Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 14)



14.        Terbuka


Sepeninggal Wulan, Taufan kembali ke pantai. Dilihatnya beberapa anak nelayan yang sedang bermain bola.  Dia menangkap bola yang ditendang kearahnya dan dilemparkan kembali kearah anak-anak tersebut.
“Mas mau ikut main?” ajak salah seorang anak.
“Boleh!” jawab Taufan dan langsung bergabung dengan anak-anak nelayan tersebut dan bermain bola.
Hari pun sore, matahari sudah mulai merangkak ke peraduannya. Anak-anak menghentikan permainan bolanya dan membubarkan diri sedangkan Taufan duduk di atas pasir.
 “Bagaimaa bermain bolanya?” Taufan menoleh, dilihatnya Baruna yang baru saja datang dan duduk di sampingnya.
“Cukup menyenangkan. Sudah lama aku tidak bermain bola. Kamu sudah selesai membantu Pak syamsul?”
Sudah.”
Keduanya terdiam sejenak.
Tadi aku ke rumah. Kakek sangat senang dengan lukisanmu.” Taufan tersenyum. Lalu keduanya kembali terdiam. “Wulan cerita apa saja tentang akuKamu pasti menanyakan tentang aku padanya, kan?” tanya Baruna sambil duduk disamping Taufan.
“Kenapa kamu mau bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke laut?” Baruna terdiam, matanya menatap ke laut lepas dengan pandangan kosong. “Dan kenapa kamu memilih untuk tinggal di kampung nelayan ini daripada di rumahmu sendiri?” Baruna menghela nafasnya. “Aku tidak akan memaksamu untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padamu, jika itu memang yang terbaik untukmu.”
“Aku kehilangan arah dan pegangan!”
“Karena kehilangan papamu? Mamamu pasti shock! Setelah kehilangan suami dia akan kehilangan anak! Apa kamu tidak memikirkan apa yang akan terjadi dengannya jika kamu berhasil bunuh diri! Dan…kamu tidak memikirkan bagaimana perasaanya saat ini ketika anak satu-satunya meninggalkan rumah dan tidak kembali selama berbulan-bulan setelah dia ditinggal pergi oleh suaminya! Apa kamu tidak memikirkan kalau mamamu telah kehilangan dua orang yang sangat dicintainya!”
“Itu akan terjadi jika mamamu yang mengalaminya, Fan!” Taufan menatap Baruna dengan pandangan heran dan penuh tanda tanya. “Itu tidak akan pernah dialami oleh mamaku!”
Aku tidak tahu apa maksudmu?!”
“Karena papaku bukanlah suami yang diinginkan mamaku! Dan aku adalah anak yang dibencinya! Anak yang tidak pernah diinginkannya!”
“Apa maksudnya! Apa mamamu bukan ibu kandungmu?”
Baruna menggelengkan kepalanya. “Dia mama kandungku!”
“Apa! Lalu, kenapa bisa begitu?” Taufan merasa heran.
Baruna menghela nafasnya. Kesedihan tergambar jelas di wajahnya. “Papa yang sangat aku sayangi bukanlah papa kandungku!” Taufan memandang Baruna dengan tatapan tidak percaya. “Itu aku ketahui ketika aku lulus SMA, Om Ramadhan yang menceritakannya, setelah aku paksa!”
Baruna kemudian bercerita kalau hubungannya dengan mamanya sangat dingin, tidak seperti selayaknya seorang ibu terhadap anak kandungnya. Bahkan dapat dianggap tidak terlalu peduli, semuanya serba terserah. Untung ada papanya yang selalu memperhatikan dan menyayanginya.
