SANDYAKALA (Bagian 26)



26  Rencana

“Walaaah, kalian ini darimana saja? Ibu sudah ngomel-ngomel dari tadi siang, menanyakan kalian!” kata Mutiara ketika membuka pintu untuk Bagas dan Bimo.
“Ceritanya nanti saja, aku mau mandi dulu, badanku bau!” kata Bagas sambil tersenyum kepada Mutiara.
“Sama!” timpal Bimo sambil mengikuti Bagas dari belakang.
Mutiara hanya bisa mengernyitkan dahi keheranan melihat tingkah saudara dan sepupunya tersebut. “Mereka habis kesambet setan darimana ya? Tampangnya kusut semua!” katanya sambil menutup kembali pintu rumah.
Setelah selesai membersihkan diri dan makan, Bagas dan Bimo menemui Pak dan Bu Said yang sedang duduk menikmati sebuah tayangan televisi.
“Oalaaah..bocah lanang dua ini, kalian itu kemana saja? Tidak ada kabar beritanya dari siang tadi. Waktu telephon terakhir, hp kamu langsung mati, Bim. Ibu telephon ke nomernya Bagas, sama saja. Kalian itu sebenarnya sedang apa dan kemana?” gencar Bu Said. Bimo menjelaskan kalau hp-nya mati karena baterainya habis. “Punya Bagas juga!”
“Iya Bu Lek,” jawab Bagas sambil tersenyum. “Bener lho Bu Lek, kami tidak berbohong, hp kami benar-benar kehabisan baterai.”
“Terus, pulang sampai malam begini, kalian memangnya pergi kemana? Ibu sampai telephon pelanggan-pelanggan ibu yang kalian datangi itu. Mereka bilang setelah mengantarkan barang, kalian langsung pulang. Sebenarnya kalian nyasar kemana?”
Bimo kemudian menjelaskan kalau sebenarnya dia dan Bagas tidak kemana-mana. Setelah mengantarkan barang pesanan kepada pelanggan terakhir, mereka langsung pulang. Tapi kemudian berhenti di lapangan desa untuk melihat anak-anak bermain bola.
“Terus, kalian ikut main bola?” sahut Pak Said sambil tersenyum.
“Iya Pak Lek,” jawab Bagas.
“Lha, terus kalian itu main bola sampai jam berapa, bukannya tadi hujan deras. Kok ya pulang hampir malam begini?”
“Ya, karena hujan itu Bu Lek.”
“Kenapa memangnya? Kalian berteduh dulu nunggu hujan reda? Lha, kalian kan bawa mobil!”
Bimo mengatakan karena hujan itu maka mereka mengantarkan anak-anak pulang kerumah.
“Anak-anak? Anak-anak siapa?” tanya Pak Said.
“Ya anak-anak yang main bola itu Pak.”
“Waalah...walah..kalian itu ada-ada saja tho ya,” kata Bu Said.
Bagas mengatakan masih ada satu alasan lagi kenapa dia dan Bimo pulang hingga hampir malam. Bimo menatap sepupunya dan menggelengkan kepalanya, memberi tanda agar sepupunya tersebut jangan dulu menceritakan alasan keterlambatan mereka.
“Apa itu?” Bu Said penasaran.
Bagas kemudian bercerita kalau salah satu anak yang mereka antarkan adalah Amir, cucu Pak Suseno, kemenakan Khaerani. Bu Said nampak sedikit kaget, tapi tidak mengatakan apa-apa, tapi matanya melirik ke arah Bimo. Bagas memperhatikan sikap Bu Lek-nya tersebut, kemudian melanjutkan cerita bagaimana akhirnya dia dan Bimo ikut menolong dan menunggu Kharisma, ibu Amir yang melahirkan.
“Jadi, Mbak Risma sudah melahirkan?” sahut Mutiara yang baru saja keluar dari kamar dan langsung duduk disamping Bagas. “Adiknya Amir, laki-laki atau perempuan, Mas?”
“Perempuan, cantik seperti ibunya.”
“Waduuuuh, senangnya. Aku jadi kepingin punya bayi. Kalau begitu, besok aku akan ke tempat Mbak Risma,” kata Mutiara dengan antusias.
“Makanya, kamu cepat menikah Mut,” kata Bagas sambil menyikut sepupunya tersebut.
“Oh, pastinya!” Mutiara tertawa. “Ya kan Pak, Bu?”
“Iya.” Pak Said tersenyum begitu juga dengan Bu Said, sedangkan Bimo hanya terdiam sambil memperhatikan sebuah tayangan televisi.
***
            “Pak, sepertinya kita harus secepatnya bicara dengan Pak Haji Suryo,” kata Bu Said kepada suaminya ketika berada di kamar tidur.
 “Bicara apa, Bu?”
            “Tentang anak-anak kita. Meresmikan perjodohan Bimo dengan Ratna. Ibu sangat suka dengan Ratna. Menurut ibu, dia itu sangat cocok dan pantas untuk menjadi pendamping hidup Bimo. Pak dan Bu Haji Suryo sepertinya juga sangat menyukai Bimo dan menyetujui rencana perjodohan itu.”
