SANDYAKALA (Bagian 20)
20 Teman kecil
Pagi hari, Khaerani merasa lebih segar
dan sehat. Mak Lela melarangnya untuk melakukan pekerjaan apa pun dan
menyuruhnya untuk beristirahat. “Aku sudah sehat Mak, kalau cuma diam, nanti
malah tambah sakit,” kata Khaerani sambil membereskan meja makan dan meletakkan
piring dan gelas kotor ke tempat cuci piring, setelah sarapan pagi. Setelah
mencuci piring, pergi ke halaman belakang, ke kandang kambing dan kandang ayam.
“Wah, hari ini ayam-ayamuku sedang berbaik hati.” Khaerani tersenyum ketika
melihat telur-telur di kandang ayam. Masuk kembali ke dalam rumah dan kembali sambil
membawa wadah untuk meletakkan telur-telur ayam. Setelah membawa masuk
telur-telur ayam tersebut kemudian mengambil sapu dan peralatan lainnya untuk
membersihkan kandang ayam. Mak Lela yang melihatnya langsung berteriak melarangnya.
“Biar saja Mbak, biar nanti Mak Lela
yang membersihkan kandang ayamnya. Mbak Rani istirahat saja!”
“Tidak apa-apa Mak!” sahut Khaerani.
Setelah selesai dengan ayam, Khaerani ke
kandang kambing, dilihatnya kambing-kambingnya sedang lahap memakan rumput yang
yang telah diberikan oleh Bapak sebelum berangkat ke kantor Balai Penyuluhan
Pertanian (BPP) bersama Pram. “Makan yang banyak ya, biar sehat dan gemuk, dan
anakmu juga sehat,” katanya sambil memegang kepala seekor kambing yang sedang
bunting. Khaerani itu tiba-tiba terdiam, pikirannya melayang, teringat ketika
Bagas dengan erat memegang tangannya saat terbaring di ruang periksa dokter
Fahri di klinik.
“Mbak Rani! Ada temannya datang,” suara
Mak Lela mengagetkan lamunannya.
“Teman? Siapa?” Tidak ada jawaban dari
Mak Lela, dilihatnya seorang perempuan berdiri di pintu belakang rumah dan tersenyum.
“Asti!” Khaerani segera beranjak dari kandang kambing dan berjalan mendekatinya..
“Bagaimana keadaanmu, Ran?” tanya Asti.
“Aku baik-baik saja. Kamu kok kesini. Tidak
mengajar?”
“Ini sudah jam sepuluh lebih. Anak-anak
TK sudah bubar,” jawab Asti sambil tersenyum. Asti adalah teman Khaerani waktu
duduk di bangku SMP, seperti halnya Riena dan Bimo. Gadis cantik berkulit putih
dan berambut panjang itu adalah seorang guru taman kanak-kanak.
“Ayo kita masuk. Aku mau mandi dan ganti
pakaian dulu, bau ayam dan kambing,” ajak Khaerani. Tapi Asti memilih untuk
menunggu diluar, disebuah tempat duduk bambu di bawah pohon nangka yang rimbun
daunnya. Khaerani masuk. Tidak terlama kemudian keluar dengan wajah segar dan
sudah berganti pakaian, ditangannya membawa nampan yang berisi minuman dan
makanan kecil.
“Tidak usah repot-repot Ran,” kata Asti
sambil tersenyum.
“Tidak apa-apa,” jawab Khaerani sambil
tersenyum dan duduk disamping Asti kemudian mempersilakan temannya itu untuk
mencicipi makanan kecil yang dibawanya.
“Kue buatanmu makin enak saja rasanya,
Ran.” Khaerani tersenyum. “Oh iya Ran,aku mendengar katanya kamu pingsan di
jalan dan sekarang kamu sakit?”
Khaerani mengangguk. “Tapi tidak
apa-apa. Aku baik dan sehat.”
“Kok bisa pingsan dijalan?”
“Kata dokter Fahri, mungkin kecapekan.” Khaerani
tersenyum. “Kamu kesini karena mendengar aku sakit?”
Asti tersnyum, kemudian mengatakan kalau
maksud kedatangan sebenarnya adalah untuk menjahitkan kain pada Kharisma. “Dari
Mbak Risma-lah, aku tahu tentang kejadian yang menimpa kamu Ran, katanya kamu
sakit.”
“Rani! Asti!” teriak seseorang dari
pintu belakang rumah. Khaerani dan Asti langsung mengenali orang yang memanggil
nama mereka. “Riena!”
Riena berjalan ke tempat keduanya.“Wah,
aku tidak menyangka bakal ketemu kamu disini, As.”
“Kamu ninggalin toko kamu lagi?”
tanya Khaerani.
