SANDYAKALA (Bagian 22)



22  Bukit kecil    

Hari menjelang sore, Bapak dan Pram sedang memperbaiki pagar belakang rumah yang rusak. Kharisma dan Maryam menyelesaikan jahitan-jahitan pakaian. Amir baru saja pamit bermain bola di lapangan desa. Mak Lela melipat pakaian kering yang baru saja diambilnya dari jemuran.
Khaerani sedang mencuci peralatan dapur yang biasa digunakan untuk membuat kue. Tanpa sadar gadis itu memperhatikan cincin yang masih melingkar dijari tangannya.
            “Mbak Rani, cuci piring atau melamun?” suara Mak Lela tiba-tiba mengagetkannya.
“Eh, Mak Lela, bikin kaget saja.”
“Wah, berarti memang Mbak Rani sedang ngelamun.”
Mak Lela kemudian permisi ke rumahnya Pram.
“Aku juga mau pergi sebentar Mak,” kata Khaerani sebelum Mak Lela pergi.
“Mau kemana?” tanya Mak Lela.
“Keluar sebentar, tidak jauh-jauh kok, Mak.”
***
            Di bukit kecil. Angin bertiup lembut diiringi cericit burung tapak buah. Khaerani berdiri dibawah pohon besar, tempat dimana telah banyak menyimpan kenangan antar dirinya dengan Bayu, juga Bimo waktu mereka kecil. Memandang hamparan sawah padi desanya dengan burung-burung pipit dan punai yang beterbangan diatasnya. Menghela nafasnya, kemudian dilihatnya cincin berbentuk bintang yang melingkar dijari manis kirinya, perlahan melepaskannya. “Bayu,” katanya lirih sambil memandang cincin tersebut yang kemudian digenggamnya dengan erat, lalu memejamkan matanya. Angin menyibakkan rambut hitam sebahunya, bayangan Bayu tiba-tiba muncul dibenaknya tersenyum dan memanggil-manggil namanya.
“Kenangan indah memang sulit untuk dilupakan.” Terdengar suara seseorang. Lamunan Khaerani buyar seketika. Gadis itu membuka matanya dan terkejut ketika sudah ada seseorang yang berdiri disampingnya.
“Bagas!”
            “Maaf, aku pasti sudah membuyarkan lamunan kamu,” kata Bagas.
            “Kamu sedang apa disini!” Khaerani melihat ke sekeliling, ada gurat kekuatiran diwajahnya.
            “Kenapa? Tidak ada orang lain selain kita berdua, tenang, aku tidak diikuti orangnya Bu Said!” Bagas tersenyum. “Dan seharusnya, aku yang bertanya sama kamu. Seorang diri, melamun di bukit kecil yang sepi ini?”
“Bukan urusan kamu! Kamu sendiri?”
“Aku sedang mengambil gambar,” Bagas mnunjuk kamera yang dipegangnya. “Seperti yang pernah aku katakan, disini tempatnya cukup bagus dan menarik. Aku melihat kedatanganmu tadi. “
“Aku tiddak melihatmu!”
“Aku berada di turunan itu.“ Bagas menunjuk tanah yang menurun di balik pohon besar disamping kanannya. “Bukannya kamu masih sakit, dan harus banyak istirahat? Kenapa ada disini?”
“Aku baik-baik saja!”
“Dasar gadis keras kepala!” benak Bagas. “Kamu pasti sedang mengingat seseorang? Atau, sedang berusaha membuang kenangan akan seseorang?” Bagas melirik genggaman tangan Khaerani kemudian tersenyum. “Seseorang itu, Bayu? Atau...Bimo?”
Khaerani terkejut dan langsung memandang Bagas dengan tajam. “Ba-bagaimana kamu tentang Bayu!” Bagas tidak menjawab hanya menghela nafas sambil duduk pada sebuah akar pohon yang cukup besar dan menonjol. “Bimo yang menceritakannya?” tanya Khaerani dengan suara yang bergetar.