 “Itu terjadi sejak aku kacil, mungkin sejak aku lahir. Aku diurus oleh papaku dari hal sekecil apa pun?” Baruna terdiam sesaat. “Kamu pasti akan bertanya ‘kenapa bisa begitu’, iya kan Fan?” Taufan mengangguk. “Saat masih kuliah mamaku menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Namun ternyata laki-laki itu mempunyai tunangan dan sebulan lagi akan menikah. Mamaku marah karena hubungan mereka sudah terlalu jauh. Laki-laki itu meminta maaf, dia tidak mungkin meninggalkan tunangannya karena sangat mencintainya, apalagi orang tua mereka sudah berteman baik sejak muda. Mamaku bertambah marah, dia sangat membenci laki-laki itu mulai detik itu dan tidak ingin bertemu dengannya untuk selamanya.” Baruna terdiam sejenak untuk mengambil nafasnya. “Hubungan mereka yang singkat dan terlalu jauh ternyata membuat mamaku hamil. Mamaku bertambah marah. Dia berniat menggugurkannya. Namun dilarang oleh kedua orang tuanya, kakek dan nenekku, dengan mengatakan jangan dosa ditambah dengan dosa, karena bayi dikandungnya tidak berdosa. Mereka mengatakan kalau akan meminta pertanggungjawaban laki-laki itu asal mamaku mau mengatakan siapa orangnya, orang tuanya dan dimana tempat tinggalnya. Mamaku bertambah marah, dia bersumpah tidak ingin melihat dan mengenal laki-laki itu dan juga keluarganya seumur hidupnya. Kedua orang tuanya bingung. Bagaimana pun mereka tidak mau putri kesayangan mereka melahirkan seorang anak tanpa suami namun juga tidak mau putri mereka menggugurkan kandungannya. Maka akhirnya mereka menemukan sebuah solusi kalau mamaku harus menikah dengan laki-laki lain!”
“Papamu?”
“Papanya mama, kakekku kemudian ingat kepada salah seorang kenalannya. Dirga, anaknya teman kakek. Dia sepuluh tahun lebuh tua dari mama. Dia pernah menyukai mama, tapi waktu itu mama masih sekolah dan juga tidak menyukainya, karena dianggapnya sudah tua dan bapak-bapak. Dirga kemudian menikah dengan wanita yang dijodohkan oleh ibunya, tapi kemudian istrinya meninggal. Dia duda tanpa anak. Kakek kemudian meminta Dirga untuk menikahi mama sampai anak dalam kandungan mama lahir, hal itu untuk menyelamatkan nama baik semuanya. Kakek meminta tolong dengan mengiba dan memohon.”
“Kenapa kakekmu meminta kepada Dirga untuk menikahi mamamu? Kenapa bukan laki-laki lain?”
“Pertama, karena Dirga pernah sangat menyukai mama. Kedua, Dirga seorang duda.”
“Kakekmu yakin Dirga mau menikah dengan mamamu?”
“Yah, karena dia tahu Dirga adalah seorang laki-laki yang sangat baik!”
“Kedua orang tua Dirga?”
“Mereka meyerahkan semuanya kepada Dirga.”
Dirga setuju dan mereka kemudian menikah?”
“Yah, mamaku menikah dengan Dirga tanpa dasar suka dan cinta. Sebaliknya dengan Dirga, dia masih menyimpan benih-benih cinta untuk mama.”
“Dirga diiming-imingi sesuatu oleh kakekmu?” tebak Taufan.
“Yah. Kakek mengiming-imingi apa pun permintaan Dirga akan dipenuhinya.”
“Dirga meminta sesuatu?”
Baruna menggelengkan kepalanya. “Dia laki-laki yang sangat baik, bermartabat dan mempunyai harga diri. Dia mau menikah demi kebaikan semuanya dan persahabatan yang terjalin antara orang tuanya dan kakek. Dia tidak mengungkapkan kalau sebenarnya dia masih menyukai mama.”
Baruna terdiam beberapa saat. “Mereka menikah dan kemudian lahirlah aku!”
“Dan seperti kata kakekmu, setelah bayi dalam kandungan mamamu lahir, Dirga boleh pergi?”
Baruna menggelengkan kepalanya. “Dirga menyayangiku, dia sangat senang dengan kehadiranku. Aku bayi yang sangat tampan dan lucu, walaupun waktu lahir aku sangat kecil. Mungkin karena mamaku yang tidak peduli denganku saat aku dalam kandungannya.”
“Dirga adalah papamu yang meninggal itu?”
“Ya. Dia kemudian tetap bertahan menjadi suami mamaku karena aku.”
“Bagaimana dengan mamamu? Apa dia menerima Dirga?”
“Aku tidak tahu bagaimana perasaan dia sebenarnya, kata papa, dia hanya mengatakan ‘terserah saja, tapi kamu sudah tahu bagaimana aku’! Setelah itu, aku seperti anak tiri bagi mamaku. Papa yang mengurusku dari kecil hingga besar.”
