SANDYAKALA (Bagian 30)
30 Masa lalu
Hujan turun.
Setelah dari makam Bayu, Bimo dan Bagas
kembali ke rumah. Mutiara baru pulang dari rumah salah seorang teman gurunya. Bu
Said yang telah menyiapkan makan siang menyuruh anak dan kemenakannya untuk
segera makan, karena dia sendiri dan Pak Said sudah mendahului makan.
Di meja makan, tidak seperti biasanya,
terjadi keheningan antara Bagas dan Bimo, hingga membuat Mutiara merasa heran,
bergantian pandangannya dialihkan antara kakaknya dan sepupunya itu. “Tumben,
Mas Bagas jadi pendiam, biasanya ada saja yang diomongkan setiap kali makan
bersama. Mas Bimo juga, jadi diam begitu. Memangnya apa yang terjadi diantara
mereka? Berantem?” pikirnya.
Hujan turun semakin deras, sesekali
terdengar suara petir yang menggelegar. Setelah makan siang, Bagas dan Bimo masuk
ke dalam kamar masing-masing. Sedangkan Mutiara langsung pergi ke dapur untuk
melihat dan membantu Mak Isah dan ibunya yang katanya sedang membuat kue
istimewa.
Di
kamar, Bimo duduk didepan meja kerjanya. Sebuah laptop, tas kerja dan tumpukan
kertas kerja nampak tersusun rapi di atasnya. Begitu juga dengan Bagas yang
duduk menghadap laptop yang baru saja dinyalaknnya. Pikiran mereka tertuju pada
hal yang sama. “Apa yang akan dikatakan ibunya Bayu kepada Khaerani.”
***
Khaerani berada dikamarnya. Suara hujan
dan petir terdengar dari balik jendela kaca yang sudah ditutupnya. Duduk di tempat
tidurnya yang terbuat dari kayu dengan kasur bersprei hijau bermotif
bunga-bunga berwarna kuning. Disampingnya tergeletak sebuah kotak kecil hijau
yang terbuka, hingga kelihatan isinya, cincin bermata hijau dan secarik kertas.
Khaerani terus memandang cincin tersebut, raut sedih nampak begitu nyata
diwajahnya. “Kenapa harus ada cincin ini disaat aku sudah mulai bisa menata
hidupku dan lepas dari bayang-bayangnya? Padahal baru saja aku menguburkan
cincin perak itu dimakam Bayu,” benaknya. Sebuah ketukan halus terdengar dari
pintu kamar, kemudian terdengar suara Mak Lela yang meminta ijin untuk masuk.
Mak Lela masuk membawa pakaian yang sudah rapi disetrika. “Aduh Mak, mestinya
biar saja, biar nanti aku saja yang menyetrika.”
“Tidak apa-apa,“ jawab Mak Lela
sambil meletakan pakaian yang dibawanya di atas tempat tidur, matanya tak
sengaja melihat cincin dalam kotak hijau kecil yang terbuka. “Cincin yang
cantik,” katanya.
Khaerani diam, sambil kembali melihat
cincin milik Bayu tersebut. Mak Lela ijin untuk keluar kamar, tapi dicegahnya.
Sebuah petir menggelegar dengan cukup keras diluar rumah. “Mak, bisa temani aku
sebentar?” Mak Lela tersenyum, kemudian duduk disampingnya. “Mak, aku harus
apakan cincin ini?” Khaerani mengambil cincin bermata hijau tersebut sambil
memandanginya dengan tatapan sedih.
“Memangnya, itu cincin siapa?”
Khaerani menghela nafas, kemudian
menceritakan tentang asal muasal cincin yang ada ditangannya tersebut. Mak Lela
terdiam sesaat setelah mendengar cerita Khaerani. “Apa yang harus aku lakukan
Mak? Menyimpannya atau menguburkannya bersama Bayu?”
“Apa salahnya, kalau Mbak Rani
menyimpan cicncin tersebut, atau, memakainya.”
“Lain persoalannya kalau cincin ini
bukan cincin pernikahan yang akan Bayu berikan ke aku, Mak. Karena Bayu tidak
akan pernah menikahi aku dan tidak akan pernah memakaikan cincin ini dijari
aku!” Mak Lela membelai rambut Khaerani sambil tersenyum. “Cincin ini adalah
Bayu dan Bayu adalah cincin ini!”
“Cincin tetaplah sebuah cincin, sebuah
benda mati,” kata Mak Lela.
