Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 10)



10.            Berkelahi

Ini makam papamu?” tanya Taufan, saat dia bersama Baruna berdiri di depan sebuah makam di sebuah pemakaman umum. Baruna mengangguk lalu jongkok dan berdoa di depan pusara papanya. Kesunyian mengembang, hanya terdengar suara angin yang menerpa dedaunan, suara burung-burung yang hinggap di pepohonan dan suara serangga di antara aroma wangi kamboja. Baruna membawa Taufan ke makam papanya.
***
Setelah dari makam papanya, Baruna kembali mengajak Taufan pergi ke suatu tempat.
“Bar, kita mau apa ke pasar? Mau belanja?” kata Taufan dengan nada heran ketika Baruna menyuruhnya menghentikan sepeda motornya di depan sebuah pasar.
“Aku ingin menemui seseorang di dalam pasar!”
“Aku tidak mengerti denganmu, Bar. Semalam kamu ingin bertemu dengan seseorang, ternyata ‘Mbak Tamara’ yang cantik!” Taufan member tanda kutip dengan tangannya ketika menyebut nama Tamara. “Dan sekarang kamu ingin menemui seseorang lagi di dalam pasar sana!” Taufan menunjuk kea rah pasar. “Orang seperti apa lagi yang akan kamu temui? Jangan-jangan orang gila pasar!” Taufan tertawa.
“Kamu lihat saja nanti!” Baruna mengajak Taufan masuk ke pasar. Sambil berjalan dia menceritakan sseorang yang akan ditemuinya. Namanya Amin, sebelumnya adalah tukang kebun di rumahnya, berumur enam tahun lebih tua darinya. Papanya dulu sangat menyayangi Amin, karena anaknya rajin, jujur dan patuh. Setelah lima tahun bekerja di rumahnya, Amin meminta ijin untuk keluar dari pekerjaannya karena mau menikah dan akan membuka usaha kecil-kecilan. Papanya menghormati keputusan Amin, lalu memberikan sejumlah uang kepada Amin untuk modal membuka usaha. Awalnya Amin menolak, namun papanya memaksa, akhirnya Amin pun menerima dan berjanji kalau uang tersebut akan digunakannya untuk membuka usaha. Tiga bulan kemudian Amin datang kembali menemui papanya dan menceritakan kalau sesudah menikah dan menyewa sebuah kios di pasar, Dia membuka toko sembako kecil-kecilan. Amin datang untuk mengucapkan sangat berterima kasih.
Tiba-tiba Baruna menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanya Taufan.
Baruna menunjuk dua orang laki-laki dengan tampang sangar sedang berbicara sambil berkacak pinggang dengan seorang laki-laki penjual kelapa. “ Itu pasti preman-preman yang suka malak pedagang-pedagang kecil di pasar!” ujarnya.
“Bukannya sudah ada retribusi pasar yang resmi?”
“Namanya juga preman! Mana mereka mau tahu!”
“Apa tidak ada keamanan pasarnya?!”
“Preman lebih pintar dari aparat keamanan!” Baruna berkata ketus, lalu berjalan mendekati preman-preman tersebut.
“Bar! Kamu mau apa!” kata Taufan dengan nada kuatir sambil mengikuti di belakangnya.
“Preman-preman seperti itu harus diberi pelajaran!”
Jangan cari masalah di sini!” Taufan semakin kuatir, namun terlambat, karena Baruna sudah berdiri menantang kedua preman tersebut.
“Jangan dikasih Pak!” Baruna berteriak memperingatkan penjual kelapa yang akan memberikan sejumlah uang kepada dua orang preman tersebut. Preman satu yang berbadan besar menoleh kepada Baruna dengan wajah penuh kemarahan. “Masukkan kembali uang itu Pak! Dan jangan memberikan apa pun kepada para pemalak dan pemalas yang tidak berguna ini!” Baruna menunjuk kedua preman di hadapannya. Bapak penjual kelapa itu nampak bingung dan ketakutan.
