Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 11)
11.
Berita
baik
Wulan yang baru keluar dari rumah Kakek setelah mengirimkan
makanan terkejut melihat Baruna dan Taufan yang datang dengan wajah lebam dan
pakaian yang agak kotor. “Kalian kenapa?” tanyanya heran dan secara reflek
tangannya menyentuh kedua laki-laki yang berdiri didepannya itu secara
bergantian. “Kalian habis berkelahi?!”
“Namanya
juga laki-laki, babak belur begini sudah biasa!” tukas Baruna tersenyum sambil
berusaha menyingkirkan tangan Wulan dari wajahnya.
Taufan
baru akan membuka mulut tapi Wulan terburu menyahutnya. “Kamu juga akan
mengatakan hal yang sama dan membelanya! Aku tidak percaya pada kalian! Terutama
pada si bengal ini!” Wulan menunjuk muka Baruna. “Sekarang ikut aku! Biar aku
obati!”
“Tidak
perlu. Kami baik-baik saja! Sekarang kami akan mandi dan berganti pakaian.”
“Ada
lautan luas di sana! Kalian bisa mandi sepuasnya di sana sekalian mencuci baju!
Sekarang ikut aku!” bentak Wulan lalu menarik tangan Baruna dengan tangan kanannya
dan tangan Taufan dengan tangan kirinya.
“Hei,
tidak usah ditarik! Kami bisa jalan sendiri!” protes Baruna. Wulan tidak
mengindahkannya. “Atau kamu memang sengaja menarik tangan kami, supaya bisa bersentuhan?”
goda Baruna sambil tertawa.
“Kalian
jangan berpikiran yang kotor! Aku tidak mempunyai maksud apa-apa dengan
kalian!” tukas Wulan sambil melepaskan tangan keduanya.
“Tapi
kami tidak keberatan. Ya kan Fan?” Baruna tertawa.
“Benar.
Aku tidak keberatan kok!”
“Kenapa
kamu jadi ikut-ikutan! Rupanya kamu sudah ketularan gila si bengal
ini!” Wulan melotot kepada Taufan.
“Jadi
mari kita berpegangan tangan saja dengan mesra?” Baruna tersenyum sambil mencoba
meraih tangan Wulan.
“Dasar
anak bengal! Sinting!” Wulan mendorong tubuh
Baruna dan menampar pipinya yang lebam hingga membuat Baruna mengauh kesakitan. Taufan tertawa melihat
kelakuan keduanya.
Sesampainya di rumah, Wulan langsung
mengobati lebam dan luka-luka Taufan dan Baruna.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kalian
berkelahi dengan siapa? Atau jangan-jangan, kalian berdua saling berkelahi!”
Wulan menatap tajam Taufan dan Baruna bergantian dengan
pandangan penuh curiga.
“Buat apa kami saling berkelahi!
Jangan ngarang!” tukas Baruna sambil memberikan setetes antiseptik pada luka di
siku tangan kirinya.
“Lantas?!”Taufan akhirnya bercerita
apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka berdua. “Apa! Kalian berkelahi dengan
preman-preman pasar!” Wulan terkejut. “Baruna! Kamu memang sudah gila! Untung
saja hanya dua preman dan ada yang menghentikan perkelahian! Bagaimana kalau
lima atau sepuluh orang dan tidak ada yang menghentikan perkelahian?! Kalian
bukannya lebam-lebam dan luka kecil lagi! Tapi bakalan masuk rumah sakit!
Atau…..” Wulan tidak meneruskan kata-katanya.
“Atau apa?” tanya Taufan.
“Pulang tinggal nama! Alias mati
konyol!”
Baruna menyeringai. “Kalau pun kami
mati, aku rasa bukan mati konyol, tapi mati terhormat, karena membela yang lemah
dan yang benar!”
“Iya benar! Jika kami mati, itu mati
sahid, mati di jalan yang benar! Yang mati konyol itu para koruptor! Yang
menelan hak rakyat, hak orang kecil!” timpal Taufan yang kemudian mendapat
acungan jempol dari Baruna.
“Ah, kalian memang pandai berbicara!
Terserah apa kata kalian. Tapi aku peringatkan kalian untuk berhati-hati,
peristiwa itu menjadi peristiwa pertama dan terakhir. Kalian harus berjanji
untuk tidak mengulanginya lagi!”
“Janji sama siapa?” Baruna
tersenyum.
“Janji kepada diri kalian sendiri!”
“Kenapa harus malu, kamu akan bilang
agar kami janji padamu kan?” ujar Taufan sambil tersenyum.
