SANDYAKALA (Bagian 25)
25 Melahirkan
“Wah! Hari ini, aku serasa sopir
angkutan umum saja,” kata Bagas tersenyum ketika menghentikan mobilnya untuk
menurunkan salah seorang anak.
Bimo tertawa. “Sekali-kali, Gas.
Itung-itung buat pengalaman. Siapa tahu bisa jadi inspirasi buat tulisan kamu.”
“Jadi, tinggal
berapa anak lagi yang harus kita antar?”
“Sepertinya di belakang tinggal Amir
yang tertinggal.” Bimo melihat ke belakang mobil.
“Kalau begitu, suruh Amir naik di depan
saja. Di belakang sendirian, sudah tidak ada temannya, apalagi gerimis sudah
mulai turun, Bim.”
Bimo
keluar dari mobil untuk mengajak Amir duduk di depan bersama mereka tapi anak
itu menolaknya, karena ingin berdiri dibelakang. “Kamu sendirian di belakang.
Apalagi ini sudah gerimis, Mir, sebentar lagi hujan pasti turun.” Bimo menengadahkan
tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menunjuk langit yang semakin gelap.
Amir tetap menolaknya, dengan alasan ingin hujan-hujanan dimobil, karena belum
pernah dilakukan sebelumnya. “Nanti, kamu bisa sakit, Mir.”
“Amir kuat. Tidak bakalan sakit!”
Bimo menghela nafasnya.
“Ayo Amir, nanti kamu kena marah Bapak,
Ibu, Bu Lek sama simbah lho! Nanti Amir tidak boleh main lagi!” teriak Bagas
dari depan. Amir terdiam sesaat, tidak lama kemudian anak kelas dua sekolah
dasar tersebut turun dari bak belakang mobil dan pindah duduk didepan bersama
Bimo dan Bagas. “Nah, begitu dong,” kata Bagas tersenyum kepada Amir yang duduk
diapit antara dirinya dan Bimo.
“Pakai ajian apa si sableng! Sekali
ngomong, Amir langsung menurut!” pikir Bimo.
Mobil pun kembali melaju, menuju rumah
Amir.
***
“Akhirnya sampai ke rumah kamu juga,
Mir!” kata Bagas sambil menghentikan mobilnya di pinggir jalan, depan halaman
rumah Amir, juga depan rumah Khaerani. Belum sempat turun dari mobil, mereka
melihat Maryam yang berlari dari rumah Khaerani ke rumah Amir yang diikuti oleh
Khaerani dan Mak Lela.
“Ada apa ya, kenapa mereka berlari
kerumah kamu, Mir?” kata Bimo.
“Amir juga tiak tahu, Mas.” Wajah Amir
terlihat bingung dan langsung meminta untuk segera turun dari mobil.
“Pasti
ada sesuatu!” Bagas segera membuka mobil dan langsung berlari kerumah Amir,
diikuti oleh Amir dan Bimo. Suara petir
terdengar, kemudian turun hujan dengan derasnya.
“Ada apa ini?” tanya Bagas ketika
sampai di rumah Amir, dilihatnya Khaerani, Mak Lela dan Maryam yang sedang
mengelilingi Kharisma yang sedang duduk di kursi panjang sambil mengerang
kesakitan memegang perutnya yang besar.
“Ibu!” teriak Amir, yang berlangsung
kearah ibunya dengan wajah tegang.
“A-Amir!” kata Kharisma ketika melihat Amir
yang berlari kearahnya dan langsung memegang tangannya dengan erat.
Khaerani terkejut ketika melihat
Bagas dan Bimo yang datang bersama Amir.
“Mbak Risma kenapa Ran?” tanya Bimo.
“Sepertinya Mbak Risma mau melahirkan!”
“Melahirkan?! kata Bagas dan Bimo hampir
bersamaan.
Kharisma kembali mengerang kesakitan.
“Kita harus memindahkan Mbak Risma
ke kamar, sepertinya memang akan melahirkan!” kata Mak Lela.
“Mas Pram mana?” tanya Bagas.
“Sama Bapak sedang ke rumah Pak
Mantri Tani.”
