Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 19)
19.
Kejadian
Hari
menjelang sore, jalanan menuju pasar sudah tidak seramai saat pagi atau siang.
Baruna yang membonceng Taufan tiba-tiba minta berhenti,
“Ada
apa? Bukannya kita belum sampai pasar, masih sekitar dua ratus
meter lagi di depan,” kata Taufan sambil menghentikan sepeda motornya.
“Aku
ingin melihat sesuatu,” kata Baruna sambil menunjuk pedagang kaki lima yang berjualan
manik-manik.
Taufan
memarkir sepeda motornya dua puluh meter dari pedagang manik-manik sedangkan
Baruna sudah jalan terlebih dahulu.
“Menurutmu,
bagus tidak?” Baruna memperlihatkan sebuah untaian kalung dari kerang berwarna
putih ketika Taufan sudah berdiri di sampingnya.
“Bagus!”
“Sepertinya
cocok buat Wulan sebagai anak pantai!”
“Kamu
ingin membeli kalunng untuk Wulan?”
Baruna
mengangguk sambil tersenyum. “Juga mamaku!” Taufan memandang Baruna dengan
tatapan tidak percaya. “Kenapa kamu memandangku seperti itu Fan? Ada yang salah
atau aneh?”
“Apa aku tidak salah dengar?”
“Kenapa
memangnya? Apa salah jika aku membelikan mamaku suatu benda dengan uang hasil
keringatku sendiri?”
“Tidak,
tidak ada yang salah. Jadi akhirnya kamu memtuskan untuk kembali ke rumah dan
bertemu mamaku?”
Baruna
tertawa. “Suatu saat aku pasti akan kembali ke rumah dan bertemu mamaku. Dan
saat itulah aku ingin memberikan kalung ini.” Baruna memperlihatkan sebuah
kalung lagi, sama-sama terbuat dari kerang namun berwarna coklat. Baruna akhirnya membeli dua kalung tersebut
seharga tiga puluh ribu rupiah.
“Kamu
serius akan memberikan kalung itu kepada Wulan dan mamamu?” tanya Taufan sambil
berjalan ke tempat sepeda motornya diparkir.
“Ya
seriuslah. Kalau tidak, kenapa aku mesti beli kalung ini!”
“Kenapa
kamu tiba-tiba ingin membelikan mereka kalung?”
“Aku
juga tidak tahu, tiba-tiba terlintas begitu saja di pikiranku.” Baruna
tersenyum sambil memperhatikan kalung kerang di
tangannya.
“Rupanya
kita ditakdirkan untuk bertemu lagi di sini!” sebuah suara berat dan keras
tiba-tiba terdengar dari arah jalan. Baruna dan Taufan langsung menoleh.
Dilihatnya empat orang laki-laki yang baru saja menyeberang jalan menghampiri
mereka. Dua diantaranya mereka kenali.
“Bar!
Itu dua orang preman pasar yang berkelahi dengan kita!” kata Taufan.
“Iya
aku tahu. Tapi tenang saja, kita ladeni apa mau mereka!”
“Tapi
Bar, mereka bawa teman-temannya. Mereka berempat kita berdua!” Taufan nampak
kuatir.
“Preman-preman
pengecut!” umpat Baruna.
Kini
keempat preman tersebut sudah berdiri berhadapan dengan Taufan dan Baruna.
“Gara-gara
kalian, penghasilan kami di pasar itu hilang!” tukas preman yang berbadan besar.
“Penghasilan?!
Maksudmu hasil perasan! Baguslah kalau begitu!” jawab Baruna yang kemudian
tertawa. Taufan yang berdiri disampingnya semakin merasa kuatir.
“Kalian
anak bau kencur keparat!” teriak preman satu.
“Sudah
bos! Kita hajar saja mereka! Masa kalah dan takut dengan anak yang masih minum
asi ini!” teriak preman tiga.
“Eh
Kupret! Siapa yang takut dengan dua anak sialan ini!” bentak preman satu yang
berbadan besar.
Sementara
orang-orang yang lewat dan beberapa pedagang kaki lima termasuk pedagang kalung
mulai memperhatikan mereka berenam.
Baruna
tiba-tiba tertawa. “Kalau tidak takut kenapa mesti bawa teman untuk menghadapi
‘anak bau kencur’ seperti kami?! Penge-cut!” ujarnya sambil mencibir. Kedua
preman pasar yang pernah berkelahi itu langsung
memerah mukanya mendengar kata-katanya.
“Bar!
Hati-hati!”
“Bangsat!”