“Hei! Memangnya kamu siapa?! Anak kecil mau ikut urusan orang saja!” Preman kedua, yang berbadan ceking namun lebih tinggi dari perman satu berteriak sambil berkacak pinggang kepada Baruna.
“Tidak perlu tahu siapa aku! Lebih baik kalian pergi dan jangan pernah kembali lagi ke sini! Atau aku akan laporkan kalian ke kemanan!” ancam Baruna.
“Bar, jangan membuat masalah dengan para preman! Kawanan mereka banyak! Bisa berabe kita!” bisik Taufan yang berdiri di sampingnya.
“Kalian anak kecil tahu apa! Berani menantang kami!” Preman satu berjalan kearah Baruna dengan amarah dan langsung menarik kerah t-shirt biru tua yang dipakainya. Sementara itu Bapak penjual kelapa sudah semakin ketakutan dan menyuruh kedua preman tersebut untuk pergi dengan menyodor-nyodorkan uang yang dipegangnya. Orang-orang yang berada di tempat tersebut nampak kuatir.
“Kami tahu apa pekerjaan preman-preman brengsek seperti kalian!” tukas Baruna. Preman satu yang memegang t-shirt nya naik pitam, lalu mendorongnya dengan keras hingga Baruna terdorong ke belakang dan hampir jatuh.
“Hei! Jadi kalian mau main kasar!” teriak Taufan yang langsung menerjang dan menodorong preman satu dengan keras.
“Kalian anak bau kencur berani juga ya!” Preman kesatu melemparkan pukulan kepada Taufan, namun berhasil ditangkisnya. Baruna yang melihat Taufan diserang berusaha menyerang preman tersebut, namun ditahan oleh preman kedua. Hingga kemudian terjadi perkelahian. Orang-orang yang sebagian besar adalah ibu-ibu berteriak melihat perkelahian tersebut. Ada seorang laki-laki yang berusaha menghentikan perkelahian tersebut, namun dia malah dibentak dan didorong mundur oleh preman satu.
“Hei! Tindakan kalian kali ini sudah keterlaluan!” teriak seorang laki-laki pedagang ayam potong yang tiba-tiba maju sambil mengacungkan pisau pemotong ayamnya. Teriakan laki-laki pedagang ayam tersebut kemudian diikuti  oleh tiga orang laki-laki lainnya. Perkelahian pun terhenti.
“Kalian mau apa! Berani dengan kami!” teriak preman kedua.
“Iya! Karena kali ini tindakan kalian sudah keterlaluan! Kesabaran kami sudah habis! Benar apa yang dilakukan oleh dua pemuda ini!” teriak seorang laki-laki lainnya sambil menunjuk kepada Taufan dan Baruna.
“Jadi kalian berani dan mau melawan kami!” tukas preman kesatu.
“Ya! Kami sekarang akan melawan kalian! Kalian mau apa!” Laki-laki penjual ayam potong sambil melangkah maju dan dan diikuti oleh tiga orang laki-laki lainnya.
Melihat para laki-laki yang berwajah penuh amarah dan dendam, nyali kedua preman tersebut menjadi ciut.
“Kalian…!” Kata-kata preman satu yang tidak diteruskan karena terburu disahut oleh salah satu laki-laki yang maju tersebut.
“Apa! Kalian mau mengancam kami! Kami tidak takut lagi! Sebaiknya kalian pergi dan jangan pernah kembali lagi ke pasar ini! Kalau tidak, seisi pasar akan mengeroyok kalian berdua sampai kalian hanya tinggal nama! Atau kami akan lapor ke polisi, lalu kalian akan dipenjara!” Kedua preman tersebut melangkah mundur dan kemudian berbalik dan melangkah pergi.
“Awas kalian berdua!” ancam preman satu ketika melewati Taufan dan Baruna.
“Kalian kira kami takut dengan ancaman kalian!” Baruna membalas.
“Jangan diladeni, Bar!” kata Taufan.
Kedua preman itu berlalu. Laki-laki penjual ayam potong bersama tiga laki-laki lainnya menghampiri Taufan dan Baruna. “Kalian tidak apa-apa?” tanyanya ketika melihat  keduanya berwajah sedikit lebam dan sedikit darah diujung bibirnya.