Mak Lela kemudian menyuruh Maryam
menghubungi Pram, Khaerani menghubungi Bidan Annah, sedangkan dia sendiri akan
membereskan dan membersihkan tempat tidur juga mempersiapkan segala sesuatu
untuk Kharisma melahirkan. Sementara Bimo dan Bagas menemani Amir dan Kharisma.
Kedua laki-laki merasa bingung, karena tidak tahu harus apa dan bagaimana.
“Ayo dong Mas Pram, telephonnya diangkat!”
kata Maryam.
Bimo dan Bagas nampak kebingungan,
apalagi melihat Amir yang sudah mulai menangis. “Apa tidak sebaiknya kita bawa
langsung ke rumah bidan atau ke klinik?” kata Bimo kepada Khaerani.
“Iya, betul kata Bimo, Ran,“ timpal
Bagas.
“Kalau memungkinkan, kita bawa ke
tempat bidan Annah. Tapi aku sekarang mencoba menghubunginya dulu. Lagipula
hujan di luar sudah mulai turun dengan deras. Sementara, kita persiapkan segala
sesuatunya dulu untuk persalinan di rumah!”
“Kalau tidak, kita susul saja
bidannya!” kata Bagas.
“Iya, biar cepat. Aku akan menyusul
bidan itu, dan kamu menghubunginya!” kata Bimo sambil bangkit dari duduknya dan
meminta kunci mobil kepada Bagas. “Dimana rumah bidan itu, Ran?” tanya Bimo.
Khaerani kemudian memberikan alamat
rumah bidan Annah kepada Bimo. “Depan rumah Pak Haji Yusuf, guru ngaji kita
dulu, Bim.”
“Yah, aku tahu!” Bimo bermaksud
untuk pergi tapi dicegah oleh Khaerani.
“Bimo, tunggu dulu!” Khaerani berlari ke
sebuah meja disudut ruangan, mengambil sebuah payung besar dan menyerahkannya
kepada Bimo. “Pakai ini.”
“Terima kasih!” jawab Bimo sambil tersenyum,
kemudian langsung pergi keluar. Bagas nampak memperhatikan Khaerani dan
sepupunya tersebut.
Setelah tempat tidur dibereskan dan
dibersihkan, Kharisma dipindahkan kedalam kamar. Maryam sudah berhasil
menghubungi Pram dan Khaerani sudah berhasil menghubungi bidan Annah.
“Iya Bu, sedang kami persiapkan
semuanya. Oh iya Bu Bidan, nanti ada orang yang menjemput ibu. Iya Bu, terima
kasih.”
“Ada lagi yang bisa aku bantu?”
tanya Bagas setelah menolong memindahkan Kharisma ke dalam kamar.
“Bisa tolong temani Amir, dia belum
ganti pakaian dan makan siang. Nanti aku suruh Maryam yang menyiapkan
makananya. Aku sendiri harus bantu Mak Lela menyiapkan untuk persalinan Mbak
Risma.”
Bagas mengangguk sambil tersenyum.
Khaerani segera berlalu, sebelum membantu Mak Lela, gadis itu meminta tolong
kepada Maryam untuk menyiapkan makan buat Amir juga membuat minuman dan
menyediakan makanan kecil untuk Bagas dan Bimo juga Bidan Annah.
Setelah selesai menyiapkan segala
sesuatu untuk persalinan, Khaerani bersama Mak Lela menemani Kharisma di dalam
kamar. Terdengar kembali suara erangannya.
Di luar hujan masih turun dengan
deras yang terkadang diselingi suara petir, Amir yang telah berganti pakaian
nampak duduk meringkuk di kursi di depan televisi, Bagas duduk disampingnya. “Wah,
sebentar lagi Amir mau jadi kakak yah. Amir senang tidak?” Amir mengangguk
sambil tersenyum. “Amir kepingin punya adik laki-laki atau perempuan?”
“Laki-laki. Biar nanti bisa diajak
main bola.”
Bagas
tertawa. “Kalau ternyata adiknya perempuan, bagaimana?” Amir terdiam. “Kenapa? Adik laki-laki dan adik perempuan kan
sama saja.”