Preman satu berbadan besar tiba-tiba menyerang Baruna
dengan pukulannya, namun berhasil dihindarinya. Preman dua yang
ceking menyerang Taufan, sedangkan dua orang temannya berdiri menyemangati
kedua preman pasar tersebut untuk menghajar Taufan dan Baruna. Orang-orang yang
ada yang melihat perkelahian tersebut langsung berteriak. Ada yang berteriak
untuk memanggil polisi, berteriak agar perkelahian tersebut berhenti dan
berteriak ketakutan.
“Bos!
Sepertinya mereka mesti dikasih pelajaran! Tangkap bos!” teriak tiga
sambil mengeluarkan sebuah belati kecil dari bajunya. Dan melemparkannya kepada preman yang berbadan
besar.
“Kalian
memang benar-benar pengecut!” teriak Baruna
ketika satu itu menangkap belati dan langsung
menodongkan kepadanya.
“Baruna!
Hati-hati! Cecunguk itu tidak main-main!” Taufan berteriak, wajahnya menegang.
“Hei!
Kamu bilang apa? Cecunguk?!” tukas preman dua
kepada Taufan dengan wajah penuh amarah.
“Memangnya
aku harus menyebut apa kalian ini? Malaikat?! Cuih!” Taufan meludah.
“Kurang
ajar! Kamu juga akan menerima hal yang sama!” Preman dua
itu pun mengeluarkan sebuah belati kecil dari balik bajunya.
“Hei!
Kalian berhenti! Atau akan kami panggilkan polisi!” teriak laki-laki penjual
manik-manik bersama seorang laki-laki lain yang berdiri di sampingnya.
“Hei! Kupret! Apa urusanmu! Kalian tidak usah
ikut campur! Kalau berani panggil polisi, kalian akan berhadapan denganku!” Preman
satu mengancam, lalu segera melayangkan
tangannya yang memegang belati kearah Baruna. Belum sempat Baruna menghindar
belati tersebut sudah menghujam perutnya. “Aaah!” Baruna mengaduh keras. Preman
berbadan besar tersebut terkejut, dia baru sadar kalau belatinya telah menembus
perut lawannya, dengan serta merta ia segera menarik belatinya. Teman-temannya
pun terkejut dan langsung berteriak untuk lari. Namun segera dikejar oleh
orang-orang yang kebetulan berada di tempat tersebut.
“Baruna!”
Taufan berteriak, berlari dan menahan tubuh Baruna yang limbung. “Bar! Kamu
tiak apa-apa?” ujarnya dengan nada penuh kekuatiran. Baruna meringis menahan
sakit, terduduk dengan dipegang oleh Taufan. Terdengar teriakan agar memanggil
polisi. Para preman lari tunggang langgang karena dikejar oleh
orang-orang.
“Bawa
ke rumah sakit! Darahnya yang keluar terlalu banyak! Mungkin mengenai
lambungnya!” kata laki-laki penjual manik-manik. Yang kemudian langsung
menghentikan sebuah mobil yang kebetulan lewat.
“Tahan
Bar!” Taufan memegangi tangan Baruna yang memegang lukanya yang penuh darah,
hingga tangannya pun ikut berlumuran darah.
“Sakit
Fan!” kata Baruna lirih sambil menahan rasa sakit, wajahnya mulai memucat.
“Kita
akan ke rumah sakit! Kamu tahan sebentar!”
Sebuah
mobil ‘city car’ berhenti. Seorang wanita berkerudung biru, berbaju putih
dan bercelana jeans serta berkacamata minus keluar
dari dalam mobil dan menyuruh membawa Baruna ke
mobilnya. Taufan dan laki-laki penjual manik-manik itu memapah Baruna masuk ke
dalam mobil.
“Ke
rumah sakit, puskesmas atau klinik terdekat Mbak!” kata Taufan kepada wanita berkerudung tersebut setelah berada di dalam mobil. Laki-laki
penjual manik-manik itu ikut bersama Taufan mengantarkan Baruna, sebelumnya dia
menitipkan dagangannya kepada seorang tukang parkir.
“Bertahanlah
dan tetap tersadar Bar! Kamu pasti bisa!” Taufan berusaha menenangkan Baruna,
walaupun dia sendiri merasa kuatir dengan keadaan temannya yang masih terus
mengeluarkan darah dari lukanya dan wajahnya semakin memucat.
“Kenapa
kalian bisa berkelahi dengan para preman itu?” tanya pedagang manik-manik itu
kepada Taufan. Taufan secara singkat menceritakan kenapa mereka sampai
berkelahi dengan para preman.
“Menghadapi
mereka memang susah, dibiarkan ngelunjak, dilawan gak terima! Hhhh..serba
susah!” ujar penjual manik-manik dengan nada geram.
***
(Mau tahu bagaimana selanjutnya? jangan lupa baca episode 20 yaaaaa)
Komentar
Posting Komentar