            “Aku minta maaf, bukan maksud aku untuk mengetahui tentang kehidupan pribadi kamu, Ran.” Khaerani menghela nafas dalam-dalam, berusaha untuk menahan emosinya. “Jangan salahkan Mutiara, kalau terpaksa dia bercerita tentang kamu. Dia hanya merasa jengkel akan sikap kakaknya yang dianggapnya seorang pengecut!”
            Khaerani terdiam, duduk disalah satu akar besar pohon yang menonjol lainnya, disamping Bagas. “Bayu,” katanya lirih sambil membuka genggaman tangannya yang berisi cincin.
“Cincin yang bagus.“ Bagas memperhatikan cincin yang berada ditangan Khaerani. “Dari Bayu? Ya, pasti dari Bayu. Mustahil dari si pengecut itu!” Khaerani menunduk memandang cincin ditangannya. Keduanya kemudian terdiam hanya terdengar suara cericit burung dan dedaunan yang tertiup angin.
            “Bagaimana dengan Bimo?” tanya Bagas tiba-tiba.
            “Bimo. Kenapa dengan dengan Bimo. Dia temanku.”
            “Dia menyukaimu.”  Khaerani terdiam. “Kamu menyukainya?”
            “Kenapa kamu menanyakan itu! Itu urusanku! Bukan urusanmu!”
            Bagas tertawa. “Jangan katakan, karena Bu Said!” Khaerani menatap tajam Bagas, kemudian bangkit dari duduknya dan akan berjalan pergi tapi kemenakan Bu Said itu telah berdiri dan menangkap tangannya. “Maafkan aku! Bukan maksudku mencampuri urusanmu.” Gadis itu duduk kembali, begitu juga dengan Bagas. “Bu Said terlalu menyayangi Bimo,” kata Bagas kemudian.
            “Semua ibu pasti akan menyayangi anaknya.”
            “Tapi seharusnya tidak menjadikannya seorang penakut dan pengecut!”
            “Bimo itu sepupu kamu. Kenapa kamu sebut dia dengan pengecut?”
            Bagas tertawa. “Sebenarnya aku pinjam istilah itu dari Mutiara. Bimo yang tidak punya sikap dan keberanian, dan hampir semuanya dikendalikan oleh ibunya, membuatnya lemah, tidak salah kalau disebut pengecut!”
            Khaerani tersenyum, matanya memandang jauh. “Bu Said sangat menyayangi anak laki-laki satu-satunya, dan Bimo pun tidak mau membuat ibunya sedih dan kecewa.”
            “Bimo penakut dan tidak mempunyai sikap! Kakak dan adiknya, kedua-duanya perempuan, mereka lebih mempunyai sikap dan keberanian mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya dan melakukan yang dianggap terbaik bagi diri mereka. Bimo terlalu kuatir dan tidak mau mengambil resiko apa pun!” Bagas kemudian menghela nafas. “Maaf, bukannya aku ingin mencampuri masalah pribadimu. Tapi, kenapa kamu bisa menjalin berhubungan dengan Bayu tapi tidak dengan Bimo. Bukankah ibu Bayu sama dengan Bu Said?” kata sepupu Bimo itu berhati-hati. Khaerani terkejut dan menatap tajam laki-laki yang duduk disampingnya itu. “Baiklah. Kamu tidak perlu menjawab pertanyaanku itu. Anggap saja aku tidak pernah menanyakannya. Maaf!”
Khaerani terdiam menunduk, memandang daun-daun kering yang berserakan di kakinya, dia tahu betul apa maksud dari perkataan Bagas, bahwa baik ibunya Bayu maupun Bimo tidak menyetujui kalau anak mereka menjalin hubungan dirinya. “Kamu tahu juga masalah itu?” Khaerani menghela nafas. “Karena Bayu mengatakan, membuktikan dan memperjuangkan cintanya. Disamping aku juga mencintainya.”
“Dan Bimo tidak!”