“Kami tidak apa-apa Pak,jawab Taufan sambil tersenyum, walaupun bibir dan pipi kanannya terasa sakit akibat kena pukulan.
Muka lebam-lebam negitu, dibilang tiak apa-apa. Biar kami obati,” tukas salah satu dari keempat laki-laki tersebut.
Taufan dan Baruna menyeringai. “Betul Pak. Kami tidak apa-apa.”
Laki-laki penjual ayam potong kemudian menanyakan siapa sebenarnya Taufan an Baruna dan kenapa mereka berada di dalam pasar. Baruna mengatakan kalau mereka mau menemui Amin, saudaranya yang membuka kios sembako di dalam pasar. Dan ternyata keempat laki-laki itu mengenal Amin.
Sebelum Baruna dan Taufan pergi laki-laki penjual ayam potong bersama ketiga laki-laki lainnya juga Bapak penjual kelapa mengucapkan terima kasih dan juga mengatakan kalau tindakannya yang dengan berani melawan para preman membuat mata mereka terbuka bahwa kalau benar tidak ada alasan untuk merasa takut. Toh, jumlah pedagang di pasar jauh lebih banyak dari jumlah para preman, jika mereka bersatu untuk melawa para preman pasti berpikir dua kali untuk memeras mereka.
***
            Baruna mengucapkan salam. Amin, pria kurus berkulit sawo matang dan berambut ikal yang sedang melayani pembeli itu menjawab salam dan terkejut melihat kedatangan Baruna dan Taufan. “Mas Baruna!” teriaknya. Baruna tersenyum. Amin menghampiri keduanya. dan terkejut ketika melihat wajah Baruna dan Taufan. “Kalian berdua kenapa?” Baruna menyeringai, kemudian menceritakan apa yang baru saja dialaminya.
             “Waduh Mas, jangan berurusan dengan preman-preman itu! Berbahaya! Kawanan mereka banyak!” Amin nampak kuatir, kemudian menyuruh keduanya masuk ke kiosnya. “Maaf kiosnya sempit dan berantakan.”.
            “Tidak apa-apa, Mas. Kami yang seharusnya minta maaf karena mengganggu Mas Amin,” ujar Baruna.
            “Mas Baruna pergi kemana saja? Seminggu yang lalu saya bertemu dengan Pak Ramadhan, katanya Mas Baruna sudah hampir empat bulan pergi dari rumah!”
            “Empat bulan pergi dari rumah!” ujar Taufan terkejut sambil memandang Baruna dengan tatapan tidak percaya.
Baruna tersenyum. “Mas Amin bertemu dengan Om Ramadhan dimana?”
“Di bengkel mobil tempat teman saya bekerja. Waktu itu saya pulang dari sini, terus mampir ke bengkel teman saya itu. Eh, tidak sengaja bertemu dengan Pak Ramadhan yang      sedang memperbaiki mesin mobilnya .”
“Apa yang dikatakan Om Ramadhan?”
“Pak Ramadhan kehilangan Mas Baruna. Dia sedih dan bingung harus mencari Mas     Baruna kemana.” Baruna terdiam, kepalanya menunduk. Taufan memperhatikannya, dia menjadi semakin penasaran dengan teman barunya tersebut.
 “Sebenarnya Mas Baruna pergi kemana? Dan kenapa harus pergi?” tanya Amin. Baruna mengangkat kepalanya lalu menghela nafasnya dengan perlahan. “Saya tahu, Mas Baruna pasti sangat sedih dengan kepergian Bapak. Tapi tidak harus pergi, kan Mas? Masih ada Pak Ramadhan?”
 “Aku tiak pergi kemana-mana, Mas. Aku   masih berada di Kota ini. Aku pergi hanya untuk menenangkan diri. Aku tidak tidak mau merepotkan Om Ramadhan.”  Baruna mencoba tersenyum.
Pembicaraan terhenti karena Amin harus melayani tiga orang pembeli.
