SANDYAKALA (Bagian 35 - Habis)
35 Sandyakala
Panen padi pun tiba, para petani sangat
gembira, karena hasil padi musim ini begitu menggembirakan apalagi harga gabah
yang sedang tinggi, mereka benar-benar merasakan pesta panen, termasuk Bapak
dan Pram.
Bimo akhirnya bertunangan dengan Ratna. Bu
Said nampak bahagia, begitu juga dengan Ratna dan kedua orang tuanya.
***
“Bimo katanya sudah bertunangan ya Ran?”
tanya Kharisma ketika Khaerani sedang mengendong Nissa, adik Amir dirumahnya
pada minggu siang.
“Iya Mbak.”
“Katanya sama bidan?” Khaerani mengangguk.“Kamu sendiri bagaimana?”
“Bagaiamana apanya, Mbak?”
Kharisma tersenyum. “Teman dekatmu sudah
bertunangan. Apa kamu tidak iri?”
“Kenapa harus iri, Mbak? Mungkin Tuhan
belum mempertemukan seseorang yang cocok buat aku.”
“Bagaimana dengan sepupunya Bimo itu?
Sepertinya dia sangat perhatian sama kamu.” Khaerani tersenyum. “Tapi
ngomong-ngomong. Sudah lama Mbak Risma tidak melihat atau mendengar kabar dari
dia. Memangnya dia kemana Ran?”
“Katanya sih, ke Jakarta terus ke
Semarang.”
“Kamu suka dengan dia, Ran?” Khaerani
tidak menjawab, tapi wajahnya nampak bersemu merah. Kharisma tersenyum. “Tidak
ada salahnya kalau kamu suka dia. Sepertinya dia juga suka sama kamu.”
“Bagaimana aku tahu, sampai hari ini pun
dia tidak ada kabar beritanya,” pikir Khaerani sambil mengelus pipi Nissa dalam
gendongannya. “Oh iya Mbak. Aku tidak melihat Maryam,” tanyanya berusaha
mengalihkan topik pembicaraan.
“Setelah menyelesaikan jahitan dari
ibu-ibu Majelis Taklim, Maryam Mbak beri libur untuk dua hari. Kasihan dia,
lembur terus.”
Pram datang bersama Amir.
“Darimana saja Mir?” tanya Khaerani.
“Jalan-jalan ke kecamatan Bu Lek,” jawab
Amir sambil mengelus pipi adiknya yang berada dalam gendongannya dan setelah
itu langsung berlari ke belakang.
“Aku ada kabar gembira buat kalian,”
kata Pram kepada adik dan istrinya.
“Apa itu Mas?” kata Khaerani dan
Kharisma hampir bersamaan.
Pram kemudian mengatakan kalau baru saja
beretemu Pak Lurah di jalan yang
mengkhabarkan kalau Pak Sofyan dua hari lagi akan menikah dengan Marini.
“Serius Mas?” kata Khaerani terkejut.
“Pantas saja. Aku pernah melihat mereka berboncengan berdua naik motor.”
“Nah. Jadi buat istriku yang cantik, tidak
usah merasa cemburu lagi dengan Marini. Dan buat Rani, tidak usah kuatir lagi Pak
Sofyan yang suka main kesini,” kata Pram sambil tertawa.
“Mas Pram bisa saja,” kata Khaerani yang
bagaimana pun merasa lega, begitu juga dengan Kharisma.
***
Tiga hari setelah hari pertunangan,
Bimo pergi ke Jogja dengan alasan ada pekerjaan yang harus diselesaikan
dikantor pusat. Khaerani mendengar kabar tersebut dari Mutiara yang akan
memesan kue untuk acara lamarannya dengan Bhisma yang akan dilaksanakan dua minggu lagi.
“Aku
yakin, itu hanya alasan saja. Tapi aku memintanya, kalau saat acara lamaranku,
dia harus datang,” kata Mutiara.
“Bagaimana dengan Ratna?”
