Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 2)

2.      Pantai

Satu jam lebih Taufan terus mengendarai sepeda motornya menelusuri jalan kota yang masih belum terlalu ramai di minggu pagi dengan segala rasa gundah yang melanda hatinya, bayangan Papa, Mama, Badai dan Lintang berputar-putar di benaknya, hingga tak terasa meninggalkan pusat kota, menuju ke utara dan sampai di sebuah perkampungan nelayan, melewatinya dan akhirnya terlihat laut biru yang membentang luas di depannya. Debur ombak dan angin laut menyambutnya di antara bau amis ikan ,juga deretan kapal-kapal nelayann dengan berbagai ukuran yang sedang bersandar di dermaga kecil setelah semalaman mencari ikan di tengah laut.
Taufan membelokkan sepeda motornya ke arah kiri, menjauhi perkampungan nelayan melewati beberapa pohon kelapa pantai yang menjulang tinggi. Dia menghentikan sepeda motornya, turun dan berjalan ke arah laut. Di atas pasir, sekitar dua meter dari batas pecahnya ombak dia berhenti, berdiri tegak, lalu melemparkan tas ranselnya di atas pasir dan melepaskan jaketnya yang dilemparnya di atas tas. Setelah itu duduk dengan memeluk kedua lututnya, matanya memandang ke laut lepas. Sesekali pandangannya menangkap camar yang terbang. Sinar matahari mulai terasa lebih panas mengenai kulitnya. Tidak jauh dari tempat tersebut terlihat deretan pohon bakau tua dengan akarnya yang sudah menjalar kemana-mana.
Hari yang cerah, langit membentang biru dihiasi awan-awan cirrus[1] tipis di atas laut yang tenang. Taufan berada dalam sebuah kapal kecil bersama Papa, Mama, Badai dan Lintang. Mereka sedang bergembira. Bernyanyi bersama. Papa merangkul pundak Mama dengan mesra. Badai merangkul dirinya dan Lintang dengan erat dan penuh sayang.
Tiba-tiba langit yang cerah berubah menjadi mendung gelap, dan hujan pun turun dengan derasnya disertai angin, petir menyambar, ombak pun menjadi besar, kapal yang ditumpangi keluarga Taufan menjadi oleng dan terombang-ambing. Badai memeluk Papa dan Mama, Taufan memeluk erat Lintang yang menangis ketakutan. Langit semakin gelap, tanpa mereka sadari sebuah ombak besar dan tinggi datang, semuanya berteriak. Tapi terlambat, ombak tersebut telah menggulung perahu mereka.
Taufan membuka matanya, dia tersadar. Tubuhnya di dalam air. Kemudian teringat dengan apa yang baru saja terjadi.  Dia berenang ke atas. Sesampainya di permukaan, Taufan melihat kesekeliling, mencari satu persatu keluarganya, Papa, Mama, Badai dan Lintang, tapi dia tidak melihat apa-apa, hanya air dan air. Dia kembali menyelam ke dalam air, berusaha mencari keluarganya, namun tetap tidak menemukannya, lalu muncul kembali ke permukaan dan berenang ke sana-kemari sambil berkali-kali memanggil-manggil satu per satu keluarganya, tetap tidak ada jawaban, akhirnya dia kehabisan tenaga. Terapung-apung sambil memeluk sebuah kayu sisa pecahan kapal yang ditumpanginya bersama keluarganya, dia merasa lemas dan kehausan, pandangan matanya mulai kabur.  Beberapa saat kemudian, samar-samar melihat sebuah perahu mendekat ke arahnya. Ketika perahu itu berada di depannya, sebuah tangan menjulur padanya. Dengan sisa-sisa tenaga dan pandangannya yang kabur, Taufan menyambut uluran tangan itu, setelah itu dia merasa tangannya ditarik dengan kuat.
“Hei! Seorang laki-laki pagi-pagi sudah duduk melamun di pantai itu pasti punya sebab, kalau tidak sedang patah hati pasti kabur dari rumah!” Sebuah suara membuyarkan lamunan Taufan. Tanpa dia sadari, kini disampingnya duduk seorang laki-laki yang kurang lebih sebaya dengannya, berambut lurus kecoklatan, berhidung mancung dan berkulit putih kecoklatan.  Laki-laki itu memakai kaos putih polos dengan celana panjang kain warna biru tua yang dilipat sampai betisnya. Taufan menoleh kearahnya. Laki-laki itu nampak tersenyum sambil memandang ke laut bebas.
