Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 2)
2. Pantai
Satu jam lebih Taufan terus mengendarai sepeda motornya menelusuri
jalan kota yang masih belum terlalu ramai di minggu pagi dengan segala rasa gundah yang melanda
hatinya, bayangan Papa, Mama, Badai dan Lintang berputar-putar di benaknya,
hingga tak terasa meninggalkan pusat kota, menuju ke utara dan sampai di sebuah
perkampungan nelayan, melewatinya dan akhirnya terlihat laut biru yang
membentang luas di depannya. Debur ombak dan angin laut menyambutnya di antara
bau amis ikan ,juga deretan kapal-kapal nelayann dengan berbagai ukuran yang
sedang bersandar di dermaga kecil setelah semalaman mencari ikan di tengah
laut.
Taufan
membelokkan sepeda motornya ke arah kiri, menjauhi perkampungan nelayan melewati beberapa
pohon kelapa pantai yang menjulang tinggi. Dia menghentikan sepeda motornya, turun dan berjalan ke arah laut. Di
atas pasir, sekitar dua meter dari batas pecahnya ombak dia berhenti, berdiri
tegak, lalu melemparkan tas ranselnya di atas pasir dan melepaskan jaketnya
yang dilemparnya di atas tas. Setelah itu duduk dengan memeluk kedua lututnya,
matanya memandang ke laut lepas. Sesekali
pandangannya menangkap camar yang terbang. Sinar matahari mulai terasa lebih panas mengenai
kulitnya. Tidak
jauh dari tempat tersebut terlihat deretan pohon bakau tua dengan akarnya yang
sudah menjalar kemana-mana.
Hari
yang cerah, langit membentang biru dihiasi awan-awan cirrus[1]
tipis di atas laut yang tenang. Taufan berada dalam sebuah kapal kecil bersama
Papa, Mama, Badai dan Lintang. Mereka sedang bergembira. Bernyanyi bersama.
Papa merangkul pundak Mama dengan mesra. Badai merangkul dirinya
dan Lintang dengan erat dan penuh sayang.
Tiba-tiba
langit yang cerah berubah menjadi mendung gelap, dan hujan pun turun dengan
derasnya disertai angin, petir menyambar, ombak pun menjadi besar, kapal yang
ditumpangi keluarga Taufan menjadi oleng dan terombang-ambing. Badai memeluk Papa
dan Mama, Taufan memeluk erat Lintang yang menangis ketakutan. Langit semakin
gelap, tanpa mereka sadari sebuah ombak besar dan tinggi datang, semuanya berteriak.
Tapi terlambat, ombak tersebut telah menggulung perahu mereka.
Taufan
membuka matanya, dia tersadar. Tubuhnya di dalam air. Kemudian teringat dengan
apa yang baru saja terjadi. Dia berenang
ke atas. Sesampainya di permukaan, Taufan melihat kesekeliling, mencari satu
persatu keluarganya, Papa, Mama, Badai dan Lintang, tapi dia tidak melihat
apa-apa, hanya air dan air. Dia kembali menyelam ke
dalam air, berusaha mencari keluarganya, namun tetap tidak menemukannya, lalu
muncul kembali ke permukaan dan berenang ke sana-kemari sambil berkali-kali
memanggil-manggil satu per satu keluarganya, tetap tidak ada jawaban, akhirnya dia kehabisan
tenaga. Terapung-apung sambil memeluk sebuah kayu
sisa pecahan kapal yang ditumpanginya bersama keluarganya, dia merasa lemas dan kehausan, pandangan matanya mulai
kabur. Beberapa saat kemudian, samar-samar
melihat sebuah perahu mendekat ke arahnya. Ketika perahu itu berada di
depannya, sebuah tangan menjulur padanya. Dengan sisa-sisa tenaga dan pandangannya
yang kabur, Taufan menyambut uluran tangan itu, setelah itu dia merasa tangannya
ditarik dengan kuat.
“Hei!
Seorang laki-laki pagi-pagi sudah duduk melamun di pantai itu pasti punya
sebab, kalau tidak sedang patah hati pasti kabur dari rumah!” Sebuah suara
membuyarkan lamunan Taufan. Tanpa dia sadari, kini disampingnya duduk seorang
laki-laki yang kurang lebih sebaya dengannya, berambut lurus kecoklatan,
berhidung mancung dan berkulit putih kecoklatan. Laki-laki itu memakai kaos putih polos dengan
celana panjang kain warna biru tua yang dilipat sampai betisnya. Taufan menoleh kearahnya. Laki-laki itu nampak tersenyum sambil memandang ke laut bebas.