“Aku tidak tahu. Mungkin dia percaya
saja dengan alasan Mas Bimo. Aku melihat dia sangat senang sekali ketika
bertunangan dengan kakakku itu. Aku tidak tahu bagaimana nantinya, karena aku
tahu benar apa dan siapa yang selalu ada dalam hati dan pikiran Mas Bimo.”
Mutiara menatap tajam Khaerani.
“Ratna menyukai Bimo. Aku rasa suatu
saat Bimo akan menyadarinya dan perlahan akan mencintainya. Dia gadis yang
cantik juga baik, laki-laki mana pun pasti akan tertarik padanya,” kata
Khaerani sambil mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam Mutiara. “Semoga saja begitu,” kata Mutiara berharap.
Keduanya terdiam. “Bagaimana dengan Bagas? Aku tahu, dia menyukaimu, Ran,” kata
Mutiara kemudian. Khaerani terdiam, tidak tahu harus berkata apa, karena sampai
saat ini dia tidak tahu kabar tentang Bagas.
Tiba-tiba Mutiara tertawa kecil. “Aku
tidak tahu kenapa, semua laki-laki dikeluargaku menyukaimu, dari mulai bapak,
dia sangat menyukaimu hingga ingin sekali menjadikanmu menantu, kakakku Bimo,
yang menyukaimu sejak kalian kecil, lalu sekarang, sepupuku Bagas yang juga
menyukaimu. Mungkin, kamu memang ditakdirkan untuk menjadi bagian dari keluarga
Said, Ran.”
Khaerani hanya tersenyum tipis
mendengarnya. “Andai saja Bayu masih ada, mungkin ceritanya tidak akan seperti
itu, Mut,” benaknya.
***
Sepulang dari mengantarkan pesanan
ke toko-toko, Khaerani melihat sebuah mobil parkir di depan rumah kakaknya.
“Mobil siapa?” katanya sambil menaruh sepeda diteras rumahnya. Kemudian masuk. “Mak,
memang Mas Pram ada tamu siapa?” tanya Khaerani kepada Mak Lela yang sedang
memasak dibelakang.
“Bukannya Mas Pram sama Bapak belum
pulang dari tempatnya Pak Mantri Tani?” Mak Lela balik bertanya.
“Lalu di depan itu, mobil siapa?”
“Mobil apa tho Mbak? Mak Lela malah
tidak tahu kalau ada mobil.”
Khaerani baru saja akan berkata lagi
ketika terdengar ucapan salam dari pintu depan. “Biar aku saja Mak,” katanya
sambil berjalan ke pintu depan. Terdengar kembali ucapan salam, Khaerani
langsung menjawabnya, dan jantungnya serasa berhenti ketika melihat Bagas yang
berdiri dipintu sambil tersenyum.
“Hai,” sapa Bagas sambil tersenyum. Khaerani
berdiri terdiam, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Apa kamu
akan berdiri terus disitu dan aku dibiarkan berdiri dipintu?” Bagas tersenyum.
“Silakan
masuk.” Kemenakan Pak Said masuk tapi menolak untuk duduk ketika dipersilakan
untuk duduk. “Kenapa?” tanya Khaerani
keheranan.
“Aku akan
mengajakmu pergi, “kata Bagas kemudian.
“Pergi?!”
“Ayolah, aku
sudah ijin dengan kakakmu.”
“Mbak Risma?” Bagas mengangguk. “Tapi kemana?”
tanya Khaerani merasa bingung.
“Ikut saja, nanti kamu juga tahu. Aku
tidak akan mengajakmu ke tempat yang aneh-aneh juga berbuat yang aneh-aneh
padamu!” Bagas tertawa.
“Ba-baiklah. Tapi aku akan pamit dengan
Mak Lela dulu.”
“Tidak usah! Biar aku saja yang ngomong
sama Mak Lela!” Tanpa basa-basi dan persetujuan dari Khaerani, Bagas langsung
berjalan menuju ke belakang.
“Eh! Tuggu dulu!” Khaerani terkejut dan
langsung menyusul Bagas. “Memangnya ini rumah siapa, main selonong saja!”
gerutunya dalam hati.
***
“Bagaimana kabarmu?” tanya Bagas
kepada Khaerani ketika akhirnya mereka pergi dengan menggunakan mobilnya.
