SANDYAKALA (Bagian 21)
21 Menyebar
Sepulang dari pasar, Mak Lela langsung
menemui Khaerani yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang rumah.
“Mbak Rani!”
“Ada apa Mak?”
“Berita tentang Mbak Rani cepat sekali
menyebar lho Mbak.”
“Berita tentang apa? Memangnya aku ini
habis melakukan apa, sampai beritanya menyebar?” Khaerani tertawa.
“Itu lho Mbak, berita tentang Mbak Rani
yang pingsan dijalan dan dibawa ke klinik sama sepupunya Mbak Mutiara,
kemenakannya Bu Said.”
“Apa!” Khaerani terkejut, dan langsung
memandang Mak Lela yang berdiri disampingnya. “Secepat itu kabarnya menyebar?
Bagaimana bisa?”
“Wah, kalau yang itu, Mak sendiri juga
tidak tahu Mbak. Waktu di pasar tadi banyak orang tanya kebenaran kejadian
itu.”
“Terus, Mak Lela jawab apa?”
“Yaaa, Mak Lela katakan benar kalau Mbak
Rani memang pingsan dijalan, tapi masalah bagaimana dan siapa yang menolongnya,
Mak tidak tahu persis. Mak Lela kan tahunya Mbak Rani dijemput Mas Pram dari
klinik.” Kharani terdiam. Ada gurat gelisah diwajahnya.“Tapi wajar saja Mbak.
Lha wong di klinik, tempat umum, pasti ada satu dua orang yang melihatnya.”
“Tapi, bagaimana tahu kalau Bagas itu
kemenakannya Bu Said? Apa ada yang mengenalinya waktu dia datang di hajatannya
Pak Lurah yang datang bersama Pak dan Bu Said? Yah, mungkin saja. Lagipula
Bagas juga suka jalan keliling desa, pasti sudah banyak orang yang
mengenalinya. Apalagi dia orangnya selalu ramah dengan semua orang, “ pikir
Khaerani.
Mak Lela kemudian bercerita, waktu di
dalam pasar ditempat tukang sayur bertemu dengan beberapa orang, mereka pun
menanyakan hal yang sama.
Khaerani
menghela nafas,”hhhh....jadi orang satu pasar tahu semua ya Mak?”
“Ya tidak apa-apa tho Mbak. Mbak Rani
kan tidak berbuat salah, cuma pingsan dijalan dan ditolong orang. Memangnya ada
orang yang ingin pingsan dijalan? Tidak ada tho? Masalah yang menolong itu
kemenakannya Bu Said, itu kan hanya kebetulan saja, karena memang dia yang
melihat dan menolong Mbak Rani. Jadi, tidak ada yang perlu dikuatirkan, lha
memang kejadiannya seperti itu, kalau ada orang tanya, ya dijawab apa adanya
saja.”
“Iya Mak, “ jawab Khaerani lirih.
“Atau sebenarnya, Mbak Rani kuatir kalau
Bu Said tahu? Apa sih, yang Mbak Rani kuatirkan?”
“Rani tidak mau punya urusan dengan Bu
Said lagi, Mak.”
“Tapi, yang menolong kan bukan anaknya,
Mas Bimo, tapi kemenakannya.”
“Sama saja Mak!”
“Ya sudah, tidak usah dipikirkan. Semua
itu kan hanya kebetulan. Bukan disengaja.”
“Iya Mak.”
***
Di rumah keluarga Said, semuanya nampak
berkumpul dimeja makan untuk makan malam, Pak Said, Bu Said, Bimo, Mutiara dan Bagas.
“Bagas,” kata Bu Said.
“Ya Bu Lek. Ada apa?”
“Bu Lek mendengar, katanya kamu habis
menolong Rani, yang katanya pingsan di jalan?”
“Iya Bu Lek.” Bagas membenarkan,
kemudian menceritakan kejadian tersebut. Dari sudut matanya melihat kearah Bimo
yang sedang makan.
“Kenapa kalian tidak cerita sama ibu?
Ibu malah dapat ceritanya dari orang lain,” kata Bu Said. Mutiara menjawab
kalau kejadian tersebut hanyalah kejadian kecil yang tidak perlu diceritakan
kesemua orang apalagi dibesar-besarkan.
“Kejadian kecil bagaimana! Orang sakit
dan pingsan dijalan kok dibilang kejadian kecil!” kata Bimo tiba-tiba yang
membuat semua mata memandang kearahnya.
“Kamu
juga tahu, Bim?” tanya Bu Said sambil mengernyitkan dahi dan memandang curiga
anak laki-lakinya.
“Bagas yang cerita!”
Bu Said bergantian memandang antara Bimo
dan Bagas. Kebisuan dan ketegangan kecil tercipta sesaat.
“Memangnya Bu Lek mendengar siapa?”