            Pak Said menghela nafas. “Kenapa sih Bu. Ibu kok ya kepengin banget menjodohkan Bimo dengan anaknya Pak Haji Suryo itu? Apa ya merekanya mau? Mereka kan belum saling mengenal dengan baik.”
            “Maka dari itu Pak, kita yang harus mendekatkan mereka. Menurut ibu, Ratna itu suka sama Bimo. Lagipula, anak gadis mana yang tidak suka dengan Bimo anak kita itu Pak?” Bu said tersenyum penuh kebanggan.
 “Halaaah ibu ini. Tapi apa Bimo juga suka sama Ratna? Ibu sudah tanya sama anak itu?”
            “Ibu yakin, Bimo pasti suka. Ratna kan cantik, pintar, punya masa depan yang sudah jelas, berasal dari keluarga baik-baik...”
            “Dan kaya!” Pak Said tiba-tiba memotong kalimat istrinya.
“Ah, bapak ini main potong ibu saja!”
            “Tapi maksud ibu memang begitu kan?”
            “Semua orang mengharapkan menjadi orang kaya, Pak!”  Pak Said menghela nafas dalam-dalam. “Kita harus secepatnya mempertemukan dan mendekatkan Bimo dengan Ratna!” Bu Said menyambung kembali kalimatnya yang terpotong.
            “Apa iya. Bimo mau?”
            “Bimo pasti mau. Dia kan anak yang baik dan penurut. Apa yang dikatakan sama ibu, Bimo pasti mau melakukannya!”
            “Penurut, atau sebenarnya takut sama ibu?”
            “Ah, bapak ini!” Bu said menyikut lengan suaminya yang terbaring disampingnya.
            “Kenapa ibu jadi terburu-buru ingin menjodohkan Bimo dengan anak Pak Haji Suryo itu sih? Apa gara-gara Bimo sering ketemu sama Rani lagi?” Bu Said terdiam. “Memangnya kenapa sih, Bu? Rani dan Bimo kan sudah berteman sejak mereka kecil. Apa salahnya mereka saling bertemu? Bapak tidak habis pikir, kenapa sejak dulu ibu tidak menyukai Rani?”
            “Siapa bilang, ibu tidak menyukai Rani?”
            “Lha itu! Ibu dari dulu selalu menghalangi Bimo berteman dekat dengan Rani, bahkan kadang-kadang melarang Bimo menemuinya. Dari dulu sampai sekarang! Ibu ingat, waktu mereka SMP, ibu melarang mereka saling pacaran!”
            “Namanya juga masih kecil, masih sekolah, takut pelajaran mereka terganggu. Semua orang tua pasti berpikiran sama dengan ibu!”
            “Terus, waktu mereka SMA. Sudah tahu Rani berpacaran dengan orang lain, ibu tetap saja berusaha memisahkan Bimo dengannya, padahal mereka cuma berteman!”
            “Tapi Bayu tetap menyukai Rani!”
            “Terus, itu salah Rani? Ibu itu ya ada-ada saja. Bu Said terdiam. “Kita tidak bisa pungkiri Bu, kalau Bimo itu menyukai Rani sejak dulu. Walaupun Bimo tidak pernah mengatakannya, tapi bapak tahu! Apa sebenarnya salah Rani sih, Bu? Dia kan gadis yang baik, pintar, rajin, berasal dari keluarga baik-baik, dan juga tidak jelek.”
            “Tidak ada yang salah, Pak!”
            “Terus, kenapa? Atau jangan-jangan karena Lastri, ibunya Rani! Karena Rani mirip sekali dengannya?!”
            “Bapak juga berpikiran begitu! Rani mirip dengan Lastri! Perempuan yang dulu sangat bapak cintai!”
            “Terus, apa masalahnya? Lha wong anak, kalau tidak mirip bapaknya ya mirip ibunya!”
            “Bapak masih mencintainya kan? Sering memikirkannya!”
            Pak Said tertawa. “Jadi ceritanya cemburu! Cemburu ibu itu tidak beralasan! Sekarang bapak sudah jadi suami ibu selama puluhan tahun, sudah punya cucu. Dan Lastri juga sudah menjadi istrinya Mas Seno dan sudah meninggal! Jadi tidak ada alasan ibu tidak menyukai Rani!”
            “Bapak memang pintar memberi alasan! Yang penting, ibu hanya ingin yang terbaik buat Bimo, karena Bimo adalah satu-satunya anak laki-laki kita Pak!”
            “Yang terbaik buat Bimo, atau yang terbaik buat ibu!”
            “Yang terbaik buat buat kita semua! Buat Bimo, Ibu, Bapak dan juga Rani!”
            “Terus, menurut ibu, yang terbaik itu yang bagaimana?”
