ujar Taufan.
“Kalau kalian berdua merasa cocok,
apa salahnya kan, jika mengikuti keinginan orang tua?” Wajah Sekar semakin
bertambah merah. Baruna memperhatikannya.
“Ah sudahlah, biarlah itu menjadi
masalah orang tua saja. Mereka tidak mengerti keinginan anak-anaknya. Bukan
begitu Sekar?”
Wajah
Sekar tiba-tiba berubah menjadi agak sedikit tegang, ada raut kecewa tersirat,
dengan senyum yang dipaksakan gadis cantik itu berdiri dari duduknya. Dengan
alasan mengambil minuman di dapur, Sekar pergi meninggalkan Taufan dan Baruna.
“Dia menyukaimu! Dia ingin
perjodohan itu terwujud!” kata Baruna sepeninggal Sekar. Taufan tersenyum. “Dan
dia tidak menyetujui perkataanmu tadi, kalau perjodohan hanya keinginan dan urusan
para orang tua!”
“Aku tidak ingin menyakitinya dan
membuatnya kecewa, makanya aku katakan apa yang sebenarnya aku rasakan!”
“Tapi kamu sudah menyakiti dan
membuatnya kecewa!”
“Lebih baik di awal!” Taufan
menghela nafasnya. “Seperti katamu, dia cantik, baik juga pintar. Pasti banyak
laki-laki yang menyukainya, jauh lebih baik dan sempurna dari aku.
Dan bukannya sudah pernah aku katakan padamu kalau perasaan
tidak bisa dipaksakan!” Taufan mengambil gelas es jeruknya dan menghabiskan
isinya. Baruna tersenyum.
Setelah menghabiskan makanannya mereka bergabung dengan anggota keluarga lain
yang sedang berbincang di ruang tengah.
***
(Baca lanjutannya di episode 13 yaaaa.................)
Komentar
Posting Komentar