“Sok
tahu!” tukas Taufan, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah laut lepas.
“Tentu
saja aku tahu. Aku sudah pernah menemui laki-laki seperti itu di sini. Kamu
sedang mengalami yang mana? Yang pertama aku sebutkan? Atau yang kedua?” Taufan
mencibir. “Baiklah, aku tidak akan memaksamu untuk menjawabnya. Lagipula itu
bukan urusanku! Tapi Melihat jaket, ransel dan motormu, aku
pastikan kamu pasti kabur dari rumah!” Laki-laki itu tersenyum sambil memungut pecahan
kulit kerang dan dilemparkan kearah laut. Taufan terdiam. “Kamu diam. Berarti
apa yang aku katakan adalah benar!” Laki-laki itu tertawa.
“Kamu
sendiri? Apa yang kamu lakukan di sini?Kabur dari rumah juga?” Taufan tidak mau
kalah.
“Aku?
Aku memang tinggal dan bekerja di sini!”
“Kamu
nelayan?!” Taufan mengernyitkan dahinya, lalu memperhatikan laki-laki yang
duduk di sampingnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kemudian tersenyum
sinis.
“Kenapa?”
Laki-laki itu memandang Taufan.
Taufan
tertawa. “Aku tidak percaya kamu seorang nelayan!”
“Kenapa memangnya? Memang sih, aku terlalu
ganteng dan keren untuk menjadi seorang nelayan. Itu kan yang akan kamu
katakan?” Laki-laki itu tertawa. Taufan kembali
tersenyum sinis. “Aku tidak bohong, aku memang tinggal di
perkampungan nelayan itu dan aku memang seorang nelayan!” Laki-laki itu kembali
memandang ke laut lepas.
“Kalau
kamu memang seorang nelayan, kenapa tidak ikut kesibukan mereka? Bukankah para
nelayan selalu sibuk di pagi hari menjual hasil tangkapannya semalaman?”
“Sudah
selesai. Lagipula semalam aku tidak ikut melaut, karena kemarin saat turun dari
kapal aku terjatuh dan kakiku terkilir.” Laki-laki itu menunjuk mata kaki
kirinya yang membiru.
“Lalu
kenapa kamu ada di sini, seharusnya kamu beristirahat di rumah dan kakimu
diobati atau diurut.”
“Memangnya
siapa yang melarang aku di sini? Ini bukan pantai milik siapa pun!” Laki-laki
itu menyeringai. Taufan mencibir. “Semalam sudah diurut, jadi sudah agak mendingan,
ya meskipun masih terasa sakitnya, lalu pagi-pagi aku bawa jalan-jalan. Saat
aku jalan-jalan di sekitar pohon bakau itu aku melihatmu datang dengan sepeda
motor, turun, berjalan, melempar tas dan jeaketmu dan duduk di sini.” Laki-laki
itu tersenyum.
“Kamu
mengawasiku?!” Taufan memandang laki-laki itu sambil mengernyitkan dahinya.
“Siapa
yang mengawasimu! Aku punya mata yang masih bisa melihat!” Laki-laki itu menunjuk
matanya sendiri.
“Lalu,
kenapa kamu duduk di sini?!”
“Saat
berjalan tidak jauh darimu, aku melihatmu melamun, pandangan matamu kosong ke
depan. Aku tidak tahu apa yang sedang kamu lamunkan, sampai aku yang berjalan
di sampingmu tidak kamu sadari!” Taufan menjadi teringat lamunannya sebelum
akhirnya buyar oleh sapaannya. “Aku takut kamu
khilaf, lalu bunuh diri dengan
menenggelamkan diri ke laut, makanya aku duduk di sampingmu dan membuyarkan
lamunanmu.” Laki-laki itu tertawa.
“Aku
tidak sebodoh itu!” tukas Taufan.
Keduanya
kemudian terdiam, hanya terdengar suara nafas mereka yang di antara angin laut
dan debur ombak yang pecah di pasir.
“Namaku
Baruna!” Laki-laki itu mengulurkan tangannya pada Taufan.
Taufan
memandangi tangan tersebut sesaat, kemudian menyambutnya. “Aku Taufan!”
