Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 18)
18. Pamit
Pagi
hari Papa sudah marah-marah. Dia bermaksud mengajak Taufan untuk pergi ke
kantor namun anak bungsunya tersebut ternyata sudah pergi. Mama yang ditanya tidak
tahu kemana perginya, karena Taufan tidak pamit padanya. Papa kemudian menanyakannya
pada Asri dan Pak Dirman. Mereka mengatakan kalau Taufan pamit pergi ke suatu
tempat.
“Pagi-pagi begini memangnya dia mau
pergi kemana! Pasti dia pergi ke tempat orang-orang tidak berguna itu!” tukas
Papa
“Jangan asal menuduh Pa! Belum tentu
Taufan pergi kesana,” ujar Mama dengan lembut untuk menenangkan hati Papa.
“Kemana lagi dia akan pergi Ma!”
“Ke rumah temannya mungkin Pa.”
Papa tidak menjawab, dengan kesal
akhirnya dia berangkat ke kantor.
“Ya Tuhan, kapan mereka akan saling
akur? Mereka mempunyai watak yang sama-sama keras. Aku tidak mau kejadian Badai
terulang lagi!” benak Mama sambil memperhatikan kepergian Papa.
***
Kosim
terkejut ketika melihat Taufan muncul dengan
wajah berseri-seri. “Ada apa kamu datang ke sini
pagi-pagi, Fan?”
“Aku sedang mempunyai ide untuk
melukis, Mas!”.
“Apa tidak bisa agak sedikit lebih
siang? Ini masih terlalu pagi.”
“Keburu idenya hilang, Mas.” Taufan
tertawa.
Kosim hanya bisa geleng-geleng
kepala dan membiarkan Taufan melakukan apa yang keinginannya. Dia kemudian pergi ke belakang
untuk mandi, karena harus berangkat mengajar juga siang harinya harus bertemu
dengan beberapa orang untuk membicarakan pameran lukisan. Taufan kemudian sibuk
melukis di atas kanvasnya.
***
Siang
hari setelah menyelesaikan lukisannya, Taufan pergi menemui Baruna yang baru
selesai membantu Wulan membuat kerupuk ikan. Taufan kemudian menceritakan
bagaimana papanya memaksanya untuk bekerja di kantornya dengan segala macam peraturannya.
“Aku
sama sekali tidak menginginkannya, Bar. Itu bukan duniaku! Kalau tidak aku yang
menderita, pasti pekerjaanku yang hancur! Papa tidak mau mengerti tentang itu!”
“Demi
mamamu, sudah kubilang, apa salahnya dicoba.”
“Itulah
satu-satunya alasanku mau bekerja di kantor Papa. Karena Mama!”
Taufan
mengatakan kalau rencananya dia akan bekerja di kantor Papa setelah wisuda dan
mendapatkan ijazah sarjana-nya. Sambil menunggunya dia ingin menikmati
kebebasannya.
“Jadi
sekarang kamu bebas, tidak ada yang kamu kerjakan?” tanya Baruna.
“Kenapa
memangnya?”
“Aku
ingin kamu mengantarku.” Baruna mengatakan kalau dia ingin menemui Tamara dan
Amin.
“Tidak ke rumah Om Ramadhan?” tanya Taufan.
Baruna
menghela nafasnya. “Pada akhirnya juga ketemu, tapi tidak sekarang. Sebelum
pergi aku akan pamit dulu sama
Wulan, Kakek, Pak Syamsul dan Bu Syamsul!”
“Apa
aku tidak salah dengar? Tidak biasanya kamu pamit sama
mereka semua!”
“Hei!
Sekarang aku sudah menjadi anak baik. Lagipula apa salahnya kan? Sekalian minta
doa kalau ada apa-apa di jalan!” Baruna tertawa, kemudian terdengar Taufan
batuk-batuk. “Fan, kamu yakin, kamu tidak apa-apa? Kenapa batukmu tidak
sembuh-sembuh? Badanmu juga kelihatan lebih kurus,” ungkap Baruna dengan nada
kuatir.
“Sudah
kubilang aku tidak apa-apa, hanya batuk biasa.
Badanku kurus karena beberapa bulan terakhir ini aku bekerja terlalu keras dan
kurang tidur, demi skripsi! Ayo sekarang
kita pamit pada mereka!”