“Tapi kan, kalau perempuan tidak
bisa diajak main bola!”
“Kata siapa? Adik perempuan juga
bisa diajak main bola.”
“Memang bisa?” Bagas mengangguk
sambil tersenyum. “Mas Bagas punya adik?”
“Tidak.” Bagas menggelengkan kepala.
“Mas Bagas punyanya kakak, perempuan. Namanya Mbak Ambar.”
“Bisa diajak main bola?” tanya Amir dengan
polosnya.
“Bisa. Bahkan Mbak Ambar, kakak Mas
Bagas itu lebih jago main bolanya dari Mas Bagas.”
“Masa sih?” Amir nampak tertarik.
“Iya.
Dulu, waktu kecil, kami pernah main bola bersama. Mbak Ambar, kakak Mas Bagas
itu bisa mencetak lima gol dalam satu kali permainan, sedangkan Mas Bagas Cuma
bisa mencetak dua gol.”
“Beneran Mas?”
“Iya bener!”
Maryam datang sambil membawa nampan
berisi teh hangat dan makanan kecil, yang kemudian langsung mempersilakan Bagas
untuk meminumnya.
“Oh iya, terima kasih Mbak Maryam.”
“Panggil saja Maryam, jangan pakai
Mbak. Saya kan jauh lebih muda dari Mas ini,” kata Maryam sambil tersenyum.
Terdengar lagi suara erangan Kharisma
dari dalam kamar.
“Mbak Maryam, ibu tidak apa-apa
kan?” tanya Amir dengan wajah sedih.
“Ibu tidak apa-apa. Amir tenang saja
disini. Oh iya, Amir makan ya, biar nanti Mbak Maryam ambilkan?” Amir
mengangguk. Maryam menawarkan makan juga kepada Bagas tetapi ditolaknya dengan
halus.
“Terima kasih Mbak...eh Maryam. Biar
Amir saja yang makan.”
Maryam kemudian pergi ke belakang. Tidak
lama kemudian kembali lagi sambil membawa sepiring makanan dan segelas air
putih untuk Amir. Anak laki-laki itu bangkit dari duduknya dan berjalan ke belakang
untuk mencuci tangannya, setelah itu kembali untuk menyantap makanan yang telah
disediakan oleh Maryam.
Terdengar suara mobil diantara suara
hujan dan petir. Bagas dan Maryam langsung menuju kedepan, sedangkan Amir masih
menyelesaikan makannya. “Amir disini dulu ya,” kata Maryam sebelum beranjak
pergi. Khaerani pun keluar dari kamar
Kharisma.
Di pintu depan, Bimo masuk bersama
bidan Annah. Bidan berusia empat puluh tahun tersebut langsung menanyakan
keadaan Kharisma. Khaerani langsung menjelaskan semuanya. Setelah membersihkan
diri dan mengambil perlengkapannya yang dibawakan oleh Bimo, bidan Annah
langsung masuk kedalam kamar Kharisma.
Beberapa menit kemudian terdengar suara
sepeda motor yang masuk ke teras depan rumah. “Itu pasti Mas Pram!” kata Maryam
sambil berlari ke pintu. Dugaan Maryam benar, Pram muncul dipintu dengan masih
menggunakan jas hujan yang basah.
“Bagaimana Risma, Mar?” kata Pram sambil
melepaskan jas hujannya dan melemparkannya keatas balai-balai.
“Mbak Risma baik, masih kontraksi. Bu
Bidan Annah sudah datang, sekarang sudah di dalam kamar.” Pram masuk diikuti
oleh Maryam.
“Bapaaaak!” Amir berlari kearah Pram
dan langsung memeluknya.
“Amir disini dulu ya, bapak mau
lihat ibu di kamar,” kata Pram sambil mengusap rambut anak laki-lakinya. Amir
pun mengangguk. Pram terkejut ketika melihat Bagas dan Bimo ada dirumahnya. “Kalian
disini?” sapanya.