“Taufan,
masih saudara dengan badai, prahara, angin rebut atau putting beliung!” Baruna
terseyum sambil menarik kembali tangannya.
Taufan tertawa. “Kakakku memang bernama Badai!”
“Oh
yah?!” Baruna nampak tidak percaya.
“Namamu
Baruna, artinya laut. Pantas saja kamu tinggal di sini!”
“Yah begitulah!”
Baruna tersenyum sambil menggambar sebuah matahari di atas pasir dengan
jarinya.
“Untung
namamu bukan Bahari, pasti nanti dikira warteg! Warteg
Tegal Bahari.”
Taufan berseloroh. Baruna tertawa.
***
Matahari
semakin tinggi dan udara pun semakin terasa lebih panas.
“Apa
kamu akan duduk di sini seharian?” tanya Baruna.
“Aku
tidak tahu!”
“Kalau
begitu aku pergi dulu. Aku belum makan dari pagi, perutku sudah mulai protes!”
Taufan
yang hanya makan pagi dua sendok dan hanya minum seteguk air putih sebelum dia
ribut dengan Papa dan pergi meninggalkan rumah merasakan perutnya juga sudah mulai protes.
“Kamu makan dimana?”
“Ada sebuah warung makan kecil di perkampungan nelayan, kalau mau, kamu
bisa ikut aku.” Baruna kemudian berdiri dari duduknya dengan menahan rasa sakit
di kaki kirinya. Taufan yang melihatnya berusaha membantu teman barunya
tersebut berdiri. “Aku masih bisa berdiri sendiri!” Baruna memprotes.
“Tidak
usah gengsi dan sombong! Kamu masih menahan sakit begitu!” Tukas
Taufan sambil tetap berusaha membantu Baruna berdiri.
Setelah Baruna berdiri,Taufan kemudian mengambil sepeda
motornya. Beberapa saat kemudian keduanya sudah berboncengan menuju
perkampungan nelayan.
***
Taufan
menghentikan sepeda motornya di depan sebuah warung makan kecil, tidak jauh
dari dermaga tempat bersandarnya kapal-kapal nelayan. Aktivitas nelayan di
dermaga dan kapal sudah tidak terlalu ramai dan sibuk.
Baruna langsung berjalan masuk ke warung makan tersebut dengan langkah
terpincang diikuti oleh Taufan. Hanya ada beberapa orang
di dalam
warung, mereka menyapa Baruna dan menanyakan keadaan kakinya. Baruna menjawab
kalau kakinya sudah agak mendingan.
Kedua laki-laki itu duduk di sebuah bangku kayu panjang kosong.
Mereka duduk bersebelahan.
“Bagaimana
kakimu, sudah tidak sakit?!” tanya seorang
perempuan muda berkulit coklat, berwajah manis dengan lesung pipit memanjang
dikedua pipinya, berbadan agak kurus dengan tinggi sedang kepada Baruna.
“Lebih
baik tapi masih terasa sakit.”
Perempuan
muda itu melirik Taufan. “Temanmu?”
Baruna
mengangguk, lalu memperkenalkan Taufan. “Kenalkan Fan,
ini Wulan, yang punya warung makan ini.” Wulan dan Taufan kemudian saling
berkenalan. “Hati-hati,
Fan. Jangan tertipu dengan dia, kelihatannya saja dia itu manis dan lembut.
Aslinya galak dan kejam!” ujar Baruna, yang kemudian tertawa setelah dilempar
lap makan oleh Wulan. “Tuh kan! Kamu lihat sendiri!”
Wulan
melotot pada Baruna. “Kalian mau makan apa!” tukasnya
kemudian.
“Aku
seperti biasanya, nasi sama telur dadar dan pepes telur rajungan, minumnya teh
manis panas,” kata Baruna. Sedangkan Taufan yang belum mengetahui menu apa saja
yang disediakan oleh warung tersebut akhirnya menyamakannya dengan Baruna “Kamu
masih tidak percaya kalau aku tinggal di sini? Lihat saja orang-orang di sini,
hampir semuanya mengenalku,” ujar Baruna setelah Wulan pergi.
Taufan
mengangkat kedua bahunya. “Yah, aku percaya kamu tinggal disini. Tapi aku masih
belum percaya kamu adalah orang asli sini!”
Baruna
tertawa. “Kenapa?”