Wulan mulai merasa kesal. “Terserah
kalian mau berjanji pada siapa! Setelah selesai kalian sebaiknya pulang an
mandi! Obatnya boleh kalian bawa!”
“Kamu tidak ingin mengantar kami
pulang?” goda Baruna. Wulan mencibir, tanpa berkata dia berbalik dan berlalu dari
hadapan Taufan dan Baruna.
***
Malam harinya Baruna dan Taufan ikut
melaut mencari ikan bersama Syamsul. Ayah Wulan itu sebenarnya melarangnya
karena melihat wajah mereka yang masih lebam dan beberapa luka kecil pada kaki
dan tangan keduanya, tapi keduanya mengatakan tidak apa-apa dan memaksa untuk
ikut.
“Tindakan kalian sudah benar. Berani
menantang para preman yang memeras pedagang-pedagang kecil di pasar. Memang,
segala sesuatu harus ada yang memulainya, kalau tidak pedagang-pedagang pasar
itu akan terus dalam keadaan ketakutan terhadap para preman,” kata Syamsul
ketika mendengar penyebab lebam dan luka pada keduanya. “Dan mereka pasti akan
semakin berani dan menindas. Modal mereka hanya wajah angker, gertak dan
mengancam! Selain itu biasanya mereka beraninya keroyokan. Mana berani preman
melakukan aksinya sendirian, mereka pasti membawa teman. Pengecut! Tapi kalian
juga harus berhati-hati jika berhadapan dengan mereka, lihati situasi dan
kondisi! Kalau tidak, kalian yang akan konyol sendiri!”
Malam nampak cerah. Bulan sedang purnama
penuh, bintang bertaburanan, rasi bintang orion dan layang-layang
terlihat jelas. Baruna dan Taufan duduk di atas perahu dengan segelas kopi ditangan
masing-masing.
“Siapa Om Ramadhan?” tanya Taufan
tiba-tiba.
Baruna menghela nafas dan menyeruput
kopinya. “Adiknya mamaku,” jawabnya kemudian.
“Mendengar cerita Mas Amin,
sepertinya Om kamu itu orang yang sangat baik dan
menyayangimu.”
“Begitulah!” jawab Baruna singkat,
pandangannya menatap jauh ke kegelapan laut malam.”
“Kenapa kamu tidak menemuinya?”
“Kamu sudah mendengar alasanku yang
aku kemukakan pada Mas Amin, kan?”
“Bagaimana dengan mamamu? Dia pasti
sangat kehilanganmu. Apalagi kamu adalah anak tunggal!”
Baruna terdiam, pandangan matanya kosong.
Terdengar Syamsul memanggil keduanya karena siap melempar jala. Keduanya
kemudian bergegas.
***
Malam pun berlalu mengejar fajar. Ayah
Wulan turun dari kapal dengan senyum mengembang, karena hasil tangkapan ikannya
semalam sangat menggembirakan. “Kalian memang membawa keberuntungan!” ujarnya
sambil merangkul pundak Taufan dan Baruna yang baru saja menurunkan tong-tong
yang berisi ikan hasil tangkapan.
“Pak Syamsul bisa saja. Biasanya
tanpa kami pun selalu mendapat tangkapan ikan yang banyak,” ujar Baruna.
“Tapi setelah membawa kalian melaut,
tangkapanku jauh lebih banyak!” Syamsul tertawa
senang.
“Mungkin hanya
kebetuan Pak,
yang kemarin karena cuaca bagus dan air yang tenang,
semalam mungkin karena purnama, air laut pasang dan langit terang, jadi
ikan-ikan banyak yang berenang di permukaan,” timpal Taufan.
“Ah terserahlah, yang penting
tangkapan ikanku banyak dan kalian ikut membantu. Nah, sekarang kalian boleh
makan sepuasnya dan sesukanya di warung ibunya Wulan.” Syamsul berlalu dengan
senyum mengembang.
***
Siang harinya, setelah tidur dan membantu
Wulan membuat kerupuk ikan dan mengemas kerupuk-kerupuk yang sudah
kering, Baruna dan Taufan duduk di bawah pohon kelapa bersama Kakek yang sedang
memperbaiki jaring ikan yang rusak.
