Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 14)
14. Terbuka
Sepeninggal
Wulan, Taufan kembali ke pantai. Dilihatnya beberapa anak
nelayan yang sedang bermain bola. Dia
menangkap bola yang ditendang kearahnya dan dilemparkan kembali kearah
anak-anak tersebut.
“Mas
mau ikut main?” ajak salah seorang anak.
“Boleh!”
jawab Taufan dan langsung bergabung dengan anak-anak
nelayan tersebut dan bermain bola.
Hari
pun sore, matahari sudah mulai merangkak ke peraduannya. Anak-anak menghentikan
permainan bolanya dan membubarkan diri sedangkan Taufan duduk di atas pasir.
“Bagaimaa bermain bolanya?” Taufan menoleh,
dilihatnya Baruna yang baru saja datang dan duduk di sampingnya.
“Cukup
menyenangkan. Sudah lama aku tidak bermain bola. Kamu sudah selesai membantu Pak syamsul?”
“Sudah.”
Keduanya
terdiam sejenak.
“Tadi aku ke rumah. Kakek sangat senang dengan lukisanmu.”
Taufan tersenyum. Lalu keduanya kembali terdiam. “Wulan cerita apa saja tentang
akuKamu pasti menanyakan tentang aku padanya, kan?” tanya Baruna sambil duduk disamping Taufan.
“Kenapa
kamu mau bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke laut?” Baruna terdiam,
matanya menatap ke laut lepas dengan pandangan kosong. “Dan kenapa kamu memilih
untuk tinggal di kampung nelayan ini daripada di rumahmu sendiri?” Baruna
menghela nafasnya. “Aku tidak akan memaksamu untuk menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi padamu, jika itu memang yang terbaik untukmu.”
“Aku
kehilangan arah dan pegangan!”
“Karena
kehilangan papamu? Mamamu pasti shock! Setelah kehilangan suami dia akan
kehilangan anak! Apa kamu tidak memikirkan apa yang akan terjadi dengannya jika
kamu berhasil bunuh diri! Dan…kamu tidak memikirkan bagaimana perasaanya saat
ini ketika anak satu-satunya meninggalkan rumah dan tidak kembali selama
berbulan-bulan setelah dia ditinggal pergi oleh suaminya! Apa kamu tidak
memikirkan kalau mamamu telah kehilangan dua orang yang sangat dicintainya!”
“Itu
akan terjadi jika mamamu yang mengalaminya, Fan!” Taufan menatap Baruna dengan
pandangan heran dan penuh tanda tanya. “Itu tidak akan pernah dialami oleh mamaku!”
“Aku tidak tahu apa maksudmu?!”
“Karena
papaku bukanlah suami yang diinginkan mamaku! Dan aku adalah anak yang
dibencinya! Anak yang tidak pernah diinginkannya!”
“Apa
maksudnya! Apa mamamu bukan ibu kandungmu?”
Baruna
menggelengkan kepalanya. “Dia mama kandungku!”
“Apa!
Lalu, kenapa bisa begitu?” Taufan merasa heran.
Baruna
menghela nafasnya. Kesedihan tergambar jelas di wajahnya. “Papa yang sangat aku sayangi bukanlah papa kandungku!” Taufan memandang Baruna dengan tatapan tidak percaya. “Itu
aku ketahui ketika aku lulus SMA, Om Ramadhan yang menceritakannya,
setelah aku paksa!”
Baruna
kemudian bercerita kalau hubungannya dengan mamanya sangat dingin, tidak
seperti selayaknya seorang ibu terhadap anak kandungnya.
Bahkan dapat dianggap tidak terlalu
peduli, semuanya serba terserah. Untung ada papanya yang selalu memperhatikan
dan menyayanginya.