“Jelas
kelihatan, mana yang nelayan asli dan mana yang bukan. Nelayan asli, mereka
rata-rata berbadan kekar, berkulit coklat! Sedang kamu, badanmu tidak sekekar
mereka, kulitmu jauh lebih putih, dan tanganmu, bukan tangan kekar dan kuat
yang biasa menarik jala atau tong-tong berat berisi ikan. Juga kakimu yang
terkilir karena jatuh dari kapal! Nelayan sejati tidak akan begitu, mereka
sudah tahu bagaimana naik dan turun dari kapal dan apa yang seharusnya jadi pijakan!
Sambil merem pun mereka sudah tahu!”
Baruna
tertawa. “Analisismu bagus sekali!”
Wulan
datang membawa nampan berisi makanan dan minuman pesanan Baruna dan Taufan.
“Sudah
lama berteman dengan Baruna?” Wulan bertanya kepada Taufan.
“Belum.”
“Hati-hati
berteman dengan dia! Nanti ketularan jadi anak bengal!”
Wulan mengerlingkan mata kepada Baruna.
“Hei!
Siapa bilang aku anak Bengal!” protes Baruna.
“Kalau
bukan anak bengal, kamu tidak mungkin berada di
sini!”
“Kalau
aku berada di sini itu namanya takdir! Tapi, walaupun anak bengal,
kamu suka kan?” Baruna tertawa. Wulan mencibir dan langsung pergi.
Setelah
Wulan pergi, tanpa menunggu lama, baik Baruna maupun Taufan langsung menyantap
makanan mereka.
“Dia benar pemilik warung ini?” tanya Taufan diantara makannya.
Baruna mengatakan sebenarnya pemiliknya adalah orang tua Wulan. Dia
menunjuk menunjuk
seorang wanita berumur empat puluhan yang sedang menaruh nasi di piring di
belakang meja besar yang berisi piring-piring dan mangkok-mangkok besar tempat
lauk-pauk yang tidak lain adalah ibu Wulan.
“Bapaknya?”
“Bapaknya
sama seperti sebagian besar laki-laki di sini, seorang nelayan.”
“Kalian
sepertinya sudah saling mengenal dengan baik!”
Baruna
tertawa namun tidak mengomentari perkataan Taufan, lalu menyuruhnya untuk
melanjutkan makannya.
Setelah
selesai makan, Baruna bermaksud membayar makanannya namun
langsung dicegah oleh Taufan, dia langsung memberikan
sejumlah uang kepada Wulan. “Hei! Kamu pikir aku tidak punya uang
untuk mentraktirmu!” protes Baruna.
“Terima
saja, biasanya kamu juga ngutang!” kata Wulan kepada Baruna sambil tertawa.
“Hei,
jangan menghina! Kali ini aku punya uang!” Baruna mengambil selembar uang limapuluh
ribuan dari saku celananya.
“Simpan
saja! Mumpung ada rejeki, jangan ditolak!” Wulan tertawa sambil berbalik pergi.
Taufan
mengatakan kalau hal itu dianggap sebagai ucapan terima kasihnya, karena Baruna
telah membawanya ke tempat makan yang masakannya benar-benar enak dan juga sebagai tanda awal pertemanan mereka.
Baruna
pun tersenyum. “Baiklah, jadi sekarang kita berteman!” ujarnya sambil mengulurkan
tangannya pada Taufan.
Taufan
menyambut uluran tangan Baruna, menjabatnya dengan erat, senyum mengembang di
bibirnya. “Teman!”
Setelah
itu keduanya keluar dari warung makan.
“Setelah kabur, kamu balik ke rumah?” tanya
Baruna kepada Taufan sambil tersenyum ketika melihat teman barunya tersebut
memakai jaket, memasang ransel di punggungnya dan duduk di atas sepeda
motornya.
“Aku
tidak kabur dari rumah, hanya pergi sebentar dari rumah! Setelah dari sini aku aku akan pergi ke suatu tempat dimana aku merasa
tenang dan terbebas dari apa pun!”
“Maksudmu
kuburan?!”
“Hei! Pagi-pagi jangan ngomong tentang kuburan
ah!”
Keduanya
kemudian tertawa.
“Yah,
suatu saat, semua manuasia akan sampai ke sana dan terbebas dari apa pun di
dunia ini!” kata Baruna kemudian.
