SANDYAKALA (Bagian 24)
24 Main bola
Hari Sabtu, Bimo libur dan mengajak
Bagas mengantarkan barang-barang pesanan para pelanggan Pak dan Bu Said dengan menggunakan
mobil bak terbuka. Hari itu Mukhlas yang biasa mengantarkan barang sedang pergi
ke sawah bersama Pak Said sedangkan pegawai satunya lagi yang bisa menyetir
mobil dan biasa mengantar barang-barang pesanan sedang ijin tidak masuk kerja,
karena mengantar anaknya yang sakit ke dokter.
“Ya Bu, ini baru saja dari rumah Bu
Haji Mus. Ya...ya...Bu, ini masih sama Bagas. Ibu tenang saja, dia tidak akan
kemana-mana dan tidak berbuat yang aneh-aneh.” Bimo menjawab telephon dari
ibunya. Bagas hanya tertawa mendengar Bu Lek-nya yang mengecek keberadaan
dirinya. Tiba-tiba sambungan telephon Bimo terputus. “Waduh! Baterai hp-ku
habis, semalam lupa di-charge!” Bimo
meletakkan kembali handphone ke sakunya. “Sebentar lagi, ibu pasti telephon
kamu, Gas.”
“Punyaku
sudah mati sejak kita ke rumah Pak Zaelani, pelanggan kedua yang kita datangi tadi.”
Bagas tertawa sambil memperlihatkan hp-nya yang mati kepada sepupunya yang
sedang menyetir mobil. Keduanya kemudian tertawa.
“Ngomong-ngomong, kamu dulu biasa
mengantar barang, ya Bim?” tanya Bagas.
“Begitulah,” jawab Bimo tersenyum.
“Pantas saja, mereka, para pelanggan Pak
Lek dan Bu Lek rata-rata mengenalmu.”
“Aku terkenal kan?” Bimo tertawa.
“Aku ingat apa kata-kata beberapa
pelanggan. Wah! Ini Bimo yah, anak laki-lakinya Bu Said? Wah! Sekarang beda ya,
badannya jadi lebih gede, lebih ganteng. Sekarang kerja dimana? Sudah menikah
belum? Waduh! Tahu sudah besar begini, ibu jadikan menantu. Sayang anak
perempuan ibu baru menikah bulan kemarin.” Bimo tertawa mendengar gaya bicara
sepupunya yang menirukan ucapan para pelanggan yang baru saja mereka temui. “Memangnya kapan terakhir kamu
bertemu mereka?”
“Seingat aku, terakhir aku ikut
mengantarkan barang bersama bapak, itu sebelum aku berangkat kuliah.”
“Pantas saja!” Bagas tertawa. “Kalau
yang calon mertua kamu itu, apa kamu juga sering kesana sebelumnya?”
Bimo mengernyitkan dahinya sambil
menoleh kearah Bagas yang tersenyum. “Maksud kamu apa? Calon mertua yang mana?”
Bagas tertawa. “Lupa atau pura-pura
lupa. Itu lho, Pak Haji, bapaknya bidan cantik itu.”
“Pak Haji Suryo, maksud kamu?”
“Lha itu, kamu tahu! Jadi, kamu
sudah sering kesana sebelumnya, sudah kenal bidan cantik itu?”
“Aku baru sekali itu kesana.
Sebelumnya aku tidak pernah mengantarkan barang ke tempat Pak Haji Suryo,
mungkin pelanggan baru bapak! Aku juga baru tahu anaknya kemarin, waktu dia ke
rumah.” Bagas tersenyum. “Kenapa tersenyum?”
“Sepertinya, hubungan antara orang
tua kamu dengan Pak Haji Suryo itu bukan sekadar antara pedagang dan pelanggan
saja, tapi hubungan politik! Politik menjodohkan antara kamu dengan bidan
cantik itu!”
“Ngarang saja kamu, Gas!”
“Lho, memang benar begitu kan!
Sudahlah, kamu juga tidak usah pura-pura tidak tahu! Aku yakin, kamu pasti tahu
betul!” Bimo terdiam sambil menghela nafasnya. “Apa salahanya sih, Bim? Bidan
itu, siapa namanya?”
“Ratna!”
