Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 16)
16. Merayakan
Sekitar
jam sebelas siang, Taufan datang ke rumah Kakek dan bertemu dengan Baruna yang baru
saja bangun tidur. Baruna tersenyum dan mengucapkan selamat atas kelulusannya.
“Tapi
sebelum menerima ijazah kamu belum bisa disebut sarjana!” tukas Baruna sambil tertawa.
“Ah!
Tidak penting! Yang penting sekarang aku lulus! Dan aku ingin merayakannya
denganmu dan Wulan! Lihat ini!” Taufan menunjukkan bungkusan besar yang dibawanya
yang berisi kue-kue yang dibelinya di sebuah toko kue. “Dan rasanya bertambah
enak jika minumnya kelapa muda yang baru dipetik dari pohon.”
“Seharusnya
kamu merayakannnya bersama keluargamu, Fan!”
“Aku
sudah merayakannya bersama mereka semalam! Dan kamu pasti sudah
menebak apa yang terjadi!” Baruna tertawa. “Tapi, sudahlah!
Lebih baik kamu cepat mandi, sebentar lagi si nyonya galak datang dengan
membawa buah kelapa muda!”
“Kamu
menyuruh Wulan memetik buah kelapa di pohon?!”
“Bukan
dia, tapi aku meminta dia menyuruh orang lain!”
***
Taufan
dan Baruna duduk di bangku panjang di bawah pohon kelapa di depan rumah Kakek
sambil menunggu Wulan datang.
“Aku sangat berterima
kasih pada pantai ini. Karena kalau tidak ke sini, aku tidak akan bertemu
dengan kalian semua dan belum tentu skripsiku
akan cepat selesai. Aku benar-benar berterima kasih
pada kalian semua.”
“Papamu
pasti sangat senang.”
Taufan
mengangguk lalu menceritakan bagaimana Papa membawanya ke kantornya. Mama
mengadakan makan malam bersama di rumah yang kemudian suasana tenang menjadi
agak sedikit panas setelah mendapat telephon dari Badai.
“Papa
sangat menginginkan aku bekerja di kantornya.”
“Apa
salahnya dicoba, Fan! Tidak ada ruginya.”
“Tapi
aku tidak punya passion sama sekali!
Jika aku paksakan nanti yang terjadi aku malah membuat semuanya berantakan! Toh,
Papa yang juga pusing kan!”
“Lalu,
apa yang akan kamu lakukan?”
Taufan
menggelengkan kepalanya. “Aku belum mengatakan apa pun. Mama sedang sangat
bahagia, aku tidak tega jika membuat keributan lagi dengan Papa.”
“Sebenarnya
apa yang kamu inginkan selama ini, Fan?”
“Aku
hanya ingin melukis dan melukis! Aku ingin mengajar anak-anak melukis! Aku
ingin memperkenalkan dunia kepada semua orang lewat lukisan! Aku ingin bisa
membuat orang bahagia dengan lukisan!”
Baruna
tersenyum. “Cita-cita yang mengagumkan! Dan jujur saja, aku ingin melihatmu
sebagai pelukis besar suatu saat nanti. Kamu pelukis berbakat Fan.”
Taufan
tersenyum, ada seuntai kebahagiaan di wajahnya. “Kamu sendiri, apa yang
sebenarnya kamu cita-citakan?!”
Baruna
menghela nafasnya. “Tidak ada! Aku hanya ingin membuktikan pada diriku sendiri
kalau aku bisa hidup sendiri! Aku bisa berjuang untuk hidupku
sendiri!”
“Kamu
tidak ingin menjadi apa-apa?”
“Aku
hanya ingin bisa membantu orang lain! Itu saja!”
“Kamu
tidak ingin menjai dosen seperti papamu? Atau menjadi
pengusaha seperti mamamu?”
“Dulu
memang ingin seperti itu, tapi hasrat itu sudah hilang! Aku tidak tahu, kenapa
bisa begitu. Aku sempat berpikir, jangan-jangan aku ditakdirkan untuk mati
muda!”
“Hei!
Jangan ngomong seperti itu!” sergah Taufan, Baruna tertawa.
Taufan
kemudian bercerita kalau Papa masih menjodohkannya dengan Sekar dan mengira
hubungan mereka semakin dekat, dan hal tersebut didukung oleh Mama dan Bayu.
Baruna hanya tersenyum mendengarnya. Taufan kemudian terbatuk beberapa kali.
“Hei!
Batukmu belum sembuh-sembuh! Apa kamu sudah meminum obat atau periksa ke
dokter?”
“Tidak
apa-apa, hanya batuk biasa. Aku paling malas pergi ke dokter dan minum obat!
Nanti juga sembuh sendiri!”
Wulan
datang dengan membawa tiga buah kelapa muda yang telah dibuka. Ketiganya
kemudian duduk bersama. Taufan membuka bungkusan dibawanya.
“Perayaan yang aneh! Seharusnya kamu undang
orang satu kampung biar ramai!” ujar Wulan sambil tersenyum lalu mengambil
sebuah kue coklat dan memakannya.
“Kalau
panggil orang satu kampung ke sini, nanti dikiranya kakekmu sedang hajatan atau
orang melayat!” kata Baruna sambil tertawa.