“Dia membencimu karena laki-laki itu?”
“Ada hal lain, karena mengandungku cita-cita mama untuk menjadi model professional musnah!”
“Tapi bagaimana pun kamu adalah darah dagingnya!” Baruna mengangkat kedua bahunya. “Lalu, bagaimana hubungan mereka sebagai suami istri?”
“Aku tidak tahu! Tapi aku akui, mama tetap menghormati Dirga! Kamu tahu Fan? Di luar, kami adalah sebuah keluarga yang sempurna, sedangkan di dalam kami seperti hidup dengan orang asing! Di hadapan publik mama seakan-akan adalah mama terbaik, dia memeluk dan menciumku, sedangkan di rumah?” Baruna menggelengkan kepalanya. “Berbicara saja, mungkin kalimatnya bisa dihitung dengan jari! Mungkin itu mama lakukan demi reputasinya sebagai pengusaha. Mamaku mempunyai beberapa butik di beberapa pusat perbelanjaan besar di Kota, bahkan ada yang di Singapura dan Malaysia! Sedangkan papa, dia seorang dosen yang cukup disegani di perguruan tinggi tempatnya mengajar!”
“Jadi cerita tentang mammu yang seorang pengusaha dan papamu seorang dosen pada papaku, kamu tidak bohong!” ujar Taufan. Baruna mengangguk. “Lalu, bagaimana hidupmu sendiri?”
“Aku selalu kesepian. Dan aku menjadi anak yang lemah, sampai akhirnya mas Amin datang, dialah teman dekat satu-satunya.”
“Teman-teman sekolahmu?”
“Hanya sekedar teman. Aku bukan orang yang pandai bergaul.”
“Aku tidak mengira kamu seperti itu!”
“Lalu, bagaimana akhirnya kamu tahu kalau Dirga bukan papa kandungmu? Apa dengan begitu saja Om Ramadhan menceritakannya padamu?”
“Hari itu aku tidak sengaja mendengarnya, saat mama kedatangan teman lamanya yang baru datang dari Jerman. Mereka berada di ruang kerja mama. Teman mama itu bertanya ‘Sofie, apa dia anakmu? Tampan sekali! Apa dia anak Lukman?’ Tiba-tiba mama berteriak ‘jangan sebut nama itu di depanku! Dia tidak pernah ada dalam hidupku! Laki-laki itu sudah mati!’ Lalu teman mama itu kembali mengatakan ‘dia mirip dengan Lukman!’ Kembali mama berteriak kepada temannya untuk tidak menyebut nama ‘Lukman’ lagi, kemudian mama mengatakan ‘secara hukum dia anak Dirga!’. Aku shock mendengarnya.” Taufan mengerutkan dahinya. “Saat makan malam bersama, aku menanyakan tentang Lukman pada mama. Mama maupun papa terkejut. Aku berterus terang kalau aku mendengar pembicaraan mama dengan temannya.”
“Apa jawaban mamamu?”
“Dia hanya menjawab kalau Lukman bukan siapa-siapa dengan nada ketus sambil meninggalkan meja makan.”
“Bagaimana dengan papamu?”
“Papa mengatakan kalu dia tidak mengenal Lukman. Lalu aku tanyakan kenapa teman mama menanyakan apa aku anak Lukman, karena aku mirip dengannya. Papa hanya tersenyum dan mengatakan kalau aku adalah anak kandungnya. Tentu saja aku tidak percaya! Aku pergi ke tempat Om Ramadhan. Pada awalnya dia tidak mau cerita, setelah aku paksa akhirnya dia mau bercerita juga, siapa itu Lukman. Dan akhirnya aku tahu alasannya kenapa sikap mama kepadaku begitu dingin. Aku sangat shock! Apalagi setelah tahu kalau papa bukanlah papa kandungku!”
“Kemudian kamu kabur dari rumah untuk mencari papa kandungmu?” tebak Taufan.