“Baik!” jawab Khaerani singkat, dalam
hatinya ada merasa kesal karena Bagas memaksanya pergi juga merasa senang
karena laki-laki itu kini ada disampingnya.
“Hanya
baik?” tanya Bagas kembali sambil tersenyum. “Kamu pasti menungguku kan?”
“Heh! Kamu kira, kamu siapa!” jawab
Khaerani sambil terus menatap ke jalan, meskipun hati kecilnya membenarkan.
Bagas tertawa. “Aku sengaja tidak
memberitahu tentang kepergianku. Supaya kamu menunggu dan merindukanku.”
Khaerani diam sesaat. “Kapan kamu
datang?” tanyanya kemudian.
“Jadi benar, kamu menunggu dan
merindukanku, kan?” Bagas tertawa.
“Aku memang menunggu dan merindukanmu!
Dan aku benci karena kamu pergi tanpa memberitahuku juga tanpa kabar sama
sekali!” kata Khaerani dalam hati.
Bagas tersenyum melihat Khaerani yang
terdiam. “Baiklah, aku datang semalam.” Bagas kemudian menceritakan maksud
kepergiannya, sama seperti yang Mutiara ceritakan kepada Kharani. “Kau tahu
Bimo telah bertunangan dengan Ratna?” Khaerani mengangguk. Kemudian terjadi
keheningan antara keduanya.
“Kamu bicara apa dengan Mbak Risma?”
“Tidak ada. Aku hanya membawa
oleh-oleh untuk Amir dan adik bayinya, lalu minta ijin untuk mengajakmu pergi.”
“Lalu, kamu meminta ijin untuk
mengajakku kemana?”
Bagas tersenyum.
“Sebenarnya kita mau kemana?” kata
Khaerani setelah menyadari kalau jalan yang mereka lewati sangat dikenalnya.
“Nanti juga kamu tahu,” jawab Bagas
sambil tersenyum.
“Bukannya ini jalan menuju makam Bayu!” benak
Khaerani terkejut, kemudian memandang tajam Bagas yang sedang menyetir mobil.
***
“Untuk apa kamu ajak aku kesini!”
protes Khaerani kepada Bagas ketika mereka sampai di tempat pemakaman umum tempat
makam Bayu.
“Ayo, kita turun.” Bagas turun dari
mobil, tapi Khaerani tetap duduk diam. “Turunlah,
aku tidak akan berbuat sesuatu yang aneh disini,” kata Bagas meyakinkan
Khaerani, yang akhirnya membuat adik Pram itu turun dari mobil.
“Apa maksudmu membawaku kesini!” Bagas
tidak menjawab, hanya menarik tangannya dan berjalan memasuki area pemakaman
dan berhenti dimakam Bimo. “Bagas!” Khaerani merasa kesal dan berusaha
melepaskan pegangan tangan Bagas.
“Kita berdoa dulu,” kata Bagas setelah
akhirnya melepaskan pegangan tangannya terhadap Khaerani.
“Hai Bayu,” kata Bagas setelah
selesai berdoa, hingga membuat Khaerani yang berdiri disampingnya terkejut dan
langsung memandang Bagas. “Namamu Bayu kan? Bayu Taufan Samudera. Hmmm, nama
yang begitu hebat. Mungkin sehebat dan sekuat pemiliknya.”
“Bagas! Apa yang sedang kamu
lakukan?” tanya Khaerani keheranan sambil melihat kesekeliling. “Nanti dikira
apa, kalau ada orang yang melihat!”
“Namaku Bagas.” Bagas tidak
menghiraukan Khaerani. “Bagaskara Palgunadi.”
Khaerani sontak terkejut ketika
mendengar nama lengkap Bagas yang baru saja didengarnya. Kembali teringat akan
perkataan Bayu tentang cerita pewayangan Palguna dan Palgunadi, dimana Dewi
Anggraini yang merupakan istri setia dari Palgunadi atau Bambang Ekalaya yang tidak
tergoda oleh rayuan, ketampanan dan kehebatan Arjuna atau Palguna. “Apa ini
sebuah takdir? Atau hanya sebuah kebetulan?” benaknya berkata. Dilihatnya Bagas
yang masih bicara.