Wulan
memukul lengan Baruna yang duduk di tengah. “Kakekku masih sehat dan segar
bugar, jangan ngomong seperti itu! Pamali tahu!”
“Umur
tidak ada yang tahu Lan! Mungkin hari ini masih sehat, tapi kalau Tuhan berkendak
siapa yang bisa mencegahnya?” sahut Taufan.
“Iya
sih, tapi aku ingin Kakek tetap ada sampai aku menikah dan punya anak.”
“Yaaa
kalau kamu tidak meninggal terlebih dulu!” celetuk Baruna. Wulan kembali
memukul lengannya.
“Memangnya
kamu mau menikah dengan siapa, Lan?” goda Taufan.
“Iya
Lan, memangnya ada yang mau menikahi gadis galak sepertimu?!” Baruna tertawa.
Wulan
berdiri sambil berkacak pinggang. “Hei! Kamu pikir ada gadis yang mau menikah
denganmu!”
“Ada!”
“Siapa?!
Hantu laut?!”
“Kamu!”
Wulan
mencibir lalu menendang kaki Baruna, sementara Taufan tertawa dengan
keras.”Kalian memang keterlaluan! Menyesal aku berteman dengan kalian! Dan menyesal
aku menolongmu, seharusnya aku biarkan kamu mati di laut sana!” Wulan kembali
menendang kaki Baruna, laki-laki tampan itu mengaduh namun tetap tertawa. “Aku
berharap kalian tidak pernah datang ke pesta pernikahanku nanti!”
“Hei
jangan begitu, nanti didengar malaikat, beneran lho kami tidak datang ke pesta
pernikahanmu,” sahut Taufan sambil tertawa yang kemudian terdengar batuknya.
“Memang
lebih baik begitu! Aku akan merasa sangat senang jika kalian tidak datang!”
“Nanti
kamu menangis!” goda Baruna.
“Tidak
akan!”
“Beneran?
Kamu tidak akan kehilangan dan mencari kami?” sambung Taufan.
“Ah
sudahlah! Kenapa kalian membicarakan tentang pernikahanku, bukannya kita disini
untuk merayakan kelulusanmu, Fan!” Wulan kembali duduk di samping Baruna.
Ketiganya kemudian terdiam menikmati air dan buah kelapa muda juga makanan
kecil. “Kalian adalah orang-orang yang sangat beruntung! Berasal dari keluarga
yang mampu, bahkan sangat mampu, bisa sekolah tinggi dan menjadi sarjana. Tidak
banyak orang yang seberuntung kalian,” kata Wulan kemudian.
“Dan
tidak banyak juga orang yang seberuntung kamu, Wulan!” tukas Baruna dengan
wajah yang tiba-tiba serius. “Punya keluarga yang masih lengkap dan menyayangimu,
mereka adalah harta yang lebih berharga dari apa pun!”
“Dan
kamu menjadi manusia bebas, bisa menentukan hidupmu tanpa tekanan dari apa pun
dan siapa pun!” tambah Taufan.
“Kalian
ngomong apa sih! Kenapa fokusnya balik lagi ke aku!” Wulan merasa heran.
“Karena
kami adalah orang-orang yang tidak seberuntung kamu!” ujar Taufan.
Wulan
mengernyitkan dahinya.
“Dan
itulah kenapa kami berada di sini!” sahut Baruna.
“Karena
takdir yang mempertemukan kalian di sini! Kamu akan berkata seperti itu, kan
Bar?!” sahut Wulan.
“Yah!
Mungkin takdir yang mempertemukan kita bertiga!” Baruna terdiam sesaat sambil
memperhatikan laut lepas. Suara ombak dan tiupan angin memecah pantai di siang
hari yang lumayan cerah. “Kamu ingin tahu kenapa kami ada di sini, kan?”
“Aku
tidak memaksa kalian untuk mengatakannya!”
Baruna
menghela nafasnya, setelah itu mulai bercerita tentang dirinya hingga akhirnya
sampai di pantai dan ingin menenggelamkan diri ke laut. Begitu juga dengan
Taufan, bergantian dengan Baruna, menceritakan kenapa dia sampai di pantai dan
sering kabur dari rumah.
“Aku
tidak menyangka, menjadi orang-orang seperti kalian, yang hidup di kota dengan segala
kecukupannya tidak selamanya menjadi orang-orang yang beruntung!” komentar
Wulan setelah mendengar cerita dari Baruna dan Taufan.
“Itulah
mengapa kami katakana kalau kamu adalah orang yang beruntung!” kata Baruna dan
tiba-tiba merangkul pundak Wulaan dengan erat dan menariknya kearah tubuhnya,
hingga membuat gadis manis itu berteriak-teriak.
“Baruna!
Gila kamu! Lepaskan!”
“Kamu
takut dilihat anak juragan ikan itu ya!”
Seperti
biasanya Wulan berusaha mendorong tubuh Baruna dengan keras, namun kali ini
rangkulannya sangat erat hingga gadis itu tidak
bisa melepaskan diri. Taufan yang duduk di samping Baruna hanya tertawa
dan sesekali terdengar batuknya.
“Oh
iya, aku ingin kalian datang saat wisudaku nant!” kata Taufan kepada Baruna dan
Wulan.
***
(Apa yang bakal terjadi selanjutnya? Jangan lupa baca episode 17 yaaaaaa............)
Komentar
Posting Komentar