“Kalau
kamu merasa baik-baik saja, nanti malam kita ikut melaut menangkap ikan lagi
bersama Pak Syamsul. Semoga nanti malam cuacanya bagus sehingga kita bisa mendapat
tangkapan yang besar dan banyak. Jadi kita kembali ke sini sebelum malam.”
***
“Hei!
Tumben amat mau pergi pamit padaku! Biasanya main kabur saja!” ujar Wulan
merasa heran.
“Jangan
begitu, nanti kalau aku tidak kembali kamu kehilanganku!” Baruna tertawa.
“Apa peduliku, kamu mau kembali atau tidak!”
“Bener?”
Baruna menggoda. Wulan hanya mencibir.
Setelah
berpamitan Baruna dan Taufan pun pergi. Tempat
yang pertama mereka datangi adalah salon Tamara. Tamara menyambut gembira
kedatangannya, begitu juga dengan Andah dan Diyan,
dua orang pegawainya. Para pelanggan salon nampak berbisik-bisik ketika melihat
Taufan dan Baruna, apalagi saat tanpa sungkan memeluk Tamara dengan erat.
Tamara sangat senang melihat keadaan Baruna yang kini jauh lebih baik.
“Kamu
juga Fan, wajahmu kelihatan lebih segar dan berseri-seri. Tapi, kenapa badanmu
jadi lebih kurus?” kata Tamara sambil memperhatikan Taufan.
“Kurus
karena skripsi, Mbak!” seloroh Baruna.
“Oh
yah?” Tamara nampak tidak percaya, Taufan membenarkannya.
Mereka
bertiga pun kemudian saling bertukar cerita tentang keadaan dan apa yang telah
mereka alami beberapa bulan terakhir.
Setelah
dari Salon Tamara, Baruna mengajak Taufan menemui Amin di pasar.
***
Dayat
yang datang bersama Kosim dari pertemuan untuk persiapan pameran lukisan
melihat tiga buah lukisan baru.
“Lukisan
siapa Mas?” tanya Dayat.
“Taufan!”
jawab Kosim sambil memandang tiga lukisan di depannya, lalu menceritakan Taufan
yang datang pagi-pagi untuk melukis. “Entah mimpi apa dia semalam, dalam setengah
hari dia bisa membuat tiga lukisan ini.”
“Ketiga
lukisan ini saling berhubungan, seperti satu rangkaian peristiwa atau cerita!”
Dayat menunjuk tiga lukisan Taufan.
Kosim
mengangguk-angguk. “Sepertinya begitu!”
“Lukisan
ini memperlihatkan seorang laki-laki yang terapung di atas air. Mungkin air
laut, soalnya ada gambar empat burung terbang di atasnya, mungkin dia menggambar
camar. Ada benda-benda menggambang di sekitarnya. Aku tidak tahu maksudnya apa.”
Dayat menunjuk lukisan pertama.
“Lukisan
kedua ini. Seorang laki-laki di atas perahu mengulurkan tangan kepada laki-laki
yang mengapung.”
“Dan
lukisan ketiga. Dua orang laki-laki di atas perahu, hanya terlihat belakangnya
menghadap ke matahari, entah ini matahari terbit atau terbenam. Hanya Taufan
yang tahu.”
Kosim menghela nafasnya. “Ini memang sebuah cerita. Laki-laki yang terapung di laut ditolong oleh laki-laki di atas perahu!”
Keduanya
kemudian terdiam sambil terus memperhatikan lukisan Taufan.
“Apa
mungkin salah satu laki-laki ini dirinya sendiri?” ujar Dayat.
“Dan
laki-laki satunya adalah teman barunya itu!” Kosim menunjuk lukisan bergambar
Baruna.
Dayat
memandang Kosim. “Siapa sebenarnya teman barunya itu dan hubungan yang
bagaimana yang sebenarnya terjadi di antara mereka?”
Kosim
tersenyum. “Aku tidak tahu, tapi yang jelas dia yang membuat hidup Taufan lebih
berwarna!” Dayat mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ah sudahlah, biarlah itu menjadi
hidup si Taufan, setidaknya dia tidak kabur-kabur lagi karena bertengkar dengan
bapaknya.” Kosim mengajak Dayat untuk makan siang sambil membicarakan rencana
pameran lukisan..
***
(Baca lanjutannya di episode 19................)
Komentar
Posting Komentar