“Sepertinya yang kamu alami, jauh, jauh lebih parah dari aku!” bisik Taufan. Baruna    tersenyum datar.
“Kiosnya ramai juga, ya Mas?” ujar Baruna kepada Amin yang baru selesai melayani    tiga orang pembeli tersebut.
“Alhamdulillah, Mas.  Tapi ngomong-ngomong, sekarang Mas Baruna tinggal dimana?”
“Aku tinggal di suatu tempat dimana aku merasa tenang dan senang.”
“Apa bersama….” Amin melirik kepada Taufan.
“Oh iya aku lupa.” Baruna menepuk jidatnya sendiri dan kemudian memperkenalkan Taufan kepada Amin.
“Syukurlah kalau Mas Baruna punya teman dan dalam keadaan baik dan sehat. Tapi Mas, apa tidak sebaiknya Mas Baruna pulang ke rumah atau ke tempat Pak Ramahan?” Baruna menggelengkan kepalanya. “Kenapa?”
“Aku sedang menikmati keberadaan dan keadaanku sekarang ini. Suatu saat nanti aku juga akan kembali, entah ke rumah atau ke tempat Om Ramadhan.”
“Tapi, Mas!”
“Oh iya, bagaimana kabar anak dan istri Mas Amin?” Baruna mengalihkan pembicaraan. Amin menceritakan tentang istri dan anaknya yang baru berumur tiga bulan. Amin sangat berterima kasih kepada papa Baruna yang telah memberinya modal untuk membuka usaha, sehingga kini kehidupannya jauh lebih baik.
“Mas, kalau Mas Baruna tidak keberatan, apa tidak sebaiknya Mas Baruna untuk sementara tinggal di tempat saya saja, daripada tinggal di tempat orang lain. Memang tempat tinggal saya tidak sebesar dan sebagus tempat tinggal Mas Baruna. Setidaknya ini mungkin salah satu balas budi saya kepada Bapak. Jujur Mas, saya tidak yakin kalau Mas Baruna baik-baik saja. Badan Mas jauh lebih kurus, kulit menghitam dan rambut Mas Baruna jadi coklat dan tidak terawat begini.” Amin menatap Baruna kuatir.
Baruna tertawa. “Mas Amin bisa saja. Tapi sungguh, aku baik-baik saja dan tidak kurang suatu apa pun! Kalau tidak percaya, tanya saja pada Taufan!”
Amin memanang Taufan dengan tatapan tidak percaya. Taufan tidak tahu harus menjawab apa, dia hanya mengangguk sambil tersenyum. Pembicaraan kembali terhenti karena Amin harus melayani dua orang pembeli.
“Baiklah, sepertinya keberadaan kami di sini sudah cukup. Makin lama disini nanti mengganggu Mas Amin.”
“Mas Baruna mau kemana?”
“Meneruskan dan menjalani hidup!” Baruna tertawa. “Tapi aku merasa senang, Mas Amin dan keluarga dalam keadaan baik, begitu juga dengan usahanya. Papa di sana pasti senang melihatnya.” Baruna menepuk lengan Amin.
“Tapi Bapak tidak merasa senang jika melihat Mas Baruna begini!” Amin memandang Baruna dengan tatapan kuatir.
            Baruna tersenyum. “Papa pasti senang, karena aku bisa hidup mandiri, tidak tergantung pada siapa pun!”
            “Tapi..”
            “Aku kan tadi sudah bilang sama Mas Amin, tidak ada yang perlu dikuatirkan denganku.” Baruna tersenyum dan menepuk punggung Amin.
            Baruna dan Taufan pun pamit pergi. Amin bermaksud memberikan sejumlah uang kepada Baruna, tapi ditolaknya. “Aku datang bukan untuk meminta apa pun dari Mas Amin. Aku datang hanya ingin bertemu dan mengetahui keadaan Mas Amin.” Amin memaksanya dengan alasan untuk membalas sedikit kebaikan papanya, tapi Baruna tidak mengindahkannya, bersama Taufan dia pergi meninggalkan kios Amin.
***
(Nyambung ke episode 11 yaaa.............)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)