“Termasuk
aku dan kamu!”
“Yah,
termasuk kita!”
“Baiklah,
aku pergi dulu. Terima kasih mau menemaniku!” Taufan tersenyum lalu langsung tancap gas.
Wulan datang mendekat dan berdiri disamping Baruna. “Temanmu
pergi kemana?” tanyanya. Baruna mengangkat kedua bahunya. “Melihat
temanmu itu, aku seperti melihatmu waktu pertama kali datang ke sini, empat
bulan yang lalu!” Baruna menatap Wulan dengan tajam, hingga gadis manis itu
menggerakkan tubuhnya sedikit ke belakang sambil mengernyitkan dahinya. “Kenapa
kamu melihatku seperti itu? Memang kenyataannya seperti itu. Aku melihatnya
sendiri!” Wulan ganti menatapnya dengan tajam. “Tapi dia
tidak separah kamu waktu itu! Dan satu lagi, dia lebih tampan darimu dan
sepertinya lebih baik darimu!”
“Kamu
menyukainya?!” Wulan tersenyum tanpa
menjawab, kemudian berjalan meninggalkan
Baruna. “Kalau kamu menyukainya, aku akan membantumu mengatakan padanya!”
Baruna berteriak kemudian terdengar tawanya
“Tidak
usah banyak omong! Ingat, kamu harus membantuku membuat kerupuk ikan. Hari
sudah siang, kamu harus membersihkan ikan-ikannya!”Wulan berteriak sambil membalikkan badannya untuk beberapa saat,
setelah itu berjalan kembali.
“Iya,
aku tahu!” balas Baruna di sela tawanya, lalu berjalan mengikuti Wulan dengan
terpincang-pincang. “Apa pekerjaanmu di warung sudah selesai?” tanyanya setelah
berada disamping gadis manis itu.
“Kalau
aku sudah keluar warung, berarti sudah selesai! Mba Ratri, yang biasa bantu Ibu
sudah datang! Jadi aku sudah bebas!” tukas Wulan galak.
“Hei,
jadi perempuan itu jangan galak-galak amat! Nanti tidak laku-laku, lho!” Wulan
mencibir. “Pantas saja ustadz itu tidak mau menerimamu jadi menantu!” Baruna
tertawa.
Wulan
melotot kepada Baruna. “Sekali lagi kamu bicara! Aku tendang kakimu yang sakit
itu! Dan aku akan suruh kakek mengusirmu dari rumahnya!”
“Waduh!
Sadis amat!” Baruna tertawa.
Keduanya
terus berjalan di antara rumah-rumah nelayan, dan kemudian masuk ke sebuah
rumah. Rumah keluarga Wulan.
***
“Wah, sepertinya kamu sedang senang,
ya Fan?” tanya Kosim yang sedang membereskan botol-botol cat minyak yang
berantakan setelah selesai melukis ketika melihat kedatangan Taufan. “Nah,
begitu dong! Berwajah cerah dan tersenyum bahagia ketika datang!”
“Bukannya aku selalu tersenyum setiap kali
datang ke tempatnya Mas Kosim,” kata Taufan tersenyum sambil
meletakkan
ransel yang dibawanya di lantai.
“Aku melihat kali ini senyumanmu
lain dari biasanya, Fan! Kamu baru dapat undian? Atau.
kamu baru saja gencatan senjata dengan bapak-mu?”
Taufan tertawa. “Aku belum pernah
ikut undian Mas. Gencatan senjata dengan Papa? Mana
mungkin! Tadi aku habis perang dengan dengannya, dan aku kabur, seperti biasanya!”
Kosim menghela nafasnya lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tahu betul bagaimana hubungan Taufan dengan
papa-nya. “Terus, apa yang menyebabkanmu nampak begitu senang?”
“Aku hanya sedang merasa senang saja Mas.” Taufan kemudian melepas
jaketnya, lalu mengambil sebuah kanvas kosong miliknya, diletakkan di penyangga
kanvas, mengambil sebuah bangku kecil dan dietakkan di depan kanvas yang telah
terpasang tersebut.
Kosim menghampiri Taufan dan
memegang pundaknya sambil tersenyum. “Aku tidak berhak tahu penyebabnya. Tapi
aku turut senang jika kamu senang, Fan!” Setelah itu pamit pergi, karena harus
mempersiapkan lukisan-lukisan karyanya yang akan diikut sertakan dalam pameran
oleh Dinas Pariwisata.
