SANDYAKALA (Bagian 27)



27  Rosma 
           
Hari yang cerah, setelah hujan turun cukup lama dari kemarin siang hingga malam hari. Rumah Pram nampak ramai oleh para tetangga dan teman yang ingin menjenguk Kharisma dan bayinya. Salah seorang yang menjenguk adalah Rosma, istri Wildan. Khaerani sempat merasa tidak nyaman ketika bertemu Rosma yang hampir selalu bersikap sinis jika bertemu dengannya. Tapi rasa itu kemudian hilang ketika Rosma menyapa dan tersenyum kepadanya.
“Rani, bisa kita bicara sebentar?” kata Rosma. Khaerani mengangguk. “Bisa bicara di tempat lain?”
Khaerani mengajak Rosma ke rumahnya. “Mbak Rosma mau bicara apa ya? Masalah Alfiyan? Mas Wildan pasti sudah menceritakan semuanya. Jangan-jangan dia marah sama aku! Tapi, dilihat dari wajahnya, dia tidak sedang marah atau sinis seperti biasanya!” pikir Khaerani. Rosma dan Khaerani duduk di ruang tamu. “Ada apa ya, Mbak Ros? Sepertinya ada sesuatu yang penting yang Mbak Rosma ingin bicarakan,” kata Khaerani dengan sedikit rasa penasaran.
Rosma tersenyum. “Mbak ingin mengucapkan terima kasih sama kamu, Ran, karena telah menolong dan menyelamatkan Alfiyan. Mas Wildan sudah menceritakan semuanya. Mbak tidak bisa membayangkan kalau waktu itu tidak ada kamu,” Rosma menggelengkan kepalanya, “kamu telah menyelamatkan nyawa Alfiyan. Sekali lagi Mbak ucapkan banyak terima kasih sama kamu.”
             Khaerani tersenyum, hatinya merasa lega, karena tidak ada nada sinis ataupun marah disuaranya. “Tidak apa-apa Mbak.”
            Keduanya kemudian terdiam.
            “Oh iya Ran, Mbak dengar kamu pernah pingsan dijalan ya? Bagaimana ceritanya?” Rosma kembali angkat bicara.
            “Wah! Mulai lagi, padahal aku sudah mulai melupakannya!” benak Khaerani. “Iya Mbak. Waktu itu saya kecapekan.”
“Terus, apa benar yang menolong itu kemenakannya Bu Said?” Khaerani mengangguk sambil terseyum. “Aku dengar, katanya orangnya ganteng ya Ran?” Khaerani kembali tersenyum. “Kamu kenal dengan dia, Ran?”
“Iya Mbak.”
“Mbak juga mendengar, kalian sering berjalan berdua juga?”
“Waduh! Apa sih, sebenarnya maksud Mbak Rosma ini?!” gerutu Khaerani dalam hati. “Tidak juga Mbak. Itu hanya kebetulaan kami bertemu dan berjalan searah.” Khaerani berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum.
            “Kalau memang iya, juga tidak apa-apa Ran. Kamu kan masih sendiri, kemenakannya Bu Said juga katanya masih sendiri. Tidak ada salahnya toh?”
            “Heh! Apa maksud dari kata-kata Mbak Rosma ini. Sudah kuduga arahnya kesitu,” Khaerani kembali menggerutu dalam hati. “Mbak Rosma ini bicara apa?”
            “Mungkin sudah takdir Tuhan kamu bertemu dengannya. Jangan-jangan dia itu jodoh kamu. Lagipula apa salahnya, katanya dia itu ganteng dan pastinya orang berada, siapa sih, yang tidak mengenal keluarga Said?”
            “Mbak Rosma ini ada-ada saja!”
            “Namanya jodoh, siapa yang tahu?”
            “Ooooh jadi ini, maksudnya ingin berbicara dengan aku? Menjodohkan aku dengan orang lain agar dia merasa tenang, kalau suaminya itu tidak akan berhubungan dengan aku! Lagipula siapa juga yang berhubungan dengan Mas Wildan!” benak Khaerani sambil bibirnya berusaha untuk tersenyum menanggapi perkataan dari Rosma.
            Tidak lama kemudian Rosma pamit pulang, setelah menerima telephone dari Wildan yang menyuruhnya cepat pulang, karena sudah ditunggu untuk pergi kondangan ke suatu tempat. Khaerani mengantar Rosma ke halaman depan, tempatnya memarkir motor  berbarengan dengan berhentinya sebuah mobil. Dari mobil tersebut turun Mutiara yang langsung menghampiri mereka.
            “Apa kabar Ran, Mbak Rosma?” sapa Mutiara.
“Baik!” jawab Khaerani dan Rosma bersamaan.
“Kamu datang dengan siapa Mut?” tanya Rosma.