“Sok tahu!” tukas Taufan, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah laut lepas.
“Tentu saja aku tahu. Aku sudah pernah menemui laki-laki seperti itu di sini. Kamu sedang mengalami yang mana? Yang pertama aku sebutkan? Atau yang kedua?” Taufan mencibir. “Baiklah, aku tidak akan memaksamu untuk menjawabnya. Lagipula itu bukan urusanku! Tapi Melihat jaket, ransel dan motormu, aku pastikan kamu pasti kabur dari rumah!” Laki-laki itu tersenyum sambil memungut pecahan kulit kerang dan dilemparkan kearah laut. Taufan terdiam. “Kamu diam. Berarti apa yang aku katakan adalah benar!” Laki-laki itu tertawa.  
“Kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan di sini?Kabur dari rumah juga?” Taufan tidak mau kalah.
“Aku? Aku memang tinggal dan bekerja di sini!”
“Kamu nelayan?!” Taufan mengernyitkan dahinya, lalu memperhatikan laki-laki yang duduk di sampingnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kemudian tersenyum sinis.
“Kenapa?” Laki-laki itu memandang Taufan.
Taufan tertawa. “Aku tidak percaya kamu seorang nelayan!”
 “Kenapa memangnya? Memang sih, aku terlalu ganteng dan keren untuk menjadi seorang nelayan. Itu kan yang akan kamu katakan?” Laki-laki itu tertawa. Taufan kembali tersenyum sinis. “Aku tidak bohong, aku memang tinggal di perkampungan nelayan itu dan aku memang seorang nelayan!” Laki-laki itu kembali memandang ke laut lepas.
“Kalau kamu memang seorang nelayan, kenapa tidak ikut kesibukan mereka? Bukankah para nelayan selalu sibuk di pagi hari menjual hasil tangkapannya semalaman?”
“Sudah selesai. Lagipula semalam aku tidak ikut melaut, karena kemarin saat turun dari kapal aku terjatuh dan kakiku terkilir.” Laki-laki itu menunjuk mata kaki kirinya yang membiru.
“Lalu kenapa kamu ada di sini, seharusnya kamu beristirahat di rumah dan kakimu diobati atau diurut.”
“Memangnya siapa yang melarang aku di sini? Ini bukan pantai milik siapa pun!” Laki-laki itu menyeringai. Taufan mencibir. “Semalam sudah diurut, jadi sudah agak mendingan, ya meskipun masih terasa sakitnya, lalu pagi-pagi aku bawa jalan-jalan. Saat aku jalan-jalan di sekitar pohon bakau itu aku melihatmu datang dengan sepeda motor, turun, berjalan, melempar tas dan jeaketmu dan duduk di sini.” Laki-laki itu tersenyum.
“Kamu mengawasiku?!” Taufan memandang laki-laki itu sambil mengernyitkan dahinya.
“Siapa yang mengawasimu! Aku punya mata yang masih bisa melihat!” Laki-laki itu menunjuk matanya sendiri.
“Lalu, kenapa kamu duduk di sini?!”
“Saat berjalan tidak jauh darimu, aku melihatmu melamun, pandangan matamu kosong ke depan. Aku tidak tahu apa yang sedang kamu lamunkan, sampai aku yang berjalan di sampingmu tidak kamu sadari!” Taufan menjadi teringat lamunannya sebelum akhirnya buyar oleh sapaannya. “Aku takut kamu khilaf,  lalu bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke laut, makanya aku duduk di sampingmu dan membuyarkan lamunanmu.” Laki-laki itu tertawa.
“Aku tidak sebodoh itu!” tukas Taufan.
Keduanya kemudian terdiam, hanya terdengar suara nafas mereka yang di antara angin laut dan debur ombak yang pecah di pasir.
“Namaku Baruna!” Laki-laki itu mengulurkan tangannya pada Taufan.
Taufan memandangi tangan tersebut sesaat, kemudian menyambutnya. “Aku Taufan!”