“Itu terjadi sejak aku kacil, mungkin sejak
aku lahir. Aku diurus oleh papaku dari hal sekecil apa pun?” Baruna terdiam
sesaat. “Kamu pasti akan bertanya ‘kenapa bisa begitu’, iya kan Fan?” Taufan
mengangguk. “Saat masih kuliah mamaku menjalin hubungan dengan seorang
laki-laki. Namun ternyata laki-laki itu mempunyai tunangan dan sebulan lagi
akan menikah. Mamaku marah karena hubungan mereka sudah terlalu jauh. Laki-laki
itu meminta maaf, dia tidak mungkin meninggalkan tunangannya karena sangat
mencintainya, apalagi orang tua mereka sudah berteman baik sejak muda. Mamaku
bertambah marah, dia sangat membenci laki-laki itu mulai detik itu dan tidak
ingin bertemu dengannya untuk selamanya.” Baruna terdiam sejenak untuk
mengambil nafasnya. “Hubungan mereka yang singkat dan terlalu jauh ternyata
membuat mamaku hamil. Mamaku bertambah marah. Dia berniat menggugurkannya. Namun
dilarang oleh kedua orang tuanya, kakek dan nenekku, dengan mengatakan jangan
dosa ditambah dengan dosa, karena bayi
dikandungnya tidak berdosa. Mereka mengatakan kalau akan meminta
pertanggungjawaban laki-laki itu asal mamaku mau mengatakan siapa orangnya,
orang tuanya dan dimana tempat tinggalnya. Mamaku bertambah marah, dia
bersumpah tidak ingin melihat dan mengenal laki-laki itu dan juga keluarganya
seumur hidupnya. Kedua orang tuanya bingung. Bagaimana pun mereka tidak mau
putri kesayangan mereka melahirkan seorang anak tanpa suami namun juga tidak
mau putri mereka menggugurkan kandungannya. Maka akhirnya mereka menemukan
sebuah solusi kalau mamaku harus menikah dengan laki-laki lain!”
“Papamu?”
“Papanya
mama, kakekku kemudian ingat kepada salah seorang kenalannya. Dirga, anaknya
teman kakek. Dia sepuluh tahun lebuh tua dari mama. Dia pernah menyukai mama,
tapi waktu itu mama masih sekolah dan juga tidak menyukainya, karena
dianggapnya sudah tua dan bapak-bapak. Dirga kemudian menikah dengan wanita
yang dijodohkan oleh ibunya, tapi kemudian istrinya meninggal. Dia duda tanpa
anak. Kakek kemudian meminta Dirga untuk menikahi mama sampai anak dalam
kandungan mama lahir, hal itu untuk menyelamatkan nama baik semuanya. Kakek
meminta tolong dengan mengiba dan memohon.”
“Kenapa
kakekmu meminta kepada Dirga untuk menikahi mamamu? Kenapa bukan laki-laki
lain?”
“Pertama,
karena Dirga pernah sangat menyukai mama. Kedua, Dirga
seorang duda.”
“Kakekmu
yakin Dirga mau menikah dengan mamamu?”
“Yah,
karena dia tahu Dirga adalah seorang laki-laki yang sangat baik!”
“Kedua orang tua Dirga?”
“Mereka meyerahkan semuanya kepada Dirga.”
“Dirga setuju dan mereka kemudian menikah?”
“Yah,
mamaku menikah dengan Dirga tanpa dasar suka dan cinta. Sebaliknya dengan
Dirga, dia masih menyimpan benih-benih cinta untuk mama.”
“Dirga
diiming-imingi sesuatu oleh kakekmu?” tebak Taufan.
“Yah.
Kakek mengiming-imingi apa pun permintaan Dirga akan dipenuhinya.”
“Dirga
meminta sesuatu?”
Baruna
menggelengkan kepalanya. “Dia laki-laki yang sangat baik, bermartabat dan
mempunyai harga diri. Dia mau menikah demi kebaikan semuanya dan persahabatan
yang terjalin antara orang tuanya dan kakek. Dia tidak mengungkapkan kalau
sebenarnya dia masih menyukai mama.”
Baruna
terdiam beberapa saat. “Mereka
menikah dan kemudian lahirlah aku!”
“Dan
seperti kata kakekmu, setelah bayi dalam kandungan mamamu lahir, Dirga boleh
pergi?”
Baruna
menggelengkan kepalanya. “Dirga menyayangiku, dia sangat senang dengan
kehadiranku. Aku bayi yang sangat tampan dan lucu, walaupun waktu lahir aku
sangat kecil. Mungkin karena mamaku yang tidak peduli denganku saat aku dalam
kandungannya.”
“Dirga
adalah papamu yang meninggal itu?”
“Ya.
Dia kemudian tetap bertahan menjadi suami mamaku karena aku.”
“Bagaimana
dengan mamamu? Apa dia menerima Dirga?”
“Aku
tidak tahu bagaimana perasaan dia sebenarnya, kata papa, dia hanya mengatakan ‘terserah saja, tapi kamu sudah tahu
bagaimana aku’! Setelah itu, aku seperti anak tiri bagi mamaku. Papa yang
mengurusku dari kecil hingga besar.”