“Mungkin aku dan Bimo ditakdirkan untuk tidak bersama. Aku tidak bisa membandingkan antara Bimo dan Bayu. Bagaimana tidak, sampai detik ini pun Bimo tidak pernah mengatakan kalau dia menyukaiku.”
“Walau satu kata dan sekalipun?!” Khaerani menggeleng. “Bagaimana jika saatm ini Bimo mengatakan menyukaimu. Apa kamu akan menerimanya?” Khaerani diam. “Kau pasti sedang membayangkan reaksi Bu Said kan?” Bagas tertawa.            
“Sebenarnya Bu Said orang yang baik, semua orang di desa ini menghormatinya.”
            “Tapi sifatnya yang satu itu, terlalu picik! Kesamaan derajat, kesamaan status, atau mungkin...kesamaan kekayaan dalam memilih pendamping buat anak-anaknya!”
            “Itu karena Bu Said sangat menyayangi anak-anaknya, dan mengharapkan kehidupan yang baik bagi mereka.” kata Khaerani.
 “Tidak ada yang menyalahkan, kalau orang tua terlalu menyayangi anak-anaknya. Tapi dengan sikap Bu Said yang seperti itu, yang terlalu takut akan kehidupan anak-anaknya kedepan, yang dalam pikirannya, mungkin akan menderita, hidup berkekurangan, atau tidak akan menjadi orang yeng terhormat. Benar-benar picik! Bukankah Tuhan sudah menjamin rezeki tiap mahluknya? Kenapa terlalu takut!”
            “Mungkin, karena Bimo adalah anak laki-laki satu-satunya.”
            “Tapi akibatnya terhadap Bimo? Buruk!” Khaerani tersenyum sambil memainkan cincin ditangannya Dalam hatinya bertanya, kenapa dia begitu senang duduk berlama-lama dengan kemenakan Pak Said itu dan mau mencceritakan kisahnya. Bagas sesaat meliriknya. “Terus, bagaimana dengan Bayu?”
            “Seperti yang telah aku katakan, Bayu menyukaiku dan mengatakannya. Dan dia bisa membuktikan, mencintaiku adalah bukan sebuah kesalahan ataupun sebuah dosa.”
            “Dan Bimo? Yah, tentu saja tidak?! Bagas tersenyum. “ Lalu, bagaimana dengan ibunya Bayu?”
            “Kami berterus terang, kalau kami menjalin hubungan yang serius! Ibunya Bayu akhirnya menyerahkan semuanya pada Bayu, walaupun terkadang aku merasakan sikapnya yang tidak terlalu menerimaku.”
            “Apa karena Bimo sakit, hingga ibunya menuruti segala keinginannya?”
            “Entahlah!” kata Khaerani.
            “Atau jangan-jangan, kamu mau menjalani hubungan dengan Bayu yang tidak direstui ibunya, karena kamu tahu, Bayu tidak akan berumur panjang?”
            “Apa!” ada nada kemarahan didalam suara Khaerani. Gadis itu menatap tajam Bagas.
            “Maaf, aku tidak bermaksud...” Bagas merasa bersalah dengan apa yang baru saja diucapkannya.
            “Tidak terlintas sedikit pun pikiran seperti itu dibenakku!” Khaerani kemudian terdiam. “Ya Tuhan, kenapa aku menceritakan semua itu pada Bagas! Kenapa juga aku merasa tenang jika bersamanya? Ada apa sebenarnya dengan aku?” bemaknya..
“Sekali lagi aku minta maaf!” Keduanya terdiam. “Kamu pernah menyukai Bimo?” tanya Bagas tiba-tiba.            
“Apa harus, aku menjawab pertanyaan itu?”
            Bagas tersenyum. “Tidak ada yang memaksamu untuk menjawabnya.”
            “Cinta anak kecil. Cinta monyet waktu SMP. Tapi tidak pernah diungkapkan satu sama lainnya!” senyuman tipis tersungging di bibir Khaerani.