“Aku ini kan bos, walaupun cuma bos
toko kecil, jadi bebas-bebas saja, tidak harus selalu menjaga toko. Lagipula
ada Mas Saiful.” Riena tertawa. “Oh iya, bagaimana keadaan kamu, Ran. Yuyun
cerita tentang kamu?”
“Seperti yang kamu lihat, aku sudah
baikan.”
“Kata Yuyun, kamu kemarin pingsan
dijalan, katanya pula, untung saja ada si ganteng itu yang menolongnya dan
mengantarkannya ke klinik.” Riena tersenyum sambil melirik kearah Khaerani.
“Si ganteng? Siapa?” Asti nampak
penasaran.
“Jangan-jangan, si ganteng itu memang
suka sama kamu, Ran,” kata Riena sambil tersenyum.
Khaerani tertawa kecil, “orang menolong kok ya
dibilang suka!”
“Yuyun juga bercerita. Mungkin kamu
kemarin tidak melihatnya, katanya si ganteng itu dengan panik membopong kamu
dari mobilnya ke ruang periksa, membaringkan kamu dan memegang tangan kamu
dengan erat!”
“Bagaimana aku melihatnya, lha wong
aku pingsan! Wah, Yuyun pasti menambah-nambahkan cerita!”
“Yuyun itu, adikku yang paling jujur
lho! Tidak mungkin dia itu menambah atau mengurangi sebuah cerita, apalagi yang
dilihatnya dengan mata kepala dia sendiri,” kata Riena tersenyum.
“Kalian sedang membicarakan siapa
sih? Si ganteng? Memangnya siapa dia?” Asti semakin penasaran.
“Siapa lagi kalau bukan keponakannya
Bu Said alias sepupunya Bimo, teman kita itu!”
“Maksudnya, Bagas?” kata Asti
tiba-tiba. Riena dan Khaerani terkejut ketika Asti menyebut nama Bagas, keduanya
langsung memandang Asti dengan wajah penuh tanda tanya.
“Kamu kenal dia, As?” tanya Riena.
“Bagaimana kamu kenal dia?” Khaerani
nampak keheranan. Asti tersenyum, kemudian bercerita bagaimana dia mengenal
Bagas.
“Kesasar?” tanya Khaerani.
“Iya. Suatu hari Bagas kesasar ke tempatku,
waktu itu aku belum mengenalnya. Katanya dia akan ke kaki bukit, mencari tempat
yang bagus, tapi tidak tahu jalan dan nyasar ke tempatku.”
Khaerani kemudian teringat kalau
dirinyalah yang menyuruh Bagas ke kaki bukit untuk mendapatkan objek foto yang
bagus.
“Buat
apa dia ke kaki bukit?” tanya Riena.
“Katanya sih, mencari pemandangan
yang bagus.”
“Buat apa?” tanya Riena heran.
“Dia itu seorang fotografer dan
penulis,” kata Khaerani spontan. Asti dan Riena memandang Khaerani hampir
bersamaan.
“Wah, kamu tahu betul ya, Ran,” kata Asti
tersenyum.
“Bu-bukannya begitu, Mutiara yang
mengatakannya.” Wajah Khaerani nampak sedikit memerah.
Tiba-tiba Pram muncul dipintu. “Rani!”
panggilnya.
“Lho! Mas Pram, kok sudah pulang?”
“Ada yang ketinggalan! Eh, ada Asti
sama Riena. Apa kabar kalian?”
“Baik Mas,” jawab Asti dan Riena
hampir bersamaan.
“Apa yang ketinggalan, Mas?”
“Ada buku pertanian milik kantor BPP
yang dulu Bapak pinjam yang harus dikembalikan sekarang, ketinggalan. Kamu tahu
dimana Bapak menyimpannya?”
“Sebentar yah, aku masuk dulu,”
Khaerani berkata kepada Asti dan Riena, kemudian masuk ke dalam rumah bersama
kakaknya. Tidak lama kemudian muncul kembali sambil membawa segelas minuman
untuk Riena. Tapi tiba-tiba Pram muncul kembali di pintu. “Oh iya Ran, ada satu
lagi yang Mas lupa.”
“Apa Mas?”
“Semalam Bimo datang, niatnya mau
jenguk kamu, tapi kamunya sudah tidur.”
“Bimo?” Khaerani mengernyitkan
dahinya.
“Iya.
Semalam akhirnya ngobrol sama Mas Pram. Ya sudah, aku pergi dulu.” Pram
kemudian masuk kembali yang kemudian langsung pergi ke BPP lagi.
Tidak hanya Khaerani, Asti dan Riena
pun terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya dari Pram.
“Aku
tidak salah dengar kan, Ran. Baru saja Mas Pram menyebut nama Bimo?” kata Riena.
“Wah, bakal ada cerita apa lagi nih?”
“Cerita apa memangnya!” jawab
Khaerani.
“Bimo, Bagas!” gumam Riena.