“Awalnya aku berniat seperti itu. Aku sempat pergi dari rumah,  tapi kemudian aku teringat papa. Papa yang selama ini mengurus dan menyayangiku seperti anak kandungnya sendiri, aku kemudian kembali ke rumah sekitar jam tiga pagi. Papa menungguiku di teras depan. Aku langsung memeluknya dan menangis meminta maaf. Papa pun menangis dan mengatakan apa pun yang terjadi dia tetap sebagai papaku dan menyayangiku. Aku memeluknya dengan erat.” Mata Baruna berkaca-kaca. “Sejak saat itu papa adalah segalanya bagiku. Sering terbersit di benakku untuk mencari papa kandungku, tapi entah dimana aku mencarinya. Pernah sekali aku menanyakan pada mama, dia marah besar dan mengatakan kalau Lukman bukan siapa-siapa dan sudah mati. Dan kehidupanku berjalan tanpa pernah mengenal papa kandungku. Sikap mama masih seperti biasa, bahkan menjadi jarang di rumah karena mengurusi usahanya. Aku hanya memiliki papa, sampai akhirnya hari itu tiba. Papa meninggal karena sakit jantung yang dideritanya sejak lama.” Baruna terdiam, sebutir air mata jatuh dari matanya. “Mama waktu itu berada di Singapura dan baru datang saat pemakaman papa. Tiga hari kemudian dia sudah pergi lagi entah kemana. Aku shock, marah, kehilangan arah dan pegangan. Aku merasa hidupku hampa dan sudah tidak ada artinya lagi. Aku pergi dari rumah.” Baruna terdiam sesaat.
“Bukankah ada Om Ramadhan.”
“Saat itu aku tidak punya pikiran lagi tentang keluarga, saudara atau teman. Seharian aku berjalan tidak tahu harus pergi kemana sampai akhirnya aku bertemu dengan Mas Amin di depan pasar. Dia terkejut melihatku berjalan sendirian dan aku diajak ke kiosnya. Mas Amin sangat sedih dengan keadaanku, ia mengajakku menginap ke rumahnya, tapi aku tolak dengan alasan aku ingin pergi ke suatu tempat. Dia akan memberiku sejumlah uang, tapi aku menolaknya.  Aku kemudian terus berjalan. Aku tidak ingin apa-apa, bahkan rasa haus dan lapar pun aku tidak hiraukan. Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku kalau tidak ada gunanya lagi aku hidup, tanpa ada orang yang aku sayangi dan juga menyayangiku. Dua hari aku hidup seperti gelandangan, sesuatu yang belum pernah aku rasakan dalam hidupku, selama ini aku hidup selalu berkecukupan dan  enak. Aku tidak siap menghadapi kerasnya kehidupan jalanan. Tapi aku menjadi tahu bagaimana kehidupan malam dan jalanan Kota.” Pandangan mata Baruna menerawang jauh. “Pada malam kedua aku berjalan, saat itu hujan rintik-rintik  aku melihat tiga orang preman yang sedang memeras anak kecil pengamen jalanan di sebuah gang sepi. Maksud hati ingin menolong anak itu, aku malah dikeroyoknya. Badanku yang lemah tidak dapat melawan ketiga orang preman itu, aku akhirnya babak belur dan terkapar tidak berdaya. Anak kecil itu mengira aku mati, dia ketakutan dan akhirnya kabur.” Baruna tersenyum nyinyir.
“Kemudian apa yang terjadi denganmu?”
“Aku yang terkapar kemudian mencoba bangkit. Dengan badan yang sakit dan lemah aku berjalan tertatih. Aku baru merasakan sakit karena dipukuli orang ditambah perutku yang seharian belum disi makanan,  karena aku aku memang tidak berselera untuk makan, tapi ternyata tubuhku protes. Aku tidak tahu lagi harus apa dan mau kemana. Pikiranku bertambah kacau. Hujan bertambah deras. Mataku tiba-tiba berkunang-kunang, pandangan mataku mulai kabur, badanku terasa lemas seperti tidak mempunyai tulang. Aku merasa tubuhku melorot dan terdengar bunyi ‘buk!’ yang cukup keras. Aku terjatuh. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi!” Taufan mengerutkan keningnya. “Ketika aku membuka mata, aku melihat tiga orang berada di samping sebelahku yang terbaring di sebuah kursi panjang di sebuah ruangan.”
“Orang-orang itu yang menolongmu?”