            “Untukmu. Tapi untuk Bimo bukan sekedar cinta monyet! Dia masih merasakannya hingga sekarang. Cinta monyet yang menjadi cinta kingkong!” Bagas dan Khaerani tertawa. “Tapi, meskipun sudah jadi cinta kingkong, Bimo tetap tidak berani mengungkapkannya!” Khaerani terdiam. “Sebenarnya, apa yang kamu rasakan terhadap Bimo dan Bayu?” tanya Bagas kemudian.
            “Ketika bersama Bimo, aku merasa senang, dan didekat Bayu, aku merasa bahagia dan aman, aku merasa terlindungi.”
           
“Bagaimana kalau didekatku?” tanya Bagas sambil tersenyum. Khaerani memandangnya sambil mengernyitkan dahi. “Bagaimana?”
            “Kesal, mungkin!” jawab gadis manis itu.
            Bagas tertawa. “Yakin, seperti itu?”
            “Sangat yakin!”
            “Apa kamu tidak merasa senang dan nyaman didekatku?” Khaerani memandang Bagas sambil mengerutkan keningnya. Bagas tertawa melihat sikapnya.
Keduanya kemudian membisu, berkelut dengan alam pikiran masing-masing. Hari cerah, langit nampak biru, nampak sebagian burung beterbangan dan sebagian yang lainnya bertengger dipohon-pohon besar riuh bercericit. Kupu-kupu pun beterbangan kesana kemari mencari serbuk sari pada bunga-bunga yang mekar.
            “Disini sepertinya tempat yang sangat bagus untuk melihat matahari terbit, melihat awalnya hari, dan sandyakala, akhirnya hari saat matahari terbenam,” kata Bagas sambil memandang langit diatas bukit. Khaerani tiba-tiba teringat Bayu ketika Bagas menyebut kata sandyakala. Gurat merah senja yang tidak pernah Bayu lihat bersamanya. Dan keinginan Bayu pun untuk bisa melihat dunia untuk terakhir kalinya bersamanya tidak tercapai. “Apakah benar begitu, Ran?” tanya Bagas kemudian.
“Iya memang begitu, tapi kalau cuaca sedang cerah. Aku sering melihatnya. Waktu kecil, aku dan Bimo juga teman-teman lainnya, sering bermain dibukit kecil ini, ” jawabnya.
            “Tempat ini terlalu sepi, apa kamu tidak takut jika sendirian disini?”
            “Takut apa?”
            “Yaaa..apa saja. Jin penunggu bukit in mungkin!” Bagas tertawa.
            “Aku tidak pernah takut, selagi berniat baik pasti akan aman dan baik-baik saja.”
***
Matahari mulai diambang sore. Bagas mengajak Khaerani untuk pulang. Keduanya pun beranjak dari duduknya, berjalan bersama menuruni bukit kecil.
“Kamu mengenal Asti?” tanya Khaerani dalam perjalanan pulang.
            Bagas mencoba mengingatnnya. “Gadis cantik itu? Ya. Waktu itu tidak sengaja, aku tersasar di tempatnya? Dia teman kamu, Ran?”          Khaerani mengangguk. Keduanya terus melangkah menyusuri jalan desa yang sudah sepi.
            “Bagaimana perasaan kamu berada di desa ini?” tanya Khaerani kepada Bagas.      “Sangat senang! Dan aku mulai kerasan.”
            “Apa tidak merasa bosan, tinggal di desa kecil begini? Kamu kan terbiasa tinggal di kota besar.” Bagas menggeleng sambil tersenyum. “Apa kamu akan tinggal di desa ini?”
            “Jika kamu menginginkan, aku akan tinggal di desa ini selamanya.” Kemenakan Pak Said itu tertawa, sedangkan Khaerani mengernyitkan dahi, merasa pertanyaan diajukannya adalah salah.