“Iya
Mas,” jawab Bagas dan Bimo hampir bersamaan. Pram tidak menanyakan apa-apa
lagi, yang ada dipikirannya hanya ada istrinya. Setelah membersihkan diri dan
berganti pakaian yang kering langsung masuk ke kamar untuk melihat dan menemani
istrinya.
Amir, Bagas dan Bimo sudah kembali
ke ruang tengah sedangkan Maryam
membereskan pekerjaan jahitannya yang sebelumnya ditinggal begitu saja.
“Jadi, begini rasanya dan suasananya
ketika seorang ibu dan istri akan melahirkan?” Bagas menghela nafas sambil
duduk disamping Bimo yang sedang meneguk teh hangat yang disediakan oleh
Maryam.
“Kenapa memangnya?” tanya Bimo.
“Sibuk! Bingung! Tegang! Kuatir! Takut!
Segala rasa bercampur aduk jadi satu! Ini pertama kalinya aku melihat dan
menghadapi seorang ibu akan melahirkan!” kata Bagas.
Bimo tertawa. “Sama! Aku juga baru
pertama kali menghadapinya. Benar-benar tidak tahu harus apa dan bagaimana!”
Keduanya kemudian tertawa bersama.
Khaerani keluar dari kamar, Amir langsung berlari kearahnya. “Bagaimana dengan
ibu, Bu Lek?”
“Ibu baik-baik saja,” jawab Khaerani sambil
menggandeng tangannya dan duduk bersama dengan Bagas dan Bimo.
“Maaf,
jadi membuat repot kalian,” kata Bu Lek Amir tersebut kepada Bagas dan Bimo. “Tapi ngomong-ngomong,
bagaimana kalian bisa bersama Amir?” Bimo menceritakan bagaimana dia dan Bagas
bisa datang bersama dengan Amir. “Terima kasih, kalian mau mengantar Amir dan
juga membantu kami disini. Tapi maaf, bukan maksud aku untuk mengusir kalian.
Apa tidak sebaiknya kalian pulang? Kalian sudah cukup membantu disini, dan juga
sudah ada Bu Bidan Annah. Nanti kalian dicari sama orang rumah.” Khaerani
berkata dengan hati-hati.
Bagas tertawa. “Tenang saja, kami memang
sedang dalam tugas luar,” Bagas menekankan kata tugas luar, “kami tidak sedang
kabur ataupun minggat. Ya kan, Bim?” Bimo mengangguk. “Kami akan menunggu
sampai adik Amir lahir.”
“Tapi kita tidak tahu, kapan adik
kami akan lahir,” kata Khaerani.
“Tidak apa-apa, kami akan menunggu,”
jawab Bagas.
“Apa kamu keberatan kami ada disini,
Ran?” tanya Bimo tiba-tiba.
“Bukannya begitu, tapi...” Khaerani
tidak melanjutkan perkataannya, Amir yang duduk disampingnya tiba-tiba
memeluknya dengan erat. “Amir kenapa?”
“Bu Lek,” kata Amir lirih.
“Ya, kenapa Mir?” Khaerani membopong
Amir dan meletakannya dipangkuannya kemudian mengusap rambutnya dengan lembut.
Bagas dan Bimo nampak memperhatikannya.
“Bu Lek, nanti malam, Amir tidur sama Bu
Lek atau sama simbah kakung yah?”
“Iya, nanti malam Amir tidur sama Bu
Lek. Tapi kenapa Amir jadi sedih begini?”
“Amir takut, Bu Lek.”
“Takut apa?”
“Takut, kalau nanti adik Amir lahir,
bapak dan ibu tidak sayang lagi sama Amir!”
Khaerani tersenyum, kemudian memeluk
kemenakannya tersebut dengan erat. “Siapa yang bilang begitu? Bapak sama ibu
pasti sayang Amir juga adik Amir. Ketika adik Amir nanti lahir, bapak sama ibu
mungkin akan lebih perhatian sama adik Amir, tapi bukan berarti mereka tidak
sayang lagi sama Amir. Adik bayi, kan masih kecil, belum bisa apa-apa. Belum
bisa mandi sendiri, minum sendiri, makan sendiri, ganti baju sendiri dan juga
belum bisa ngomong inginnya apa, jadi harus dibantu sama bapak dan ibu. Kalau
Amir, kan sudah besar, sudah bisa ngomong kepinginnya apa, sudah bisa melakukan
semuanya sendiri.” Amir nampak terdiam
mendengarkan.