Baruna mengangguk. “Mereka, Tamara, Andah dan Dyan!” Taufan mengangguk-angguk. “Mereka menemukanku pingsan di pinggir jalan tidak jauh dari salon mereka ketika akan pulang. Mereka menggotongku ke salon. Aku bertanya ‘aku ada dimana’, Mbak Tamara yang menjawab kalau aku ada di tempat ‘kami’. Aku kemudian duduk dan melihat ke sekeliling, kulihat suasana sebuah salon. Mereka menyuruhku untuk mengganti pakaianku dengan yang kering dan aku disuruh makan dan minum. Aku pun menurut karena rasa lapar sudah tidak bisa berkompromi lagi. Mereka bertanya siapa aku dan kenapa aku pingsan di jalanan saat hujan dengan muka memar. Waktu itu sku berbohong dengan mengatakan kalau aku baru datang dari jauh, tersesat dan baru dirampok orang.”
“Mereka percaya?”
“Mereka hanya saling pandang dan mengerutkan dahi.” Baruna tertawa kecil. “Setelah selesai makan dan minum aku mengucapkan terima kasih kepada mereka karena telah menolongku. Aku bermaksud untuk pamit pergi. Namun Mbak Tamara mencegahku, katanya aku sakit. Dia memegang dahiku yang katanya panas sekali.”
“Kau memaksa untuk pergi?”
Baruna menggelengkan kepalanya. “Aku akhirnya menginap di salon itu karena badanku meriang.”
“Kamu menginap bersama mereka?”
“Hanya Mbak Tamara. Mbak Andah dan Mbak Dyan pulang. Dua hari aku sakit di salon Mbak Tamara. Dia dan dua temannya itu merawat dan menjagaku. Hari ketiga aku merasa sehat. Mbak Tamara menghampiriku yang duduk melamun, dia menanyakan siapa sebenarnya diriku dan apa yang sebenarnya terjadi, karena dia tahu malam itu aku berkata bohong. Entah kenapa, aku menceritakan apa yang sebenarnya terjai denganku. Dia merasa kasihan padaku, lalu menanyakan aku akan pergi kemana. Aku menjawab aku tidak tahu. Lalu dia menawariku untuk tinggal sementara di salonnya sampai aku merasa tenang, toh setiap malam tidak ada yang menungguinya, karena dia dan kedua temannya setelah salon tutup pulang ke rumah. Karena tidak tahu harus pergi kemana aku pun akhirnya menurut. Aku tinggal di salon Mbak Tamara. Di salon itu aku membantu Mbak Tamara untuk sekedar bersih-bersih. Empat hari tinggal di salon Mbak Tamara ternyata membuat gossip tidak enak untuk Mbak Tamara dan salonnya, yang katanya aku sebagai simpanannyalah, berondongnyalah, yang inilah, yang itulah.  Aku  tidak enak hati kepada mereka. Hari kelima akhirnya aku pamit pergi. Mbak Tamara menahanku dan menyuruhku untuk tidak menghiraukan orang, karena dia tulus membantuku tidak ada maksud apa-apa. Aku mengatakan kalau aku tidak mau merepotkannya dan menghancurkan karirnya. Aku kemudian berbohong, kalau aku akan pergi ke rumah saudaraku. Aku sangat berterima kasih pada mereka, kalau tidak ditolong mereka malam itu aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.”
“Setelah itu kamu pergi kemana?”
“Pikiranku masih kacau, aku tidak tahu harus pergi kemana. Aku terus berjalan. Tiba-tiba aku ingat pantai. Papaku sering mengajakku ke pantai sejak kecil. Aku ingin mengenang kebersamaan bersama papa. Dengan uang pemberian Mbak Tamara aku akhirnya pergi ke pantai dengan naik angkutan umum.” Baruna menghela nafasnya. Sementara senja sudah mulai turun. “Aku duduk dan termenung lama di pantai, semua kejadian yang aku alami sepanjang hidupku berputar kembali dalam benakku. Aku begitu kecewa kehadiranku di dunia ini tidak diinginkan oleh kedua orang tuaku. Dan satu-satunya orang yang menyayangiku, papa pergi meninggalkanku. Jujur, aku bukan laki-laki kuat, aku lemah Fan. Aku tidak tahu sebabnya, mungkin karena sikap mama yang tak peduli padaku dan papa yang terlalu menyayangiku. Aku kemudian berpikir untuk apa aku hidup. Pikiranku benar-benar kacau!”