“Yah, mungkin kau tidak mengenalku sama seperti
halnya aku tidak mengenalmu, aku hanya tahu tentangmu dari cerita-cerita
orang-orang dekatmu. Aku sepupu dari sahabatmu, Bimo, Bimo Setyaboma, “ kata
Bagas. “Aku datang kesini bersama dengan seseorang. Seseorang yang pernah
sangat berarti dalam hidupmu, begitu juga sebaliknya, kau adalah orang yang pernah
sangat berarti dalam hidupnya. Rani, Khaerani Anggraeni. Baiklah, aku tidak
akan berpanjang lebar. Bayu, aku hanya ingin mengatakan kalau aku sangat
menyukai dan mencintai wanita yang sangat kau sukai ini.” Bagas menarik tangan
Khaerani dan menggenggamnya dengan erat. “Awalnya, aku tidak mengerti, kenapa
kau dan Bimo begitu menyukai dan mencintainya. Tapi setelah aku mengetahui dan mengenalnya,
aku menjadi tahu kenapa kau dan sepupuku itu begitu menyukainya. Ada ketulusan,
kejujuran dan semangat didalam dirinya. Juga rasa tenang, nyaman dan damai
ketika bersamanya. Aku menyukai dan
mencintainya bukan karena aku kasihan atau simpati, aku benar-benar tulus
meyukai dan mencintainya.” Bola mata Khaerani terasa panas, perlahan cairan
bening keluar dari kedua matanya. “Oh
iya Bayu. Aku juga mau minta maaf padamu karena telah memasangkan cincin indah
bermata hijau itu dijari tangannya, seharusnya kaulah yang memasangkannya.
Semoga saja kau tidak marah.”
***
“Kamu sudah tahu bagaimana perasaanku
terhadap kamu, Ran,” kata Bagas ketika sudah berada di dalam mobil setelah dari
makam Bayu. “Aku tidak memaksamu untuk menyukaiku atau mencintaku.” Khaerani
terdiam, seribu perasaan berkecamuk dalam hatinya. Bagas kemudian mengambil
sebuah amplop besar dari jok tengah dan memberikannya kepada Khaerani.
“Apa ini?” tanya Khaerani dengan
sedikit bingung. Bagas menyuruhnya membukanya. “Itu hasil karyaku.
Khaerani membuka amplop coklat besar
yang berisi foto-foto hasil jepretan Bagas. “Ini bukannya desaku?”
Bagas mengangguk sambil tersenyum. “Coba
kau lihat semuanya.” Khaerani melihat satu persatu foto yang ada ditangannya.
Adik Pram itu merasa terkejut ketika melihat foto-foto hasil jepretan Bagas,
selain gambar pemandangan desanya, aktivitas penduduknya, juga banyak terdapat
gambar dirinya dari yang mulai sedang berjalan sendiri, membawa kambing, di
sungai, di bukit, menolong Mak Siti membawa kayu, membawa rumput milik Fadil,
bersepeda, tertawa, cemberut, juga ada juga gambar Amir dan teman-temannya. Bagas
mulai menyalakan mesin mobilnya, dan tidak lama kemudian mobil itu melaju
meninggalkan area pemakaman. Keduanya terkurung dalam kebisuan di sore musim
hujan yang cerah.
“Bisa berhenti disini?” kata Khaerani
tiba-tiba ketika berada di jalan yang melewati hamparan sawah yang baru dipanen.
“Ada apa?”
Khaerani menunjuk semburat merah di
langit barat. Gadis itu kemudian turun dari mobil dan berjalan ke areal
persawahan, menuju sebuah dangau. Terdengar cericit burung pipit dan punai yang
mulai kembali ke sarangnya. Bagas mengikutinya dari belakang.