“Kalian anak-anak muda, hidup harus
penuh semangat dan berarti. Hidup yang cuma satu kali masa iya akan kalian
biarkan begitu saja tanpa sesuatu yang berarti? Meskipun tidak punya apa-apa,
setidaknya bisa membuat orang lain tersenyum dan merasa senang. Kalian tidak
tahu bagaimana perjuangan Kakek, ayah Kakek, kakeknya Kakek jaman dulu,
bagaimana mempertahankan negeri ini dari tangan penjajah juga bagaimana
melindungi keluarga agar tetap selamat,” kenang Kakek yang kemudian mulai
bercerita bagaimana perjuangannya, ayahnya dan kakeknya. Terkadang
bagian-bagian tertentu sudah pernah diceritakannya, namun Taufan dan Baruna
tetap dengan serius mendengarkannya, bahkan bertanya bagaimana rasanya hidup
pada jaman tersebut. Kakek pun dengan semangat menceritakannya.
***
Sore hari Taufan pulang ke rumah.
Papa dan Mama sudah kembali dari Bandung.
“Kamu darimana Fan? Kata Mbak Asri,
semalam kamu tidak pulang,” tanya Mama ketika
menemui Taufan di kamarnya dan terkejut ketika melihat wajah Taufan yang
masih kelihatan lebam. “Kamu kenapa? Jangan bilang kamu habis berkelahi?!” Mama
nampak kuatir sambil menyentuh wajah Taufan.
“Tidak apa-apa, Ma. Kemarin habis
jatuh dari sepeda motor.” Taufan mencoba berbohong. Dan semalam aku menginap di
tempat Baruna.”
“Jangan berbohong, Fan. Mama tahu
perbeaan bekas terjatuh dengan bekas pukulan!” Taufan menyeringai. “Kamu
berkelahi? Dengan siapa? Baruna, teman barumu itu?”
“Bukan Ma.
Aku dan Baruna tidak sengaja terlibat
perkelahian dengan dua orang pemuda.”
“Bagaimana bisa?!” Mama nampak
kuatir.
“Bukan masalah besar kok Ma, hanya
kesalahapahaman kecil. Tapi semuanya sudah
diselesaikan baik-baik dan damai.” Taufan berbohong karena tahu Mama akan
semakin kuatir jika dia menceritakan yang sebenarnya dan akan menuduh Baruna sebagai
penyebab dia ikut berkelahi.
“Syukurlah kalau begitu. Apa kamu
tidak apa-apa? Tidak terluka parah?” Taufan menggelengkan kepala sambil
tersenyum. “Tidak perlu ke dokter?”
“Tidak perlu, Ma. Ini sudah diobati
kok.”
“Lalu, bagaimana dengan temanmu?”
Taufan mengatakan kalau Baruna juga
baik-baik saja. Mama kemudian meminta Taufan untuk mengatakan alasan lain
tentang lebam-lebam dan luka-lukanya jika Papa melihatnya saat kembali dari
menemui rekan bisnisnya di sebuah hotel di Kota karena dia tidak ingin ada
keributan lagi antara anak dan suaminya. Taufan mengangguk sambil tersenyum.
Setelah mencium Taufan, Mama
kemudian keluar kamar.
***
Taufan makan malam di rumah bersama
Papa dan Mama, juga Lintang dan suaminya. Papa menanyakan lebam pada wajah
Taufan. Anak bungsunya tersebut mengatakan kalau dia baru
saja jatuh dari sepeda motor. Sebelum Papa bertanya kembali karena tidak
percaya dengan jawaban Taufan, Lintang memotongnya dengan mengatakan kalau dia positif
hamil, usia kandungannya kini menginjak tiga minggu. Kabar tersebut membuat
Papa dan Mama sangat senang, terutama Mama.
“Akhirnya Mama akan menimang cucu
juga!” ujar Mama dengan raut muka bahagia.
“Kalau Badai tidak kabur dan
menuruti perkataan Papa, Mama pasti sudah menimang cucu dari dia!” ujar Papa.
Semuanya terdiam.
“Mas Badai tidak kabur Pa! Dia hanya
mengikuti kata hatinya, berusaha mewujudkan cita-citanya yang sangat mulia!”
tukas Taufan dengan tiba-tiba. Papa langsung menatapnya dengan tajam.
“Taufan, sudahlah,” ujar Mama yang
nampak kuatir akan terjadi perdebatan dan pertengkaran lagi dimeja makan.
“Cita-cita apa! Dia itu hidup dibuat
susah sendiri! Coba dia ikuti kata Papa, hidupnya pasti akan lebih nyaman dan
sudah punya anak istri, juga tidak membuat mamamu tersiksa dan menderita!”
tukas Papa.
“Pa..” Mama mulai berkaca-kaca.
“Yang membuat Mama tersiksa dan
menderita bukan Mas Badai, tapi Papa!” bantah Taufan.