Bagas mencoba mencairkan suasana.
Bu said mengatakan kalau hampir semua
orang tahu tentang kejadian Khaerani yang pingsan dijalan yang ditolong oleh
seorang laki-laki yang katanya kemenakannya. “Kamu tahu Gas! Selain berita itu,
ada yang mengatakan kalau kamu beberapa kali berjalan berdua dengan Rani dan
pergi ke rumahnya!”
Bimo tiba-tba terbatuk. Pak dan Bu Said
memandang kearah Bimo. Bagas dan Mutiara terdiam.
“Memangnya kenapa, kalau jalan berdua
dengan Rani, juga pergi ke rumahnya, Bu Lek?” kata Bagas kemudian yang disambut
kembali suara batuk dari Bimo.
Bu Said kemudian mengatakan kembali
alasan yang sudah pernah didengar oleh Bagas, yang katanya tidak enak karena
dia adalah orang baru. Apalagi orang-orang sudah tahu kalau dia adalah
kemenakannya. Nanti dikira membebaskannya berbuat apa saja di desa ini. Bagas terdiam, sudah tahu kemana arah dari
kata-kata Bu Lek-nya tersebut, sesaat dia melirik kearah Bimo yang juga
terdiam.
“Memangnya kenapa, Bu Lek? Aku kan tidak
berbuat apa-apa, hanya berteman! Apa salah! Lagipula Rani itu perempuan
baik-baik!”
Bu Said menghela nafasnya.
“Sudah...sudah...bicaranya nanti saja.
Kita makan dulu dsekarang,” kata
Pak Said berusaha mencairkan keadaan.
“Iya benar kata bapak. Nanti masakannya
jadi dingin semua,” sahut Mutiara.
Akhirnya mereka melanjutkan makan
malamnya meski dengan suasana yang agak tegang sedikit. Kebisuan tercipta,
hanya suara sendok dan piring yang terdengar. Mutiara beberapa kali melihat
kakak dan sepupunya itu saling melirik.
***
Dengan perasaan yang agak sedikit
berat, Khaerani mengeluarkan sepeda kesayangannya. Mau tidak mau dia harus
pergi kerumah Pak Said untuk membeli kacang hijau, hanya disanalah kacang hijau
terbagus dan termurah ada di desanya. Ingin menyuruh orang tapi tidak tahu
siapa yang harus disuruh. Maklum, ditempat tersebut hanya ada rumahnya dan
rumah kakaknya, baru sekitar seratus meter ada rumah tetangga. Ingin menyuruh
Maryam, tidak enak hati, karena sedang sibuk membantu kakak iparnya menjahit
pesanan baju muslim ibu-ibu majelis taklim. Menyuruh Mak Lela, rasanya tidak
tega menyuruh orang tua, apalagi Mak Lela sendiri nampak sedang sibuk.
“Tidak usah dipikirkan, jangan jadi
beban,” kata Mak Lela kepada Khaerani ketika melihatnya agak sungkan dan sedikit
resah ketika akan pergi ke tempat Pak Said.
“Iya Mak. Tapi bagaimana kalau ketemu Bu
Said?”
“Lho! Memang itu kan rumahnya Bu
Said, pasti ada kemungkinan bertemu dengannya. Memangnya kenapa? Apa Bu Said
bakal gigit Mbak Rani?” Mak Lela tersenyum mencoba menghiburnya.
“Bukan begitu, Mak. Tapi...”
“Tapi kenapa? Takut? Apa yang Mbak
Rani takutkan? Apa Mbak Rani punya salah sama Bu Said?” Khaerani menggeleng. “Ya
sudah kalau begitu, bersikaplah seperti biasanya. Memang toh tidak ada apa-apa.
Kalau ditanya, ya tinggal dijawab sebagaimana adanya. Kalau tidak ditanya, ya
malah kebetulan tho?”
“Iya Mak.”
Khaerani mengayuh sepeda keluar dari halaman
rumahnya. Meskipun perasaannya merasa agak tenang setelah mendengar kata-kata
dari Mak Lela, tapi rasa kuatir dan tidak enak masih terbersit dalam hatinya.
Baru berjalan sekitar duaratus meter, berpapasan dengan Bu Rustri yang langsung
menyapanya. “Mbak Rani, katanya sakit, sudah sembuh ya?” Gadis itu hanya
membalas dengan anggukan dan senyuman. ”Waduuuh...berapa orang lagi yang akan
aku temui dan menanyakan hal yang sama?” pikirnya. Tapi kemudian dia bersyukur
karena tidak bertemu banyak orang dijalan, hanya beberapa orang yang hanya
menyapa memangggil namanya.