Bagas kemudian bercerita tentang dirinya, yang sepeninggal kedua orang tuanya Pak Said dan Bu Said-lah sebagai penggantinya. Pak Said adalah saudara satu-satunya dari ayahnya yang masih hidup. Sedangkan keluarga ibunya sudah tidak ada, karena anak tunggal, yang ada hanya keluarga jauh yang tinggalnya juga jauh. Bagas sebenarnya pernah datang ke desa waktu kecil sebelum dia dan keluarganya pindah ke Kalimantan. Setelah ayahya pensiun, dan selesai kuliah  keluarganya pindah ke Semarang sampai ayah dan ibunya meninggal. Dia kemudian bekerja di Jakarta. Ambar, kakaknya dan suaminya yang menempati rumah di Semarang, sampai akhirnya Ambar pindah ke Surabaya karena tugas suaminya. Dan rumah di Semarang kosong. Jadi hanya keluarga Pak Said lah saat ini tempatnya untuk pulang, disamping paling dekat jaraknya juga dianggapnya sebagai orang tua. Pekerjaan Bagas sebagai seorang penulis dan fotografer membuatnya lebih bebas karena tidak terikat pada jam kantor sehingga tidak mengharuskannya tinggal menetap di satu tempat. Jadi sewaktu-waktu bisa tinggal dimana saja yang diinginkan. Kebetulan saat ini Bagas sedang ingin tinggal di desa dan ingin dekat dengan keluarga.
“Selama di desa ini, apa kamu tidak merindukan seseorang di sana, yang kamu ditinggalkam?”
“Seseorang? Seseorang siapa? Pacar, maksud kamu?” Khaerani mengangkat kedua bahunya. “Sekarang jaman serba canggih, jarak bukan suatu halangan.”
            “Jadi, kamu mempunyai pacar?” tanya Khaerani. “Ya Tuhan, kenapa aku menyakan hal itu? Apa nanti kata Bagas!” benaknya menyesal. 
            “Kenapa memangnya?”
            “Tidak apa-apa.”
“Orang seperti aku, mana mungkin tidak ada perempuan yang tertarik.”
Khaerani yang berjalan disampingnya mencibir sambil mengalihkan pandangannya ke tempat lain. “Sombong sekali!”
 Bagas tertawa. “Memangnya, kalau aku tidak punya pacar, kamu mau jadi pacar aku?”
            “Heh!” Khaerani memandang Bagas dengan dahi berkerut tapi dengan degup jantung yang lebih cepat.
 “Baiklah! Sekarang aku sedang tidak punya pacar, kekasih atau semacamnya. Jadi! Kamu mau jadi pacar aku?” Khaerani tidak menghiraukan dan mempercepat jalannya, sementara Bagas tertawa sambil berusaha menyusulnya. “Sebenarnya kamu senang kan, berada di dekat aku?” Khaerani melihat Bagas sesaat sambil terus berjalan. “Kenapa memandangku aneh begitu? Berarti jawabannya, iya.” Bagas tertawa. “Aku bukan Bimo, anaknya Bu Said! Kamu tidak perlu takut! Lagipula aku jauh lebih baik dari Bimo, lebih ganteng, lebih pintar. Memang sih, aku lebih tua dan tidak lebih kaya darinya!”
Khaerani menghentikan langkahnya dan memandang Bagas dengan wajah berkerut. “Sekali lagi! Aku tidak takut dengan Bu Said, aku hanya menghargai dan menghormatinya! Dan satu lagi, kamu lebih menyebalkan dari Bimo!”
            “Apa kamu lebih memilih Pak Sekdes yang duda itu daripada aku!”.
“Kata-kata yang tidak penting!”
Bagas tertawa. Sebuah sepeda motor tiba-tiba berhenti di depan Khaerani dan Bagas.
“Mas Wildan?!” kata Khaerani ketika mengenali pengendara sepeda motor tersebut.
“Rani.” Wildan menyapa Khaerani dan memberikan sebuah anggukan dan senyuman kecil kepada Bagas setelah turun dari sepeda motornya dan berdiri berhadapan dengan Khaerani dan Bagas.
 “Ooooh, jadi ini yang namanya Wildan,” pikir Bagas.