“Bayu ingin sekali melihat matahari
tenggelam di bukit kecil dan melihat sandyakala, gurat merah di senja hari
bersamaku. Tapi hal itu tidak pernah terjadi,” kata Khaerani setelah duduk di
dangau bersama dengan Bagas. Kemenakan Pak said itu tiba-tiba teringat akan
perkataannya sendiri yang juga menginginkan mengambil gambar matahari senja di
bukit kecil. Keduanya kemudian terdiam memandang langit senja, matahari semakin
tenggelam, terlihat gurat merah sandyakala yang semakin indah.
“Aku baru melihat senja yang indah
sepanjang musim hujan ini,” kata Khaerani.
“Aku juga. Sandyakala yang sangat
indah. Apa kau menyesal tidak bisa melihatnya bersama Bayu?”
Khaerani tersenyum dan menggeleng.
“Aku senang bisa melihatnya bersamamu.” Bagas menoleh dan memandang Khaerani
dengan tajam. “Kenapa kau menyukaiku?” tanya Khaerani kemudian.
“Karena aku menemukan semua sosok yang
aku butuhkan ada dalam dirimu, Rani,” jawab Bagas.
“Sosok apa?”
“Sosok seorang teman, seorang sahabat,
seorang Bu Lek, seorang ibu, seorang kakak, seorang adik juga seorang musuh!”
Bagas tersenyum, Khaerani memandangnya dengan dahi dikerutkan. “Oh iya Ran. Ada
yang ingin aku beritahukan kepadamu. Dalam waktu dekat, mungkin setelah acara
lamaran Mutiara. Aku akan pergi ke Lombok.”
“Apa! Lombok?” Khaerani tidak bisa
menyembunyikan rasa keterkejutannya.
“Iya. Aku mendapat kesempatan untuk
memotret disana.”
Khaerani menghela nafasnya dengan pelan.
“Apa boleh aku berharap dan menunggu kedatanganmu?” katanya kemudian dengan
lirih.
Bagas tersenyum, ada pancaran bahagia
dan kelegaan diwajahnya. “Kenapa kau mau mengharapkan dan menungguku?” Khaerani
terdiam. “Aku tidak memaksamu untuk menjawabnya?”
“Karena aku merasa tenang dan bahagia
jika ada kamu, Bagas.”
“Aku pasti akan kembali untukmu,” jawab
Bagas tersenyum. “Kenapa kamu merasa tenang dan bahagia bersamaku, Ran?”
“Karena
kamu sangat menyebalkan!” jawab Khaerani.
Bagas
tertawa. “Tapi, kamu suka kan?”
Khaerani menghela nafas. “Apa yang
diharapkan seorang perempuan dari seorang laki-laki, aku menemukannya pada
kamu,” katanya kemudian dengan malu-malu.
“Begitukah?”
“Yah. Setidaknya begitu!”
Kemudian
terjadi kebisuan diantara keduanya, tapi raut wajah mereka tidak bisa
menyembunyikan perasaan mereka yang sedang bahagia.
“Kamu telah banyak tahu tentang aku dan
masa laluku. Tapi aku belum tahu tentang kamu,” kata Khaerani kemudian.
Bagas tersenyum, kemudian laki-laki
itu mulai bercerita tentang dirinya, pekerjaannya sebagai seorang fotografer
dan penulis dibidang sosial dan budaya, keluarganya, mantan-mantan kekasihnya.
“Kamu ingat, aku pernah bercerita tentang temanku yang sangat perhatian dengan
pendidikan anak-anak dan masyarakat daerah terpencil?” Khaerani menganggukkan
kepalanya.“Namanya Ami.” Bagas kemudian bercerita tentang Ami dan kisahnya dengan
wanita cantik itu.
“Kamu pasti sangat menyukainya?” kata
Khaerani setelah mendengar cerita Bagas tentang mantan kekasihnya tersebut.
“Dan Ami, dia pasti sangat mnyukaimu?”
“Tapi dia lebih bahagia dengan pilihan
hidupnya.”
“Kamu tidak pernah bertemu dengan Ami
lagi?”
Bagas menggelengkan kepalanya. “Kabarnya
pun aku sudah tidak pernah tahu. Mungkin dia sudah menemukan kebahagiaan
sejatinya.”