            Mutiara mengatakan kalau dia datang bersama dengan sepupunya. Bagas turun dari mobil sambil membawa beberapa bingkisan dan tersenyum kepada Khaerani dan Rosma.
“Aku ke tempat Mbak Risma dulu ya?” kata Mutiara yang langsung berjalan menyusul Bagas yang sudah masuk ke rumah Kharisma.
            “Jadi itu orangnya Ran? Kemenakannya Bu Said yang menolong kamu itu?” Rosma nampak antusias. Khaerani mengangguk dan tersenyum. “Oalaaah bener-bener ganteng orangnya yah? Kamu beruntung sekali Rani.”
            “Mbak Rosma bicara apa? Memangnya beruntung kenapa?”
            “Kesempatan tidak datang dua kali lho Ran. Ayolah, tidak ada salahnya toh?” Telephon genggam Rosma kembali berbunyi.“Ya sudah, aku pamit pulang dulu ya Ran?” Beberapa saat kemudian Rosma dengan sepeda motornya meninggalkan halaman rumah Khaerani.
***
            Bagas dan Mutiara menemui Kharisma dan bayinya sambil membawa bingkisan. Ibu Amir itu sangat senang melihat kedatangan mereka, dan menanyakan tentang Bimo. Mutiara mengatakan Bimo sedang mengantar bapak dan ibunya ke suatu tempat, jadi kakaknya itu juga ibunya belum bisa menjenguk, hanya menitipkan salam dan juga bingkisan. Kharisma mengucapkan terima kasih, terutama kepada Bagas dan Bimo, karena kemarin telah banyak membantu proses persalinannya.
            Setelah selesai menemui Kharisma, Mutiara langsung pergi ke tempat Khaerani, sedangkan Bagas nampak berbincang dengan Pram dan juga Amir.
            “Rani, tumben Mbak Rosma mau menemui dan berbicara sama kamu. Apa dia marah sama kamu?” tanya Mutiara dengan nada penasaran.
Khaerani tersenyum. “Tidak, Mbak Rosma hanya mengucapkan terima kasih, karena aku menolong Alfiyan.”
            “Syukurlah kalau begitu, aku kira Mbak Rosma mau menegur kamu.”
            “Kalian cuma berdua?”
            “Memangnya kenapa? Kamu mencari Bimo?” Mutiara tersenyum.
            “Bu-bukannya begitu. Soalnya kemarin Bimo dan Bagas menolong kami mengatasi persalinannya Mbak Risma.”
            “Mas Bimo sedang mengantar bapak sama ibu ke suatu tempat.”
            “Hei, kenapa yang kamu tanyakan hanya Bimo. Apa kamu tidak menanyakan aku, Ran?” Bagas tiba-tiba muncul sambil tersenyum dan perkatannya telah membuat wajah Khaerani langsung memerah. Bagas tertawa sedangkan Mutiara nampak tersenyum.
***
            “Rani menanyakan Bimo ke kamu, Mut?” tanya Bagas kepada Mutiara ketika dalam perjalanan pulang dari rumah Khaerani.
“Cuma tanya, kenapa Mas Bimo tidak datang bareng kita. Memangnya kenapa? Cemburu?” Mutiara tersenyum.
Bagas tertawa. “Kamu cerita, kalau Bimo dipaksa mengantar orang tuamu ke rumah Pak Haji Suryo, orang tuanya Ratna?” Mutiara menggeleng. “Kamu cerita pun, tidak akan membuat Rani terkejut. Dia sudah tahu kalau Bimo akan dijodohkan dengan  anak Pak Haji Suryo.”
            “Hah! Masa sih! Bagaimana bisa tahu!” Mutiara terkejut dan tidak percaya. Bagas kemudian bercerita tentang bidan Annah dan kabar yang didengarnya dari Bu Said.
“Ibu bagaimana sih. Lha wong belum pasti kok ya sudah diomongkan ke orang!” Wajah Mutiara nampak berubah menjadi serius setelah mendengar cerita dari sepupunya itu. Sesaat kemudian  keduanya nampak terdiam.  
            “Muti.”
            “Yah, ada apa Mas?”
            “Apa Rani menyukai Bimo?”
            Mutiara terseyum. “Kenapa Mas Bagas tanya ke aku, kenapa tidak tanya langsung keorangnya?”
            “Gila apa! Tanya ke Rani? Mana mungkin gadis itu akan menjawabnya! Kamu tahu sendiri bagaimana Rani!”
            “Aku tidak tahu Mas. Tapi menurut perasaanku, Rani menyukai Mas Bagas!” Mutiara tersenyum, sedangkan Bagas tertawa.
***
(Kelanjutannya baca bagian 28 yaaaaaa....)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)