“Betul, apa yang dikatakan Bu Lek Rani
itu, Mir,” kata Bagas tiba-tiba sambil bangkit dan duduk disamping Khaerani dan
membelai kepala Amir. Khaerani sontak terkejut dengan Bagas yang duduk sangat
dekat dengan dirinya hingga lengan mereka bersentuhan, apalagi saat itu Bimo juga
memperhatikannya. “Itu menandakan Amir sudah gede,” kata Bagas kemudian, tidak
mempedulikan reaksi keterkejutan Khaerani juga sepupunya. “Bapak dan ibu pasti
sayang sama Amir, walaupun Amir sudah gede dan punya adik kecil. Contohnya Mas
Bimo, dia punya adik perempuan, Mbak Mutiara, Amir kenal kan?” Amir mengangguk.
“Sampai sekarang, bapak dan ibunya Mas Bimo masih sayang sama Mas Bimo. Betul
kan, Bim?”
“Iya, betul apa yang dikatakan Mas
Bagas Mir. Mana ada orang tua yang tidak sayang sama anaknya sendiri,” kata Bimo.
“Bahkan orang tua Mas Bimo itu sayaaaaang
banget sama Mas Bimo. Apalagi Mas Bimo itu anak yang sangat penurut kepada
orang tua.” Bagas tersenyum, sedangkan Bimo menatap tajam kearahnya. “Betulkan
Mas Bimo?” Bimo mengangguk sambil tersenyum setengah dipaksa dan tetap menatap
tajam sepupunya, dari sudut matanya melihat kearah Khaerani yang nampak terdiam.
“Apa betul begitu, Mas Bimo?” tanya
Amir. Bimo mengangguk sambil tersenyum.
“Kamu juga bisa melihat sendiri,
Mir. Simbah kakung masih sayang sama bapak Amir kan, walaupun ada Bu Lek Rani?”
Bagas berkata sambil memegang pundak Khaerani yang membuat Bimo kembali menatap
tajam kearahnya, sedangkan Khaerani sendiri nampak tidak menyadarinya karena
terfokus kepada Amir.
“Jadi, tidak ada yang perlu Amir
takutkan. Selain bapak dan ibu, Bu Lek, simbah, Mak Lela dan Mbak Maryam juga
sayang sama Amir,” kata Khaerani sambil melihat kemenakannya yang nampak sudah
tidak sedih lagi.
“Iya Bu Lek.”
“Mas Bagas dan Mas Bimo juga sayang sama
Amir,’’ timpal Bagas.
“Apa benar begitu, Bu Lek?” Amir meminta
pendapat dari Bu Lek-nya.
Khaerani mengangguk sambil tersenyum. “Semua
orang pasti sayang sama anak pintar dan rajin seperti Amir.”
Suara petir pecah di langit bersamaan
dengan itu terdengar teriakan panjang Kharisma dari dalam kamar. Bagas dan Bimo
melihat kearah pintu kamar, sedangkan Khaerani memeluk erat Amir. Orang-orang
yang berada diruang tengah tersebut membisu, berkelut dengan alam pikirannya
masing-masing, wajah mereka nampak tegang. Suara petir terdengar kembali
diantara derasnya hujan, terdengar pula suara teriakan Kharisma yang lebih
keras dan panjang, juga terdengar suara dari bidan Annah.
“Terus...terus....sedikit lagi...sedikit lagi...” setelah itu terdengar
tangisan bayi. Ucapan syukur terdengar dari dalam kamar. Begitu juga di ruang
tengah, ucapan rasa syukur keluar dari mulut Khaerani, Bagas dan Bimo juga
helaan nafas kelegaan.
