Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 8 dan 9)



8.        Menginap


“Jadi ini rumahmu?” tanya Baruna ketika Taufan menghentikan sepeda motornya di depan pintu pagar sebuah rumah besar.
“Bukan! Ini rumah Papaku! Aku hanya menumpang di sini!” jawab Taufan sambil turun dari sepeda motornya lalu membuka pintu pagar dengan kunci cadangan yang dibawanya. Setelah itu mereka pun masuk. Mereka masuk melalui pintu garasi dan Taufan masuk melalui pintu garasi. Mereka disambut oleh Asti yang terbangun karena mendengar suara sepeda motor Taufan.  
“Mas, tadi dicari sama ibu. Ibu sangat kuatir sampai jam segini Mas Taufan belum juga pulang ke rumah, padahal kata bapak Mas Taufan sudah pulang dari sore,” ungkap Asri.  Taufan menghela nafas, dia memang tidak memberi tahu Mama kalau sepulang dari kantor Papa dia akan langsung pergi. “Tadi bapak juga sempat marah-marah, Mas!”
“Sudah biasa, kan?” kata Taufan tersenyum, lalu menyuruh Asri untuk kembali beristirahat. Bersama dengan Baruna dia masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah dilihatnya Papa sedang berdiri dengan tangan terlipat didada. “Kamu akan melihat sendiri bagaimana papaku marah!” bisik Taufan kepada Baruna.
 “Darimana kamu!” Papa berkata dengan nada tinggi.
 Taufan baru saja akan membuka mulut ketika tiba-tiba Baruna berkata. “Maafkan saya Om, saya yang menyuruh Taufan pergi ke tempat saya!”
“Siapa kamu!” Papa menatap tajam Baruna.
“Saya Baruna, temannya Taufan. Akhir-akhir ini Taufan memang sering ke tempat saya untuk berkonsultasi tentang skripsinya. Kebetulan skripsi yang dia ambil hampir sama dengan skripsi yang pernah saya buat!” terang Baruna, Taufan menatapnya dengan senyum yang dikulum.
Papa mengernyitkan dahinya, ada rona tidak percaya di wajahnya. “Benar begitu,        Taufan!”
“Kalau aku yang mengatakannya, Papa pasti tidak akan percaya!” Taufan menarik tangan Baruna untuk segera berlalu dari hadapan Papa.
“Taufan!” teriak Papa ketika melihat Taufan berlalu begitu saja.
“Pa, apa bisa kami menjelaskannya besok saja?! Ini sudah terlalu malam! Kami sudah terlalu lelah. Papa juga pasti lelah kan!” jawab Taufan sambil berjalan menuju kamarnya dengan diikuti Baruna.
“Ada apa ini?!” Mama muncul dari pintu kamar, dan langsung tersenyum ketika melihat anak bungsunya yang baru datang. Taufan mendekatinya dan mencium keningnya. Baruna memperhatikannya. Taufan memperkenalkannya pada Mama dan megatakan kalau malam ini dia akan menginap. Setelah itu Taufan masuk ke kamarnya diikuti oleh Baruna.
“Tak kusangka ternyata papamu tampan juga. Dia mirip denganmu,” kata Baruna setelah berada di dalam kamar. Taufan yang sedang membuka lemari untuk mengambil pakaian bersih tertawa. “Apa kalian berdua selalu begitu setiap kali bertemu?”
“Begitulah, seperti yang pernah aku ceritakan padamu!” Taufan memberikan pakaian bersih kepada Baruna. “Kalau mau mandi, kamar mandinya ada di belakang.”
“Tidak. Terlalu malam untuk mandi, aku hanya akan cuci muka saja. Kamu?”
“Aku juga!”
Setelah mencuci muka dan berganti pakaian bersih, Taufan dan Baruna terlelap di atas tempat tidur.
***
Baruna sarapan pagi bersama keluarga Taufan.  Taufan merasa senang, tidak ada ‘interogasi’ atas kepulangannya yang larut malam dari Papa, yang berarti tidak akan terjadi perdebatan dan pertengkaran. Papa lebih banyak bertanya kepada Baruna tentang siapa dia, kuliahnya, kedua orang tuanya dan apa yang sedang dilakukannya sekarang. Baruna mengatakan kalau dia sudah lulus kuliah dan sekarang sedang merintis usaha kecil-kecilan! Papanya seorang dosen dan mamanya seorang pebisnis yang sukses. Taufan tersenyum dalam hati ketika Papa percaya dengan cerita Baruna.