“Dia
membencimu karena laki-laki itu?”
“Ada
hal lain, karena mengandungku cita-cita mama untuk menjadi model
professional musnah!”
“Tapi
bagaimana pun kamu adalah darah dagingnya!” Baruna mengangkat kedua bahunya. “Lalu,
bagaimana hubungan mereka sebagai suami istri?”
“Aku
tidak tahu! Tapi aku akui, mama tetap menghormati Dirga! Kamu tahu Fan? Di
luar, kami adalah sebuah keluarga yang sempurna, sedangkan di dalam kami
seperti hidup dengan orang asing! Di hadapan publik mama seakan-akan adalah
mama terbaik, dia memeluk dan menciumku, sedangkan di rumah?” Baruna
menggelengkan kepalanya. “Berbicara saja, mungkin kalimatnya bisa dihitung
dengan jari! Mungkin itu mama lakukan demi reputasinya sebagai pengusaha.
Mamaku mempunyai beberapa butik di beberapa pusat perbelanjaan besar di Kota,
bahkan ada yang di Singapura dan Malaysia! Sedangkan papa, dia seorang dosen
yang cukup disegani di perguruan tinggi tempatnya mengajar!”
“Jadi
cerita tentang mammu yang seorang pengusaha dan papamu seorang
dosen pada papaku, kamu tidak bohong!” ujar Taufan. Baruna mengangguk. “Lalu,
bagaimana hidupmu sendiri?”
“Aku
selalu kesepian. Dan aku menjadi anak yang lemah, sampai akhirnya mas Amin datang,
dialah teman dekat satu-satunya.”
“Teman-teman
sekolahmu?”
“Hanya
sekedar teman. Aku bukan orang yang pandai bergaul.”
“Aku
tidak mengira kamu seperti itu!”
“Lalu,
bagaimana akhirnya kamu tahu kalau Dirga bukan papa
kandungmu? Apa dengan begitu saja Om Ramadhan menceritakannya
padamu?”
“Hari
itu aku tidak sengaja mendengarnya, saat mama kedatangan teman lamanya yang
baru datang dari Jerman. Mereka berada di ruang kerja mama. Teman
mama itu bertanya ‘Sofie, apa dia
anakmu? Tampan sekali! Apa dia anak Lukman?’ Tiba-tiba mama
berteriak ‘jangan sebut nama itu di depanku!
Dia tidak pernah ada dalam hidupku! Laki-laki itu sudah mati!’ Lalu teman
mama itu kembali mengatakan ‘dia mirip
dengan Lukman!’ Kembali mama berteriak kepada temannya untuk tidak menyebut
nama ‘Lukman’ lagi, kemudian mama
mengatakan ‘secara hukum dia anak Dirga!’.
Aku shock mendengarnya.” Taufan mengerutkan dahinya. “Saat makan malam bersama,
aku menanyakan tentang Lukman pada mama. Mama
maupun papa terkejut. Aku berterus terang kalau aku mendengar pembicaraan mama
dengan temannya.”
“Apa
jawaban mamamu?”
“Dia
hanya menjawab kalau Lukman bukan siapa-siapa dengan nada ketus sambil
meninggalkan meja makan.”
“Bagaimana
dengan papamu?”
“Papa
mengatakan kalu dia tidak mengenal Lukman. Lalu aku tanyakan kenapa teman mama
menanyakan apa aku anak Lukman, karena aku mirip dengannya. Papa hanya
tersenyum dan mengatakan kalau aku adalah anak kandungnya. Tentu saja aku tidak
percaya! Aku pergi ke tempat Om Ramadhan. Pada awalnya dia tidak mau cerita,
setelah aku paksa akhirnya dia mau bercerita juga, siapa itu Lukman.
Dan akhirnya aku tahu alasannya kenapa
sikap mama kepadaku begitu dingin. Aku sangat shock! Apalagi setelah tahu kalau
papa bukanlah papa kandungku!”
“Kemudian
kamu kabur dari rumah untuk mencari papa kandungmu?” tebak Taufan.