***
Kharisma melahirkan bayi perempuan yang cantik,
lucu dan sehat dengan selamat. Semua orang yang berada dalam rumah merasa lega
dan bahagia. Bidan Annah pun tidak kalah lega dan bahagianya, karena dapat
menolong pasien yang melahirkan dengan lancar dan selamat untuk kesekian
kalinya. Bidan itu kemudian duduk beristirahat di ruang tengah setelah selesai
menangani proses persalinan Kharisma sambil meneguk teh hangat yang telah
disediakan oleh Maryam.
Pram keluar dari kamar dan duduk bersama
bidan Annah, Amir menghampiri dan duduk dipangkuannya. Rasa bahagia nampak
diwajahnya. Ucapan terima kasih ditujukan laki-laki itu kepada bidan Annah yang
telah membantu persalinan istrinya dengan baik, karena baik istri maupun
anaknya dalam kondisi sehat. Bidan Annah hanya tersenyum dan mengatakan kalau
sudah menjadi tanggung jawab dan kewajibannya untuk menolong wanita yang
melahirkan. Kakak Khaerani itu juga mengucapkan terima kasih kepada Bagas dan
Bimo yang turut membantu. Juga menanyakan kenapa mereka bisa berada di
rumahnya. Kedua anak dan kemenakan Bu Said tersebut hanya tersenyum dan
mengatakan kalau bantuan yang mereka berikan tidak seberapa, karena mereka
hanya kebetulan mengantar Amir setelah bermain bola bersama di lapangan desa.
Bidan Annah melihat kearah Bagas. “Saya
sepertinya baru melihat adik ini.” Bimo kemudian memperkenalkan Bagas sebagai
sepupunya. “Oh pantas. Kalian agak mirip.” Bidan Annah tersenyum. “Oh iya Bimo,
ibu mendengar kalau kamu mau menikah dengan bidan Ratna, anak Pak Haji Suryo
dari desa tetangga kita. Benar begitu?”
Bimo tidak menduga akan mendapat pertanyaan
tersebut. Apalagi didepan Bagas dan Khaerani. Saat itu juga anak laki-laki Bu Said
itu merasa suara petir yang menggelegar diluar masuk ke dalam. Bimo terbatuk
kecil, ketika semua mata memandang kearah dirinya. “Bu Bidan dapat berita darimana?
Saya saja, belum tahu,” kata Bimo kemudian.
“Masa! Bu Said yang bilang begitu waktu
ketemu di bank kemarin. Katanya keluarga kamu sudah datang ke keluarga Ratna.” Bimo
tersenyum dengan amat terpaksa, tidak tahu harus menjawab apa, matanya sesekali
melirik Khaerani yang duduk terdiam sambil memainkan jari-jari tangannya disamping Pram. Sementara terdengar suara
tawa tertahan dari Bagas.
“Amir. Ibu ingin ketemu Amir,” kata Mak
Lela dari pintu kamar Kharisma. Amir langsung turun dari pangkuan bapaknya dan
berlari masuk ke kamar. Pram dan Khaerani mengikutinya dari belakang. Sementara bidan
Annah meminta ijin untuk ke belakang, hingga di ruang tengah tinggal Bimo dan
Bagas. Bagas tersenyum.
“Kenapa kamu tersenyum! Kamu pasti
senang mendengar apa yang baru saja dikatakan bidan itu!” kata Bimo. “Kamu puas
Gas!”
“Hei! Jangan marah begitu aku tidak bermaksud
apa-apa. Aku hanya berpikir, ibumu begitu semangatnya menjodohkan kamu dengan
Ratna, sampai megatakannya kalau kamu dan dia akan menikah. Sebentar lagi
beritanya pasti akan menyebar ke seluruh antero desa!” Bagas tertawa.
“Menjodohkan apa! Aku sendiri tidak
pernah tahu!”
“Percuma kamu katakan itu sama aku Bim.
Coba kamu katakan sama ibumu!”
Bimo terdiam.
***
Hari menjelang malam, hujan diluar
sudah mulai reda, namun masih ada gerimis, suara petir sudah tak terdengar
lagi. Bagas dan Bimo pamit pulang sekalian mengantar bidan Annah kembali
kerumahnya.
***
(Bagaimana lanjutannya yaaaaaa.....Baca Bagian 26)
Komentar
Posting Komentar