“Tapi, ini pemberian Bayu, Mak.
Seseorang yang telah memberikan masa lalu yang indah dalam hidup aku.”
“Kenangan dimasa lalu,” kata Mak
Lela lirih. “Tapi, akan sampai kapan Mbak Rani hidup dengan masa lalu?” Khaerani
terdiam. “Hidup Mbak Rani masih terus berjalan, ada masa depan di depan sana.
Jika terus hidup dengan masa lalu, bagaimana Mbak Rani akan melihat dan
melangkah kedepan.”
“Apa aku harus menghapus kenangan
masa lalu itu, Mak?”
“Masa lalu, tidak bisa kita hapus
ataupun kita ubah. Kita datang dari masa lalu. Masa lalu ada di belakang kita,
yang akan selalu mengikuti kita. Tapi, apa kita harus terus menghadap ke belakang
sementara di depan ada masa depan kita yang harus kita raih? Boleh saja, kita
sedikit menengok ke belakang, tapi bukan untuk menyesalinya tapi untuk
pembelajaran kita dimasa depan. Seperti halnya dengan almarhumah ibu Mbak
Rani.”
“Sampai akhir hayat, ibu akan selalu
hidup dalam aku, Mak! Ibu adalah jiwa dan semangat hidup, meskipin sosoknya
tidak bisa dilihat lagi!”
“Terus, apa bedanya dengan Mas
Bayu?” Khaerani kembali terdiam. “Ibu Mbak Rani dan Mas Bayu di sana pasti
ingin melihat orang yang mereka sayangi itu hidup bahagia, meskipun mereka sudah
tidak berada di sisi Mbak Rani lagi. Mereka pasti yakin walaupun mereka sudah
tidak ada tapi mereka masih hidup dihati Mbak Rani, tapi bukan untuk ditangisi
dan diratapi.”
“Mungkin, kalau Bayu masih hidup,
cincin ini sudah terpasang dijari aku, dan kami hidup bahagia, ya Mak?”
“Jangan disesali. Itu semua sudah
keputusan Tuhan, mungkin inilah jalan yang terbaik bagi Mbak Rani, juga Mas
Bayu. Tidak perlu menyesali masa lalu, juga tidak usah mengira-ngira masa depan
yang kita tidak pernah tahu. Yang tepenting, jalani hidup hari ini dengan
baik.”
“Tapi, apa salahnya berharap dan
mengkhayal, Mak?”
“Iya. Tidak ada yang melarang. Tapi
harus melihat kenyataan yang ada sekarang. Mbak Rani harus tetap melangkah ke depan,
karena hidup Mbak Rani masih terus berjalan.” Mak Lela mengelus punggung tangan
Khaerani yang memegang cincin bermata hijau tersebut. “Masa depan Mbak Rani mugkin
ada pada salah satu dari mereka,” kata Mak Lela kemudian sambil tersenyum.
Khaerani memandang wanita paruh baya itu
dengan tatapan tidak mengerti. “Apa maksudnya Mak?”
“Anak dan kemenakan Pak Said itu,
sepertinya mereka menyukai Mbak Rani.”
“Ah, Mak Lela ada-ada saja. Bimo
adalah teman Rani sejak kecil, sedangkan Bagas, belum lama Rani mengenalnya.
Lagipula, mereka terlalu tinggi untuk digapai Mak.” Rona wajah Khaerani
langsung berubah ketika menyebut nama Bagas.
“Hati dan perasaan orang siapa yang
tahu, Mbak. Rasa suka itu tidak memandang status, temaan atau lawan, baru kenal
atau sudah lama kenal. Kalau sudah suka, siapa yang bisa menghalanginya?” Khaerani
kembali terdiam, serangkaian wajah Bayu, Bagas dan Bimo bergantian memenuhi
benaknya, tangannya masih memegang cincin bermata hijau itu.
“Terus, bagaimana dengan Mak Lela
sendiri? Kenapa Mak tidak mau menikah lagi? Bukannya Mak Lela juga ingin punya
masa depan yang bahagia?”
“Itu karena Mak belum mau dan belum
menemukan laki-laki yang benar-benar mau mengerti keadaan Mak. Lagipula Mak
juga sudah tua. Kebahagiaan Mak adalah melihat keluarga ini bahagia.” Mak Lela tersenyum kemudian keluar kamar. Diluar
suara petir kembali menggelegar.
***
(Bagaimana lanjutannya? Baca bagian 31 yaaaaa....)
Komentar
Posting Komentar