Sepeninggal Kosim, Taufan mulai mencorat-coret
kanvasnya dengan kuas dan cat minyak. Tiga jam kemudian, sebah pantai lengkap
dengan kapal-kapal nelayannya terpampang di depannya. Taufan memandangi lukisan
hasil karyanya dengan teliti, setelah itu tangannya kembali menari-nari di atas
kanvas untuk menyempurnakan lukisannya.
***
Setelah selesai melukis Taufan pergi
dengan sepeda motornya menyusuri jalan-jalan ibukota, beberapa kali berhenti di
suatu tempat untuk sekedar duduk atau membeli minuman di kios-kios kecil
pinggir jalan. Segala pemandangan dia tanggkap di matanya mulai dari anak kecil
pengamen di lampu merah, pedagang asongan, peminta sumbangan, pemulung,
pengemis. “Apakah aku ini? Seharusnya aku lebih berbahagia dari mereka dengan
keadaanku sekarang! Tapi tidak, sepertinya mereka jauh lebih bahagia daripada
aku, walaupun hidup dalam kekurangan!”
Saat berhenti di sebuah lampu merah Pandangan
Taufan kemudian terfokus pada sebuah sepeda motor yang ditumpangi seorang
laki-laki, seorang wanita dan seorang anak laki-laki kecil yang duduk di depan
dan satunya lagi duduk di antara wanita tersebut dan laki-laki tersebut. Mereka
terlihat tertawa bahagia. “Kapan terakhir Papa, Mama, aku, Mas Badai dan Mba
Lintang merasakan tawa bahagia seperti itu.” Taufan kemudian teringat
lamunannya di pantai. “Yah, kami terakhir bahagia saat berada di lamunanku di
pantai!”
***
Jam
sebelas malam, Taufan pulang ke rumah. Mama yang sudah
menunggunya langsung menyambutnya.
“Jangan
pernah pergi meninggalkan Mama, Fan. Sudah cukup itu terjadi pada Badai,” kata
Mama sambil memeluk Taufan.
“Aku tidak akan meninggalkan Mama.”
“Tidakkah, kamu sedikit mengalah
dengan Papa-mu?”
“Aku sudah banyak mengalah untuk
Papa, Ma. Aku sudah menurut hampir semua keinginannya!” Taufan berkata sambil
melepaskan pelukannya pada Mama.
“Tidakkah kamu sadar, Fan? Apa yang
terjadi antara kamu dan papa-mu membuat Mama menderita? Mama tidak tahu harus
memihak dan membela siapa, karena kalian berdua adalah orang-orang yang sangat
Mama sayangi dan cintai!”
Taufan
tersenyum, lalu mencium kening Mama “Aku tahu Ma, sebenarnya aku juga tidak
ingin membuat Mama menderita. Tapi Papa terlalu memaksakan kehendaknya!” Mama
mula menitikkan air matanya. “Aku juga sangat menyayangi dan mncintai Mama.
Mama tidak perlu membelaku, karena itu pasti akan membuat Papa semakin marah
dan Mama semakin menderita.” Taufan memegang dengan lembut tangan Mama. “Aku
yakin, keadaan seperti ini suatu pasti akan berakhir, dan tidak ada yang kalah
ataupun menang!”
“Apa
maksudnya tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah?” Mama mengernyitkan
dahinya, tidak mengerti apa yang dikatakan oleh anak bungsunya tersebut.
Taufan
tersenyum. “Tidak usah Mama pikirkan, lebih baik sekarang Mama istirahat, sudah
terlalu malam.”
“Kamu juga harus beristirahat, Fan.
Dan Mama berharap kamu memegang janjimu pada papa-mu.”
“Aku tahu Ma! Besok pagi aku akan ke
kampus!”
Setelah Mama masuk ke kamar, Taufan
masih berdiri di ruang depan, mematung. “Jangan kuatir Ma, aku pasti akan
mempersembahkan ijazah sarjana-ku pada Papa!” kata Taufan lirih, setelah
menghela nafasnya kemudian berjalan menuju ke kamarnya.
***
(Jangan lupa baca terusannya di episode 3 yaaa..................)
[1] Cirrus, jenis masuk dalam golongan awan tinggi, halus, tipis dan terlihat
seperti bulu-bulu ayam
Komentar
Posting Komentar