“Mas Wildan dari mana?” tanya Khaerani.
“Aku dari rumah Pram.” Wildan diam sesaat. “Rani, kenapa kamu tidak mengatakan kalau yang menolong Alfiyan adalah adalah kamu?” Khaerani terdiam, pandangannya diarahkan ke tempat lain. Sementara Bagas yang berdiri disampingnya memperhatikannya. “Aku tidak akan tahu, kalau Pram tidak cerita.” Khaerani menghela nafas. “Bahkan, dokter Fahri dan Yuyun pun tidak mau mengatakan siapa yang menolong Fiyan. Mereka cuma mengatakan seseorang yang kebetulan lewat. Kenapa Ran? Kamu menyuruh mereka untuk tidak mengatakannya, kan? Juga Amir! Apa karena Rosma?”
“Apa itu penting Mas? Yang terpenting, Fiyan selamat dan sehat.”
“Tapi, sampai kamu sendiri sakit!”
“Aku baik-baik saja.”
“Kami berhutang nyawa sama kamu, Ran!”
“Tidak ada yang berhutang apa pun, Mas.”

Wildan menghela nafas. “Apapun yang kamu katakan, tetap saja aku dan Rosma merasa berhutang nyawa kepada kamu, Ran. Dan dari hati yang paling dalam aku benar-benar mengucapkan terima kasih yang sebaesar-besarnya. Aku tidak bisa membayangkan jika waktu itu tidak ada kamu.” Khaerani tersenyum. Wildan memandangnya dengan tatapan tajam. “Sekali lagi aku menucapkan terima kasih,” kata Wildan yang kemudian permisi untuk pergi, tapi tiba-tiba melihat kearah Bagas dan mengernyitkan dahinya mencoba mengingat sesuatu. “Sepertinya aku pernah melihat teman kamu ini Ran. Tapi, kapan dan dimana ya?” Bagas tersenyum. “Oh iya, aku ingat. Waktu di di hajatannya Pak Lurah. Kalau tidak salah datang bersama dengan keluarga Pak Said. Benar kan? Memangnya apanya keluarga Pak Said?”
“Saya kemenakannya Pak Said.”
“Oooh jadi sepupunya Bimo. Pantas saja, kalian agak mirip.” Bagas tertawa kecil. Wildan pun akhirnya pamit pergi .
“Jadi, laki-laki itu ayah dari anak yang kamu tolong waktu hampir tenggelam?” tanya Bagas kepada Khaerani sambil melangkah kembali.
“Iya. Namanya Mas Wildan, temannya Mas Pram.”
“Orangnya ganteng juga,” kata Bagas sambil tersenyum. “Kenapa waktu itu kamu tidak ingin diketahui Mas Wildan dan istrinya kalau yang menolong anaknya adalah kamu?” tanya bagas pura-pura tidak tahu. Khaerani yang berjalan disampingnya itu terdiam. “Jangan-jangan kamu selingkuhan laki-laki itu yang membuat istrinya marah ya!” Bagas tertawa.
“Apa! Sembarangan saja kalau ngomong!” Khaerani melotot kearah Bagas yang tertawa. “Pikiran gila dari mana itu!”
“Terus, apa alasannya?” Khaerani menghela nafas, akhirnya dengan sangat terpaksa menceritakan alasannya, persis seperti yang pernah Bagas dengar dari Mutiara. “Apa kamu pernah suka sama dia Ran? Selain ganteng, dia itu sepertinya orang yang baik!” Khaerani menatap tajam Bagas kemudian mempercepat langkahnya. “Rani! Tunggu aku!” teriak Bagas sambil menyusulnya.
***
 “Pak Sofyan! Mau apalagi dia ke rumah!” kata Khaerani dengan dahi dikerutkan ketika melihat Pak Sofyan sedang mengendarai sepeda motornya yang akan keluar dari halaman depan rumahnya. Bagas yang disampingnya tersenyum.