“Taufan!” bentak Papa dengan penuh
amarah. “Berani sekali kamu ngomong seperti itu!”
“Pa, sudahlah Pa.” Mama, Lintang dan
Bayu mencoba menenangkan dan meredakan amarah Papa.
“Tapi memang begitu kenyataannya!
Kalau Papa tidak bersitegang dengan Mas Badai yang membuatnya memutuskan untuk
pergi dari rumah, tentunya Mama tidak akan tersiksa dan menderita! Begitu juga
dengan aku! Andai saja Papa tidak selalu memaksakan kehendaknya padaku, Mama tidak akan bersedih dan
menangis!”
“Tidak bisakah kalian berbicara
dengan kepala dingin? Kenapa selalu saja seperti ini! Dulu Badai, sekarang
Taufan!” sergah Lintang. Taufan terdiam, sementara Mama sudah mulai menitikkan
air matanya.
“Apa tidak sebaiknya kita selesaikan
makan dulu, setelah itu baru kita berbicara baik-baik?” timpal Bayu.
“Papa sebenarnya juga tidak mengharapkan
hal seperti ini terus terjadi, Lintang. Tapi kamu lihat sendiri bagaimana sikap
adikmu itu!”
“Sudah, sudah, Mama tidak ingin ada
pertengkaran ketika Mama sedang merasa bahagia karena Lintang sedang mengandung
cucu Mama.” Mama akhirnya berbicara untuk mencegah perdebatan yang semakin
menjadi.
Semuanya terdiam. Makan malam akhirnya berlanjut dalam suasana hening dan
tegang, hanya sesekali terengar suara suara sendok yang mengenai piring.
***
Lintang masuk ke kamar Taufan dan
melihat adik laki-lakinya tersebut sedang duduk menatap layar laptop yang
menyala setelah selesai makan malam. Taufan tersenyum melihat kedatangan
kakaknya.
“Selamat
ya Mbak, akhirnya aku akan mempunyai keponakan dan menjadi Om.” Lintang
tersenyum sambil mengacak rambutnya. “Mbak akhirnya jatuh cinta dengan Mas Bayu?”
Lintang
terdiam, mealngkah dan duduk di tepi tempat tidur kemudian
dia menghela nafasnya. “Bayu terlalu baik.
Dia tidak pernah memaksakan kehendaknya ataupun menuntut apa pun dari aku. Dia
mencintaiku dengan tulus dan sepenuhnya, juga sangat sabar dalam menghadapi
aku. Tidak ada alasan aku untuk membencinya. Aku kasihan padanya. Akhirnya aku
pasrah, toh dia adalah suami sahku. Aku hanya bisa berdoa semoga Bayu memang
jodoh terbaik yang dipilihkan Tuhan untukku. Aku menghormatinya dan berharap
dengan berjalannya waktu, aku bisa menyayanginya dan bahkan mencintainya.”
“Bagaimana
dengan Panji?”
Lintang
terdiam sesaat. “Sejak pertama mengetahui aku dijodohkan dengan
Bayu, Panji sudah mengikhlaskanku! Dia tahu betul bagaimana sikap Papa dan dia
tidak mungkin membantah dan melawan Papa dengan mengajakku kawin lari!”
“Panji
payah! Penakut! Tidak berani memperjuangkan cintanya!”
“Sudahlah,
tidak usah membahas soal itu, Fan! Yang berlalu biarlah berlalu. Aku” berharap
Panji menemukan penggantiku yang jauh lebih baik nun jauh di sana dan hidup
berbahagia. Seperti halnya aku yang mencoba menjalani kehidupan baru yang
semoga bahagia.” Lintang tersenyum. “Ngomong-ngomong, bagaimana dengan skripsimu?”
“Masih
mengumpulkan data, tapi aku berharap minggu ini sudah bisa mengolahnya dan menyusunnya.”
“Baguslah
kalau begitu. Semoga semuanya berjalan lancar dan pada akhirnya kamu bisa lulus
dan menyandang gelar sarjana dan membuat Papa senang. Mbak tidak ingin mendengar
atau melihat kamu bertengkar dengan Papa dan kejadian Mas Badai terulang lagi
pada kamu, Fan!” ujar Lintang sambil bangkit dari duduknya dan menepuk lengan
Taufan. “Baiklah, Mbak keluar dulu dan lanjutkan pekerjaanmu. Sebentar lagi
Mbak dan Mas Bayu akan pulang.” Lintang keluar kamar. Taufan kembali
melanjutkan kesibukannya menghadapi laptopnya.
***
(Masih nyambung di episode 12 yaaaaa................)
Komentar
Posting Komentar