            Seusai sarapan pagi, Papa dan Mama bersiap untuk pergi ke Bandung menghadiri pesta pernikahan anak teman bisnis Papa, dan baru akan pulang hari Minggu sore.
            “Seringlah main ke sini,” kata Mama sambil tersenyum kepada Baruna sebelum pergi.
            “Iya! Biar dia tidak keluyuran kamana-mana dan tidak bergaul dengan orang-orang yang tidak berguna itu!” timpal Papa. Baruna tersenyum, sedangkan Taufan terdiam sambil mengalihkan perhatiannya ke tempat lain, dia tidak suka mendengar perkataan papanya, namun saat itu dia sedang tidak mau berdebat dan bertengkar di hadapan Baruna dan Mama.
            “Tante, apa boleh aku memeluk tante sebelum pergi?” kata Baruna. Mama tersenyum, tanpa basa-basi dia langsung memeluknya. Baruna membalasnya dengan sangat erat. “Taufan pasti sangat senang dan bahagia mempunyai mama seperti Tante,” ucap Baruna kepada Mama.
            “Kamu juga pasti senang dan bahagia dengan mamamu,” balas Mama setelah melepaskan pelukannya. Baruna tidak menjawab, dia hanya tersenyum datar.
Papa dan Mama kemudian masuk ke mobil. Beberapa saat kemudian mobil yang membawa mereka pergi meninggalkan halaman rumah.
            “Kamu lihat sendiri bagaimana sikap papaku!” kata Taufan setelah mobil yag membawa Papa dan Mama sudah tidak kelihatan lagi.
            “Mendengar apa yang dia katakan, papamu adalah orang yang sangat ambisius dengan keinginan-keinginannya dan dalam mengejar kesuksesan!”
            “Kesuksesan dan keinginan apalagi yang ingin Papa kejar?! Dia sudah sukses dan telah memiliki segalanya!”
            “Dia belum merasa bahagia. Papamu ingin anak-anaknya seperti dia, menjadi pengusaha yang sukses! Perusahaan yang besar, jabatan dan status sosial tinggi, dihormati orang dimana-mana dan harta melimpah yang tidak akan habis tujuh turunan! Itulah kebahagiaan menurutnya!”
            “Itu definisi kebahagiaan menurut Papa, yang menurutnya berlaku untuk semua orang di dunia ini, padahal definisi itu pasti berbeda-beda untuk setiap orang! Termasuk untuk anak-anaknya sendiri!” Taufan menghela nafas. “Bagaimana menurut definisimu?”
            Baruna tersenyum. “Kebahagiaan akan terasa ketika kita tidak mempunyai beban! Seperti contohnya kamu, Fan. Kamu pasti merasa tidak bahagia karena adanya beban skripsi dan ambisi papa-mu!”
            Taufan kembali menghela nafasnya. “Apa yang kamu katakana memang benar. Tapi aku merasa beban itu hilang saat aku berada dalam pelukan Mama, melukis, berada di pantai, mendengar cerita Kakek dan saat menangkap ikan bersama ayahnya Wulan.”
            “Oh yah?! Jadi kamu merasa bahagia ketika bersamaku?” canda Baruna.
            Taufan mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum.
***


9.      Melukis

Taufan mengajak Baruna ke rumah Kosim.
            Jadi ini tempatmu melukis?”
 Iya. Dan inilah tempat dimana orang-orang yang kata papaku tidak berguna itu!” Taufan berkata sambil tersenyum.  Mereka bertemu dengan Kosim. Taufan memperkenalkan Baruna kepada Kosim dan Dayat yang saat itu akan bersiap-siap pergi menjadi juri lomba lukis tingkat SD dan SMP yang diadakan sebuah Yayasan Pendidikan.
“Jangan sungkan-sungkan, anggap saja seperti rumah sendiri,” kata Kosim kepada Baruna sebelum pergi.
            “Mas Kosim dan Mas Dayat adalah seorang guru di dua SMP yang berbeda, keduanya masih berstatus sebagai honorer,” jelas Taufan.
            “Jadi apa maksud papamu kalau mereka orang-orang yang tidak berguna? Apa karena mereka hanya seorang guru honorer dan seniman yang mungkin menurut papamu, dengan apa yang mereka lakukan, mereka tidak akan bisa mendapatkan apa yang telah dia dapatkan sekarang!” ujar Baruna.
Yah mungkin begitulah. Masa lalunya membuat Papa berpikiran seperti itu!”