Taufan, masih saudara dengan badai, prahara, angin rebut atau putting beliung!” Baruna terseyum sambil menarik kembali tangannya.
Taufan tertawa. “Kakakku memang bernama Badai!”
“Oh yah?!” Baruna nampak tidak percaya.
“Namamu Baruna, artinya laut. Pantas saja kamu tinggal di sini!”
“Yah begitulah!” Baruna tersenyum sambil menggambar sebuah matahari di atas pasir dengan jarinya.
“Untung namamu bukan Bahari, pasti nanti dikira warteg! Warteg Tegal Bahari.Taufan berseloroh. Baruna tertawa.
***
Matahari semakin tinggi dan udara pun semakin terasa lebih panas.
“Apa kamu akan duduk di sini seharian?” tanya Baruna.
“Aku tidak tahu!”
“Kalau begitu aku pergi dulu. Aku belum makan dari pagi, perutku sudah mulai protes!
Taufan yang hanya makan pagi dua sendok dan hanya minum seteguk air putih sebelum dia ribut dengan Papa dan pergi meninggalkan rumah  merasakan perutnya juga sudah mulai protes.
“Kamu makan dimana?”
“Ada sebuah warung makan kecil di perkampungan nelayan, kalau mau, kamu bisa ikut aku.” Baruna kemudian berdiri dari duduknya dengan menahan rasa sakit di kaki kirinya. Taufan yang melihatnya berusaha membantu teman barunya tersebut berdiri. “Aku masih bisa berdiri sendiri!” Baruna memprotes.
“Tidak usah gengsi dan sombong! Kamu masih menahan sakit begitu!” Tukas Taufan sambil tetap berusaha membantu Baruna berdiri.
Setelah Baruna berdiri,Taufan kemudian mengambil sepeda motornya. Beberapa saat kemudian keduanya sudah berboncengan menuju perkampungan nelayan.
***
Taufan menghentikan sepeda motornya di depan sebuah warung makan kecil, tidak jauh dari dermaga tempat bersandarnya kapal-kapal nelayan. Aktivitas nelayan di dermaga dan kapal sudah tidak terlalu ramai dan sibuk. Baruna langsung berjalan masuk ke warung makan tersebut dengan langkah terpincang diikuti oleh Taufan. Hanya ada beberapa orang di dalam warung, mereka menyapa Baruna dan menanyakan keadaan kakinya. Baruna menjawab kalau kakinya sudah agak mendingan.
Kedua laki-laki itu duduk di sebuah bangku kayu panjang kosong. Mereka duduk bersebelahan.
“Bagaimana kakimu, sudah tidak sakit?!” tanya seorang perempuan muda berkulit coklat, berwajah manis dengan lesung pipit memanjang dikedua pipinya, berbadan agak kurus dengan tinggi sedang kepada Baruna.
“Lebih baik tapi masih terasa sakit.”
Perempuan muda itu melirik Taufan. “Temanmu?”
Baruna mengangguk, lalu memperkenalkan Taufan. “Kenalkan Fan, ini Wulan, yang punya warung makan ini.” Wulan dan Taufan kemudian saling berkenalan. “Hati-hati, Fan. Jangan tertipu dengan dia, kelihatannya saja dia itu manis dan lembut. Aslinya galak dan kejam!” ujar Baruna, yang kemudian tertawa setelah dilempar lap makan oleh Wulan. “Tuh kan! Kamu lihat sendiri!”
Wulan melotot pada Baruna. “Kalian mau makan apa!” tukasnya kemudian.
“Aku seperti biasanya, nasi sama telur dadar dan pepes telur rajungan, minumnya teh manis panas,” kata Baruna. Sedangkan Taufan yang belum mengetahui menu apa saja yang disediakan oleh warung tersebut akhirnya menyamakannya dengan Baruna “Kamu masih tidak percaya kalau aku tinggal di sini? Lihat saja orang-orang di sini, hampir semuanya mengenalku,” ujar Baruna setelah Wulan pergi.
Taufan mengangkat kedua bahunya. “Yah, aku percaya kamu tinggal disini. Tapi aku masih belum percaya kamu adalah orang asli sini!”
Baruna tertawa. “Kenapa?”