“Orangnya cantik, berasal dari
keluarga kaya dan terpandang, punya pekerjaan bagus, dari sekilas aku
melihatnya kemarin, sepertinya dia orang yang baik. Cocok buat kamu, Bim. Juga
sangat cocok buat jadi menantu Pak dan Bu Said!” Bagas tertawa. “Kenapa harus aku? Kalau kamu suka, kenapa
tidak kamu saja dengan bidan itu!”
“Hei! Yang dijodohkan dengan bidan
itu bukan aku, tapi kamu, Bim. Dan yang mau bidan itu jadi menantu adalah orang
tua kamu, bukan orang tuaku!”
“Misalkan kamu yang dijodohkan
dengan bidan itu, apa kamu mau menerimanya?”
“Tergantung!”
“Tergantung apa?”
“Yaaa, tergantung apakah aku sudah
mempunyai seseorang yang sangat aku cintai atau tidak! Kalau aku sudah
mempunyai seseorang yang aku cintai, aku akan mengatakan yang sejujurnya, kalau
belum, apa salahnya berkenalan lebih dekat, toh, pasti tidak langsung
dinikahkan hari itu juga kan?” Bimo terdiam. “Kenapa diam?”
“Tidak apa-apa!”
“Kamu sedang memikirkan Rani!” kata
Bagas tiba-tiba.
“Apa!” Bimo terkejut sambil melihat
kearah sepupunya.
“Kamu menyukai gadis itu, kan Bim?” Bimo
terdiam. “Aku mulai menyukainya!” kata Bagas tanpa basa-basi. Bimo tiba-tiba
menginjak rem secara mendadak. “Aduuuh
Bimo, mbok kalau ngerem jangan mendadak begitu. Untung tidak ada barang-barang
di belakang, bisa-bisa kelempar keluar semua!” protes Bagas. “Kenapa? Kamu
terkejut mendengar kata-kataku? Bukankah aku sudah pernah mengatakannya sama
kamu, Bim?” Bimo masih terdiam sambil melajukan kembali mobilnya.
“Kenapa kamu menyukai Rani?” Bimo
akhirnya membuka mulutnya.
“Kenapa? Kamu seharusnya tahu
jawabannya! Karena kamu juga menyukainya.” Bagas tersenyum. “Aku menyukai kebaikannya,
kejujurannya, kesederhanaannya, semangatnya juga keras kepalanya!”
“Tapi, kamu baru mengenalnya!”
“Memangnya kenapa? Apa aku harus mengenalnya
sampai puluhan tahun untuk dapat menyukainya dan diam saja tanpa berkata dan
berbuat apa pun? Keburu basi! Bisa-bisa dia kawin sama orang lain!” Bagas
mencoba menyindir sepupunya. Bimo terdiam.
“Kamu tidak sedang melarikan diri
masalah Ami, kan Gas?”
Bagas tertawa. “Ami! Tidak ada
hubungannya dengan dia. Dia adalah masa laluku. Aku tidak sedang melarikan diri
dari siapa pun dan apa pun! Hubungan kami berakhir dengan baik. Dia bahagia
dengan keputusan hidupnya dan begitu juga dengan aku. Semua berhak untuk merasa
bahagia. Dan aku menemukan sebuah kebahagiaan disini!”
“Tapi, kenapa harus Rani?”
“Kenapa harus Rani? Karena Tuhan
telah mempertemukanku dengannya. Ini sudah Takdir!” Bagas tersenyum.” Memangnya
kenapa? Apa ada larangan kalau aku menyukainya?”
“Dia gadis desa biasa. Pasti sangat
berbeda dengan mantan-mantan kamu!” Bagas tertawa. “Dia baik! Sangat baik!
Orang yang bersamanya pasti akan merasa senang dan nyaman.” Bimo berkata sambil
memandang kedepan.
“Kata-kata itu seharusnya kamu katakan
langsung pada Rani! Kenapa kamu tidak mengatakan langsung padanya?” Bimo
kembali terdiam. “Takut! Takut diketahui ibumu? Aku tahu, kamu sangat
menghormati ibumu dan tidak ingin membuatnya kecewa.”
“Semua anak akan seperti itu. Kamu
juga begitu kan, Gas?” Bagas menghela nafasnya. “Maaf, bukan maksudku
mengingatkan akan almarhumah ibumu,” kata Bimo kemudian.
“Tidak apa-apa. Aku hanya tiba-tiba
merindukan kehadirannya.”
