SANDYAKALA (Bagian 34)
34 Terucapkan
“Kenapa tidak ada kabar beritanya sama
sekali? Masa aku harus tanya ke Mutiara kabarnya, atau tanya nomor telephonnya
sih? Atau, jangan-jangan aku yang terlalu banyak berharap?” batin Khaerani
sambil berjalan menuju bukit kecil. Seperti biasanya setiap ada sesuatu yang
mengganggu perasaannya, Khaerani selalu pergi ke bukit kecil untuk menyendiri.
Sesampainya di bukit kecil, langkahnya tiba-tiba berhenti. Dilihatnya seorang
laki-laki yang sedang duduk sendiri dibawah pohon. “Sedang apa dia disini?” pikirnya,
kemudian kembali berjalan ke pohon besar tersebut. “Sedang apa disini?” katanya sambil duduk disamping laki-laki tersebut.
“Rani!” laki-laki itu nampak
terkejut dengan kedatangannya.
“Apa yang sedang kamu lakukan
disini, Bim?” kata Khaerani kepada laki-laki yang duduk disampingnya, yang
tidak lain adalah Bimo.
“Kau juga, apa yang kau lakukan
disini?” Bimo berkata sambil menatapnya.
Khaerani
tersenyum. “Aku sudah terbiasa kesini.”
Bimo tersenyum, wajahnya tidak dapat
menyembunyikan rasa senang ketika menatap Khaerani. “Aku ingin mengenang masa
lalu. Kita dulu sering kesini. Waktu masih kecil, bersama anak-anak lain kita
sering bermain disini.” Bimo mencoba mengingat masa lalu sambil tangannya
mengambil sebuah kerikil yang kemudian dilemparkannya ke depan.
“Sampai sekarang pun, aku masih
sering kesini, meski tanpamu atau teman-teman yang lain.”
“Untuk apa?”
“Aku merasa tenang disini. Setiap
kali ada persoalan dan masalah, entah kenapa tiba-tiba menguap begitu saja
ketika sudah disini. Mungkin tertiup angin atau dibawa terbang burung-burung
itu,” kata Khaerani tersenyum sambil menunjuk burung-burung yang beterbangan.
Bagas pun tersenyum mendengarnya. Keduanya kemudian terdiam, hanya terdengar suara
burung dan dedaunan yang tertiup angin.
“Dia cantik dan kelihatannya orangnya
baik,” kata Khaerani tiba-tiba sambil memperhatikan seekor burung yang sedang
melompat dari dahan satu ke dahan lain diatasnya sambil membawa ranting kecil
diparuhnya .
“Siapa yang kamu maksud?”
Khaerani tersenyum sambil terus memperhatikan
burung kecil tersebut. “Ratna. Dia sangat serasi denganmu, Bim.”
“Serasi. Hampir semua orang yang aku
temui mengatakan seperti itu.” Bimo nampak mengikuti Khaerani yang sedang
memperhatikan tingkah seekor burung diatasnya. “Tapi mereka tidak pernah tahu
apa yang sebenarnya aku rasakan.” Khaerani memandang kearah Bimo. “Andai saja,
aku bisa seperti burung-burung itu, yang punya kebebasan dan bisa menentukan
hidupnya sendiri, bisa terbang kemana pun dia suka.”
“Kenapa tidak? Kamu bisa melakukannya.
Kamu laki-laki dewasa, sehat dan mapan,
bisa menentukan kehidupannmu sendiri, bisa melakukan apa pun yang kamu
inginkan.”
“Tapi masih ada orangtuaku, terutama
ibuku. Aku sangat menghormati dan menyayangi mereka. Aku laki-laki satu-satunya
dalam keluarga dan aku tidak ingin mengecewakan mereka.”
Khaerani menghela nafas dalam-dalan.
“Semua anak yang baik pasti akan berusaha berbuat sepertimu, Bim. Seperti juga
semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik buat anaknya. Segala upaya
dilakukan agar anaknya senang dan bahagia.”
“Apa kebahagiaan menurut mereka
adalah kebahagiaan juga buat anaknya?” kata Bimo datar.
“Aku tidak tahu. Cobalah kamu
tanyakan pada diri kamu sendiri, Bim.”
Bimo terdiam, ditatapnya Khaerani
dengan tajam. Kemudian kesunyian kembali menyelimuti mereka.
“Aku mencintaimu Rani!” kata Bimo
tiba-tiba. Khaerani terkejut dan merasa jantungnya berhenti berdetak untuk
sesaat. “Aku mencintaimu sebagai laki-laki dewasa kepada seorang perempuan
dewasa. Aku sungguh mencintaimu! Rasa suka dan cinta yang dulu kurasakan waktu
SMP tidak pernah hilang dari hatiku sampai detik ini!” Khaerani terdiam, masih
tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ditatapnya mata Bimo, namun
tiba-tiba bayangan Bagas berkelebat dibenaknya. “Apa kamu pernah menyukaiku,
Ran?“
Khaerani menghela nafas, mencoba
mengatur dan manata perasaannya “Kalau aku tidak menyukaimu, buat apa aku duduk
disampingmu sekarang?”