“Jelas kelihatan, mana yang nelayan asli dan mana yang bukan. Nelayan asli, mereka rata-rata berbadan kekar, berkulit coklat! Sedang kamu, badanmu tidak sekekar mereka, kulitmu jauh lebih putih, dan tanganmu, bukan tangan kekar dan kuat yang biasa menarik jala atau tong-tong berat berisi ikan. Juga kakimu yang terkilir karena jatuh dari kapal! Nelayan sejati tidak akan begitu, mereka sudah tahu bagaimana naik dan turun dari kapal dan apa yang seharusnya jadi pijakan! Sambil merem pun mereka sudah tahu!”
Baruna tertawa. “Analisismu bagus sekali!”
Wulan datang membawa nampan berisi makanan dan minuman pesanan Baruna dan Taufan.
“Sudah lama berteman dengan Baruna?” Wulan bertanya kepada Taufan.
“Belum.”
“Hati-hati berteman dengan dia! Nanti ketularan jadi anak bengal!” Wulan mengerlingkan mata kepada Baruna.
“Hei! Siapa bilang aku anak Bengal!” protes Baruna.
“Kalau bukan anak bengal, kamu tidak mungkin berada di sini!”
“Kalau aku berada di sini itu namanya takdir! Tapi, walaupun anak bengal, kamu suka kan?” Baruna tertawa. Wulan mencibir dan langsung pergi.
Setelah Wulan pergi, tanpa menunggu lama, baik Baruna maupun Taufan langsung menyantap makanan mereka.
“Dia benar pemilik warung ini?” tanya Taufan diantara makannya.
Baruna mengatakan sebenarnya pemiliknya adalah orang tua Wulan. Dia menunjuk menunjuk seorang wanita berumur empat puluhan yang sedang menaruh nasi di piring di belakang meja besar yang berisi piring-piring dan mangkok-mangkok besar tempat lauk-pauk yang tidak lain adalah ibu Wulan.
“Bapaknya?”
“Bapaknya sama seperti sebagian besar laki-laki di sini, seorang nelayan.”
“Kalian sepertinya sudah saling mengenal dengan baik!”
Baruna tertawa namun tidak mengomentari perkataan Taufan, lalu menyuruhnya untuk melanjutkan makannya.
Setelah selesai makan, Baruna bermaksud membayar makanannya namun langsung dicegah oleh Taufan, dia langsung memberikan sejumlah uang kepada Wulan. “Hei! Kamu pikir aku tidak punya uang untuk mentraktirmu!” protes Baruna.
“Terima saja, biasanya kamu juga ngutang!” kata Wulan kepada Baruna sambil tertawa.
“Hei, jangan menghina! Kali ini aku punya uang!” Baruna mengambil selembar uang limapuluh ribuan dari saku celananya.
“Simpan saja! Mumpung ada rejeki, jangan ditolak!” Wulan tertawa sambil berbalik pergi.
Taufan mengatakan kalau hal itu dianggap sebagai ucapan terima kasihnya, karena Baruna telah membawanya ke tempat makan yang masakannya benar-benar enak dan juga sebagai tanda awal pertemanan mereka.
Baruna pun tersenyum. “Baiklah, jadi sekarang kita berteman!” ujarnya sambil mengulurkan tangannya pada Taufan.
Taufan menyambut uluran tangan Baruna, menjabatnya dengan erat, senyum mengembang di bibirnya. “Teman!”
Setelah itu keduanya keluar dari warung makan.
Setelah kabur, kamu balik ke rumah?” tanya Baruna kepada Taufan sambil tersenyum ketika melihat teman barunya tersebut memakai jaket, memasang ransel di punggungnya dan duduk di atas sepeda motornya.
“Aku tidak kabur dari rumah, hanya pergi sebentar dari rumah! Setelah dari sini aku aku akan pergi ke suatu tempat dimana aku merasa tenang dan terbebas dari apa pun!”
“Maksudmu kuburan?!”
 “Hei! Pagi-pagi jangan ngomong tentang kuburan ah!”
Keduanya kemudian tertawa.
“Yah, suatu saat, semua manuasia akan sampai ke sana dan terbebas dari apa pun di dunia ini!” kata Baruna kemudian.
“Termasuk aku dan kamu!”
“Yah, termasuk kita!”