***
Di tempat Pak Said, seperti biasanya,
selalu ramai oleh para karyawan yang sedang bekerja, mulai dari menjemur hasil
palawija, mengangkat yang sudah kering, mengangkut, menimbang, memasukkan dalam
karung, melayani para pembeli dan pelanggan dan yang lainnya. Ada sedikit rasa
gelisah menjalar dihati Khaerani saat memasuki tempat Pak Said tersebut. Tapi
akhirnya gadis itu dapat bernafas lega karena hanya dua orang yang menanyakan
keadaannya, yang lainnya nampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing dan
hanya sekadar menyapa nama, melihat dan tersenyum kepadanya, ditambah ternyata
tidak ada sosok Bu Said, yang ada hanya Pak Said yang sedang mengawasi kerja
para karyawannya.
“Eeeeh Rani. Sudah sembuh? Katanya
sakit?” sapa Pak Said sambil tersenyum.
“Iya
Pak,” jawab Khaerani singkat, dan untuk mencegah ada pertanyaan lebih lanjut
langsung mengutarakan maksud kedatangannya membeli kacang hijau. Setelah
selesai mendapatkan barang yang dibelinya, langsung pamit dan bergegas pergi
meninggalkan tempat keluarga Said tersebut. “Ya Tuhan, semoga berita itu cepat
berlalu dan hilang, dan orang-orang melupakannya, supaya aku bisa merasa
tenang. Tidak seperti sekarang ini, rasanya seperti dikejar-kejar orang sedesa!
Tapi, kenapa aku jadi seperti ini ya? Memangnya aku telah berbuat salah apa?
Atau, jangan-jangan aku hanya terbawa perasaanku sendiri. Takut! Takut
kalau....” pikirnya. Baru saja akan
menaiki sepedanya, tiba-tiba pintu rumah Pak Said terbuka, dan keluar Bu Said,
membuat dadanya tiba-tiba berdebar lebih kencang.
“Rani,” sapa Bu Said.
“Bu Said.”
“Beli kacang hijau?”
“Iya Bu.”
Bu Said berjalan mendekati Khaerani.
“Katanya, kamu kemarin pingsan dijalan?”
“Aduh! Pasti Bu Said akan menanyakan
tentang Bagas!” benak Khaerani.
“Betul begitu, Rani?”
“I-iya Bu.”
“Sekarang kamu sudah sembuh?” Khaerani
mengangguk sambil tersenyum. “Kamu tahu yang menolong kamu Bagas, kemenakan Ibu
dan Mutiara?”
Khaerani mengangguk. “Iya Bu. Dan saya
mengucapkan banyak terima kasih.”
Bu Said terdiam sesaat. “Oh iya Rani.
Ibu mendengar kamu dan Bagas pernah jalan berdua. Dan dia juga pernah main ke
rumahmu?”
Deg!!! Khaerani sudah menyangka Bu Said
akan menanyakan hal tersebut. “Kami hanya bertemu dan berjalan kearah yang
sama, Bu. Kalau ke rumah saya, Bagas hanya ingin bertemu dengan Mas Pram,” kata
Khaerani sedikit berbohong.
“Ooh begitu yah. Sebenarnya ibu tidak
bermaksud apa-apa. Cuma dilihat orang tidak enak saja. Bagas, kemenakan ibu itu
kan, orang baru dan masih bujang. Nanti apa kata orang kalau berjalan berdua
sama kamu yang masih sendiri. Apalagi main ketempatmu. Yah, buat kebaikan kita
semua. Buat keluarga kami juga buat kelurga kamu, Rani.”
“Iya Bu. Saya mengerti. Kalau begitu.
Saya permisi pulang dulu Bu.” Dengan sejumah perasaan didada, Khaerani kembali
menaiki sepeda dan mengayuhnya.
“Rani!” teriak seseorang. Khaerani
menengok kebelakang, dilihatnya Bagas yang sedang mengayuh cepat sepedanya
mendekat kearahnya. Gadis itu ingin mempercepat kayuhan sepedanya tetapi entah
kenapa malah memperlambatnya. “Rani!” Bagas kembali memanggil. “Rani, bisa
berhenti sebentar?” katanya setelah berada disamping Khaerani. Akhirnya gadis
itu pun menghentikan kayuhan sepedanya, sambil memperhatikan ke sekeliling.
“Ada apa? Kamu kelihatan kuatir begitu?
Takut dilihat orang lain karena ketemu aku?” kata Bagas tersenyum. “Tadi, kamu
bertemu dengan Bu Said?” Khaerani terdiam. “Bu Lek-ku itu ngomong apa?”
“Tidak ngomong apa-apa!”
“Menegur kamu!”
Khaerani menggeleng. “Tolong. Aku tidak
mau membuat berita lagi di desa ini juga berurusan dengan Bu Said!” jawab
Khaerani.
“Berita apa?” Bagas pura-pura tidak
tahu. Khaerani kembali melihat ke sekeliling yang membuat Bagas terawa. “Berita
tentang aku yang menolong kamu pingsan dijalan?”