“Jangan ngawur kamu Rien!” kata
Khaerani.
“Jadi! Bimo masih suka sama kamu
Ran!” Asti menatap Khaerani.
“Kenapa kamu melihatku seperti itu
As?”
Riena tertawa. “Benar-benar cinta
abadi! Cinta monyet yang tidak pernah pudar dilekang waktu!” kata Asti.
“Hati Bimo memang hanya untuk satu
orang, yaitu kamu, Rani!” timpal Riena.
“Kamu ngomong apa sih, Rien!”
“Ya memang Bimo itu suka sama kamu,
Ran, dari dulu sampai sekarang. Buktinya semalam Bimo kesini.”
“Jangan berpikiran terlalu jauh. Dia
mungkin hanya menjengukku saja, sama seperti kalian sekarang ini.”
“Tapi, kenapa harus malam-malam?”
“Yaaa...mungkin dia bisanya malam hari,
siangnya kan kerja.”
Sesaat ketiga perempuan itu terdiam.
“Aku tahu Ran, waktu SMP dulu Bimo
sudah menyukai kamu, dan kamu juga dulu pernah menyukai dia, kan? Ya, walaupun
tidak pernah saling menungkapkan dan pacaran,” kata Asti kembali membuka pembicaraan.
“Itu kan, cuma cinta monyet, As! Cinta
anak-anak. Tidak serius!”
“Tapi, Bimo serius lho Ran!” kata Asti
sambil mengambil makanan kecil dipiring.
“Sudah..sudah...jangan mengungkit
masa yang sudah lewat. Nanti kedengaran Bu Said, bisa-bisa kalian diinterogasi
sama beliau kalau ketahuan membicarakan anak laki-laki kesayangannnya itu,” kata
Riena, yang kemudian disambut tawa Asti dan Khaerani.
“Ah, jangan ngomongin orang tua,
kualat nanti. Bu Said itu sebenarnnya orang yang baik, itu karena dia terlalu
menyayangi anak laki-laki satunya dalam keluarga,” kata Asti.
“Bagaimana kalau Bimo ternyata
memang masih menyukai kamu, Ran?” tanya Riena.
Khaerani terdiam, menghela nafas, dan
memandang cincin berbentuk bintang yang melingkar dijari manis kirinya. “Kalian
jangan menduga-duga!”
“Terus, bagaimana dengan sepupunya Bimo
itu?” tanya Riena.
“Memangnya kenapa dengan dia? Sudah ah,
kok kita jadi membicarakan tentang keluarga Pak Said!” kata Khaerani.
Riena tiba-tiba tersenyum dan berkata
dengan volume suara yang sedikit dipelankan kepada Khaerani. “Oh iya Ran,
ngomong-ngomong, Mas Pram makin bertambah umur, makin dewasa, makin cakep saja
ya.”
“Yaah, kamu mulai lagi Rien. Ingat!
Mas Pram itu sudah punya anak dan istri. Kamu juga sudah punya Mas Saiful,
suamimu!” kata Khaerani. Riena pernah menyukai Pram, tapi kakak Khaerani
tersebut hanya menganggapnya sebagai adik, waktu itu Pram sedang menjalin
hubungan dengan Marini.
“Kenapa sih, waktu itu Mas Pram
tidak menyukai aku? Malah menyukai si Marini itu!” tanya Riena.
“Tanya saja sama orangnya, Rien!” kata
Asti sambil tertawa kecil.
“Kalau saja waktu itu Mas Pram jadi
menikah dengan Marini! Awas!” kata Riena dengan geram.
“Sssstttt..janga keras-keras
menyebut nama Marini disini!” kata Khaerani sambil meletakkan jari telunjuk
dibibirnya.
“Kenapa memangnya?” tanya Asti. Khaerani kemudian menceritakan tentang
kecemburuan Kharisma, istri Pram kepada Marini.
“Memang dasar janda gatel!”
“Eh, jangan bilang begitu, Rien!
Jangan berprasangka buruk dulu!” kata Khaerani.
“Rani, bagaimana kalau suatu hari tiba-tiba
Bimo akhirnya menyatakan cintanya sama kamu? Kamu mau menerimanya?” tanya Asti.
“Aku
tidak bisa membayangkan kamu jadi menantunya Bu Said, Ran,” timpal Riena sambil
tertawa.
“Sudah ah. Aku tidak mau membicarakan
itu lagi. Oh iya As. Apa kamu punya buku-buku bekas. Apa saja. Kalau ada apa
aku boleh memintanya untuk taman bacaan di sanggarnya pak Lek Tresno. Riena
sudah pernah aku minta.”
“Kayaknya sih ada. Kamu datang saja ke
rumahku.”
***
(Kelanjutannya bagaimana ya......Baca Bagian 21 yaaaaaa)
Komentar
Posting Komentar