“Bagaimana jika suatu hari dia
muncul lagi di hadapanmu?”
Bagas memandang Khaerani. “Kenapa
memangnya? Toh, sudah ada kamu disampingku. Khaerani yang duduk disampingnya
itu tersenyum. “Oh iya. Bagaimana dengan cincin pernikahan Bayu itu?”
“Aku masih menyimpannya. Seperti yang
pernah kamu anjurkan.”
“Kenapa?”
“Karena kamu telah memakaikannya
dijariku,” jawab Khaerani tersenyum. Bagas tersenyum digenggamnya tangan Khaerani
dengan erat, hingga membuatnya sedikit tersentak.
***
Sandyakala, gurat merah senja yang
indah. Khaerani begitu menikmati pemandangan tersebut dengan Bagas yang duduk
disampingnya. “Aku bahagia melihat indahnya matahari terbit bersama Bayu. Dan,
bahagia melihat indahnya matahari terbenam bersamamu, Bagas, ya Bagaskara
Palgunadi. Apakah dalam pewayangan juga menceritakan kalau Dewi Anggraini
bertemu dengan Bambang Ekalaya atau Palgunadi waktu senja hari, waktu
sandyakala?” batin Khaerani.
“Aku harus segala pulang. Orang rumah pasti
bertanya-tanya kemana aku pergi hingga sampai senja begini,” kata Khaerani.
“Aku akan bertanggungjawab kepada
Bapak dan kakakmu,” kata Bagas. “Oh iya. Besok aku akan ke tempat Pak Lek
Tresno, membawa buku dan rak-rak yang aku janjikan kepadanya. Aku berharap
minggu depan taman bacaan itu bisa dibuka. Apa kamu bisa menemaniku besok?”
Khaerani tersenyum. Keduanya
kemudian berjalan meninggalkan dangau yang kini berdiri sepi di tengah sawah.
***
“Bu Leeek!” teriak Amir dari pintu
depan sehabis magrib.
“Ada apa Mir?” tanya Khaerani yang
sedang membereskan meja makan setelah makan malam.
“Bu Lek tadi darimana?”
“Keluar sebentar.”
“Bu Lek! Lihat ini!” Amir memamerkan
kaos barunya, kaos Timnas Sepakbola Indonesia, bernomor punggung dua puluh
dengan nama B. Pamungkas. “Bagus kan, Bu Lek?”
“Bagus sekali, baru beli ya?”
“Dikasih sama Mas Bagas. Juga bola
ini.” Amir menunjukkan bola yang dipegangnya.
“Amiiiir!” teriak Pram dari pintu
depan. “Bajunya dicuci dulu, baru dipakai.”
“Iya Pak. Amir mau tunjukkan ke Bu
Lek Rani dulu.”
Khaerani tersenyum.
***
Bimo duduk menghadapi kertas-kertas
kerja yang terbuka di atas meja kerjanya di rumah kontrakannya di Jogja.
Diperhatikannya kertas-kertas tersebut dengan seksama, hingga pandangannya
tertuju pada cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya, cincin
pertunangannya dengan Ratna. Wanita yang dijodohkan dengannya. Bimo menghela nafas,
menghentikan kesibukannya, memandangi cincin tersebut kemudian melepaskannya
dan menaruhnya di laci mejanya. “Apakah kini kamu sedang bersama bagas, Ran?”
benaknya berkata.
***
Bagas duduk di dalam kamarnya di rumah
keluarga Said sambil mengetik dilaptopnya. Tapi tiba-tiba terdiam, menghela nafasnya. “Maafkan
aku, Bim. Bukannya aku merebut cinta sejatimu, tapi kamu yang terlalu penakut!”
katanya lirih. “Dan Ami, dimana pun berada, semoga kamu juga bahagia seperti
bahagia yang aku rasakan sekarang.” Bagas tersenyum sambil mengambil selembar
foto dari amplop coklat besar yang tergeletak disamping laptopnya. Foto
bergambar Khaerani yang sedang berdiri di bawah pohon besar di bukit kecil.
***
(Tunggu cerita lainnya yaaaa......)
Komentar
Posting Komentar