            “Dan sepertinya mindset papamu sukar untuk berubah! Tapi ya sudahlah, kita di sini bukan untuk membahas papamu. Ngomong-ngomong, mana lukisan hasil karyamu, Fan?”
“Itu lukisan-lukisanku!” Taufan menunjuk dinding si sebelah kanan Baruna. “Belum seberapa jika dibandingkan dengan lukisan Mas Kosim dan Mas Dayat!”
            Baruna menoleh ke dinding yang ditunjuk oleh Taufan, kemudian memperhatikan satu persatu lukisan tersebut. “Aku tidak menyangka, ternyata lukisan-lukisanmu sangat bagus. Apa papamu tahu kamu bisa melukis sebagus ini?”
            “Papa tidak mau tahu!”
            “Mamamu?”
            “Aku pernah menunjukkan salah satu hasil lukisanku dan dia sangat senang.”
            “Hei! Bukannya ini kapal Pak Syamsul?” Baruna menunjuk lukisan kapal nelayan. Taufan membenarkannya. Baruna kembali memperhatikan satu per satu lukisan Taufan. “Aku melihat dan merasakan ada sesuatu yang berbeda antara ketiga lukisan lautmu ini dengan yang lainnya, Fan!”
            Taufan tersenyum. “Mas Kosim pun mengatakan hal yang sama! Aku tidak mengerti, sebenarnya perbedaan apa yang kalian lihat!”
            “Coba kamu perhatikan lukisan-lukisanmu! Perbedaan itu terlihat sekali. Ketiga lukisanmu yang terakhir ini, yang bertema laut terlihat lebih bercahaya dan berwarna, sedangkan lukisanmu yang lain terlihat gelap dan suram.” Taufan mencoba membandingkannya. “Sebagai contoh, bandingkan lukisan anak kecil yang sedang duduk di dahan pohon dengan kapal nelayan Pak Syamsul. Lukisan anak kecil ini, walaupun dia tersenyum, tapi nampak seperti senyum yang dipaksakan. Lihat matanya, redup dan tidak bergairah. Ada beban didalamnya. Warna yang kamu gunakan cenderung suram. Tapi coba lihat lukisan kapal nelayan ini. Walaupun malam hari, tapi warnanya cerah. Juga bulan yang kamu buat ini, seperti sedang tersenyum lepas, juga ombak yang menari ini! Semuanya nampak senang dan bahagia!” Taufan terdiam sambil memperhatikan lukisan-lukisannya dan mencoba membanding-bandingkannya. “Apa karena perasaanmu saat di laut?”
“Apa maksudmu?”
“Bukankah kamu pernah mengatakan kamu merasa bahagia dan tidak ada beban di sana?!”
Taufan menghela nafasnya. “Mungkin!”
“Kenapa? Apa karena aku?” Baruna tertawa.  
“Aku tidak tahu pastinya! Ah sudahlah! Sepertinya itu bukan sesuatu yang penting! Bagaimana, jadi enggak kamu dilukis?!”
Jadi dong! Aku ingin tahu bagaimana tampangku dalam lukisanmu!” Baruna tertawa.
Taufan menyuruh Baruna duduk diam, dia mempersiapkan alat-alat lukisnya. Tidak lama kemudian tangannya sudah menari-nari di atas kanvas dengan kuas dan cat minyaknya.
“Sampai kapan hubunganmu dengan papamu akan seperti itu?” tanya Baruna setelah cukup lama terdiam.
“Aku tidak tahu!” jawab Taufan sambil terus melukis.
“Apa tidak ada dari kalian berdua untuk mencoba mengalah sedikit?”
Itu pertanyaan yang sama yang diajukan oleh mamaku. Aku sudah banyak mengalah! Hai, jangan mengubah posisi kepalamu! Aku sudah mengorbankan keinginanku di jurusan seni, sekarang aku magang di kantornya, tidak pernah lagi melukis di rumah dan mencoba mengikuti semua kemauannya. Aku hanya minta aku diberi kebebasan untuk sesuatu yang membuatku merasa senang dan bahagia, itu saja!”
“Tapi ternyata kuliahmu berantakan! Itu yang membuat papamu marah!”
“Itu sebenarnya bukan bukan alasan utamanya. Sebenarnya aku menjadi puncak kemarahannya setelah kakakku pergi! Dialah yang sebenarnya menjadi harapan Papa! Dia pintar dan cerdas, dapat mengimbangi Papa dalam segala hal, termasuk bisnis dan manajemen, karena dia memang mengambil jurusan itu!”