“Kemudian kamu berniat bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke laut?”
Baruna mengangguk. “Bagian itu Wulan sudah menceritakannya!”
Aku melihat, kamu bukan aki-laki lemah seperti yang kamu ceritakan.” Baruna tertawa. “Apa yang membuatmu berubah?”
“Setelah aku melihat para nelayan itu, Pak Syamsul, Kakek, Ibunya Wulan dan Wulan. Bahwa hidup adalah sebuah perjuangan dan perjalanan yang harus diisi. Hidup harus optimis dan tersenyum. Hidup bukan untuk disesali dan ditangisi. Hidup bukan hanya rumah besar, mobil mewah, status sosial yang tinggi. Hidup adalah dimana kita mau memberi dan menerima. Hidup adalah dimana kita memberi kehidupan kepada orang lain! Aku kemudian tertarik ikut melaut bersama Pak Syamsul karena aku melihat para nelayan yang bersemangat ketika akan pergi melaut. Aku merasa saat di tengah laut aku mendapat sebuah energi yang tidak pernah aku dapatkan selama aku berada di rumah. Rumah besar yang hampa!”
“Sebenarnya dimana rumahmu?”
“Kamu ingat saat kita minum wedang ronde di depan pintu gerbang sebuah perumahan malam itu?” Taufan mengangguk. “Rumahku ada di perumahan itu!”
“Kenapa malam itu kamu tidak pergi ke sana?!”
Baruna tersenyum. “Untuk apa? Tidak ada yang akan aku temui di sana!”
“Mungkin mamamu sudah pulang!”
“Jika toh sudah pulang. Apa artinya aku untuknya!”
“Tapi Bar…” Taufan tidak melanjutkan kata-katanya karena Baruna sudah memotongnya.
“Aku dan papa seminggu bisa tiga sampai empat kali minum wedang ronde di sana.  Apalagi kalau sudah musim hujan dan malam dingin, hampir setiap hari kami pergi ke tempat itu. Makanya Bapak penjual wedang ronde itu mengenalku.” Baruna tersenyum, matanya menatap laut. Keduanya kemudian terdiam, bergelut dengan pikirannya masing-masing.
“Kamu bersyukur masih punya orang tua yang lengkap Fan! Walaupun kamu sering bertengkar dengan papamu! Tapi dia menyayangi dan memperhatikanmu meskipun dengan cara memaksakan kehendak!” Taufan tersenyum kecut. “Tapi mamamu wanita yang sangat baik, ia begitu menyayangimu. Waktu di rumahmu aku sangat senang bisa memeluk mamamu. Ingin rasanya akau menangis saat dipelukannya, karena aku ingin sekali berada dalam pelukan seorang mama!” Mata Baruna berkaca-kaca.
 “Apa kamu tidak punya teman dekat? Maksudku pacar, dimana kamu bisa berlari dan membagi masalah dengannya? Aku yakin banyak perempuan yang menyukaimu, kamu cukup tampan, kaya anak orang terpandang….yaaa…dapat dikatakan laki-laki idaman wanita.”
Baruna tertawa. “Memang banyak perempuan yang mendekatiku. Sama seperti alasanmu, Fan. Masalah perasaan tidak bisa dipaksakan.” Taufan ikut tertawa. “Tapi sekarang aku merasa senang di sini. Ada kebahagiaan yang belum pernah aku dapat sebelumnya. Dan Semangat dan energiku semakin besar setelah keberadaanmu di sini, Fan!” Baruna menoleh ke arah Taufan.
 “Aku juga merasakan hal yang sama.” Taufan tersenyum lalu terbatuk.
Matahari semakin mendekati tempat peraduannya. Senja merekah. Cahaya jingga dan merah menyebar di cakrawala membuat pantulan indah di permukaan air laut. Taufan dan Baruna memperhatikan keindahan alam yang tercipta di hadapan mereka. Jauh di belakang mereka Wulan berdiri memperhatikanya. Setelah menghela nafasnya gadis manis itu pun berbalik pergi.
***
(Masih ngikutin ceritanya kaan?...jangan lupa baca sambungannya di episode 15 yaaaa...)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)