“Awalnya
aku berniat seperti itu. Aku sempat pergi dari rumah, tapi kemudian aku teringat papa. Papa yang
selama ini mengurus dan menyayangiku seperti anak kandungnya sendiri, aku
kemudian kembali ke rumah sekitar jam tiga pagi. Papa menungguiku di teras
depan. Aku langsung memeluknya dan menangis meminta maaf. Papa pun menangis dan
mengatakan apa pun yang terjadi dia tetap sebagai papaku dan menyayangiku. Aku
memeluknya dengan erat.” Mata Baruna berkaca-kaca. “Sejak saat itu papa adalah
segalanya bagiku. Sering terbersit di benakku untuk mencari papa kandungku,
tapi entah dimana aku mencarinya. Pernah sekali aku menanyakan pada mama, dia
marah besar dan mengatakan kalau Lukman bukan siapa-siapa dan sudah mati. Dan
kehidupanku berjalan tanpa pernah mengenal papa kandungku. Sikap mama masih
seperti biasa, bahkan menjadi jarang di rumah karena mengurusi
usahanya. Aku hanya memiliki papa, sampai akhirnya hari itu tiba. Papa
meninggal karena sakit jantung yang dideritanya sejak lama.” Baruna terdiam,
sebutir air mata jatuh dari matanya. “Mama waktu itu berada di Singapura dan
baru datang saat pemakaman papa. Tiga hari kemudian dia sudah pergi lagi entah
kemana. Aku shock, marah, kehilangan arah dan pegangan. Aku merasa hidupku
hampa dan sudah tidak ada artinya lagi. Aku pergi dari rumah.” Baruna terdiam
sesaat.
“Bukankah
ada Om Ramadhan.”
“Saat
itu aku tidak punya pikiran lagi tentang keluarga, saudara atau teman. Seharian
aku berjalan tidak tahu harus pergi kemana sampai akhirnya aku bertemu dengan
Mas Amin di depan pasar. Dia terkejut melihatku berjalan sendirian dan aku diajak
ke kiosnya. Mas Amin sangat sedih dengan keadaanku, ia mengajakku menginap ke
rumahnya, tapi aku tolak dengan alasan aku ingin pergi ke suatu tempat. Dia
akan memberiku sejumlah uang, tapi aku menolaknya. Aku kemudian terus berjalan. Aku tidak ingin
apa-apa, bahkan rasa haus dan lapar pun aku tidak hiraukan. Tiba-tiba terbersit
dalam pikiranku kalau tidak ada gunanya lagi aku hidup, tanpa ada orang yang
aku sayangi dan juga menyayangiku. Dua hari aku hidup
seperti gelandangan, sesuatu yang belum pernah aku rasakan dalam hidupku,
selama ini aku hidup selalu berkecukupan dan enak. Aku tidak siap menghadapi
kerasnya kehidupan jalanan. Tapi aku menjadi tahu
bagaimana kehidupan malam dan jalanan Kota.” Pandangan mata Baruna menerawang
jauh. “Pada
malam kedua aku berjalan, saat itu hujan rintik-rintik aku melihat tiga orang preman yang sedang
memeras anak kecil pengamen jalanan di sebuah gang sepi. Maksud hati ingin menolong
anak itu, aku malah dikeroyoknya. Badanku yang lemah tidak dapat
melawan ketiga orang preman itu, aku akhirnya babak belur dan terkapar tidak
berdaya. Anak kecil itu mengira aku mati, dia ketakutan dan akhirnya kabur.”
Baruna tersenyum nyinyir.
“Kemudian
apa yang terjadi denganmu?”
“Aku
yang terkapar kemudian mencoba bangkit. Dengan badan yang sakit dan lemah aku
berjalan tertatih. Aku baru merasakan sakit karena dipukuli orang ditambah
perutku yang seharian belum disi makanan,
karena aku aku memang tidak berselera untuk makan, tapi ternyata tubuhku
protes. Aku tidak tahu lagi harus apa dan mau kemana. Pikiranku bertambah kacau.
Hujan bertambah deras. Mataku tiba-tiba berkunang-kunang, pandangan mataku
mulai kabur, badanku terasa lemas seperti tidak mempunyai tulang. Aku merasa
tubuhku melorot dan terdengar bunyi ‘buk!’ yang cukup keras. Aku terjatuh.
Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi!” Taufan mengerutkan keningnya.
“Ketika aku membuka mata, aku melihat tiga orang berada di samping sebelahku
yang terbaring di sebuah kursi panjang di sebuah ruangan.”
“Orang-orang
itu yang menolongmu?”