“Menyukai dan mencintaiku sebagai
laki-laki dewasa! Bukan sebagai teman ataupun sahabat!”
“Sepeninggal Bayu, satu-satunya
orang yang aku harapkan berada disampingku adalah kamu, Bim.” Bimo menatap
tajam Khaerani. “Tapi, kamu terus menjauh. Hingga akhirnya aku menyadari
keadaan kamu yang tidak mungkin berada disampingku.”
Bimo terdiam, menundukkan kepalanya
diantara kedua lututnya. “Maafkan aku. Aku tidak berdaya, Ran,” katanya lirih.
“Aku tidak pernah menyalahkanmu,
Bim. Aku sangat tahu keadaanmu. Mungkin sudah takdir dan jalan Tuhan untuk
kita. Sekarang sudah ada Ratna, disampingmu. Dia jauh lebih sempurna.
Dan yang terpenting orang tuamu suka dan bahagia.”
“Tapi aku tidak!” Bimo mengangkat
kepalanya dan kembali menatap tajam Khaerani.
“Bagaimana bisa kamu bilang tidak, jika
kamu belum menjalaninya.”
“Karena aku merasa tidak tenang dan
tidak nyaman.”
“Tapi, Ratna sepertinya sangat
menyukai dan mencintaimu Bim.”
“Seperti Bagas yang juga menyukai
dan mencintaimu?” kata Bagas tiba-tiba. “Apa saat ini, ruang dihatimu telah
terisi olehnya?”
Khaerani terdiam, sosok Bagas kembali
menari-nari dibenaknya. “Kapan kalian akan melangsungkan pertunangan itu?” tanyanya
kemudian untuk mengalihkan pertanyaan Bimo.
“Semuanya aku serahkan pada ibu. Aku
hanya menurut saja,” jawab Bimo tak bersemangat.”
“Kalau begitu aku ucapkan selamat.
Semoga Ratna adalah pilihan terbaik untukmu, Bim,” kata Khaerani sambil
menyingkirkan rambut hitam yang menutupi sebagian wajahnya karena tertiup
angin. Keduanya kembali terdiam. “Kenapa baru sekarang kamu mengatakan kalau
menyukaiku?” tanya Khaerani kemudian dengan hati-hati.
Bimo menghela nafasnya. “Walaupu
terlambat dan sudah tidak ada artinya lagi, aku ingin kamu tahu, kalau aku
benar-benar menyukai dan mencintaimu sejak dulu sampai sekarang. Aku tidak
tahu, tiba-tiba ada kekuatan yang mendorongku untuk mengatakan hal itu.”
“Bimo,” kata Khaerani lirih sambil
memandang wajah laki-laki yang duduk disampingnya.
“Jadi benar, sudah ada Bagas yang
mengisi ruang dihatimu sekarang?” Bimo kembali menayakan hal yang sama.
Khaerani terdiam, hanya terdengar helaan pelan nafasnya. “Anak sableng itu
pernah mengatakan padaku, kalau dia menyukaimu dan mencintaimu dengan tulus
tanpa alasan apa pun!” Bimo menatap Khaerani.
“Benarkah? Benar Bagas mengatakan
seperti itu?” benak Khaerani, ada rasa bahagia tiba-tiba menyelimuti seluruh perasaannya.
“Aku berharap Bagas adalah yang terbaik
untukmu, begitu juga dengan sebaliknya. Dan aku sudah merasa lega, karena
akhirnya aku mengatakan kalau aku mencintaimu dan kamu pun pernah menyukaiku,
Ran.” Khaerani bangkit dari duduknya. “Kau
mau kemana Ran?”
“Pulang.”
“Tolong, jangan pulang dulu. Temani
aku disini. Biarkan aku mengingat masa-masa kebersamaan kita.” Bimo memegang
tangan sahabatnya itu. Khaerani pun diam sesaat, kemudian duduk kembali
disamping Bimo.
“Andaikan keadaan tidak seperti sekarang
ini. Saat ini aku pasti sangat senang duduk disampingmu, Bim,” benak Khaerani.
“Aku senang bisa duduk bersamamu disini,
Ran. Aku merasa tenang dan nyaman,” benak Bimo.
***
(Mau tahu akhir ceritanya bagaimana?.....Jangan lupa bagian terakhir (Bagian 35) yaaaa....)
Komentar
Posting Komentar