“Ya! Dan kamu tahu, hampir semua orang
didesa ini tahu kejadian itu! Juga kamu yang ke rumahku. Aku tidak tahu
bagaimana sampai menyebar, dan mereka juga tahu siapa kamu, Bagas!”
Bagas kembali tertawa, “bagus dong, jadi
aku tidak perlu memperkenalkan diri lagi kepada mereka!”
“Jangan becanda!”
“Kenapa memangnya? Memangnya salah,
kalau aku menolong orang pingsan dijalan!”
“Tidak salah! Kalau yang kamu tolong
bukan aku, atau sebaliknya, yang menolong aku, bukan kamu!”
“Kenapa? Karena aku masih kemenakannya
Bu Said! Dan kamu, gadis yang tidak pernah disetujui berhubungan dengan anak
laki-lakinya!” nada suara Bagas meninggi. Khaerani menatap tajam Bagas.
“Sekali lagi aku minta tolong. Aku tidak
mau menjadi bahan berita lagi di desa ini, juga...”
“Juga bermasalah dengan Bu Said!”
Khaerani menghela nafas. “Sebaiknya kita
tidak pernah ketemu lagi! Baik sengaja maupun tidak disengaja. Demi kebaikan
semua!”
“Kenapa? Kamu takut? Takut apa? Takut
dimarahin Bu Said? Atau, takut kehilangan Bimo lagi?” Khaerani tidak menjawab,
hanya menatap Bagas dengan tajam, kemudian bermaksud untuk pergi, namun
tiba-tiba Bagas menarik tangannya. “Bukannya kamu pernah bilang kalau kamu
tidak pernah takut dengan Bu Said? Lalu, apa yang kamu takuti? Takut menyakiti
hati Bimo?”
Khaerani berusaha melepaskan pegangan
tangan Bagas, “aku tidak pernah takut pada siapa pun dan apa pun! Aku hanya
tidak mau membuat dan menghadapi masalah!”
“Masalah apa? Masalah hati?” Bagas
tertawa.
“Bukan masalah kamu!”
“Rani. Apa kamu tidak bisa menyingkirkan
Bu Said dari pikiran kamu setiap bertemu aku?”
“Aku menghormatinya!”
“Aku tahu! Tapi bukan seperti itu
caranya! Seakan-akan kamu melihat hantu mengerikan disiang hari bolong setiap
bertemu denganku!”
“Bu-bukan maksudku seperti itu. Dan aku
tidak pernah berpikiran seperti itu!”
“Dengarkan
aku, Rani. Aku bukan Bimo. Aku bukan anak Bu Said, walaupun beliau sudah
seperti ibuku sendiri. Tapi dia tidak berhak mengatur hidupku. Aku laki-laki
dewasa yang punya akal dan hati, yang tahu mana yang terbaik buat diriku dan
mana yang tidak! Dan Bu Said tidak punya hak untuk melarangku bertemu atau
berteman dengan siapa saja, termasuk kamu. Juga tidak berhak untuk melarangmu
untuk berteman denganku atau pun...Bimo!” Khaerani terdiam. “Semoga kamu dapat
mencerna perkataanku. Baiklah aku harus pergi ke suatu tempat.” Bagas
melepaskan pegangannya terhadap gadis itu, kemudian mengayuh sepeda meninggalkannya.
Khaerani menatap Bagas yang semakin jauh
dengan sepedanya. “Ya Tuhan kenapa dia harus datang ke desa ini dan bertemu
denganku? Sikapnya, perkataannya juga senyumannya telah mengobrak abrik ruang
dihatiku yang sudah mulai tertata rapi,” benaknya. Kemudian menaiki sepeda dan
mengayuhnya menuju rumah.
***
Khaerani berbaring di tempat tidurnya,
matanya belum terpejam. Pikirannya melayang saat dia bertemu dengan Bu Said
pada waktu siang.
“Kenapa harus terulang lagi? Kenapa aku
harus berurusan dengan Bu Said lagi?” Khaerani menghela nafas pelan. “Kenapa
Bagas harus jadi kemenakannya Bu Said? Kenapa harus sepupunya Bimo?” benaknya
berkata. Ditatapnya langit-langit putih kamarnya. “Kenapa bukan kamu, Bimo?
Kenapa dadaku bergetar jauh lebih kencang jika berhadapan dengan sepupumu? Aku
menyesalkan keberadaannya tapi aku juga merasa senang.” Khaerani berusaha
memejamkan matanya, bayangan Bimo dan Bagas silih berganti menari-nari dalam
pikirannya. “Dan kenapa dari keluarga Said lagi?!”
***
(Apa lagi yang akan terjadi yaaaa.....baca Bagian 22.......)
Komentar
Posting Komentar