            “Bimo, anak kita itu kan berpendidikan tinggi, pintar, punya kehidupan yang cukup mapan, kedudukannya di tempatnya bekerja pun lumayan tinggi, juga dia itu ganteng!”
            “Ya, terus?”
            “Ya harus punya pendamping yang setidaknya sama dengan dia, bisa mengimbangi dia. Kalau tidak, nanti kasihan si Bimo, juga kasihan istrinya nanti. Pasti kehidupan mereka tidak bakal bahagia dan menyenangkan. Nantinya Bimo jadi susah, istrinya juga susah, kita ikut susah, orang tua istrinya pun susah. Apalagi nanti apa kata orang?”
            “Oalah bu...bu..., kok ya mikir dan kuatir sesutu yang belum tentu terjadi. Apa iya, nantinya pasti terjadi seperti apa yang ibu pikirkan?”
            “Lha maka dari itu Pak. Ibu berusaha mencegahnya, supaya tidak terjadi seperti apa yang ibu kuatirkan!”
            “Tapi, ibu juga mesti memikirkan kebahagiaan anak kita. Apa iya, dia bakal bahagia dan senang kalau selalu menurut kehendak kita?”
            “Anak kalau sudah menurut kehendak orang tua, pasti hidupnya akan senang dan bahagia, Pak!”
            “Tapi, menurut yang bagaimana dulu, Bu!”
            “Yang penting, kita sebagai orang tua menginginkan anaknya bahagia!”
            Pak Said terdiam, seperti biasanya ketika istrinya sudah memperbesar volume suaranya. “Ya sudah, tapi jangan keras-keras begitu. Ini sudah malam, Bu!”
            “Bapak sih, yang mulai!”
            “Ya...ya...Bapak ngaku salah!”
            “Tapi Pak! Sepertinya  kemenakanmu itu juga suka sama Rani!”
            “Ya biar saja-lah. Dia kan sudah besar dan dewasa. Tahu mana yang terbaik dan tidak buat dirinya sendiri.”
            “Nanti apa kata orang Pak. Kalau memang benar Bagas suka sama Rani? Dia kan orang baru di sini!” Tidak ada jawaban dari Pak Said. “Kemenakanmu, ya juga kemenakanku juga, Pak. Nanti dikiranya kita tidak bisa menjaganya. Orang baru kok ya sudah berkeliaran di desa dan mendekati anak gadis orang.” Terdengar suara dengkuran halus Pak Said. “Oalaah Pak...diajak ngomong malah tidur duluan tho?” Bu Said melihat suaminya yang sudah memejamkan mata disampingnya. Kemudian wanita tua itu terdiam, pandangannya menerawang jauh, “Khaerani. Apa istimewanya gadis itu hingga semua laki-laki di keluarga ini menyukainya?” pikir Bu Said.
***
            Hujan di luar menyisakan titik-titik gerimis dan udara malam yang cukup dingin. Bimo berbaring ditempat tidurnya namun matanya belum terpejam. “Mengapa Bu Bidan Annah harus menanyakan hal itu di depan Rani dan Bagas?” katanya dalam hati, matanya memandang langit-langit kamar yang berwarna putih. “Bimo...Bimo...apa yang sebenarnya kamu inginkan? Dan apa yang sebenarnya ada di dalam hati dan benak kamu?” Bimo menghela nafas. “Bagas! Kenapa si sableng itu harus hadir disuasana yang seperti ini? Apa sebenarnya yang ada dalam otak anak itu? Apa benar dia menyukai Rani? Atau, dia sengaja melakukannya untuk menantangku, mencoba keberanianku yang dianggapnya sebagai pengecut? Bagaimana dengan Rani sendiri, apa dia sudah bisa melupakan Bayu? Apa dia menyukai Bagas? Bagaimana dengan aku? Ya! Aku! Bimo si pengecut! Orang yang tidak sesuai dengan namanya, Bima yang seharusnya pemberani! Bimo teman kecil kamu, Ran, yang menyukaimu sejak kita masih kecil. Apakah kamu juga menyukaiku, atau setidaknya pernah menyukaiku?” Bimo akhirnya memejamkan matanya.
***
            Sementara itu suasana kebahagiaan terpancar di kediaman Pram, seorang anggota keluarga baru yang lucu dan cantik telah hadir diantara mereka, rasa lelah, tegang dan kuatir telah hilang, berganti dengan rasa bahagia. Bapak yang pulang diantar oleh Pak Mantri Tani karena waktu Pram dihubungi untuk segera pulang karena istrinya melahirkan ditinggal di rumah Pak Mantri Tani. Hujan yang terlalu lebat membuat Pram tidak mau mengambil resiko mengajak Bapak pulang, takut Bapak sakit lagi. Bapak sangat senang dan bahagia ketika melihat cucu perempuannya. Dinginnya cuaca di luar tidak dirasakan oleh penghuni rumah tersebut, hanya rasa hangat dan bahagia yang menyelimutinya.
***

(Selanjutnya bagaimana yaaaa....yuk baca Bagian 27)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)