Baruna
mengangguk. “Mereka, Tamara, Andah dan Dyan!” Taufan mengangguk-angguk. “Mereka
menemukanku pingsan di pinggir jalan tidak jauh dari salon mereka ketika akan
pulang. Mereka menggotongku ke salon. Aku
bertanya ‘aku ada dimana’, Mbak Tamara
yang menjawab kalau aku ada di tempat ‘kami’. Aku kemudian duduk dan melihat ke
sekeliling, kulihat suasana sebuah salon. Mereka menyuruhku untuk mengganti
pakaianku dengan yang kering dan aku disuruh makan dan minum. Aku pun menurut
karena rasa lapar sudah tidak bisa berkompromi lagi. Mereka bertanya siapa aku
dan kenapa aku pingsan di jalanan saat hujan dengan muka memar. Waktu itu sku berbohong dengan mengatakan kalau aku baru datang
dari jauh, tersesat dan baru dirampok orang.”
“Mereka
percaya?”
“Mereka
hanya saling pandang dan mengerutkan dahi.” Baruna tertawa kecil. “Setelah
selesai makan dan minum aku mengucapkan terima kasih kepada mereka karena telah
menolongku. Aku bermaksud untuk pamit pergi. Namun Mbak Tamara mencegahku,
katanya aku sakit. Dia memegang dahiku yang katanya panas sekali.”
“Kau
memaksa untuk pergi?”
Baruna
menggelengkan kepalanya. “Aku akhirnya menginap di salon itu karena badanku
meriang.”
“Kamu
menginap bersama mereka?”
“Hanya
Mbak Tamara. Mbak Andah dan Mbak Dyan pulang. Dua hari aku sakit di salon Mbak
Tamara. Dia dan dua temannya itu merawat dan menjagaku. Hari ketiga aku merasa
sehat. Mbak Tamara menghampiriku yang duduk melamun, dia menanyakan siapa
sebenarnya diriku dan apa yang sebenarnya terjadi, karena dia tahu malam itu
aku berkata bohong. Entah kenapa, aku menceritakan apa yang sebenarnya terjai
denganku. Dia merasa kasihan padaku, lalu menanyakan aku akan pergi kemana. Aku
menjawab aku tidak tahu. Lalu dia menawariku untuk tinggal sementara
di salonnya sampai aku merasa tenang, toh setiap malam tidak ada yang
menungguinya, karena dia dan kedua temannya setelah salon tutup pulang
ke rumah. Karena tidak tahu harus pergi kemana aku pun akhirnya menurut. Aku
tinggal di salon Mbak Tamara. Di salon itu aku membantu Mbak Tamara untuk sekedar
bersih-bersih. Empat hari tinggal di salon Mbak Tamara ternyata membuat gossip
tidak enak untuk Mbak Tamara dan salonnya, yang katanya aku sebagai
simpanannyalah, berondongnyalah, yang inilah, yang itulah. Aku tidak
enak hati kepada mereka. Hari kelima akhirnya aku pamit pergi. Mbak Tamara
menahanku dan menyuruhku untuk tidak menghiraukan orang, karena dia tulus membantuku
tidak ada maksud apa-apa. Aku mengatakan kalau aku tidak mau merepotkannya dan menghancurkan
karirnya. Aku kemudian berbohong, kalau aku akan pergi ke rumah saudaraku. Aku
sangat berterima kasih pada mereka, kalau tidak ditolong mereka malam itu aku
tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.”
“Setelah
itu kamu pergi kemana?”
“Pikiranku
masih kacau, aku tidak tahu harus pergi kemana. Aku terus berjalan. Tiba-tiba
aku ingat pantai. Papaku sering mengajakku ke pantai sejak kecil. Aku ingin
mengenang kebersamaan bersama papa. Dengan uang pemberian Mbak Tamara aku
akhirnya pergi ke pantai dengan naik angkutan umum.” Baruna menghela nafasnya.
Sementara senja sudah mulai turun. “Aku duduk dan termenung lama di pantai,
semua kejadian yang aku alami sepanjang hidupku berputar kembali dalam benakku.
Aku begitu kecewa kehadiranku di dunia ini tidak diinginkan oleh kedua orang
tuaku. Dan satu-satunya orang yang menyayangiku, papa pergi meninggalkanku.
Jujur, aku bukan laki-laki kuat, aku lemah Fan. Aku tidak tahu sebabnya,
mungkin karena sikap mama yang tak peduli padaku dan papa yang terlalu menyayangiku.