“Sekali lagi, aku minta maaf. Tapi,
misalkan ibumu masih hidup, apa dia akan bersikap sama seperti ibuku? Aku
mengenal ibumu, dia wanita sangat baik dan lembut.”
Bagas tersenyum. “Semua orang tua,
terutama ibu, pasti menghendaki yang terbaik buat anaknya. Apalagi masalah
jodoh, pasti berjuta nasihat akan keluar dari bibirnya. Cuma, mungkin cara dan
sikap yang ditunjukkan oleh mereka yang berbeda-beda.”
***
Bimo menghentikan mobilnya di tepi
jalan pinggir lapangan desa, yang nampak ramai oleh anak-anak yang sedang
bermain bola. “Kok, berhenti Bim?” tanya Bagas. Bimo tersenyum sambil membuka
pintu mobilnya. “Kamu mau kemana?”
“Lihat anak-anak main bola!” Setelah
menutup pintu mobil, Bimo berjalan ke pinggir lapangan, yang kemudian diikuti
oleh Bagas.
“Hei, itu bukannya Amir, anak
kakaknya Khaerani?” Bagas menunjuk seorang anak yang sedang menendang bola ke
arah gawang ketika sudah berdiri disamping sepupunya.
“Mana?”
Bimo mencoba melihat kearah anak yang ditunjuk oleh Bagas.
Anak yang ditunjuk tersebut tiba-tiba
menoleh. “Mas Bagas!” teriaknya yang kemudian disambut lambaian tangan Bagas.
Setelah itu kembali bermain bola bersama teman-temannya.
“Kalian sudah saling mengenal dengan
baik rupanya.” Bimo memandang sepupunya.
“Begitulah,” jawab Bagas sambil
tersenyum.
“Bagaimana kalau kita ikut main bola!” kata
Bimo tiba-tiba.
“Main bola dengan anak-anak itu? Ayo!
Sapa takut!”
Bagas dan Bimo berlari ke tengah
lapangan dan berteriak kepada anak-anak yang sedang asyik bermain bola, hingga
mereka terpaksa menghentikan permainannya. Kemudian mengutarakan untuk ikut
bermain bersama. Anak-anak tersebut menyambutnya dengan gembira. Bagas satu tim
dengan Amir dan Bimo dengan tim lainnya. Mereka berdua ditunjuk sebagai kapten
masing-masing tim dan sepakat untuk main dalam dua babak, satu babak dua puluh
menit. Bimo meminjamkan jam tangannya ke salah seorang anak yang menonton di pinggir
lapangan untuk menghitung waktu permainan. Kemudian keduanya melepas sepatu dan
kemejanya, dan diletakkan dibawah pohon beringin besar di pinggir lapangan.
Dengan hanya menggunakan kaos dan celana panjang, keduanya bergabung dengan tim
masing-masing. Permainan pun kembali berlangsung. Setelah beberapa saat tim
Bimo lebih dulu membuat gol, hingga skor menjadi satu kosong. Tim Bagas tidak
mau kalah, terus menyerang, membuat permainan semakin seru dan membuat penonton
dipinggir lapangan semakin ramai, bersorak menyemangati kedua tim. Akhirnya tim
Bagas berhasil menjebol gawang tim Bimo, hingga menyamakan kedudukan menjadi
satu sama. Babak pertama selesai, skor masih satu sama. Kedua tim diberi waktu
istirahat sepuluh menit untuk mengatur strategi masing-masing untuk menambah
jumlah gol dan meraih kemenangan. Setelah selesai beristirahat, permainan
kembali dilanjutkan. Kedua tim bermain saling menyerang.
Permainan berakhir dengan skor tipis
2-1 untuk tim Bagas. Wajah-wajah kelelahan namun nampak senang terlihat pada
para pemain, termasuk Bagas dan Bimo. Peluh membasahi baju anak-anak yang
rata-rata masih memakai seragam pramuka, karena sepulang sekolah mereka
langsung bermain bola di lapangan desa. Begitu juga dengan Bagas dan Bimo, kaos
yang mereka pakai nampak basah oleh keringat. Kemudian keduanya mentraktir
anak-anak minum es cincau dan gorengan yang ada dipinggir lapangan. Anak-anak
tentu saja merasa senang, tanpa dikomando lagi, mereka langsung menyerbu
penjual cincau dan gorengan tersebut.