“Baiklah, aku pergi dulu. Terima kasih mau menemaniku!” Taufan tersenyum lalu langsung tancap gas.
Wulan datang mendekat dan berdiri disamping Baruna. “Temanmu pergi kemana?” tanyanya.  Baruna mengangkat kedua bahunya. “Melihat temanmu itu, aku seperti melihatmu waktu pertama kali datang ke sini, empat bulan yang lalu!” Baruna menatap Wulan dengan tajam, hingga gadis manis itu menggerakkan tubuhnya sedikit ke belakang sambil mengernyitkan dahinya. “Kenapa kamu melihatku seperti itu? Memang kenyataannya seperti itu. Aku melihatnya sendiri!” Wulan ganti menatapnya dengan tajam. “Tapi dia tidak separah kamu waktu itu! Dan satu lagi, dia lebih tampan darimu dan sepertinya lebih baik darimu!”
“Kamu menyukainya?!” Wulan tersenyum tanpa menjawab, kemudian  berjalan meninggalkan Baruna. “Kalau kamu menyukainya, aku akan membantumu mengatakan padanya!” Baruna berteriak kemudian terdengar tawanya  
“Tidak usah banyak omong! Ingat, kamu harus membantuku membuat kerupuk ikan. Hari sudah siang, kamu harus membersihkan ikan-ikannya!”Wulan berteriak sambil membalikkan badannya untuk beberapa saat, setelah itu berjalan kembali.
“Iya, aku tahu!” balas Baruna di sela tawanya, lalu berjalan mengikuti Wulan dengan terpincang-pincang. “Apa pekerjaanmu di warung sudah selesai?” tanyanya setelah berada disamping gadis manis itu.
“Kalau aku sudah keluar warung, berarti sudah selesai! Mba Ratri, yang biasa bantu Ibu sudah datang! Jadi aku sudah bebas!” tukas Wulan galak.
“Hei, jadi perempuan itu jangan galak-galak amat! Nanti tidak laku-laku, lho!” Wulan mencibir. “Pantas saja ustadz itu tidak mau menerimamu jadi menantu!” Baruna tertawa.
Wulan melotot kepada Baruna. “Sekali lagi kamu bicara! Aku tendang kakimu yang sakit itu! Dan aku akan suruh kakek mengusirmu dari rumahnya!”
“Waduh! Sadis amat!” Baruna tertawa.
Keduanya terus berjalan di antara rumah-rumah nelayan, dan kemudian masuk ke sebuah rumah. Rumah keluarga Wulan.
***
            “Wah, sepertinya kamu sedang senang, ya Fan?” tanya Kosim yang sedang membereskan botol-botol cat minyak yang berantakan setelah selesai melukis ketika melihat kedatangan Taufan. “Nah, begitu dong! Berwajah cerah dan tersenyum bahagia ketika datang!”
             “Bukannya aku selalu tersenyum setiap kali datang ke tempatnya Mas Kosim,” kata Taufan tersenyum sambil meletakkan ransel yang dibawanya di lantai.
            “Aku melihat kali ini senyumanmu lain dari biasanya, Fan! Kamu baru dapat undian? Atau. kamu baru saja gencatan senjata dengan bapak-mu?”
            Taufan tertawa. “Aku belum pernah ikut undian Mas. Gencatan senjata dengan Papa? Mana mungkin! Tadi aku habis perang dengan dengannya, dan aku kabur, seperti biasanya!”
            Kosim menghela nafasnya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tahu betul bagaimana hubungan Taufan dengan papa-nya. “Terus, apa yang menyebabkanmu nampak begitu senang?”
“Aku hanya sedang merasa senang saja Mas.” Taufan kemudian melepas jaketnya, lalu mengambil sebuah kanvas kosong miliknya, diletakkan di penyangga kanvas, mengambil sebuah bangku kecil dan dietakkan di depan kanvas yang telah terpasang tersebut.
            Kosim menghampiri Taufan dan memegang pundaknya sambil tersenyum. “Aku tidak berhak tahu penyebabnya. Tapi aku turut senang jika kamu senang, Fan!” Setelah itu pamit pergi, karena harus mempersiapkan lukisan-lukisan karyanya yang akan diikut sertakan dalam pameran oleh Dinas Pariwisata.