Aku kemudian berpikir untuk apa aku hidup. Pikiranku benar-benar kacau!”
“Kemudian
kamu berniat bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke laut?”
Baruna
mengangguk. “Bagian itu Wulan sudah menceritakannya!”
“Aku melihat, kamu bukan aki-laki lemah seperti yang kamu ceritakan.” Baruna
tertawa. “Apa yang membuatmu berubah?”
“Setelah
aku melihat para nelayan itu, Pak Syamsul, Kakek, Ibunya Wulan dan Wulan. Bahwa
hidup adalah sebuah perjuangan dan perjalanan yang harus diisi. Hidup harus optimis
dan tersenyum. Hidup bukan untuk disesali dan ditangisi. Hidup bukan hanya
rumah besar, mobil mewah, status sosial yang tinggi. Hidup adalah dimana kita
mau memberi dan menerima. Hidup adalah dimana kita memberi
kehidupan kepada orang lain! Aku kemudian tertarik ikut melaut
bersama Pak Syamsul karena aku melihat para nelayan yang bersemangat ketika
akan pergi melaut. Aku merasa saat di tengah laut aku mendapat sebuah energi
yang tidak pernah aku dapatkan selama aku berada di rumah. Rumah besar yang
hampa!”
“Sebenarnya
dimana rumahmu?”
“Kamu
ingat saat kita minum wedang ronde di depan pintu gerbang sebuah perumahan
malam itu?” Taufan mengangguk. “Rumahku ada di perumahan itu!”
“Kenapa
malam itu kamu tidak pergi ke sana?!”
Baruna
tersenyum. “Untuk apa? Tidak ada yang akan aku temui di sana!”
“Mungkin
mamamu sudah pulang!”
“Jika
toh sudah pulang. Apa artinya aku untuknya!”
“Tapi
Bar…” Taufan tidak melanjutkan kata-katanya karena Baruna sudah memotongnya.
“Aku
dan papa seminggu bisa tiga sampai empat kali minum wedang ronde di sana. Apalagi
kalau sudah musim hujan dan malam dingin,
hampir setiap hari kami pergi ke tempat itu. Makanya Bapak penjual wedang ronde
itu mengenalku.” Baruna tersenyum, matanya menatap laut. Keduanya kemudian
terdiam, bergelut dengan pikirannya masing-masing.
“Kamu
bersyukur masih punya orang tua yang lengkap Fan! Walaupun kamu sering
bertengkar dengan papamu! Tapi dia menyayangi dan memperhatikanmu meskipun
dengan cara memaksakan kehendak!” Taufan tersenyum kecut. “Tapi
mamamu wanita yang sangat baik, ia begitu menyayangimu. Waktu di rumahmu aku
sangat senang bisa memeluk mamamu. Ingin rasanya akau menangis saat
dipelukannya, karena aku ingin sekali berada dalam pelukan seorang mama!” Mata
Baruna berkaca-kaca.
“Apa kamu tidak punya teman dekat? Maksudku
pacar, dimana kamu bisa berlari dan membagi masalah dengannya? Aku yakin banyak
perempuan yang menyukaimu, kamu cukup tampan, kaya anak orang
terpandang….yaaa…dapat dikatakan laki-laki idaman wanita.”
Baruna
tertawa. “Memang banyak perempuan yang mendekatiku. Sama seperti alasanmu, Fan.
Masalah perasaan tidak bisa dipaksakan.” Taufan ikut
tertawa. “Tapi
sekarang aku merasa senang di sini. Ada
kebahagiaan yang belum pernah aku dapat sebelumnya. Dan Semangat dan energiku
semakin besar setelah keberadaanmu di sini, Fan!” Baruna menoleh ke arah
Taufan.
“Aku juga merasakan hal yang sama.” Taufan
tersenyum lalu terbatuk.
Matahari
semakin mendekati tempat peraduannya. Senja merekah. Cahaya jingga dan merah
menyebar di cakrawala membuat pantulan indah di permukaan air laut. Taufan dan Baruna memperhatikan
keindahan alam yang tercipta di hadapan mereka. Jauh di belakang mereka Wulan
berdiri memperhatikanya. Setelah menghela nafasnya gadis manis itu pun berbalik
pergi.
***
(Masih ngikutin ceritanya kaan?...jangan lupa baca sambungannya di episode 15 yaaaa...)
Komentar
Posting Komentar