“Tim kita menang Mir!” kata Bagas
kepada Amir yang sedang minum es cincau dan makan gorengan.
“Iya Mas Bagas,” kata Amir dengan nada senang.
“Permainan kamu hebat Mir. Mirip Bambang
Pamungkas.” Bagas memuji Amir hingga membuat kemenakan Khaerani itu nampak
tersipu tapi merasa senang.
“Sebagai kapten tim, kamu kurang hebat
Bim!” kata Bagas kepada sepupunya yang baru saja mengambil kembali jam tangan
miliknya yang dipinjamkan ke seorang anak untuk mengatur waktu permainan.
“Kamu lagi beruntung saja, Gas. Karena
aku lama tidak main bola, jadi gerakanku kurang lincah!” Bimo mencoba
memberikan alasan.
“Ah! Itu sih, alasan kamu saja, Bim.
Betul kan, Mir?”
“Bener Mas Bimo. Timnya Amir lebih hebat!”
kata Amir sambil mengangkat ibu jari tangan kanannya.
“Tim Mas Bimo juga hebat, Mir. Tadi,
Mas Bimo sengaja mengalah sama Mas Bagas, sebagai orang baru di desa ini, wajib
kita beri kehormatan!” Bimo kembali memberi alasan sambil tertawa.
“Halaaah...Kalau sudah kalah ya
ngaku kalah saja! Tidak usah pakai segala macam alasan! Betul tidak, Mir?” Amir
mengangguk sambil tersenyum. Bimo dan Bagas pun tertawa.
Mendung menggelayut, titik-titik air
lembut mulai turun dari langit.
“Setelah ini, kamu mau kemana, Mir?”
tanya Bimo kepada Amir yang sedang mengambil tas dan sepatunya.
“Pulang
ke rumah Mas. Takut dicari bapak sama ibu, kalau tidak, nanti Amir kena marah
bapak lagi!” Bimo tersenyum mendengar jawaban Amir yang polos.
“Amir mau, Mas Bimo antar sampai ke
rumah?”
“Beneran Mas?” Amir nampak senang, “naik
mobil itu?” sambil menunjuk mobil bak terbuka yang diparkir dipinggir jalan. Bimo
mengangguk. “Amir mau Mas!”
“Ada apa ini? Kamu kelihatan senang
sekali, Mir?” tanya Bagas yang datang setelah mengambil kemeja dan sepatu
miliknya dan Bimo yang diletakkan dibawah pohon.
“Amir mau dianterin pulang sama Mas Bimo
pakai mobil!” Amir antusias.
Bagas
memandang Bimo yang sedang memakai kemeja yang baru saja diberikannya.
“Akal-akalan si Bimo! Apa sebenarnya isi otak anak ini! Maju tidak berani,
mundur dan menyerah juga tidak mau!” kata Bagas dalam hati sambil memakai
kemejanya. Setelah itu, Bagas, Bimo dan Amir berjalan kearah Mobil.
“Mir, mau pulang?” tanya salah
seorang teman Amir. Amir mengatakan kalau dia akan pulang naik mobil, seketika
itu pula, teman-temannya yang kebetulan satu arah dengannya ingin ikut mobil
juga. Bimo mengijinkannya dan anak-anak pun senang, mereka berebut naik di
belakang mobil. Bagas dan Bimo menawarkan Amir untuk duduk didepan, tapi ditolaknya
karena ingin bersama teman-temannya di belakang.
“Gantian, kamu yang setir mobil
Gas!” kata Bimo sambil melemparkan kunci
mobil kepada Bagas.
“Kamu memang dengan sukarela dan
ikhlas mengantar Amir, atau sengaja supaya bisa bertemu dengan Bu Lek-nya Amir,
Bim!” kata Bagas sambil menyalakan mesin mobil. Bimo tidak menjawab, matanya
memandang ke arah depan, pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh
sepupunya, tapi bibirnya nampak senyuman tipis.
Akhirnya mobil yang dikendarai oleh
Bagas itu pun melaju meninggalkan lapangan desa dengan membawa sekitar dua
belas anak.
***
(Apa yang bakalan terjadi yaaa......kalau pengen tahu baca Bagian 25....)
Komentar
Posting Komentar