Kakakmu mengambil jurusan itu karena dipaksa juga oleh papamu?”
“Tidak! Itu keinginannya sendiri!”
“Lantas, kenapa dia tiba-tiba ingin menjadi guru?!”
“Sejak awal Badai memang peduli dengan pendidikan. Walaupun dia kuliah di jurusan manajemen dan bisnis, tapi dia mempunyai banyak kegiatan di bidang pendidikan. Kepergiannya ke beberapa daerah terpencil semakin membulatkan tekadnya untuk mengabdi menjadi guru di sana dengan keterampilan, kemampuan dan kepandaian yang dia miliki.”
“Kakakmu sungguh berhati mulia!”
Yah, tapi Papa tidak mau tahu! Mereka ribut besar!”
“Bagaimana dengan kakak prempuanmu?”
“Dia juga banyak mengalah, mengorbankan cita-citanya menjadi penari profesional dan cintanya. Tapi untung saja, suami yang Papa jodohkan dengannya adalah laki-laki yang sangat baik, penyabar dan sederhana.” Taufan terdiam sesaat. “ Ingin aku pergi dari rumah, seperti halnya Badai, tapi aku tidak tega meninggalkan Mama. Cukup dia menderita dengan kepergian Badai!”
“Mama,” gumam Baruna lirih.
“Kenapa?” tanya Taufan ketika melihatnya bergumam,
“Tidak apa-apa, aku hanya ingat dengan papaku!” Baruna mencoba untuk tersenyum.
“Oh iya, sebenarnya ada satu hal yang aku tidak mau menuruti permintaan Papa!” Taufan menghentikan kesibukannya lalu menghela nafasnya.
“Apa?”
“Aku tidak mau dijodohkan dengan gadis pilihannya!” Taufan tersenyum lalu kembali melanjutkan melukisnya.
“Oh yah? Kenapa?” Baruna mengernyitkan dahinya, nampak penasaran.
“Alasannya klise! Perasaan tidak dapat dipaksakan! Selain masalah hati, juga menyangkut masa depan seseorang. Aku, juga gadis itu! Coba kamu bayangkan menikah dan menjalani sepanjang hidupmu bersama dengan orang yang tidak kamu sukai dan cintai?!”
Baruna pun tersenyum. “Bagaimana gadis itu?”
“Namanya Sekar. Orangnya cantik, baik dan juga pintar! Dia anak dari teman bisnis Papa. Sekarang dia bekerja di kantor Papa!” Taufan mengatakan kalau dia merasakan kalau Sekar suka padanya. Hal ini sudah diketahuinya sejak lama, selain dari teman dekat Sekar juga sikapnya.
“Lalu, bagaimana reaksi papamu setelah kamu menolak keinginnnaya?”
“Tentu saja dia marah! Waktu itu dia Papa berkata ‘perempuan seperti apalagi yang akan kamu cari Taufan! Sekar sudah sempurna untukmu, dia yang terbaik! Bibit, bebet, bobotnya sudah jelas!’ waktu itu aku hanya terdiam, karena memang aku tidak menyukainya. Aku menganggapnya sebagai teman biasa saja. Tidak kurang dan tidak lebih!”
“Bagaimana dengan mamamu?”
“Mama menyerahkan semuanya padaku. Tapi dia tidak bisa membantah kehendak Papa!” Taufan mencampur beberapa warna cat di palletnya.
 “Aku jadi penasaran dengan sosok Sekar-mu itu!”
Taufan mengatakan akan memperkenalkan Sekar pada Baruna.
***
Setelah hampir dua jam akhirnya Taufan selesai melukis Baruna. Dia memperlihatkannya pada teman barunya tersebut.
“Ternyata aku sangat tampan dalam lukisan!” Baruna tertawa.
“Tapi aku melihat ada kesedihan di sana!” Taufan menunjuk mata Baruna pada lukisannya.
Baruna tertawa.  “Sok tahu! Kamu mau balas ya?”
“Bukannya sok tahu. Aku hanya merasakan,” jawab Taufan sambil membersihkan tangannya yang kotor oleh cat minyak dengan sebuah lap.
Baruna masih memperhatikan lukisan dirinya. “Fan, maukah kamu mengantarku ke suatu tempat?” “Kemana?”
Baruna tersenyum.
***
Pengin tahu kelanjutannya? Baca ya episode 10.................


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)