“Rani, itu Pak Sekdes-mu, sepertinya mau ajak kamu kencan,” kata Bagas lirih. Dan sebuah sikutan mengenai lengannya.
Pak Sofyan berhenti didepan Bagas dan Khaerani. “Darimana Dek Rani?” sapanya selembut mungkin. Khaerani sedikit berbohong dan mengatakan baru pulang mengantarkan kue pesanan. Pak Sofyan melirik kearah Bagas. “Bukannya adik ini kemenakannya Pak Said yang ketemu disini waktu itu kan?”  Bagas mengangguk sambil tersenyum.  “Kalian kok bisa jalan berdua?”
“Ketemu dijalan Pak,” jawab Bagas.
“Ooooh jadi begitu.”
Setelah itu Pak Sofyan permisi pulang, sebelumnya dia mengatakan tujuan ke rumah Bapak adalah untuk mengantarkan surat dari desa buat Bapak dan Pram.
“Rajin benar Pak Sekdes itu ya? Kenapa harus mengantarkan surat sendiri? Bukannya di desa ada pesuruhnya?” Bagas tertawa, dilihatnya Khaerani hanya terdiam. “Kenapa? Kamu takut, Pak Sekdes akan mengadukan kita ke Bu Lek-ku?” Khaerani diam. “Tenang saja! Aku bukan Bimo, anak kesayangannya yang penurut dan pengecut itu! Bagas berbisik ketelinga Khaerani sambil tersenyum.
“Heh!” sungut Khaerani tapi hati kecilnya merasa lega dengan ucapan Bagas.  “Baiklah, hari sudah sore. Kamu bisa pulang. Dan, terima kasih, mau mengantarku pulang,” katanya kemudian.
“Sebenarnya aku sengaja mengantarmu, karena takut, nanti kamu pingsan lagi dijalan.”
Khaerani tersenyum. “Terima kasih atas pertolongannya waktu itu."
“Nah, begitu dong, senyum. Jangan cemberut terus,” kata Bagas sambil tertawa kecil. “Baiklah Aku pulang dulu. Tapi, aku akan menunggumu sampai masuk kedalam rumah.” Khaerani berjalan masuk ke halaman rumahnya. “Rani! Ada satu pertanyaan yang belum kamu jawab!” Bagas yang masih berdiri dipinggir jalan berkata setengah berteriak.
 Khaerani berhenti dan berbalik. “Pertanyaan apa?”
“Kamu mau jadi...” Bagas tidak meneruskan pertanyaannya karena dilihatnya Khaerani kembali berbalik dan berlari dan langsung masuk ke rumah. Bagas tersenyum, kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan rumah Khaerani.
***
Bagas masuk ke halaman rumah Bu Said bersamaan dengan mobil Bimo. Di pintu   keduanya bertemu. “Mukamu kusut sekali, Bim.”
“Yah, ada sedikit permasalahan di pekerjaan. Tapi untungnya semua sudah beres, jadi, nanti malam aku bisa tidur nyenyak. Kamu sendiri, darimana? Sepertinya sedang bergembira.”
“Bukannya aku selalu bergembira setiap saat. Aku juga pulang bekerja,” sambil menunjuk kamera yang dibawanya.
 “Kerjamu enak sekali, Gas. Setiap hari selalu jalan-jalan, kemana pun tempat yang kamu sukai.”
“Oh tentu. Aku kan bukan orang kantoran sepertimu. Lagipula aku tidak cocok kerja kantoran sepertimu!” Bagas tertawa. “Sudahlah, aku mau mandi dulu.”
“Aku juga! Rasanya pengin berendam air panas!”
“Makanya sekali-kali kamu refreshing, Bim. Nikmati hidup! Tapi bukan yang aneh-aneh lho!” Bagas tertawa.
“Aneh bagaimana, maksud kamu Gas!”
Bagas tertawa, “ya, yang dilarang keras sama ibumu!” Bimo memukul lengan Bagas, keduanya tertawa, kemudian masuk kedalam rumah.
***
(Lanjut yaaa....ke Bagian 23)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)