            Sepeninggal Kosim, Taufan mulai mencorat-coret kanvasnya dengan kuas dan cat minyak. Tiga jam kemudian, sebah pantai lengkap dengan kapal-kapal nelayannya terpampang di depannya. Taufan memandangi lukisan hasil karyanya dengan teliti, setelah itu tangannya kembali menari-nari di atas kanvas untuk menyempurnakan lukisannya.
***
            Setelah selesai melukis Taufan pergi dengan sepeda motornya menyusuri jalan-jalan ibukota, beberapa kali berhenti di suatu tempat untuk sekedar duduk atau membeli minuman di kios-kios kecil pinggir jalan. Segala pemandangan dia tanggkap di matanya mulai dari anak kecil pengamen di lampu merah, pedagang asongan, peminta sumbangan, pemulung, pengemis. “Apakah aku ini? Seharusnya aku lebih berbahagia dari mereka dengan keadaanku sekarang! Tapi tidak, sepertinya mereka jauh lebih bahagia daripada aku, walaupun hidup dalam kekurangan!” Saat berhenti di sebuah lampu merah Pandangan Taufan kemudian terfokus pada sebuah sepeda motor yang ditumpangi seorang laki-laki, seorang wanita dan seorang anak laki-laki kecil yang duduk di depan dan satunya lagi duduk di antara wanita tersebut dan laki-laki tersebut. Mereka terlihat tertawa bahagia. “Kapan terakhir Papa, Mama, aku, Mas Badai dan Mba Lintang merasakan tawa bahagia seperti itu.” Taufan kemudian teringat lamunannya di pantai. “Yah, kami terakhir bahagia saat berada di lamunanku di pantai!”
***
Jam sebelas malam, Taufan pulang ke rumah. Mama yang sudah menunggunya langsung menyambutnya.
“Jangan pernah pergi meninggalkan Mama, Fan. Sudah cukup itu terjadi pada Badai,” kata Mama sambil memeluk Taufan.
            “Aku tidak akan meninggalkan Mama.”
            “Tidakkah, kamu sedikit mengalah dengan Papa-mu?”
            “Aku sudah banyak mengalah untuk Papa, Ma. Aku sudah menurut hampir semua keinginannya!” Taufan berkata sambil melepaskan pelukannya pada Mama.
            “Tidakkah kamu sadar, Fan? Apa yang terjadi antara kamu dan papa-mu membuat Mama menderita? Mama tidak tahu harus memihak dan membela siapa, karena kalian berdua adalah orang-orang yang sangat Mama sayangi dan cintai!”
Taufan tersenyum, lalu mencium kening Mama “Aku tahu Ma, sebenarnya aku juga tidak ingin membuat Mama menderita. Tapi Papa terlalu memaksakan kehendaknya!” Mama mula menitikkan air matanya. “Aku juga sangat menyayangi dan mncintai Mama. Mama tidak perlu membelaku, karena itu pasti akan membuat Papa semakin marah dan Mama semakin menderita.” Taufan memegang dengan lembut tangan Mama. “Aku yakin, keadaan seperti ini suatu pasti akan berakhir, dan tidak ada yang kalah ataupun menang!”
“Apa maksudnya tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah?” Mama mengernyitkan dahinya, tidak mengerti apa yang dikatakan oleh anak bungsunya tersebut.
Taufan tersenyum. “Tidak usah Mama pikirkan, lebih baik sekarang Mama istirahat, sudah terlalu malam.”
            “Kamu juga harus beristirahat, Fan. Dan Mama berharap kamu memegang janjimu pada papa-mu.”
            “Aku tahu Ma! Besok pagi aku akan ke kampus!”
            Setelah Mama masuk ke kamar, Taufan masih berdiri di ruang depan, mematung. “Jangan kuatir Ma, aku pasti akan mempersembahkan ijazah sarjana-ku pada Papa!” kata Taufan lirih, setelah menghela nafasnya kemudian berjalan menuju ke kamarnya.
***

(Jangan lupa baca terusannya di episode 3 yaaa..................)

[1] Cirrus, jenis masuk dalam golongan awan tinggi, halus, tipis dan terlihat seperti bulu-bulu ayam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)